Rabu, 28 Mei 2008

Membayar Zakat dengan Uang

Membayar zakat dengan harganya atau uang merupakan persoalan hukum Islam yang diperselisihkan di antara beberapa mazhab. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Boleh memberikan zakat dalam bentuk uang untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Abu Hanifah (70-150 H.) serta mazhabnya, dan Al-Imam Auza'i. Demikian pula, menurut para Imam yang biasa disebut sebagai ashhabur ra’yi (para Imam yang bersandar pada dalil rasio). Penjelasan mengenai hal ini dijabarkan oleh para Imam mazhab Hanafi seperti As-Sarkhasi (W.490 H.) di dalam Al-Mabsuth, Juz II, h.156-157 dan Juz III, h.107-108, Al-Kasaniy (W. 587 H.) di dalam Badai’sh-Shanai’, Juz II, h.73.
2. Tidak boleh (atau makruh saja menurut pendapat yang masyhur) memberikan zakat berupa uang, tetapi boleh menggantikannya dengan benda lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti memberikan zakat perak dengan emas yang seharga dengan jumlah berat yang tidak sama atau sebaliknya, memberikan zakat sapi dengan kerbau atau sebaliknya, menurut Al-Imam Malik (93-179 H.) serta mazhabnya. Penjelasan masalah ini dinyatakan oleh Imam Malik di dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra, Juz II, h.243, dan para Imam di dalam mazhabnya, seperti Ad-Dasuqi di dalam Hasyiyah Ad-Dasuqi, Juz I. h.502, dan Al-‘Abdariy (W.897 H.) di dalam At-Taj wal-Iklil, Juz II, h.255-258.
3. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang untuk setiap jenis zakat, menurut Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H.) serta sebagian besar mazhabnya. Hal ini dijelaskan oleh beberapa Imam di dalam mazhabnya, seperti Asy-Syairazi (393-476 H.) di dalam Al-Muhazh-zhab, Juz I, h.159, Ibn Syaraf An-Nawawi (631-676 H.) di dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaz-zhab, Juz V, h.384-385.
4. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang kecuali beberapa hal, menurut sebagian mazhab Syafi’i sebagaimana ditegaskan oleh As-Suyuthiy (849-911 H.) di dalam Al-Asybah wan-Nadzair, h.251. Beberapa hal tersebut antara lain; a. zakat perdagangan, b. ketika tidak ditemukan benda yang wajib dizakatkan seperti seekor kambing sebagai zakat atas 5-9 ekor sapi, c. untuk menambal terpenuhinya benda yang diberikan sebagai zakat seperti ketika ada pilihan antara zakat berupa 5 ekor unta bintu labun (umur 2 th.) atau 4 ekor unta hiqqah (umur 3 th.) dan ketika memilih yang dipandang lebih tinggi harganya ternyata tidak ada dan justeru harus memilih yang lebih rendah harganya dengan tambahan uang yang seimbang, d. atas dasar keputusan imam yang didasarkan pada kemaslahatan penerimanya.
5. Tidak boleh memberikan zakat berupa uang kecuali zakat perdagangan, menurut Al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan mazhabnya sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisiy (541-620 H.) di dalam Al-Mughniy, Juz I, h.318.
Metodologi Ijtihad
1. Membolehkan memberi zakat dalam bentuk uang merupakan penerapan teori ta’wil (pengalihan makna) dengan metoda pengalihan makna haqiqi (sebenarnya) kepada makna majazi (kiasan). Dalam hal ini, perintah nash (teks) hadits untuk memberikan benda berupa kambing, kurma dan sebagainya sebagai zakat dipahami sebagai perintah untuk memberikan nilai harga benda-benda itu dan tidak harus dalam bentuk bendanya. Adapun dalil yang mendasari teori ta’wil macam ini adalah maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam). Dalam arti lain, tujuan zakat adalah untuk menolong kebutuhan para fakir dan miskin khususnya, sedangkan uang juga dapat bermanfaat dalam membantu kebutuhan dan kesulitan mereka. Teori ini biasa disebut sebagai ma’na an-nash (pemahaman pada esensi nash atau pemahaman esensial).
2. Membolehkan memberi zakat berupa uang menurutnya dikuatkan dengan adanya isyarat beberapa hadits, seperti mengenai penarikan zakat berupa seekor unta sebagai ganti dua ekor unta yang dinilai didasarkan pada perhitungan harga atau uang, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, kewajiban memberikan zakat berupa seekor kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan sebagainya. Beberapa hadits tersebut, antara lain sebagai berikut :
عَنِ الصُّنَابِحِيِّ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً مُسِنَّةً فَغَضِبَ وَقَالَ مَا هَذِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِبَعِيرَيْنِ مِنْ حَاشِيَةِ الصَّدَقَةِ فَسَكَتَ
Artinya: Dari Shunabihiy berkata, Rasulullah SAW menyaksikan unta zakat musinnah (umur 2 th.), lalu beliau marah dan bertanya : “Apa ini ?” Kemudian penarik zakat itu berkata : “Wahai Rasulullah, saya ambil unta ini sebagai ganti dua unta zakat”, lalu beliau diam. (HR. Ahmad, No.18286, Juz IV, h.349)
عَنْ ثُمَامَة أَنَّهُ قَالَ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا الخ
Artinya: Dari Tsumamah, bahwasanya dia berkata, sesungguhnya Anas ra. merbicara dengannya, bahwasanya Abu Bakr ra. berkirim surat kepada Anas ra. mengenai kewajiban zakat yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya; siapa pun berkewajiban untuk zakat unta jatza’ah (umur 4 th.), tetapi ia tidak memilikinya dan hanya memiliki unta hiqqah (umur 3 th.), maka unta hiqqah itu boleh diterima dengan menambah dua kambing atau 20 dirham. Dst. (HR.Bukhari, No.1385, Juz II, h.527)
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَلَمَّا قُبِضَ عَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ وَعُمَرُ حَتَّى قُبِضَ وَكَانَ فِيهِ فِي خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ شَاةٌ وَفِي عَشْرٍ شَاتَانِ وَفِي خَمْسَ عَشَرَةَ ثَلَاثُ شِيَاهٍ وَفِي عِشْرِينَ أَرْبَعُ شِيَاهٍ، الخ
