Selasa, 18 Desember 2007

Sholeh Darat

Muhammad Shalih bin Umar (1820 M), yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat ia bermukim di sana. Ia dinobatkan menjadi salah seorang pengajar di Tanah Suci tersebut.
Selain itu, ia adalah seorang ulama yang sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa.



Kelahirannya
Nama lengkapnya Muhammad Shalih bin Umara al-Shamarani, atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shalih Darat. Ayahnya Kiai Umar merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang, di samping Kiai Syada’ dan Kiai Mutadha Semarang. Kiai Shaih Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sedangkan informasi lainnya menyatakan bahwa, Kiai Shaih Darat dilahirkan di Bangsri, Jepara. Ia wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.

Ia disebut Kiai Shaih Darat, karena ia tinggal di kawasasn yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang, tempat mendarat orang-0orang dari luar Jawa. Kini daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Adanya penambahan Darat sudah menjadi kebiasaan atau cirri dari oang-orang yang terkenal di masyarakat.

Kiai-Kiai Seperjuangan
Sebagai seorang putra Kiai yang dekat dengan Pangeran Diponegoro, Kiai Shaih Darat mendapat banyak kesempatan untuk berkenalan dengan teman-teman orang tuianya, yang juga merupakan kiai terpandang. Inilah kesempatan utama Kiai Shalih Darat di dalam membuat jaringan dengan ulama senior di masanya, sehingga ketokohannya diakui banyak orang. Di antara kiai senior yang memiliki hubungan dekat dengan Kiai Shalih Darat adalah:
1. Kiai Hasan Bashari, ajudan Pangeran Diponegaoro. Salah seorang cucunya KH. M. Moenawir, pendiri pesanten Krapyak Yogyakarta, adalah salah seorang murid Kiai Shalih Darat.
2. Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua orang prajurit Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegioro tertawan, Kiai Darda’ yang beasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Semarang bagian barat, dan memnbuka pesantren di sana. Kepadanya, Kiai Shalih Darat pernah menuntut ilmu. Kiai Bulkin, putera Kiai Syada’, dikawinkan dengan Natijah, puteri Kiai Darda’, dan memperoleh anak yang bernama Kiai Tahir. Kisi Tahir ini, cucu kiai Darda’ adalah murid Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
3. Kiai Murtadha, teman seperjuangan Kiai Umar ketika melawan Belanda. Shafiyyah, puteri Kiai Muartadha, dijodohkan dengan Kiai Shalih Darat setelah pulang dari Makkah.
4. Kiai Jamasari, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Solo dan pendiri Pondok pesantren Jamsaren, Surakarta. Ketika kiai Jamsari ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, lalu ditutup. Pesanten tersebut dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior Kiai Shalih Darat. Dialah yang menggantikan Kiai Shalih Darat selama ia sakit hingga wafatnya.

Menikah
Selama hayatnya, Kiai Shalih Darat pernah menikah tiga kali. Perkawinannya yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama istrinya. Dari perkawinanya pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Tatkala Kiai Shalih Darat pulang ke Jawa, istrinya telah menggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh al-Rahman.
Perkawinannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri Kiai Murtadha teman karib bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pekawinan ini, mereka dikarunia dua oang putera, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini. Sedangkan perkawinannya yang ketiga dengan Aminah, puteri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari perkawinannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Siti Zahrah.
Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Dahlan santri Kiai Shalih Darat dari Tremas, Pacitan. Dari perkawinan ini melahirkan dua orang anak, masing masing Rahmad dan Aisyah. Kiai Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan Kiai Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Perkawinan kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.

Kiai-kiainya di Tanah Jawa
Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Kiai Shalih Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum meninggalkan tanah airnya, ada beberapa kiai yang dikunjunginya guna menimba ilmu agama. Mereka adalah:
1. KH. M. Syahid. Untuk pertama kalinya Kiai Shalih Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid, seorang ulama yang memiliki pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati. Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. Kiai M. Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada Kiai M. Syahid ini, Kiai Shaleh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di antaranya adalah kiab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.
2. Kiai Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.
3. Kiai Ishak Damaran, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.
4. Kiai Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat ilmu falak.
5. Kiai Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.
6. Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kiab yang beisi ajaran-ajaran dasar Islam yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.
7. Ahmad Alim, Bulus Gebang. Kepadanya Kiai Shaleh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Ahmad Alim ini, Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim, untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salaiang, Desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo.

Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh Kiai Shaleh Darat dari beberapa gurunya, menunukkan betapa kemampuan dan keahlian Kiai Shaleh Darat di bidang ilmu agama.

Pergi ke Makkah
Setelah belajar di beberapa daerah di Jawa, Kiai Shaleh Darat bersama ayahnya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ayahnya wafat di Makkah, kemudian Kiai Shaleh Darat menetap di Makkah beberapa tahun untuk memperdalam ilmu agama. Pada waktu itu, abad ke-19, banyak santri Indonesia yang berdatangan ke Makkah guna menuntut ilmu agama di sana. Termasuk Kiai Shaleh Darat. Ia pergi ke Makkah dan bermukim di sana guna menuntut ilmu agama dalam waktu yang cukup lama. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia pergi ke Makkah dan kapan ia kembali ke tanah air.

Kiai-Kiainya di Makkah
Yang jelas, selama di Makkah, Kiai Shaleh Darat telah berguru kepada tidak kurang dari sembilan ulama setempat. Mereka adalah:
Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki. Kepadanya ia belajar ilmu-ilmu aqidah, khusunya kitab Ummul Barahin karya Imam Sanusi (al-Sanusi).
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah. Ia adalah pengajar di Masjid al-Haram dan al-Nabawi. Kepadanya, Kiai Shaleh Darat belajar fiqih dengan menggunakan kitab Fath al-Wahhab dan Syarh al-Khatib , serta Nahwu dengan menggunakan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sebagaimana tradisi belajar tempo dulu, setelah menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut, Kiai Shaleh Darat juga memperoleh “Ijazah”. Adanya istilah ijazah dikarenakan penerimaan ilmu tersebut memiliki sanad. Dalam hal ini, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ilmu dari Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah yang memperoleh ilmu tersebut dari gurunya, Syekh Abdul Hamid a-Daghastani, dan al-Dagastani mendapatkan dari Ibrahim Bajuri yang mendapatkan ilmunya dari al-Syarqawi, pengarang kitab Syarh al-Hikam.
Al-‘Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar Ihya’ Ulum al-Diin. Dari sini ia juga mendapatkan ijazah.
Al-‘Allamah Ahmad An-Nahawi al-Mishri al-Makki. Kepadanya Kiai Shaleh Darat belajar al-Hikam karya Ibnu Atha’illah.
Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi. Darinya, Kiai Shaleh Darat belajar kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 1 dan 2.
Kiai Zahid, darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
Syekh Umar a-Syami. Darinya Kiai Shaleh Darat juga belajar kitab Fath al-Wahhab.
Syekh Yususf al-Sanbalawi al-Mishri. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Syarh al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari.
Syekh Jamal, seoang Muftti Madzab Hanafiyyah di Makkah. Darinya Kiai Shaleh Darat belajar Tafsir al-Qur’an.

Dari siniah, Kiai Shaleh Darat mendapatkan ijazah ketika selesai mempelajari kitab-kitab tertentu, semisal Fath al-Wahhab, Syarh al-Khatib dan Ihya’ Ulum a-Din. Dari sini pulalah apa yang dipelajari Kiai Shaleh Darat dari kitab-kitab tersebut, berpengaruh besar terhadap isi kitab yang dikarangnya, yaitu Majmu’ al-Syariat al-Kafiyah li al-awwam.

Jaringan Keulamaan Kiai Shaleh Darat
Semasa belajar di Makkah, Kiai Shaleh Darat banyak bersentuhan dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:
1. Kiai Nawawi Banten, disebut juga Syekh Nawawi al-Bantani.
2. Syekh Ahmad Khatib. Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murin Ahmad Khatib. Tercattat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.
3. Kiai Mahfuzh a-Tirmasi. Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M)
4. Kiai Khalil Bangkalan, Madura. Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 18600 dan wafat pada tahun 1923.

Diajak pulang oleh Kiai Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu Kiai Shaleh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat Kiai Shaleh Darat bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di sinilah Kiai Shaleh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah.
Ia merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan Kiai Shaleh Darat ke bumi Semarang.
Melihat kehebatan Kiai Shaleh Darat Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan islam dan mengajar umat islam di Jawa yang masih awam. Namun karena Kiai Shaleh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak.
Namun Mbah Hadi nekat, Kiai Shaleh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuaan, saat mau naik kapal untuk pulang ke Jawa, Kiai Shaleh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuaan, jika Mbah Hadi menculik salah seoang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap. Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda.
Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bia gurunya sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyeesaikan masalh tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian Kiai Shaleh Darat. Akhirnya, mbah Hadi dan Kiai Shaleh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.
Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan Kiai Shaleh Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam. Sayang sekali, sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pesantrennya tidak ada yang melanjutkan, kini di bekas pesantren yang dulu digunakan oleh Kiai Shaleh Darat untuk mengajar mengaji hanya berdiri sebuah masjid yang masih digunakan untuk menjalankan ibadah umat islam di kampong Darat Semarang.

Tentang Teori Kebebasan Manusia
Ia juga terkenal sebagai pemikir dalam bidang imu kalam. Menuru nur kholis Majid, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Kiai Shaleh Darat sangat kuat mendukung paham teologi Asy’ariyyah dan Maturidiyah. Pembelaannya pada paham ini jelas kelihatan dalam bukunya Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar al-Tauhid. Di sisni ia mengemukakan penafsirannya tentang sabda Nabi SAW bahwa akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat, yaitu mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW, yakni melaksanakan akaid, pokok-pokok kepercayaan ahlus sunnah wajama’ah, Asy’aiyah dan Maturidiyah.
Seanjutnya dalam teori ilmu kalam yang berkaitan dengan perbuatan manusia, ia menjelaskan bahwa paham Jabariyah dan Qadariyah tentang perbuatan manusia adalah sesat. Yang benar adalah paham Ahlus Sunnah yang berada di tengah antara Jabariyah dan Qodariyah. Sebagai ulama yang berfikir maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras,, setelah itu baru menyerahkan diri secara pasrah kepada Yang Maha Esa. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditaqdirkan Allah SWT. sebaliknya, ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatannya.

Sang Delegator Pesantren
Dalam sejarah pesantren, Kiai Shaleh Darat layak disebut sebagai Delegator Pesantren”. Karena ia tidak pernah ikut membesarkan pesantren orang tuanya, sebagaimana mafhumnya anak-anak kiai. Ia justru lebih memilih membantu memajukan pesantren orang ain dan membuat pesantren sendiri, dengan tanpa maksud menobatkan dirinya sebagai pengasuh pesantren.
Karir kekiaian Kiai Shaleh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loana, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing Kiai Ahmad Alim, Kiai Muhammad Alim, dan Kiai Zainal Alim. Dalam perkembangan selanjutnya pesanten ini dipercayakan kepada Kiai Zainal Ali. Sementara kiai Ahmad Alim mengasuh sebuah pesantren, beakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang. Adapun Kiai Mahmud Alim mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar. Jadi kedudukan Kiai Shaleh Darat adalah sebagai pengajar yang membanmtu Kiai Zaenal Alim.
Pesantren Salatiang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, Kiai Shaleh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antaa santri jebolan Salatiang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif, Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis) Kiai Haji Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.
Tidak jelas, berapa lama Kiai Shaleh Darat mengajar di pesantren Salatiang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an Kiai Shaleh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang. Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya , alHikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarrang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula Kiai Shaleh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.
Selama mengasuh pesanten, Kiai Shaleh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena factor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan Kiai Shaleh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya Kiai Shaleh Darat, salah seorang santri seniornya, Kiai Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. Kiai Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh Kiai Jamsari.
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh Kiai Shaleh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana Kiai Shaleh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kiai senior.