Artinya: Dari Salim dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah SAW membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan), bahwa setiap lima ekor unta wajib zakat seekor kambing, setiap sepuluh ekor unta wajib dua ekor kambing, setiap lima belas unta wajib tiga ekor kambing, dan setiap dua puluh unta wajib empat kambing. Dst. (HR. Tirmitzi, No.621, Juz 3, h.17)
3. Membolehkan memberi zakat dengan benda lain yang sejenis dalam kategori zakat, seperti memberikan zakat perak berupa emas yang seharga atau sebaliknya, memberikan zakat kambing berupa sapi yang seharga atau sebaliknya. Adapun dalil yang melandasinya adalah hadits mengenai kewajiban memberikan zakat berupa seekor kambing atas 5-9 ekor unta, kewajiban memberi zakat berupa unta jatza’ah (umur 4 th.) digantikan dengan unta hiqqah (umur 3 th.) dengan tambahan dua ekor kambing atau 20 dirham, dan sebagainya sebagaimana dalam hadits di atas.
4. Tidak membolehkan memberi zakat berupa uang merupakan teori kebalikan dari teori ma’na an-nash sebagaimana di atas, yakni teori makna adz-dzahir (tampak pada lafadz). Teori ini biasa disebut sebagai teori ‘ain an-nash (pemahaman pada lahir nash atau pemahaman tekstual). Dalam hal ini, tidak dibolehkan memberikan zakat dalam bentuk uang karena nash atau teks Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan untuk memberikan bendanya dan bukan nilainya, seperti perintah menarik zakat, memberikan satu sha’ (lk 2,4 kg) kurma untuk zakat fithrah, memberikan seekor kambing sebagai zakat atas empat puluh kambing, dan sebagainya. Beberapa nash tersebut, antara lain sebagai berikut :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (membawa) ketenteraman bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah : 103)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah berupa satu sha’ (lk 2,4 kg.) gandum atau kurma atas anak kecil dan orang dewasa, serta merdeka dan budak. (HR. Bukhari, No.1441, Juz II, h. 549)
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَلَمَّا قُبِضَ عَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ وَعُمَرُ حَتَّى قُبِضَ وَكَانَ فِيهِ ...... وَفِي الشَّاءِ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِذَا زَادَتْ فَشَاتَانِ إِلَى مِائَتَيْنِ فَإِذَا زَادَتْ فَثَلَاثُ شِيَاهٍ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةِ شَاةٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِ مِائَةِ شَاةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةِ شَاةٍ شَاةٌ ثُمَّ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعَ مِائَةِ
Artinya : Dari Salim dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah SAW. membuat surat mengenai zakat dan diselipkan di pedangnya tetapi belum sempat dikirimkan kepada para penarik zakat sampai beliau wafat. Ketika beliau telah wafat dilaksanakanlah oleh Abu Bakr sampai ia wafat, dan juga oleh ‘Umar sampai ia wafat. Di dalamnya terdapat (ketentuan), ……… dan setiap 40-120 kambing wajib zakat seekor kambing, jika bertambah sampai 200 ekor maka wajib dua kambing, jika bertambah sampai 300 ekor maka wajib tiga ekor kambing, dan jika bertambah sampai melebihi 300 ekor maka setiap seratus ekor adalah seekor kambing, dan tidak wajib memberi tambah sampai 400 ekor kambing. (HR. Tirmitzi, No. 621, Juz 3, h.17)
5. Membolehkan memberi zakat berupa uang khusus pada harta perdagangan karena penghitungan nishab (jumlah minimal) wajib zakat perdagangan adalah berdasarkan pada standar emas yang tentunya dengan perhitungan harga atau uang.
Kesimpulan
1. Dua teori ijtihad, ma’na an-nash dan ‘ain an-nash sebagaimana dipaparkan di atas merupakan dua hal yang bertolak belakang dengan sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya tetap mengacu pada prinsip-prinsip pemahaman yang sah terhadap nash atau teks. Teori ma’na an-nash (pemahaman esensial) adalah lebih sesuai dengan esensi perintah atau maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam), yakni membantu kebutuhan para penerima zakat, meskipun tidak sesuai dengan teks perintah zakat. Sedangkan teori ‘ain an-nash (pemahaman tekstual) adalah sesuai dengan teks perintah zakat, yakni memberikan zakat berupa bendanya, meskipun kurang sesuai dengan esensi atau tujuan perintah zakat.
2. Khususnnya di Indonesia dan pada zaman sekarang terdapat pertimbangan kuat untuk membolehkan memberikan zakat berupa uang. Pertimbangan tersebut secara jelas dapat dinilai tidak bertentangan dengan nash dan bahkan lebih mengarah pada tercapainya maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam). Pertama, memberikan zakat dengan uang akan lebih bermanfaat karena penggunaannya lebih leluasa sesuai dengan kebutuhan para penerima zakat yang dalam memenuhi berbagai kemaslahatan hidupnya serba membutuhkan uang.
Kedua, memberikan zakat berupa benda sesuai dengan benda yang harus diambil zakatnya, akan dapat berakibat pada berkurangnya manfaat bagi para penerima zakat yang berarti pula kurang sesuai dengan tujuan syariat. Misalnya, pedagang material bangunan bila ia harus memberikan zakat berupa barang dagangannya; seperti pasir, semen, besi, cat dan sebagainya yang semua itu belum tentu dibutuhkan oleh mereka.
Misalnya pula bila seekor kambing harus diambil untuk zakat yang harus dibagikan kepada sejumlah penerima zakat yang cukup banyak, tentu akan sulit pembagiannya serta terpenuhinya unsur pemerataan. Cukup sulit pula bagi ibnus sabil (orang dalam perjalanan jauh untuk tujuan kebaikan) sebagai penerima zakat, bila ia harus menerima beras zakat untuk kebutuhan dalam perjalanannya karena beras bukanlah makanan pokok yang siap saji, dan seandainya diberikan dalam bentuk nasi, akan berisiko karena cepat basi. Dalam hal ini khususnya, persoalannnya akan berbeda bila bahan makanan pokok itu berupa kurma yang siap saji dan tahan lama, tentu tidak ada kesulitan baginya.

Senin, 12 Mei 2008

Peran Muballigh Dalam Menangkal dan Menjawab Islamopobhia

Oleh :
Prof. Dr. Achmad Mubarok,MA

Pendahuluan

Muballigh adalah lapisan dakwah terdepan yang menggunakan media mimbardengan audien (mad'u) yang tidak regular. Oleh karena itu materidakwah yang disampaikan pada umumnya tidak mendalam dan mudah disalahfahami. Muballigh yang laris di masyarakat belum tentu yang terdalamilmu keislamannya, tetapi lebih pada kemammpuannya berkomunikasisecara popler. Apalagi masyarakat yang hadir pada tabligh-tablighbelum tentu mereka yang bermotif mempelajari ilmu agama.Banyakdiantara mereka lebih menempatkan acara tabligh sebagai tempatmenghibur diri dari berbagai kerutinan dan kesumpekan hidup. Olehkarena itu muballigh yang selebritis banyak disukai masyarakat meskibobot ceramah agamanya tidak seberapa. Muballigh bukan tidak penting,tetapi perlu disadasri bahwa peran muballigh lebih pada membangungebyar-gebyar dakwah dibanding menanamkan kesadaran beragama. Olehkarena itu juga meriahnya gebyar-beyar tablig tidak sejalan dengan kualitas ummat.