Santri-santrinya
Di antara tokoh yang pernah belajar kepada Kiai Shaleh Darat adalah: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Kiai R. Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H), Kiai Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat, Kiai Idris (nama aslinya Slamet) Solo, Kiai Sya’ban bin Hasan Semarang, yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat; Kiai Abdul Hamid Kendal; Kiai tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang; Kiai Sahli kauman Semarang; Kiai Dimyati Tremas; Kiai Khalil Rembang; Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta; KH. Dahlan Watucongol Muntilan Magelang, Kiai Yasin Rembang; Kiai Ridwan Ibnu Mujahid Semarang; Kiai Abdus Shamad Surakarta; Kiai Yasir Areng Rembang, serta RA Kartini Jepara.

Persinggungannya dengan A Kartini
Adalah sosok yang tidak terikat dengan alian-aliran dalam Islam. Ia justru sangat menghargai aliran yang berkembang saat itu. Ia lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (dasar) Islam, dan bukan furu’iyyah (cabang). Lebih dari itu, Kiai Shaleh Darat dikenal sebagai sosok penulis tafsir al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa. Ia sering memberikan pengajian, khusunya tafsir al-Quran di beberapa pendopo Kabupaten di sepanjang pesisir Jawa.
Sampai suatu ketika RA Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan, khusunya untuk anggota keluarga. RA Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama para Raden Ayu yang lain di balik hijab (tabir/tirai). RA Kartini merasa tertarik tentang materi yang disampaikan pada saat itu, tafsi al-Fatihah, olleh Kiai Shaleh Darat. Setelah selesai pengajian, RA. Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kiai Shaleh Darat. Ia mengemukakan: “saya merasa perlu menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada rormo kiai dan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas keberanian room kiai menerjemahkan surah al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah difahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka al-Quran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.” Lebih lanjut Kartini menjelaskan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekalipun, karena omo kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya fahami.”
Kiai Shaleh Darat selalu menekankan kepada muridnya agar giat menimba ilmu. Karena intisari ajaran al-Quran, menurutnya,, adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.

Karya Tulisnya
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya Kiai Shaleh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.
Adapun karya-karya Kiai Shaleh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah tidak kuang dari 12 buah, yaitu:
1. Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arap Pegon.
2. Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kiab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.
3. al-Hikam karya Ahmad bin Athailah, merupakan tejemahan dalam bahasa Jawa.
4. Lathaif al-Thaharah, berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
5. manasik al-Haj, berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
6. Pasolatan, berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) ima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
7. Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani, merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
8. Minhaj al-Atkiya’, berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
9. Al-Mursyid al-Wajiz, berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.
10. Hadits al-Mi’raj
11. Syarh Maulid al-Burdah
12. Faidh al-Rahman, ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di Singapura.
13. Asnar al-Shalah

Kini, Kiai Shaleh Darat memiliki sekitar 70 trah (keturunan) yang tersebar di berbagai daerah. Biasanya, dalam waktu-waktu tertentu mereka berkumpul dan bersilaturahmi di Masjid Kiai Shaleh Darat di Jln. Kakap/Darat Tirto, Keluahan Dadapsari yang terletak di Semaang Utara.
Dari pertemuan silaturahmi ini, telah 13 kitab karya Kiai Shaleh Darat berhasil dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan Kiai Shaleh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan Kiai Shaleh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.

Impian Negara Makmur Menjadi Kenyataan

Oleh:
Sarmidi Kusno

Saat kita mengamati perkembangan negara-negara yang ada di muka bumi ini, kita tidak kesulitan menyaksikan negara-negara yang maju, kaya dan makmur. Menurut laporan Word Development Repot (Word Bank, 2004), rata-rata pendapatan 20 negara terkaya di dunia sebesar 38 kali rata-rata pendapatan 20 negara temiskin. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan 40 tahun lalu.
Pada saat bersamaan, Congo, Angola, Tanzania, termasuk juga Indonesia adalah negara yang dalam kondisi “hidup segan mati pun tak mau”, yakni terbelakang, miskin dan tampak terengah-engah berupaya pulih dari impitan ekonomi. Tercatat sekitar seperempat penduduk di negara tersebut dan penduduk di dunia yang tercecer di negara-negara miskin masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan jumlah pendapatan yang kurang dari $ 1 (Rp 10.000) perhari.
Sementara Afganistan terpaksa harus memperjuangkan perdamaian yang berkepanjangan akibat konflik dengan negara tetangga, Israel, maupun konflik antar sesama warga sendiri, ia hampir tidak sempat memikirkan kemiskinan yang menerpa rakyatnya. Begitu juga Iraq, pasca tumbangnya rezim dictator, Sadam Husen, rakyatnya disibukkan dengan konflik antar kelompok Sunni dengan Syi’ah ketimbang memikirkan kondisi ekonomi mereka yang memperihatinkan.
Fenomena di atas menunjukkan gap antara negara kaya dan negara miskin semakin menganga. Nampaknya negara yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Mengapa fenomena ini terjadi ?
Budi Setiyono, penulis buku Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik (2007) yang baru saja diterbitkan, telah menjawab pertanyaan tersebut.
Budi, mahasiswa Ph.D pada bidang political science di Curtin University of Technology, Perth, Australia, yang telah meneliti beberapa model manajemen publik yang diimplementasikan oleh, baik negara maju maupun negara berkembang. Ia mencatat bahwa ada beberapa fakta yang berkaitan dengan maju-mundurnya suatu negara.
Pertama, sumber daya alam yang melimpah yang dimiliki suatu negara belum tentu menjadikan negara itu maju. Republuk Congo dan Angola, misalnya, memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi rakyatnya tetap bergelimang kemiskinan, sementara Jepang yang tidak cukup kaya sumber daya alam tetapi rakyatnya makmur.
Kedua, bantuan luar negeri ternyata tidak sepenuhnya dapat menolong negara miskin. Mesir dan Tanzania, misalnya, adalah negara yang menerima jumlah bantuan luar negeri paling banyak di antara negara berkembang dari tahun 1970 samapai dengan 2000, tetapi angka buta huruf, kemiskinan, dan infant morality rate di dua negara tersebut masih mencapai dua kali lipat dari negara miskin lain.
Ketiga, lama berdirinya negara juga tidak menjadi determinant factor maju-tidaknya suatu negara. Turki dan Yunani adalah contoh negara tua yang berumur ratusan tahun akan tetapi tingkat kemakmurannya jauh lebih rendah dari Singapura yang baru berdiri kurang dari 70 tahun.
Keempat, dan yang paling menyedihkan adalah jumlah aliran uang dari negara miskin ke negara-negara maju jauh lebih besar dari pada aliran uang dari negara maju ke negara miskin. Karena ketidak percayaan kepada kredibilitas lembaga keuangan sendiri, banyak pemimpin (baik pemerintah maupun swasta) di negara-negara miskin yang melakukan ”capital flight” ke luar negeri, baik secara legal maupun illegal (money laundering). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung : menurut The Economist (14 April 2001) aliran dana negara miskin ke negara kaya setiap tahun mencapai tidak kurang dari $ 1 trilliun.
Keempat fakta tersebut menunjukkan bahwa faktor yang jauh lebih penting dalam mempengaruhi kemajuan suatu negara adalah kepiawaian suatu negara dalam mengelola penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, negara tersebut memiliki model public management yang baik, yang mampu mengatur seluruh kebijakan yang sesuai dengan misi pemerintah.
Lebih lanjut, Budi menyebutkan beberapa faktor bagi kemajuan suatu negara, yaitu; Pertama, adanya pemerintah yang dipercaya dan dihargai rakyatnya. Hal ini disebabkan pemerintah merekrut pegawai pemerintahan hanya dari mereka yang terbaik dan pandai, melakukan perbaikan iklim kerja di sector public, mengurangi pegawai, dan membuat organisasi publik yang efesien.
Kedua, digalakkannya pemberantasan korupsi secara konsisten. Negara-negara industri baru tersebut memiliki tingkat indeks korupsi yang rendah. Bandingkan, Indonesia pada tahun 2005 memiliki indeks 2,2 (terkorup ke-6 dari 158 negara), Singapura (9,3), Hongkong (8,0), Korea Selatan (4,5), hailand (3,6), dan Malaysia (5,0).
Ketiga, diterapkannya kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang yang berdasarkan pada penelitian yang dapat diandalkan.
Keempat, adanya kepemimpinan yang kuat dan berwibawa. Kepemimpinan seperti itu lahir karena penguasa pada maisng-masing negara memiliki visi yang jelas bagi kemajuan negaranya, dan mereka bersedia bekerja keras bersama rakyat untuk mencapai visi itu.
Kelima, adanya rakyat yang disiplin dan taat. Kedisiplinan dan ketaatan rakyat ini utamanya disebabkan karena mereka percaya kepada kebijakan para pemimpinnya, dan terlihatnya kesungguhan pemerintah untuk menunjukan kesejahteraan rakyat.
Keenam, dikuranginya pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja mandiri. Masing-masing negara itu memiliki program yang membuat pengangguran dapat membuat lapangan kerja sendiri tanpa harus mencari pekerjaan pada peusahaan besar atau pemerintah. Mereka diberi pelatihan, bimbingan dan modal secara sistematis, serta dimonitor terus menerus oleh departemen tenaga kerja masing-masing.
Ketujuh, dilakukannya distribusi kekayaan secara merata. Negara melakukan berbagai macam peraturan yang ketat agar kesenjangan tidak terjadi terlalu tinggi antara yang kaya dan miskin. Semua orang harus menjadi pembayar pajak dan harus memiliki nomer wajib pajak, kemudian diterapkan pajak progresif dimana pada prinsipnya semakin kaya seseorang akan dikenakan pajak yang semakin besar.
Kedelapan, dipraktekkannya demokrasi subtantif. Dalam masalah demokrasi formal, Negara-negara sepeti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand sesungguhnya jauh berada di bawah Indonesia yang gegap gempita oleh pelaksanaan prosesi demokrasi. Akan tetapi, bukan berarti negara-negara tersebut tidak memiliki prinsip demokrasi. Justru pelaksanaan pemerintahan mereka didasari oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperi diperhatikannya partisipasi rakyat, adanya transparansi, adanya pemerintahan yang bersih, adanya kesamaan hak dan sebagainya. (hal. 8)
Kemudian, bagaimana dengan bangsa Indonesia ? Sebuah survey terhadap kapasitas pejabat publik (baik eksekutif maupun legislative) hasil pemilu 2004 di beberapa kabupaten yang dibiayai oleh Bank Dunia pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa sebagian pejabat public kita tidak mengetahui persis apa tugas dan tanggungjawab mereka sebagai seorang pejabat.
Sebagai akibatnya, pemerintahan berjalan tanpa arah. Para pemimpin tidak dapat mengatasi persoalan rakyat. Tak heran, semakin hari masalah dan beban hidup yang dihadapi oleh rakyat Indonesia semakin bertambah berat dan ruwet. Fakta yang terjadi berkali-kali; lalu lintas semakin macet, kenakaran hutan semakin menggila, penggundulan hutan semakin merajalela, banjir dan tanah longsor menjadi langganan tiap tahun, kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah banyak, kriminalitas dan perdagangan obat-obat terlarang semakin menjadi-jadi, dan korupsi bertambah menggurita.
Kita tentu tidak ingin hal seperti ini kita biarkan terus. Sudah saatnya Negara dikelola dengan menejemen yang professional. Setiap pejabat harus memiliki, paling tidak, dasar ilmu pengetahuan untuk mengelola negara ini dengan baik.
Untuk itu, kiranya para pejabat publik kita perlu membaca buku ini. Karena buku ini cukup repesentatif mendiskripsikan jawaban dari pertanyaan penting tentang isu-isu pengelolaan Negara yang baik. Dengan buku ini, kita akan mendapatkan konsepsi dasar yang mengantarkan teori dan prinsip-prinsip public sector management (menejemen sekto publik), serta bagaimana aplikasinya di berbagai negara terpilih. Harapan ke depan, para pejabat betul-betul memahami menejemen sektor publik tesebut dan sudi menerapkannya dalam pemerintahan, sehingga harapan untuk memiliki pemerintahan yang bersih dari korupsi dan kebijakan yang memihak pada rakyat lemah akan terrealisasi. Dan mimpi untuk memiliki negara adil, makmur, dan sejahtera akan menjadi sebuah kenyataan.