Tingkatan Dakwah

Dakwah artinya usaha mempengaruhi orang lain (masyarakat) agar merekabersikap dan bertingkah laku seperti yang diinginkan oleh da'i . Tebaltipisnya usaha atau datar dan dalamnya tujuan dakwah nampak dari lapisan da'i. Lapisan da'i yang kita kenal di Indonesia sekarang dapat diklassifikasi sekurang-kurangnya menjadi lima lapisan.
1. Lapisan muballigh. Mereka adalah yang berdakwah kepada publik,tidak berjadwal, madunya ganti-ganti, tidak ada kurikulum dan tidak ada target. Oleh karena itu "kharisma"muballigh sangat bergantung pada diri sang muballigh sendiri. Ada muballigh fa`il dan ada muballligh maf`ul. Muballigh fa`il adalah muballigh yang memiliki program dan mempunyai perhatian khusus, misalnya masyarakat tertentu atau bidang tertentu. Sedangkan muballigh maf`ul adalah muballigh yang tidak memiliki program tetapi menunggu diprogram oleh masyarakat atau menunggu diundang. Jika muballigh fa`il bisa diukur keberhasilannya,muballigh maf`ul ukuran keberhasilannya hanya pada jumlah undangan.
2. Lapisan pendidik. Guru yang sadar sebagai da'i sesunguhnya adalahda`i yang berdakwah dengan audient (mad'u) tetap,dengan tujuan yangterukur. Oleh karena itu jika seorang guru berhasil dalammenjalankantugas dakwahnya, ia benar-benar bisa membentuk mad'u (murid) menjadisosok seperti yang diinginkannya.
3. Lapisan Profesional. Ciri orang profesional adalah bekerja sesuaidengan pendidikannya, memiliki akses pada pengambilan keputusan danmempunyai implikasi standar imbalan upah,misalnya dokter,insinyur,arsitek dsb.. Jika seorang profesional memiliki jiwa dakwah maka ia akan menjadi da'i dengan power dan jejaknya berujud persepsi positif terhadap Islam. Da'i dari lapisan ini dapat juga disebut sebagai dakwah kultural.
4. Lapisan Politik. PKS misalnya secara terbuka menyebut dirinyasebagai partai dakwah.Maknanya PKS akan berdakwah melalui jalur politik. Pekerjaan Partai politik itu biasanya "memanipulasi"kepentingan rakyat sebagai tangga pencapaian kekuasaan. Jika partai bisa berpolitik secara bersih maka itu merupakan dakwah yang sangat efektif. Jika kekuasaan sudah dicapai (jadi Gubernur, Menteri atauPresiden) dan kemudian kosisten dengan konsep-konsep dakwahnya maka itu merupakan dakwah yang powerfull, yang hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat luas, ekonomi dan sosial. Ada yang secara terbuka berdakwah melalui Partai Islam, tapi ada yang berdakwah melalui partai yang tidak menyebut identitas keagamaan.

Dakwah Sebagai Peristiwa Komunikasi

Sebagai peristiwa, dakwah adalah komunikasi,oleh karena itu unsur-unsur dakwah juga sama dengan unsur komunikasi, yaitu da'i, mad'u, materi atau pesan, metode dan media. Materi yang disampaikan oleh muballigh atau da'i bisa informasi, ajakan, ajaran,bisa juga omong kosong. Tingkat komunikasi muballigh dengan masyarakat sangat bergantung kepada tingkat komunikatifnya. Jika seorang muballigh hanya menyampaikan suara, maka dakwahnya hanya didengar oleh telinga, jika muballigh menyampakan dakwahnya berupa pemikiran maka akan direspond dengan fikiran, jika dakwahnya merupakan suara hati, maka akan dicerna oleh hati.

Ciri-Ciri Dakwah Yang Berhasil

Sebagai peristiwa komunikasi, dakwah dipandang berhasil jika memiliki ciri- ciri di bawah ini :
1. Jika pesan dakwahnya dimengerti oleh masyarakat
2. Jika dakwahnya menimbulkan kesenangan atau menghibur masyarakat
3. Jika hubungan antara muballigh dengan masyarakat mad'unya semakin membaik
4. Jika dakwahnya bisa mengubah sikap negatif menjadi positif terhadap nilai-nilai yang didakwahkan
5. Jika dakwahnya berhasil menumbuhkan tindakan pada mad'u

Islamopobhia

Dalam Psikologi Komunikasi dikenal adanya Sistem komunikasi intrapersonal dan sistem komunikasi interpersonal.