Judul : Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik
Penulis : Budi Setiyono
Penerbit : Kalam Nusantara, Jakarta, Cetakan Pertama, 2007
Tebal : (x + 214) halaman
Peresensi : Sarmidi Husna, Pemerhati Buku

Mencari Roh Spirit Ibadah Puasa

Oleh
Sarmidi Kusno


Awal Ramadan 1428 H tahun ini, bangsa Indonesia kembali dilanda bencana. Gempa bumi berkekuatan 7,9 skala richter telah mengguncang tanah Bengkulu pada hari Rabu, 12 September, sekitar pukul 18.10 WIB. Akibat gempa bumi tersebut tentu akan menambah deretan jumlah masyarakat yang menderita akibat bencana-bencana sebelumnya.

Belum pulih rasanya penderitaan ribuan masyarakat Aceh dan Jogyakarta akibat tsunami dan gempa bumi, serta ribuan masyarakat Sidoarjo akibat semburan lumpur panas, kini bencana gempa bumi kembali lagi mengguncang wilayah Bengkulu dan sekitarnya.

Selain itu, sampai saat ini, kondisi kesejahteraan sosial bangsa Indonesia juga masih diwarnai oleh tinginya angka kemiskinan dan angka pengangguran yang menyebabkan taraf hidup masyarakat sulit melakukan perbaikan. Sehingga, dapat dikatakan, kondisi bangsa ini sangat memperihatinkan.

Di tengah-tengah kondisi bangsa seperti ini, seharusnya bulan Ramadan hadir sebagai wahana membantu meringankan penderitaan masyarakat dan penyelesaian persoalan kesejahteraan sosial tersebut. Melalui puasa, harus ditanamkan kesadaran bahwa puasa tidak sekedar menahan diri dari kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum, serta perkara yang membatalkannya an sich, melainkan harus juga dapat menumbuhkan kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan.

Untuk itu, kiranya kita perlu menghadirkan makna baru ibadah puasa di tengah jumlah masyarakat miskin dan menderita yang terus meningkat. Bagaimana puasa dapat menumbuhkan solidaritas dan rasa kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa?

Makna Baru Puasa
Dalam bahasa Arab, puasa disebut sebagai shaum atau shiyam. Kata terbut secara harfiah berarti mengendalikan/menahan diri (imsak). Secara fisik dan lahiriah, pengendalian/menahan diri itu, oleh para ulama fiqih, diterjemahkan sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan) dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya, pada waktu tertentu – mulai dari fajar shadiq (sinar putih yang terbentang di ufuk timur) hingga magrib (terbenam matahari).

Tetapi, secara sosial, menurut Hasan Hanafi dalam kitab al-Din wa al-Tsaurah (1990: 63, VII), puasa adalah sarana latihan bagi umat Islam untuk menumbuhkan kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dengan berpuasa, kita menyadari akan rasa lapar dan dahaga yang setiap hari dialami oleh masyarakat miskin. Selanjutnya, kita akan bertambah peka terhadap derita yang mereka rasakan. Lalu, dalam diri kita akan lahir sebuah sikap empatik dan simpatik pada penderitaan mereka. Sehingga kita akan terpanggil untuk membantu meringankan penderitaan mereka tersebut. Nah, dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan serta perintah sedekah-sedekah sunah yang pahalanya dilipatgandakan.

Ibadah Sebagai Syariah Bukan Tujuan

Ibadah puasa bukanlah sebuah tujuan, melainkan merupakan manifestasi pada Tuhan, yang perintah dan aturan-Nya dikenal dengan istilah syariah (jalan). Dari sini dapat dipahami, bahwa fungsi jalan adalah untuk dilalui agar mencapai sebuah tujuan. Sebagai syariah agama, puasa juga memiliki sasaran di luar dirinya. Dalam hal ini, Muhammad Ali as-Sabuni dalam kitabnya “Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an” menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 hikmah yang terkandung dalam puasa.

Pertama, puasa merupakan sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertaqwa kepada Allah, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-larangan-Nya. Dengan bertaqwa, kita akan menghayati Kemahahadiran Tuhan. Betapa kita merasakan kedekatan Tuhan, sehingga di mana pun, kapan pun kita berada, sanggup menahan diri untuk tidak makan dan minum, meskipun lapar dan dahaga. Walaupun sebenarnya kita bisa menipu orang berpura-pura puasa, akan tetapi kita yakin bahwa tuhan tidak bisa dikelabuhi.

Kedua, puasa merupakan sarana pendidikan bagi jiwa dan membiasakannya untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala penderitaan dalam menempuh atau menjalankan perintah-perintah Allah. Puasa menjadikan orang dapat menahan diri atau tidak menuruti segala keinginan hawa nafsunya. Dengan kesanggupan menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat, sesungguhnya kita tengah melakukan investasi kenikmatan yang lebih agung dan sejati di hari depan. Hal itu dapat kita rasakan dalam bentuknya yang amat sederhana yaitu kenikmatan di waktu berbuka puasa.

Ketiga, puasa merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga terdorong untuk membantu dan menyantuni orang-orang yang tidak mampu dan tidak berkecukupan. Dengan demikian, puasa mengajarkan kita untuk menumbuhkan dan mempertajam kepekaan sosial, yaitu berbagi rasa dan beempati terhadap derita orang lain. Perintah mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan secara fungsional dan simbolik mencerminkan adanya sasaran sosial yang hendak diraih dengan melakukan ibadah puasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keperihatinan sosial untuk mempersempit jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Akan tetapi, ketika ibadah puasa sudah dijadikan sebagai kegiatan rutin dan sebagai tujuan akhir, maka pelaksanaannya menjadi berhenti pada dirinya sendiri, yang sama sekali tidak membekas pada yang lain. Padahal, ibadah ritual apa pun, tak terkecuali ibadah puasa, dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai kalau tidak mempunyai dampak positif, secara internal pada dirinya dan secara eksternal kepada orang lain sekaligus.

Oleh sebab itu, perlu sebuah upaya di mana dimensi habl min al-nas dari ibadah puasa bisa langsung dirasakan manfaatnya dalam kehidupan bersama. Tanpa itu, ibadah puasa mempunyai potensi tidak berdampak apa pun kecuali hanya lapar dan dahaga.

Inilah barangkali yang dimaksud oleh Umar Ibn Khattab tatkala mengatakan, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”

Mereka itu adalah orang yang telah menjadikan puasa sebagai sebuah rutinitas, tanpa ruh spirit. Termasuk juga, mereka yangmelakukan ritual puasa pribadi, tetapi melupakan pesan untuk melakukan puasa social. Puasa yang demikian adalah puasa yang tidak singkron dengan janji-janji ideal islam.


Di bulan Ramadan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam al-Qur’an (QS, 3:134) tentang kaum beriman, “Mereka yang tetap berderma baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan mereka yang mampu menekan amarah,lagi pula bersifat pemaaf kepada sesame manusia.

Memelihara Kefitrahan Diri Mewujudkan Bangsa yang Mandiri

Oleh
Sarmidi Kusno

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ.
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ اِلْمُؤْمِنِيْنَ لِطَاعَتِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إلاّ اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وعَلَى أَلِهِ و صَحْبِهِ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لإعْلاَءِ كَلِمََتِهِ.
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِموْنَ.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Di pagi hari yang penuh kebahagiaan ini, marilah kita panjatkan Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah mengantarkan kita pada puncak kemenangan dan kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan yang didasarkan atas argumentasi agama, sebuah kebahagiaan dan kemenangan yang didasarkan pada keimanan.

Selanjutnya, marilah kita terus mempertahankan dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, kefitrhan (kesucian) diri yang telah kita capai di bulan Ramadhan dapat kita pelihara dan kita pertahankan dengan sekuat-kuatnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Satu bulan penuh kita berpuasa, melakukan jihad besar, bertempur melawan hawa nafsu, dengan berpuasa di siang hari, melakukan shalat tarawih di malam harinya, bertadarus al-Qur’an, berzikir, memperbanyak amal dan sedekah, serta mengeluarkan zakat fitrah.

Di bulan Ramadhan kita telah menempa jiwa kita, meng-gembleng jiwa kita dengan puasa dan muatan yang ada di dalamnya, dengan harapan agar pada sebelas bulan yang lain kita terlatih melakukan hal-hal yang baik sebagaimana yang sudah dilakukan di bulan Ramadan. Harus diakui, antara latihan kesucian dan mempertahankan bukanlah pekerjaan ringan.

Pada waktu latihan, kita ditantang bukan untuk melawan kecenderungan negatif orang lain, tetapi melawan diri sendiri, yang biasa disebut dengan melawan hawa nafsu.

Ketika kita berhasil melawan tantangan nafsu diri ini, maka kita akan kembali fitrah dan menang dalam bertanding. Dan puncak kemenangan dari serentetan perjuangan itu, yaitu Idul Fitri.

Sungguh merupakan kemenangan yang membanggakan dan sangat menggembirakan, terutama bagi mereka yang secara aktif mengikuti proses tahapan demi tahapan dari perjuangan tersebut. Dan bagi mereka inilah yang sesungguhnya mendapatkan predikat Idul Fitri (kembali kepada fitrah kesucian) bersih, terbebas dari dosa dan noda.

Bahkan dengan bangga Allah memproklamirkan pada penghuni langit dan para malaikat sebagaimana yang tertuang dalam sabda Rasulullah SAW:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الفِطْرِ يُبْعَثُ اللهُ المَلاَئِكَةَ فَيَهْبِطُوْنَ إِلَى الأَرْضِ فِيْ كُلِّ البِلاَدِ فَيَقُلُوْنَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اُخْرُجُوْا إِلَى رَبٍّ كَرِيْمٍ. فَإِذَا بَرَزُوْا إِلَى مُصَلاَّهُمْ يَقُوْلُ اللهُ: اِشْهَدُوْا يَا مَلائِكَتِيْ إِنِّيْ قَدْ جَعَلْتُ ثَوَابَهُمْ عَلَى صِيَامِهِمْ رِضَايَّ وَمَغْفِرَتِيْ.
Artinya:
“Apabila hari raya fitri tiba, Allah mengutus para malaikat turun ke bumi di setiap daerah, mereka berkata, ‘Hai umat Muhammad, keluarlah kamu semua menuju Tuhan yang mulia’. Ketika mereka sudah tampak keluar (dari rumah) menuju tempat shalat idul fitri, Allah berfirman, ‘Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku telah menyempurnakan pahala puasa mereka dengan mendapatkan keridhaan dan ampunan-Ku.”

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.
.
Namun demikian, kita tidak boleh lengah dan harus tetap waspada karena pada saat ini, panglima iblis memekik histeris mengumpulkan prajurit-prajuritnya, memberikan komando agar bekerja ekstra keras, membalas kekalahannya dengan menjerumuskan umat Muhammad SAW. ke dalam kenistaan. Menggoda mereka agar mau melakukan pesta lebaran dengan budaya-budaya yang tidak islami dan memperturutkan hawa nafsu mereka. Rasulullah SAW bersabda:

Yang artinya:
“Sesungguhnya iblis terlaknat berteriak histeris pada setiap hari raya, lalu golongannya berkumpul di sisinya seraya bertanya:’Wahai pemimpin kami, siapakah gerangan yang telah membuat engkau murka, biarkanlah kami yang akan menghancurkan’. Iblis menjawab: ‘Bukan siapa-siapa (tidak apa-apa), hanya saja Allah Ta’ala pada hari ini telah memberikan ampunan kepada umat Muhammad. Oleh sebab itu, hedaklah kalian bekerja keras, sibukkan mereka dengan kenikmatan-kenikmatan dan kesenangan syahwat, dengan hal-hal yang dilarang, minum khamar, sehingga Allah menjadi murka (kembali) kepada mereka.”

Oleh karena itu, marilah kita berdoa semoga kita termasuk: Minal ‘aidzin wal faizin, yakni orang-orang yang kembali (fitri) dan menang. Bentuk kefitrahan kita ini kemudian mari kita tunjukkan dengan semangat baru dan jiwa yang baru, sehingga kita seperti anak yang baru lahir.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.
.
Kefitrahan (kesucian) diri merupakan gabungan dari tiga unsur; yaitu benar, baik dan indah. Seseorang yang kembali fitri (suci) akan selalu berbuat yang indah, benar dan baik. Dengan kefitrahan diri, kita tidak akan mudah melakukan hal-hal yang buruk yang dilarang agama, bahkan kita akan memandang segala sesuatu dari sisi yang baik, benar dan indah.

Oleh sebab itu, dengan berakhirnya bulan Ramadhan, semestinya kita akan semakin produktif dalam beramal saleh dan kreatif dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mesin kita sudah direparasi dan di-upgrade ulang di bulan Ramadhan.

Namun ternyata tidak mudah memelihara kefitrahan diri. Berapa banyak umat Islam di negeri ini yang terlihat sangat taat beribadah pada bulan Ramadhan, akan tetapi setelah selesai Ramadhan ketaatannya hilang ditelan bumi. Tidak jarang dari mereka yang kembali lagi menodai kefitrahan dirinya dengan melakukan perbuatan maksiat.

Artinya, mereka tidak mampu memelihara kefitrahan diri tersebut. Sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia kesulitan untuk bangkit dari krisis multidimensi. Bangsa kita masih dalam status sebagai bangsa yang terkorup di Asia dan bahkan dunia.

Karena, berbagai skandal besar yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme masih menggurita. Kondisi sosial-masyarakat yang carut marut dengan berbagai penyakit sosial seperti kekerasan, perampokan, minuman keras dan perjudian malah seakan-akan menjadi sebuah hal-hal yang wajar.

Kondisi bangsa yang kotor ini, saya yakin, lebih disebabkan karena sebagian besar rakyatnya jauh dari fitrah kemanusiaannya sendiri.

Dalam menghadapi krisis berkepanjangan ini, banyak orang yang berupaya untuk mencari akar masalahnya dengan fikiran mereka sendiri.

Sebagian orang yang berpikir “kebarat-baratan” menganggap bahwa akar masalah dari krisis ini adalah karena kita tidak berorientasi ke Barat. Sedangkan sebagian orang yang berpikir “ketimur-timuran” menganggap bahwa akar masalah krisis multidimensi Indonesia disebabkan bangsa ini tidak mau berorientasi ke Timur.

Apakah yang salah dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Apakah benar orientasi ke Barat atau ke Timur menjadi biang keladi kemunduran besar bangsa ini? Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah SWT telah memberikan peringatan yang paling hakiki dalam masalah ini dengan firman-Nya:

Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajah kamu ke timur dan ke barat itu suatu kebajikan. Tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, serta (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, serta orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).

Jelas bahwa akar krisis bangsa ini bukan terletak pada formalitas apakah kita menghadapkan wajah bangsa ini ke arah barat atau timur, ke utara atau selatan, ke atas atau bawah. Akar dari krisis ini juga bukan terletak pada berkuasanya partai barat atau partai timur, partai utara atau partai selatan, partai atas atau partai bawah.

Tetapi akar krisis itu terletak pada ketidak-fahaman kita tentang makna kebajikan itu sendiri yang sesungguhnya harus hadir dalam diri kita. Kebajikan itu sesungguhnya hanya datang dari ajaran, syari’at dan petunjuk Allah SWT , bukan yang lain.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Sesungguhnya Allah telah memberi kita kemampuan untuk menjadi bangsa yang mandiri – tidak tergantung kepada orientasi nilai-nilai barat atau nilai-nilai timur – asalkan saja syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Baqarah ayat 177 di atas dapat kita penuhi dengan baik. Syarat-syarat itu adalah syarat-syarat fundamental bagi manusia untuk membangun kebajikan kehidupan mereka yaitu:

Pertama, adanya keimanan pada diri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ini. Inilah syarat pertama dan utama terbangunnya kebajikan yang akan menjadi sumber kekuatan negeri ini.

Benar bahwa sila pertama dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi kenyataannya kita selalu mengelak dari prinsip yang sangat mendasar ini dengan menyatakan bahwa negara kita bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Kita juga tidak mau disebut sebagai negara yang bukan-bukan.

Dengan tidak mengakui prinsip kewajiban menjalankan ajaran agama bagi para pemeluknya, bagi seluruh warga negara, maka berarti kita telah mengingkari hakikat utama dari prinsip pertama dasar negara kita sendiri. Tetapi kita malu untuk mengakui bahwa negara kita sesungguhnya adalah negara sekuler yang menempatkan Tuhan hanya sebagai pajangan belaka.

Akibat dari iklim kehidupan seperti ini banyak diantara kaum muslimin yang mengaku mempertuhankan Allah, akan tetapi menempatkannya lebih rendah dari seorang direktur perusahaan. Mereka tidak memiliki rasa takut ketika melanggar perintah Allah atau mengerjakan larangan-Nya.

Mereka merasa tidak diawasi kehidupannya oleh para malaikat yang mencatat segala perilaku mereka. Mereka tidak peduli dengan kehidupan lain setelah kehidupan mereka di dunia ini dimana segala perbuatan akan diganjar dengan pahala dan siksa.

Mereka memiliki peraturan hidup dalam kitab suci tetapi tidak pernah disentuhnya, apalagi dipahami dan diamalkan isinya. Mereka mendengar utusan-utusan Allah datang ke dunia tetapi tak peduli dengan misi dan sepak terjang utusan yang datang itu, apalagi menjadikannya sebagai suri teladan bagi dirinya.

Harus kita akui bahwa dalam kehidupan bangsa ini Tuhan lebih banyak menempati wilayah slogan yang hanya disebut dalam upacara-upacara dan perayaan-perayaan. Tuhan tidak hadir dalam kenyataan perilaku kehidupan kita sehari-hari.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Syarat kedua untuk memperoleh kebajikan yang hakiki adalah dengan menggiatkan semangat berkorban kepada pihak-pihak yang membutuhkan seperti kerabat dekat, orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang yang meminta-minta, orang-orang yang terlantar dalam perjalanan (musafir) dan membebaskan hamba sahaya dari perbudakan.

Allah SWT menekankan tentang perlunya semangat yang tinggi dalam berkorban dengan pernyataan bahwa sesuatu yang dikorbankan adalah sesuatu yang sangat dicintainya.

Ini berarti pengorbanan yang diharapkan adalah pengorbanan yang prima karena melepaskan sesuatu yang disenangi dan dicintai bukanlah sebuah perkara yang mudah. Jika hidup berdasarkan dengan jiwa pengorbanan maka hak-hak sosial warga masyarakat akan senantiasa terjaga dan terlindungi.

Tetapi apa yang terjadi pada diri sebagian bangsa kita adalah sebaliknya, bukannya jiwa pengorbanan yang dimiliki tetapi justru jiwa penyabotan dan penyerobotan yakni senang merampas harta dan milik orang lain.

Seolah-olah negeri ini tak putus-putusnya dari rongrongan korupsi yang menghabiskan seluruh potensi bangsa. Kebijakan penguasa lama yang korup telah menyebabkan sendi-sendi perekonomian negeri ini tidak memiliki daya tahan menghadapi badai krisis ekonomi.

Tetapi anehnya, penguasa baru yang seharusnya datang sebagai penyelamat justru ikut menyabot kekayaan rakyat dalam berbagai kasus yang lebih mengerikan. Kita tentu masih ingat pada penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Bali, penjualan harta negara dengan sangat murah demi mengejar keuntungan komisi, pengeluaran harta negara untuk membeli barang-barang tak perlu dengan transaksi yang tidak transparan dan lain sebagainya.

Jiwa berkorban dapat dikatakan hampir mati pada bangsa kita tetapi yang merajalela adalah jiwa perompak dan penyabotan atas hak-hak orang lain.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Syarat ketiga untuk memperoleh kebajikan hakiki adalah dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

Keimanan manusia dapat dipelihara dengan cara terus menerus mengadakan hubungan dengan Sang Pencipta, diantaranya melalui pelaksanaan shalat. Sesungguhnya bacaan dalam shalat adalah nasihat spiritual agung yang senantiasa dibacakan manusia kepada dirinya sendiri.

Nasehat yang diingat oleh diri sendiri seharusnya menjadi nasehat yang sangat efektif. Oleh karenanya bagaimana mungkin seorang ahli shalat akan melakukan tindakan keji dan munkar jika dalam sehari semalam tujuh belas kali ia berdoa : ihdinas shirotol mustaqim (tunjukkan kami jalan yang lurus).

Zakat adalah sarana awal penumbuhan jiwa pengorbanan bagi seorang muslim karena dengan kewajiban itu seseorang harus mengakui bahwa dalam hartanya terdapat hak sosial yang tak terhindarkan.

Oleh karena itu pemerintah dapat memaksa seseorang yang tidak mau mengeluarkan zakat atas hartanya yang telah memenuhi standar minimal (nishab). Tidak mungkin bagi seseorang yang mengabaikan kewajiban zakat tumbuh jiwa pengorbanannya, apalagi atas harta yang sangat dicintainya.

Sayangnya, kewajiban-kewajiban minimal dan asasi seorang hamba seperti shalat dan zakat pun masih banyak diabaikan oleh kaum muslimin. Jika kewajiban-kewajiban seperti ini ditunaikan dengan benar niscaya tidak akan terjadi kerusakan yang begitu parah pada negeri ini.

Masalahnya, seringkali kewajiban ini – kalaupun dilakukan - hanya menjadi ritual dan formalitas belaka tanpa penghayatan yang sungguh-sungguh sehingga kontradiksi-kontradiksi sering terjadi.

Bagaimana mungkin seorang yang melaksnakan shalat terlibat dalam korupsi dan penipuan keji yang mengatasnamakan rakyat? Tetapi kenyataannya hal itu terjadi. Bagaimana mungkin seorang yang dikenal sering memperlihatkan sedekahnya, terutama pada hari-hari raya Islam, pada saat yang sama juga menjadi seorang perampok kelas satu yang menguras harta negara? Tetapi kenyataannya hal itu juga terjadi.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Syarat keempat untuk memperoleh kebajikan hakiki adalah dengan menunaikan janji apabila ia berjanji.

Sesungguhnya janji itu sendiri mempunyai nilai positif bagi orang yang mengeluarkannya karena akan menguatkan azam untuk berbuat sesuatu. Ucapan syahadat sendiri sesungguhnya merupakan janji seorang muslim kepada Rabb-nya dan hal ini terus menerus diulangi dalam shalat mereka. Tak hanya syahadat, masih banyak lagi dalam momen-momen kehidupan manusia janji-janji diucapkan dan diikrarkan.

Seorang presiden, seorang menteri, seorang anggota dewan, seorang gubernur, bupati, camat dan lurah ketika dilantik mengucapkan janji. Seorang pemimpin partai, organisasi masyarakat, organisasi profesi ketika dilantik mengucapkan janji. Bahkan sepasang pengantin pun ketika melaksanakan akad nikah juga mengucapkan janji. Kehidupan manusia dipenuhi oleh janji-janjinya sendiri.

Oleh karena itu sudah dapat dibayangkan bagaimana nasib suatu bangsa apabila baik para penguasanya maupun rakyatnya ternyata adalah orang-orang yang senang mengingakari janjinya.

Justru inilah yang kita hadapi dalam banyak kenyataan kehidupan kita. Janji lebih banyak dikeluarkan hanya sebagai pemanis bibir dan penghibur belaka bagi orang yang mendengarnya.

Maka tidaklah heran jika ada presiden atau pejabat yang anak-anak dan keluarganya mendirikan perusahaan-perusahaan pencaplok proyek-proyek yang berada di sekitar kekuasaan.

Padahal ketika dilantik presiden atau pejabat itu berjanji tidak akan melakukan KKN dan tidak akan membiarkan keluarganya memanfaatkan kekuasaannya untuk berbisnis.

Tidak heran jika ada seorang menteri yang membiarkan korupsi dan kejahatan merajalela di lingkungan kerjanya padahal ketika di lantik ia berjanji akan memberantas tikus-tikus di instansinya sampai ke akar-akarnya.

Tidak heran pula jika ada pemimpin partai yang berjanji akan memperjuangkan Syari’at Islam tetapi tenang-tenang saja membiarkan pelanggaran syari’at Islam terjadi di sekitar diri, keluarga, kepengurusan partai dan ruang lingkup kerjanya.



Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Syarat kelima adalah bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Kesabaran apakah yang diperlukan dalam sebuah situasi yang serba sulit?

Kesabaran itu tidak lain adalah kesabaran untuk bertahan dan pantang menyerah atau bersikap istiqomah. Justru seharusnya dalam situasi krisis seperti ini kreativitas dan keberanian diperlukan dalam upaya memecahkan kebekuan dan kebuntuan persoalan.

Sebaliknya kepanikan dan ketakutan akan membuat seseorang mati langkah dan menyerah sebelum waktunya. Syarat kesabaran juga mengisyaratkan bahwa ujian-ujian akan datang kepada orang-orang yang teguh keimanannya, rela berkorban, taat beribadah dan konsisten terhadap janji-janjinya. Kepada orang-orang seperti inilah biasanya musuh-musuh Allah akan melancarkan serangan dan kebenciannya.

Sebagai individu orang-orang yang istiqomah biasanya akan mendapat tekanan dari orang-orang yang maksiat kepada Allah. Mereka diteror, diganjal, difitnah dan bahkan tak jarang disiksa dan dilenyapkan eksistensinya. Inilah resiko-resiko yang harus ditanggungnya.

Apabila kesabaran ini tidak ada maka tak jarang orang-orang yang pada awalnya baik pada akhirnya terjerumus ke dalam komunitas orang-orang maksiat. Kebaikan dirinya hanya tinggal kenangan lama karena ia kini telah menjadi bagian dari sistem yang korup dan menindas. Ia berada dalam istana yang sesungguhnya penjara bagi dirinya karena keberadaannya tidak lagi bermanfaat bagi dirinya apalagi bagi masyarakatnya.

Sebagai bangsa yang berupaya untuk mempertahan kemandirian ekonomi, sosial dan politiknya biasanya bangsa itu juga akan mengalami tekanan-tekanan dari bangsa-bangsa besar yang menghendaki bangsa ini mengekor kepada kebijakannya. Semakin kuat keinginan untuk melepaskan diri maka semakin kuat pula tekanan diberikan kepadanya.

Inilah yang biasanya membuat para penguasa yang lebih menginginkan perlidungan negara asing daripada pembelaan rakyatnya dan pemimpin bangsa ini rela bertekuk lutut di hadapan para penjajahnya.

Bangsa Indonesia merasakan hal ini dalam percaturan politik internasional sekarang ini. Betapa bangsa ini telah didikte oleh kekuatan-kekuatan asing dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Kita sebagai rakyat telah menentang invasi Amerika dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak tetapi dunia tidak mempedulikannya.

Apa yang kita lihat kini adalah kebohongan yang dilakukan oleh negara-negara tersebut terbongkar dengan sangat nyata oleh bangsa mereka sendiri. Tetapi pemimpin-pemimpin yang tidak sabar di berbagai belahan dunia telah memaksakan isu-isu terorisme menjadi agenda terhadap rakyatnya sendiri seraya melupakan siapa yang sesungguhnya merupakan teroris sejati di jagad ini.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Sesungguhnya jika kita akan membenahi krisis bangsa ini tidak ada jalan lain kecuali kita harus teguh memegang nilai-nilai yang diajarkan dan disyariatkan Allah SWT kepada kita.

Sesungguhnya Islam adalah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi kehidupan kita tetapi kita telah mengabaikan dan bahkan memendamnya dalam-dalam.

Kaum muslimin adalah bagian terbesar dari bangsa ini dan bahkan bagian terbesar dari komunitas kaum muslimin di dunia. Nasib masa depan kita akan sangat tergantung pada penyikapan kita terhadap ajaran agama kita, apakah akan kita jadikan slogan semata atau akan kita hidupkan dalam tingkahlaku pribadi, bermasyarakat dan bernegara kita.

Inilah saatnya kita menentukan sikap dengan tegas. Inilah saatnya kita memilih jalan hidup yang menjanjikan masa depan. Inilah saatnya bagi kita untuk tidak bersifat ragu-ragu dan inilah saatnya untuk tidak membebek terhadap kekuasaan yang tirani dan menjajah.

Ketika kita meninggalkan orientasi barat dan timur, utara dan selatan, atas dan bawah, kemudian kita hanya menghadapkan wajah kita kepada qiblat yang satu, maka hanya ada satu pilihan hidup kita yaitu sabar dalam istiqamah.

Kita tinggalkan orang-orang yang hatinya berat untuk berpihak kepada Allah SWT karena mereka lebih senang dengan pujian dan keterikatan kepada musuh-musuh Allah. Mereka merasa tidak memiliki percaya diri untuk bersikap tegas terhadap kezaliman dan kemungkaran karena mereka telah tergoda untuk menikmati hasil-hasil dari sikap-sikap tersebut.

Kita tidak pedulikan orang-orang yang merasa iri, dengki, hasad dan benci terhadap keberhasilan-keberhasilan orang-orang yang beriman ketika mereka mengamalkan ajaran Allah dengan konsisten. Firman Allah SWT:

Artinya:
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam) ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah amat Pengasih dan Penyayang kepada manusia.” (QS. al-Baqarah: 143)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.

Demikianlah dalam khutbah yang singkat ini, marilah kita mengingat-ingat kembali tuntunan Allah SWT dalam bersikap dan bertindak sebagai seorang muslim, terutama dalam menumbuhkan jiwa kemandirian, tidak bergantung kepada kekuatan Barat maupun Timur.

Tetapi hanya bergantung kepada kekuatan Allah SWT saja dan orang-orang beriman yang mendukungnya. Akhirnya marilah kita berdoa kepada Allah SWT semoga kita diberi keselamatan dan kesabaran dalam mengarungi lautan kehidupan baik sebagai diri, bangsa dan negara.

جَعَلَنَا اللهُ وَإَيَّاكُمْ مِنَ الفَائِزِيْنَ الأَمِنِيْنَ وَأَدْخَلَنَا وَإَيَّاكُمْ فِيْ عِبَادِهِ الصَالِحِيْنَ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَحِيْمِيْنَ.








الخطبة الثانية
اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ, كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ. اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ.
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ الأعْيَادَ بِالأَفْرَاحِ وَالسَّرُوْرِ وَضَاعَفَ لَلْمُتَّقِيْنَ جَزِيْلَ الأُمُوْرِ. فَسُبْحَانَ مَنْ حَرَّمَ صَوْمَهُ وَأَوْجَبَ فِطْرَهُ وَحَذَّرَ فِيْهِ مِنَ الغُرُوْرِ. أَحْمَدُهُ سُبْحَنَهُ وَتَعَالَى فَهُوَ أَحَقُّ مَحْمُوْدٍ وَاَجَلُّ مَشْكُوْرٍ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إلاّ اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسُوْلُُهُ الَّذِيْ أَقَامَ مَنَارَ الإِسْلاَمِ بَعْدَ الدُثُوْرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيْدِنَا مُحَمَّدٍ وعَلَى أَلِهِ و صَحْبِهِ صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مُتَلاَزِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ البَعْثِ والنُّشُوْرِ.
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ. فَاَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ الكَرِيْمِ.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.
Hari ini kita berkumpul dalam majlis yang mulia ini sebagai bukti rasa syukur kita atas nikmat dan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada kita sehingga kita dapat mencapai puncak kemenangan dalam melaksanakan perintah Allah SWT dan menundukkan kehendak hawa nafsu.

Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan Ramadan dan sekaligus menyambut 1 Syawal 1428 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadan dan penyambutan bulan Syawal terpenuhi makna dan arti kedua peristiwa yang terjadi dalam suasana gembira dan bahagia.

Sebagaimana diketahui bahwa bulan Ramadhan bulan untuk mengasah dan menggembleng jiwa dan hati kita, dengan harapan ia benar-benar telah terasah dengan amal-amal kebajikan, sehingga hati kita yang merupakan wadah ketakwaan semakin terbuka lebar dan luas guna lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas takwa yang sudah diperoleh selama beribadah di bulan Ramadan. Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Allah SWT berfirman:
أولئك الذين امتحن الله قلوبهم للتقوى. لهم مغفرة وأجر كريم (الحجرات: 3)
Artinya:
Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Hujurat 49:3)
Jika hal itu telah berhasil, maka kita akan benar-benar merasakan Idul Fitri, yakni kembali kepada kesucian diri.

Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan. Seorang yang melaksanakan Idul Fitri akan melaksanakan perintah agama yang benar. Beragama dengan benar menuntut keikhlasan dalam pengabdian.

Oleh karena itu hikmah Idul Fitri ini kita berupaya memelihara kefitrahan (kesucian) diri dan meningkatkan kualitas beragama kita. Dengan semua itu, saya yakin, kita dapat membantu mewujudkan bangsa yang mandiri, yakni bangsa yang tidak mudah diintervensi oleh kekuatan asing yang menindas.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil hamd.
Hadirin hadirat sedang Idul Fitri Rahimakumullah.
Di hari yang mulia ini marilah kita berselawat kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk dan rahmat kepada kita sekelian, kerana firman Allah di dalam al-Quran :
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلّواُ عَلَيْهِ وَسَلِّمُ تَسْلِيْمًا. اللهمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيْدِنَا مُحَمَّدٍ سَيْد الْمُرْسَلِيْنَ وعَلَى أَلِهِ و أَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْهِمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِيْمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكِ سَميْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَياَ قَاضِىَ الْحَاجَاتِ. اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنِ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ, وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْتَدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنً, وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَ قِيَامَنَا وَ قِرَاءَتَنَا وَ زَكَاتَنَا وَ عِبَادَتَنَا كُلَّهاَ . اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ. اَللَّهُمَّ اكْفِنَا شَرَّ الظّاَلِمِيْنَ وَاكْفِنَا شَرَّ الْحَاسِدِيْنَ وَ اكْفِنَا شَرَّ مَنْ أَرَادَنَا بِالسُّوْءِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلا َتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُفٌ رَحِيْمٌ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ إندونيسِيَا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ طَيِّبَةً آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً رَخِيَّةً . رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ . رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ، إِنَّكَ أَنْتَ اْلوَهَّابُ . رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ .
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ بِالْقُرْآنِ الْعَظِيمِ ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ ، فَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَالسَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، يَقُولُ الرَّسُولُ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيه "اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَه ، اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ حَبِيْبُ الرَّحْمَن " تُوبُوا اِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ .
اَللهُ أَكْبَرْ ، اَللهُ أَكْبَرْ ، اَللهُ أَكْبَرْ ، لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ ، اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَكُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ .
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Mengembangkan Watak Islam Kosmopolitan

Oleh
Sarmidi Kusno

”Dalam membidik pemikiran Gus Dur dapat disimpulkan bahwa ia lebih mementingkan pemahaman ma haula al-nass (around the text), bukannya berhenti dalam ma fi al-nass (in the text). Hal ini tercermin dari religious experiences Gus Dur yang senantiasa memahami teks keagamaan lengkat dengan setting sosial dan politik yang melingkupinya. Pada saat yang sama, Gus Dur juga tampak tidak mau terjebak pada verbalitas dan rigiditas teks. Ia malah terlibat dan berproses secara berkesinambungan dengan teks-teks yang dinamis.”
Demikian tulis Agus Maftuh Abegebriel dalam kata pengantar buku Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007), karya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang baru saja diterbitkan.
Pernyataan tersebut menjadi kata kunci dan bingkai untuk memotret keseluruhan pemikiran Gus Dur tentang masalah Islam dan perubahan dunia, nilai-nilai Indonesia, pengembangan dasar-dasar toleransi di antara sesama warga bangsa, dinamika kebudayaan, serta penegakan hak asasi manusia.
Sebagai seorang cendikiawan, Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang kaya talenta. Ia dikenal banyak kalangan sebagai seorang pemikir, penulis, budayawan, dan politisi Islam di Indonesia. Banyak karya dan sepak terjangnya dalam melakukan pembaharuan pemikiran keislaman di tanah air, sehingga ia juga dikenal sebagai salah seorang intelektual Muslim yang paling berpengaruh di Indonesia dewasa ini.
Buku ini merupakan pemikiran genuin Gus Dur yang mampu menerobos dan menyentuh wilayah-wilayah yang sering kali “tidak terpikirkan” oleh para ulama pada umumnya. Dalam merespon isu-isu yang aktual, Gus Dur mampu menghadirkan dan menorehkan ide-ide segarnya melalui tulisan, baik dalam bentuk opini, isei maupun makalah dengan pendekatan Islam secara kontekstual.
Di sinilah, membedah pemikiran Gus Dur menjadi amat penting karena akan mengantarkan kita untuk menafsirkan Islam secara komprehensif, yakni untuk senantiasa berpegang teguh terhadap nilai-nilai universal agama, nasionalisme dan menjunjung tinggi sikap keterbukaan akan segala kemungkinan menerima perbedaan.
Kita tahu bahwa yang paling rumit dalam internal keberagamaan adalah problem sikap intoleransi, tidak menghargai keragaman pendapat dan perlindungan pada minoritas, dan membatasi hak-hak antar sesama umat yang bersumber dari kesalahan dalam memahami teks-teks agama. Sikap-sikap tersebut merupakan kesalahan fatal karena telah mendestruksi nilai-nilai universal yang terkandung dalam agama. Dalam hal ini, penggunaan kekerasan untuk menyampaikan atau mempertahankan ajaran-ajaran Islam di antaranya disebabkan oleh kesalahan tersebut, di samping beberapa sebab lain seperti kepentingan politik dan ekonomi.

Islam Agama Kosmopilitan
Oleh karena itu, memahami pemikiran dan penafsiran Gus Dur atas teks-teks Islam yang kontekstual merupakan sebuah keniscayaan, terutama dalam konteks keindonesiaan. Tidak seperti pemikir dan ulama lainnya, Gus Dur mampu membuktikan bahwa Islam adalah agama kosmopolitan.
Dalam hal ini, Gus Dur membuktikan kosmopolitanisme Islam dengan menyuguhkan beberapa contoh. Di antaranya adalah terjadinya perubahan sikap hukum Islam (fiqh) terhadap kaum perempuan. Sebelumnya, kita sangat kesulitan menemukan anak-anak perempuan kaum Muslimin yang dapat mengenyam pendidikan, tetapi di banyak negeri sekarang ini, mereka banyak yang menjadi sarjana perguruan tinggi. Konsekuensi sikap ini adalah tanda-tanda adanya kosmopolitanisme dalam masyarakat yang bersangkutan.
Tak heran, jika dalam buku ini Gus Dur menawarkan sebuah diskursus tentang pentingnya membaca gelombang rekonstruksi hukum Islam di Indonesia. Hal ini menurutnya sebagai upaya akomodasi negara terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam kerangka praktisnya, Gus Dur mengambil paradigma subtantif dalam mempositifkan hukum Islam. Artinya, akomodasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, berkisar pada prinsip dan nilai-nilai universal hukum Islam.
Menurut Gus Dur, hukum Islam harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya dengan mampu menjadikan dirinya penunjang perkembangan hukum nasional di alam pembangunan ini. Watak dinamis ini hanya dapat dimiliki, jika hukum Islam meletakkan titik berat perhatiannya kepada soal-soal duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan hidup aktual yang dihadapi di masa kini (hal. 49-50). Dengan demikian, pengembangan hukum Islam pada dasarnya harus selalu diterjemahkan secara kontekstual.
Jelas sekali bahwa ide tersebut dapat dijadikan reinterpretasi hukum Islam di masa kini dan masa yang akan datang. Prinsip-prinsip universalisme Islam yang berpijak pada asas kerukunan, kebersamaan, memperjuangkan keadilan dan menolak berbagai atribut tindakan diskriminatif dan kekerasan menjadi pertimbangan dasar dalam dalam mengambil keputusan hukum. Pijakan inilah yang kelak menjadi prinsip bagi pergumulan mendasar Gus Dur tentang respon Islam terhadap modernitas dan pentingnya dialog peradaban.
Gagasan Gus Dur tersebut sesungguhnya memberikan inspirasi bagi pembaharuan pemikiran keislaman selanjutnya. Apresiasi yang tinggi terhadap pesantren dan kekayaan budayanya serta memberikan ruang bagi kontekstualisasi teks-teks keagamaan bagi kebutuhan zaman kekinian, tak bisa dilepaskan dari watak Gus Dur yang kosmopolit dan selalu berwawasan ke depan.
Oleh karena itu, di dalam tulisannya yang berjudul “Penafsiran Kembali Ajaran Agama di Pedesaan Jawa”, Gus Dur menampik anggapan Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau berpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain, seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditibulkan oleh mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan, serta persekutuan yang ditimbulkan untuk menghadapi atau sebaliknya mendekati kelompok-kelompok kemasyarakatan lain.
Menanggapi hal itu, dengan tegas Gus Dur mengatakan bahwa kegagalan Kemal Attaturk untuk membangun Turki, karena ia tidak mengakui ajaran Islam sebagai penggerak perubahan dan pembangunan di negerinya dan sebaliknya Jepang dapat membangun negerinya dengan pesat dan mengejar kemajuan teknologi Barat, karena negeri tersebut dianggap mampu menggunakan agama Shinto sebagai motor penggerak perubahan dan pembangunan (hal. 73-74).
Secara jernih, Gus Dur mengingatkan kembali bahwa dalam logika agama sesungguhnya memiliki jarak yang jauh dengan ketertinggalan sosial dan sebaliknya agama justru tampil sebagai agen perubahan.
Untuk menjembatani anggapan miring terhadap kontribusi agama terhadap perubahan sosial tersbut Gus Dur mengungkapkan adanya dua faktor yang berpengaruh. Pertama, sebagai akibat penafsiran keagamaan yang tersentralistik pada kalangan elit (religious elite) atau kiai-kiai lokal dan budaya paternalistik Jawa yang kental, telah memberikan kesan adanya perubahan sosial yang lamban. Di sini Gus Dur menyatakan bahwa hal itu harus didekati dengan kacamata sosiologis dan pengertian yang bijak. Bukan malah memposisikan agama sebagai pihak yang terpenjara dan melemahkan fungsi agama dalam ranah sosial. Agama menurutnya tetap memiliki sisi progresifitasnya, terutama setelah ia berhadapan dengan realitas sosial yang berbalik arah dengan misi universal agama, seperti meperjuangkan persamaan hak dan kewajiban menegakkan keadilan.
Kedua, kontekstualisasi Islam atau istilah yang sering disebut Gus Dur pribumisasi Islam pada hakekatnya bekerja secara dialogis dengan kebudayaan lokal yang telah ada. Ini berbeda dengan komentar para ahli sosiologi agama yang mengatakan bahwa hakekat transformasi sosial yang dipengaruhi agama itu telah mengakibatkan konflik budaya antara yang lama dan datangnya budaya yang baru karena unsur agama baru. Gus Dur dalam hal ini memperkuat tesisnya dengan mengemukakan tentang sejarah kebangunan NU pada 1926. Organisasi yang didirikan oleh kalangan ulama tradisional ini sebagai respon terhadap program-program pembaharuan Islam yang dilakukan kalangan modernis (hal. 75-78). NU memandang bahwa transformasi Islam di tanah Jawa harus dilakukan dengan pendekatan budaya, seperti apa yang telah dilakukan oleh Walisanga.
Kedua hal itulah yang kemudian sejalan dengan pemikiran Gus Dur dalam makalah buku ini yang berjudul ”Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”. Dalam tulisan ini Gus Dur menggarisbawahi tentang ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik perorangan maupun sebagai kelompok, yaitu; jaminan dasar akan: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs); (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din); (3) keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); (4) keselamatan harta benda milik pribadi dari ganguan atau penggusuran di luat prosedur hukum (hifdzu al-mal); (5) keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). Kelima jaminan dasar inilah yang kemudian secara konseptual dijadikan Gus Dur sebagai acuan yang bersifat paradigmatik menjadi prinsip-prinsip universal Islam dan kerangka subtantif Islam (hal. 4).
Menurut Gus Dur, jika kelima unsur itu tampil sebagai pandangan hidup dan bulat, maka tidak mustahil negara bisa dikelola oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan.
Di samping itu, secara fungsional, misi Islam terhadap perbaikan sosial akan secara efektif bisa dikendalikan dan pada akhirnya terciptalah budaya toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan muncul tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum muslim dewasa ini.
Kesemua unsur di atas, dalam pandangan Gus Dur, merupakan kekayaan mendasar dalam rangka membangun kosmopolitanisme peradaban Islam. Konsep kosmopolitanisme Gus Dur ini secara praksis dapat menghilangkan batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme Gus Dur di sini dibaca sebagai pandangan kebudayaan dan keilmuan.
Perspektif budaya misalnya diajukan Gus Dur sebagai perspektif untuk memperkaya proses dialog antar peradaban. Dalam ranah sejarah Islam, menurut Gus Dur, watak kosmopolitanisme dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad SAW dalam mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal pada ketiga Hijriyah dan berbagai keberhasilan peradaban lainnya.
Kosmopolitanisme ini bekerja dengan memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam waktu itu, yaitu mulai dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India. Kosmopolitanisme bahkan menurut Gus Dur menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.
Karena watak kosmopolitan, menurut Gus Dur, tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan legal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili dan menghakimi. Maka konsep kosmopolitanisme Islam ini sebenarnya dapat terwujud sejauh adanya keseimbangan antara dua spektrum yang saling mempengaruhi kesuksesan sebuah peradaban, yaitu antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non muslim). Konsep inilah yang menurut Gus Dur sebagai kosmopolitanisme kreatif (hal. 8-9).
Buku ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dan banyak pihak untuk memahami Islam sebagai pedoman mensikapi keragaman. Karena di dalamnya memuat komitmen dan rambahan Gus Dur yang sangat luas pada literature, tema dan subyek kajian. Di atas itu semua, Gus Dur merindukan kebangkitan Islam dalam merespon perkembangan dunia. Tetapi, kebangkitan Islam yang diharapkan Gus Dur berbeda dengan yang dimaksud kebanyakan orang dan intelektual. Gus Dur menginginkan agar Islam memberi kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun, seperti identitas politik dan etnik.
Alhasil, buku ini dapat dijadikan sebuah pilihan untuk menangkal berbagai tindak kekerasan atas nama agama. Yang harus dikembangkan, menurut Gus Dur, adalah watak Islam kosmopolitan, yakni Islam sebagai agama yang toleran, mengakui keragaman pendapat dan perlindungan pada minoritas, memberikan persamaan ha kantar sesam umat dan menentang penggunaan kekerasan untuk menyampaikan dan mempertahankan ajaran-ajaran Islam.

Judul : Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : The Wahid Institute
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Tebal : (xxxvii + 397) halaman
Peresensi : Sarmidi Husna

Di Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim

Oleh:
Samidi Husna

Kesan pertama saat menjejakkan kaki di kompleks makam Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) adalah ramainya para peziarah. Kompleks makam yang terletak di pusat kota Gresik, tepatnya di Jalan Malik Ibrahim, kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur, 500 meter sebelah selatan alun-alun kota Gresik, cukup mempermudah para peziarah untuk mengunjungi makam tersebut.
Kota Gresik adalah sebuah kabupaten di Jawa timur. Ia berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kotamadya Surabaya di selatan, Selat Madura di timur, dan Kabupaten Lamongan di sebelah barat.
Untuk mencapai ke kompleks makam Maulan Malik Ibrahim, para peziarah dari berbagai penjuru hanya bisa menempuh dengan jalan darat. Walaupun demikian, perjalanan menuju ke sana sangatlah mudah, dari kota Surabaya hanya berjarak 25 kilometer, sehingga perjalanan hanya membutuhkan waktu 30 menit dengan mengendara mobil atau bus. Lokasi seperti ini cukup mempermudah para peziarah menuju tempat peristirahatan terakhir Syekh Maulana Malik Ibrahim, sehingga kompleks makam selalu ramai oleh para peziarah.
Selain karena lokasi yang mudah dijangkau, besarnya minat para peziarah ingin berkunjung ke makam tersebut juga dikarenakan oleh ketertarikan mereka untuk melihat bangunan makam yang memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan makam wali-wali yang lain. Kekhasan bangunan makam tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi peziarah dan wisatawan.
Kekhasan itu dapat dilihat dari bahan batu nisan dan gaya tulisan Arab yang ada di makam. Batu nisan yang cenderung bergaya nisan Gujarat yang terbuat dari batu marmer berbentuk kapal khas Gujarat tersebut, cukup memikat para wisatawan untuk mengunjunginya.
Selain makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, kompleks makam Syekh Maulana Malik Ibrahim juga dikelilingi oleh pemakaman keluarga dan pemakaman umum. Di sebalah barat kompleks makam terdapat makam bupati Gresik yang pertama, Raden Pusponegoro, beserta makam keluarganya.
Hingga saat ini, keadaan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim terawat dengan baik. Sarana penunjang, seperti tempat parkir kendaraan bagi peziarah telah dibangun dan dilengkapi dengan fasilitas lainnya.
Biasanya, para peziarah datang bersama rombongannya, seperti rombongan warga dari kampung tertentu, anggota jama’ah pengajian, komunitas tertentu dan lain sebagainya. Mereka membayar iuran, yang mana hasilnya dikumpulkan untuk menyewa bus. Mereka biasanya tidak hanya berziarah di makam Maulana Malik Ibrahim saja, tetapi juga para Walisongo yang lainnya.
Di makam Maulana Malik Ibrahim, setiap harinya rata-rata kedatangan 25 rombongan bus peziarah. Apa lagi pada hari-hari tertentu, seperti ketika memasuki bulan Maulud (Rabiul Awal), peziarah di kompleks makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim meningkat hingga 100 persen. Menurut catatan Yayasan Makam Malik Ibrahim, kalau pada bulan-bulan biasa jumlah rombongan hanya mencapai sekitar 25 bus per hari, sementara di saat bulan Maulid yang berketepatan dengan peringatan Haul Syekh Maulana Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 Rabi’ul Awal, rombongan peziarah mencapai 60 bus per hari.
Para peziarah tidak hanya berasal dari Jawa Timur atau Pulau Jawa saja, akan tetapi juga dari Kalimatan, Sulawesi, Lombok, Maluku, dan bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, dan lain-lainnya.
Mereka yang datang biasanya melakukan dzikir dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran dan setelah itu membaca do’a, memohon kepada Allah SWT. dengan wasilah (perantara) kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim. Mereka meyakini bahwa dengan berdzikir di makam tersebut, mereka mengharapkan akan mendapatkan berkah dan syafaat dari Maulana Malik Ibrahim.
Dengan melakukan dzikir di makam, biasanya para peziarah akan memperoleh ketenangan batin. Selain itu, mereka juga akan selalu ingat bahwa suatu saat nanti dirinya akan mati dan dikubur seperti yang ada di makam itu. Ada juga peziarah yang berdo’a agar mereka meminta kemudahan hidup di dunia, seperti masalah rumah tangga, atau berdo’a supaya diberi petunjuk untuk kemajuan usahanya.
Namun pada dasarnya, ziarah mereka dalam rangka memberikan rasa hormat kepada Syekh Maulana Malik Ibahim, baik karena kasalehan dan kedekatan tokoh ini kepada Allah SWT maupun karena jasanya terhadap eksistensi Islam di Nusantara ini.
Meskipun beliau bukan orang Jawa asli, namun jasanya kepada masyarakat pribumi tidak diragukan lagi. Berkat jerih payah beliulah Islam berhasil diterima oleh masyrakat Jawa yang sebelumnya menganut ajaran agama Hindu dan Budha.
Alhasil, ziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim menjadi sangat berarti jika para ziarah tidak hanya datang ke makam tokoh yang mempunyai dedikasi yang tinggi, tetapi juga memahami maksud dan tujuan ziarah ke makam tersebut, mengenang perjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.< >



Mengenal Maulana Malik Ibrahim

Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu dari walisongo yang terkenal di Jawa. Beliau dikenal dengan sebutan Syekh Maghribi. Sebagian literature menyebutkan bahwa beliau berasal dari Gujarat, India. Literature lain menjelaskan bahwa beliau berasal dari Turki, pada waktu itu Turki dipimpin oleh Sultan Muhammad I. Namun, Maulana Malik Ibrahim juga dikenal dengan sebutan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Kebanyakan orrang Jawa, pada saat itu, menyebutnya Asmarakandi, karena mengukuti pengucapan lidah orang Jawa yang belum terbiasa, untuk tidak mengatakan sulit, terhadap kata As-Samarqandy.
Mengenai tanggal lahirnya Malik Ibrahim, sampai saat ini, belum ditemukan literature yang dapat memastikannya. Para sejarawan menduga bahwa beliau berasal dan lahir di Samarkand, Asia Tengah. Dugaan ini diambil karena beliau mendapat julukan As-Samarqandy yang, dalam tradisi Islam, berarti berkebangsaan Samarkand. Dan diperkirakan beliau lahir pada paruh awal abad ke 14 M.
Maulana Malik Ibrahim adalah putera dari seorang ulama yang bernama Maulana Jumadil Kubro atau Syekh Jumadil Qubro. Beliau (Jumadil Kubro) diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husaen, cucu Nabi Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim mempunyai saudara kandung yang bernama Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, yaitu ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Syekh Jumadil Kubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, bersama-sama bermaksud datang ke Pulau Jawa. Namun di tengah perjalanan mereka berpisah. Syekh Jumadil Kubro tetap ke Pulau Jawa, sedangkan Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, sementara adiknya Maulana Ishak menyebarkan Islam di Samudra Pasai, Sumatera.
Maulana Malik Ibrahim bermukim di Champa selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Selama di Champa, beliau telah berhasil menyebarkan agama Islam di sana. Keberhasilannya tesebut telah menarik simpati Raja Champa sehingga beliau diambil menantu. Pernikahannya dengan Putri Champa tersebut dikarunia dua putera. Mereka adalah Raden Rahmad (sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadla alias Raden Santri.
Setelah merasa cukup menjalankan misi dakwahnya di negeri Champa, Maulana Malik Ibrahim kemudian hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya di Champa. Konon cerita, kedatangannya ke Pulau Jawa disertai beberapa orang. Dan rombongan Maulana Malik Ibrahim tersebut melabuh di Sembalo, daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah desa Leran kecamatan Manyar, sembilan kilometer sebelah uara kota Gresik.
Setibanya di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim mengawali aktivitasnya dengan berdagang. Beliau membuka warung yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang relative murah. Selain itu, Maulana Malik Ibrahim juga bersedia untuk mengobati masyarakat yang sakit secara gratis. Pada saat itu, rakyat Majapahit mayoritas beragama Hindu dan Budha. Walaupun konon ceritanya, sudah ada sebagian rakyat Gresik yang sudah memeluk agama Islam. Hal itu menjadi lahan dakwah yang pas bagi Maulana Malik Ibrahim.

Metode Dakwah Maulana Malik Ibrahim
Dalam berdakwah, Syekh Maulana Malik Ibrahim faham betul mengenai perlunya keseimbangan antara dakwah bil lisan (verbal/dengan kata) dan dakwah bil hal ( dengan perbuatan nyata). Beliau menyadari bahwa untuk mengajak orang masuk Islam tidak cukup dengan menyampaikan dalil agama, tetapi harus dibarengi dengan aksi kongkrit untuk membenahi dan meningkatkan taraf hidup umatnya, yang saat itu ditimpa kesulitan ekonomi, agar mereka mudah untuk diajak beribadah dengan baik dan tenang. Bagaimana mungkin dapat beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan sesuap nasi.
Dakwah bil lisan beliau tempuh dengan menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan al-Quran yaitu:
“Hendaklah engkau ajak orang ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nahl:125).
Diriwayatkan bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah mengembara di Gujarat, maka tidak heran kalau beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wiliyah Negeri India yang mayoritas pendudukanya beragama Hindu.
Dalam berdakwah di Jawa, Maulana Malik Ibrahim bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tidak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang dengan kegiatan syirik.
Caranya, beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Keindahan akhlak islami yang beliu tunjukkan di antaranya adalah kesetaraan manusia di hadapan Tuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam agama Hindu satatus sosial masyarakat dibagi menjadi empat kasta: kasta Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut, kasta Sudra adalah kasta yang paling rendah dan sering menjadi objek penindasan oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka, ketika Maulana Malik Ibrahim menjelaskan kedudukan manusia dalam Islam, para kaum Sudra banyak yang tertarik, karena Islam mengajarkan bahwa manusia itu sama (sederajat) dan tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah SWT. semua manusia sama dan yang paling mulia di antara mereka adalah mereka yang paling takwa kepada-Nya (QS. Al-Hujurat: 13). Orang yang bertakwa sekalipun dari kasta Sudra, bisa jadi lebih mulia dibandingkan mereka yang berkasta Kesatria.
Mendengar keterangan tersebut, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh, sehingga wajar kalau mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan suka cita tanpa adanya paksaan.
Sementara dakwah bil hal beliau lakukan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan mengembangkan bidang pertaniaan dan membuka layanan pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik, pertaniaan rakyat Gresik meningkat tajam. Gagasan beliau mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk telah mempermudah petani dalam bercocok tanam. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertaniaan menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Sementara, dakwah bil hal juga dilakukan dengan cara mengobati orang-orang yang sakit. Banyak orang yang disembuhkan dengan ramuan hasil racikan beliau. Cara dakwah seperti itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat kecil (wong cilik).
Besarnya kepedulian Maulana Malik Ibrahim kepada masalah-masalah sosial membuat beliau dijuluki si keke bantal. Julukan tersebut disematkan, karena beliau suka menolong fakir miskin; beliau adalah tokoh yang dihormati para pangeran dan para sultan; dan beliau juga ahli dalam tata negara.
Selain itu, sifat beliau yang lemah lembut, welas asih, dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka dengan sukarela masuk Islam dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama (sholat jama’ah) dan mengaji. Selain masjid, beliau juga mendirikan pondok pesantren untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara. Di pondok pesantren inilah, para para santri, calon mubaligh, dididik dan digembleng ilmu agama Islam.
Selama berdakwah, Maulana Malik Ibrahim tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik.
Selesai membangun dan menata pondokan pesantren, tempat belajar agama di Leran, tepatnya pada tahun 1419 M. Maulana Malik Ibrahim wafat. Jasad beliau dimakamkan di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Yang Heroik dari Jejak Kartini

Oleh:
Sarmidi Kusno

Sangat wajar, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang berisi kumpulan surat-surat Kartini membuat orang berdecak kagum. Namun, tak kalah penting dari karya tulisnya yang dipublikasikan pada tahun 1911 tesebut adalah warisannya yang heroik, yaitu semangatnya yang pantang menyerah dalam usaha memperjuangkan ‘nasib’ perempuan dari ‘belenggu’ budaya yang diskriminatif.
Semangat seperti itulah yang kini perlu dimunculkan kembali ketika semua aspek kehidupan bangsa ini sedang terpuruk sedalam-dalamnya.
Surat-surat Kartini yag tersusun secara berurutan sejak 25 Mei 1899 sampai 7 September 1904 dalam Door Duisternis tot Licht, secara keseluruhan memuat gagasan dan cita-cita Kartini yang setidaknya, menurut penulis, dapat disebut sebagai berikut; (1) gagasan-gagasan dan semangat Kartini yang hidup sepanjang masa dan masih relevan sampai saat ini, (2) perjuangan Kartini untuk membebaskan perempuan dari ‘belenggu’ baik secara individu maupun secara sosial, agar perempuan yang berada di dalam ‘sangkar’ dapat menikmati kebebasan dalam arti fisik dan psikis, (3) Kartini melalui tulisannya mengajarkan dan membuka pintu perjuangannya dalam mengajar para gadis-gadis yang semasa itu tidak mendapat kesempatan belajar, (4) kebesaran Kartini ialah bahwa ia bukan hanya penulis belaka, melainkan seorang pejuang dan pendekar bagi kaum wanita Indonesia.

Meneladani
Melihat semangat Kartini di atas, penulis menangkap bahwa figur Kartini sudah seyogyanya diteladani. Lebih dari satu abad Kartini istirahat panjang dari keletihan perjuangan, yang bahkan tak akan bangkit lagi dari pekuburan sepinya, ada bintik bening air matanya yang masih tertinggal yang perlu kita contoh. Gagasan-gagasan besar dan perjuangan suci Kartini yang harus kita bangkitkan kembali demi kemajuan bangsa.
Hal itu terbukti dari komentar Dr. Huroestiati, penulis Kartini Wanita Indonesia, terhadap karya Kartini bahwa “Bahasanya itu sangat menarik hati, dan punya kekuatan untuk mengajak si pembaca ke arah alam pikirannya dan cita-citanya. Tidaklah mengherankan bahwa cita-cita yang disajikan dengan kata-kata halus, yang terkadang menggelora, sering kali merayu sayup sebagai nyanyian itu, mudah mendapatkan jawaban dalam si pembacanya, dan tertariklah orang ke sana”. Komentar tersebut selain menunjukkan daya pikat karya Kartini, tetapi secara tidak langsung juga mengajak untuk meneladani jejak-jejak Kartini.
Dan tak kalah pentingnya, keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati sebagai hari besar yang kemudian dikenal dengan Hari Kartini.
Keputusan Presiden tersebut membuktikan bahwa begitu besarnya sumbangsih Kartini terhadap bangsa ini dan besarnya harapan untuk mengingat dan sekaligus meneladani perjuangan Kartini.
Meneladani Kartini bisa dalam hal berkarya dan dalam cara hidup serta bersikap. Door Duisternis tot Licht tentu bisa menjadi cermin bagi kalangan muda dan mudi Indonesia untuk menciptakan karya tulis yang lebih monumental, sedangkan cara hidup dan bersikap Kartini bisa diambil sebagai inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup maju, berfikir progresif, ramah, dan penuh keprihatinan atas persoalan yang dihadapi rakyatnya.

Membuka Cakrawala
Door Duisternis tot Licht yang berisi 105 pucuk surat Kartini mungkin membuat anak-anak muda terkesima. Namun, prestasi cemerlang Kartini sebagai pejuang wanita adalah sosok yang mampu “membuka cakrawala” kemajuan bagi kaum hawa.
Sebagai pembuka, sudah barang tentu ia berdiri di ambang pintu, masih terdapat banyak hal yang belum bisa ia lakukan untuk mewujudkan cita-citanya untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Namun, setidaknya, ia sudah membuka jalan bagaimana cara untuk merubah nasib perempuan yang, saat itu, termarjinalkan.
Ada bekal yang harus dimiliki oleh seorang pembuka seperti Kartini, yaitu bekal kunci sebagai alat untuk membuka, cara menggunakan kunci agar dapat membuka dengan baik, dan tentunya memahami apa yang ada dibalik pintu serta langkah apa yang harus dilakukan.
Dalam proses membuka cakrawala tersebut, Kartini –setelah menelaah pustaka yang banyak dibaca pada masa dipingit– memahami kegetiran demi kegetiran sosial yang menimpa dirinya sendiri dan gadis-gadis kecil yang lemah dan harus tunduk pada tradisi yang tidak tertulis tetapi bersifat mengikat dan harus dilaksanakan; tradisi gadis harus dipingit dan setelah itu dia wajib menerima dan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.
Melihat tradisi tersebut, muncul suara Kartini yang menggaungkan rasa jijiknya terhadap adat feodalisme yang tidak bersahabat sama sekali terhadap kehidupan kaum perempuan. Sikap kritis dan jiwa yang selalu memberontak terhadap tradisi yang tidak adil selalu nampak dalam diri Kartini.
Sejak kecil Kartini sudah nampak kekritisanya. Ia sering menuntut keadilan dan kebenaran. Suatu ketika terjadilah peristiwa yang sangat menarik. Saat itu Kartini sedang memberi minum adik kecilnya, Roekmini. Namun tak ia sangka botol minumannya tetendang oleh Roekmini sehingga jatuh dan pecah. Melihat hal ini, kedua orang tuanya memarahinya. Karena ia merasa tidak besalah, maka ia langsung protes: Wong bik Mi tak mikna (khan dik Mi tak beri minum). Dalam hal ini memang seharusnya ia potes, karena memang dirinya tidak besalah dan juga tidak harus disalahkan. Oleh sebab itu, ia tidak terima bila ia mesti dimarahi, karena maksudnya baik, yaitu memberi minum adiknya agar tidak menangis dan mau tidur lagi.
Sikap kritis juga dilakukan Kartini ketika ia mendapatkan pengajaran al-Quran dari seorang guru privat yang dipanggil oleh ayahnya. Ia merasa bosan dengan pelajaran tersebut karena pertanyaan-pertanyaan tentang arti ayat al-Quran yang ia lontarkan kepada sang guru tidak terjawab, sehingga ia merasa percuma belajar baca al-Quran kalau tidak tahu artinya. Melihat sikap protes Kartini tersebut, kemudian sang ayah mencarikan ganti guru al-Quran yang betul-betul memahami arti dan makna al-Quran.
Puncak kekritisan Kartini dan sikapnya yang selalu memberontak terhadap ketidakadilan sosial nampak setelah ia keluar dari pingitan. Dalam bukunya ia mengungkapkan dunia perjuangan yang akbar telah menantinya, “Akhirnya waktu saya berumur 16 tahun, maka saya baru mendengar dunia luar itu kembali. Syukur! Syukur! Sebagaimana seoang yang merdeka bolehlah saya tinggalkan terungku saya. Akan tetapi hati saya belum puas, sekali-kali belum lagi. Jauh, tetapi lenih jauh lagi dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan keramaian, bukan bersuka-suka hati yang saya inginkan, tiada pernah yang demikian itu terkandung dalam cita-cita hati saya akan kebebasan. Saya berkehendak bebas, supaya saya boleh, dapat berdiri sendiri, jangan begantung kepada orang lain” (Jepara, 25 Mei 1899).
Perjuangan akbar yang dihadapi Kartini pada saat itu tiada lain adalah membebaskan derita kaum perempuan yang tertindas hak-haknya. Tiada langkah lain bagi Kartini untuk membebaskan kaum perempuan kecuali dengan belajar dan mencerdaskan mereka. Hanya dengan cara inilah, maka nasib perempuan bisa berubah baik dan tidak diremehkan oleh kaum pria. Selain itu, dengan pendidikan cakrawala berfikir kaum perempuan akan terbuka lebar sehingga mereka dapat merebut kehidupan yang bebas. Dan membuka sekolah bagi kaum perempuan merupakan langkah kongkrit Kartini untuk mencerdaskan mereka.
Mengabdi Kepada Kebajikan
Di antara komentar tentang Kartini, yang paling mengesankan penulis adalah komentar Carel Balsem (1923), seorang kapten kapal yang pernah mengenal Kartini saat singgah di Jepara. Ia menulis “…waktu aku mendengar kabar sedih tentang wafatnya, datanglah dalam bayanganku, lebih nyata dari sebelumnya, Jepara dan Kartini, yang terenggut dari tumpah darah dan rakyatnya, yang kulihat untuk penghabisan kali, ia duduk di dalam perahu putih, yang meluncur melalui jalan yang terang, menyerbu kegelapan”.
Tentu yang dimaksud Carel Balsem dari kalimat “Kartini duduk di dalam perahu putih, yang melunncur melalui jalan yang terang, menyerbu kegelapan” bukanlah makna tekstualnya, akan tetapi makna kiasan yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni kepribadian Kartini yang tulus dan penuh dengan keikhlasan, berjuang untuk membela kebenaran dan mengabdi kepada kebajikan, berjuang melawan kezaliman dan ketidakadilan.
Dengan membela kebenaran dan mengabdi kepada kebajikan membuat hidup seseorang tidak akan sia-sia. dan mengabdi kepeda kebajikan merupakan pilihan hidup Kartini. Sebagaimana ia kemukakan kepada Nyonya Abendanon 13 Januari 1901: …karena bagaimana pun hidupku tiadalah akan sia-sia; masih ada hal-hal indah yang bisa diperbuat olehku – aku mau – aku menghendakinya! Barang siapa mengabdi kepada kebajikan, hidupnya tiada sia-sia, dan barang siapa mencari kebajikan, dia menemukan kebahagian sejati: kedamaian jiwa” .
Pengabdian Kartini kepada kebajikan merupakan perjuangan suci yang mengungkapkan apa yang heroik dari jejaknya. Sudah saatnya kita bercermin kepada sosok Kartini dalam berbuat dan bertindak hanya untuk mengabdi kepada kebajikan.