• Sistem komunikasi intrapersonal adalah bagaimana proses seseorang menerima stimulus, mempersepsi, memasukkan kedalam memori, berfikir dan merespond. Bagi orang yang belum memeluk Islam, agama Islam adalah persepsi. Kebanyakan Orang Barat mempersepsi Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, tidak menghormati HAM dan melecehkan wanita. Persepsi paling banyak dipengaruhi oleh perhatian. Yang sangat menarikperhatian adalah faktor kebaruan, gerakan, kontras, perulangan . Media masa Barat secara berulang-ulang menyiarkan berita subyektif (dan salah) dari dunia Islam tanpa dunia Islam mampu mengcounternya dengan media yang sama. Akibatnya persepsi negatif tentang Islam terbangun dibenak orang Barat, dan bahkan merasuk ke kalangan muslim yang dangkal ilmumnya.

• Sistem komunikasi interpersonal adalah proses bagaimana orangmembangun citra. Membangun citra baik membutuhkan waktu yang lama melalui perilaku baik yang diulang-ulang. Sedangkan citra buruk langsung terbangun begitu orang melakukan perbuatan buruk.Terlepas dari persepsi negatif orang Barat, harus kita akui terkadang diantara kita (da'i dan muballigh) mencitrakan diri sebagai golongan yang tidak bermartabat. Misalnya nahi mungkar anti maksiat dengan mendatangi tempat maksiat, sambil berteriak takbir dan membawa pentungan, menghancurkan kaca-kaca, plus berpakaian jubah putih. Ketika nahi mungkar ini ditayangkan di media Barat, maka yang terbangun adalah citra buruk Islam di mata orang Barat. Atau ketika seorang muballigh dalam tabligh akbar tentang Ahmadiyah beberapa waktu lalu mengatakan bahwa orang Ahmadiyah adalah halal darahnya. Ketika dalam tayangan kata-kata ini diterjemahkan, maka persepsi yang tertanam di benak orang Barat adalah Islam agama yang tidak toleran dan kejam. Begitu pun kasus Amrozi cs. Jadi kita tidak boleh terlalu emosionil ketika berjumpa dengan fenomena Islomopopbhia atau anti Islam.

Bagaimana menangkal dan Menjawab IslamoPobhia ?

Persepsi hanya akan berubah dengan komunikasi, bukan dengan respond jarak jauh. Menjawab IslamoPobhia yang paling efektif adalah dengan mengedepankan Islam sebagai rahmatan lil`alamin, sebagai kasih sayang bagi alam semesta. Karakteristik rahmat adalah (a) penuh perhatian (b) inginnya memberi (c) memaklumi kekurangan dan (d) memaafkan kesalahan. Masyarakat dakwah harus berdialog dengan Barat, karena mereka yang anti Islam memang tidak tahu dan sudah terbangun persepsi buruk tentang Islam. Ingat Rasulullah ketika dilempari batu oleh orang Taif, Rasul bukannya memaki-maki tapi berkata, Allohummaghfirlahum fainnahumla ya`lamun. Ya Alloh ampunilah mereka, karena mereka melempari batu kepadaku karena mereka tidak tahu bahwa saya benar-benar utusan Mu.

Pasca peristiwa 11 September di Amerika, jumlah muslimin di Amerikanaik 500%. Kenapa ? karena setelah agama Islam disiarkan sebagai agama teror, orang Amerika penasaran kepengin melihat seperti apa ajaran Islam. Mushaf al Qur'an dan buku-buku Islam selalu ludes terjual. Setelah mereka membaca langsung dan berkomunikasi langsung dengan orang-orang Islam, persepsi mereka berubah, malah kemudian simpati dan kemudian dapat hidayah Tuhan. Allohu Akbar.

Penutup

Jadi mahasiswa PKM harus menambah wawasan, banyak membaca banyak mendengar dan banyak bergaul. Insyaalloh ilmu tambah, penghayatan bertambah dan keluwesan bertambah.

Wallohu a`lamu bissawab.

Kuliah Umum disampaikan dalam Acara Wisuda Mahasiswa Pendidikan Kader Muballigh KODI DKI Jaya Angkatan XIV dan Pembukaan Kuliah Angkatan ke XV, Jakarta, 24 April 2008.

Sumber, http://mubarok- institute. blogspot. com

Jumat, 09 Mei 2008

Kewajiban Mengikuti Salah Satu Madzhab

S : Mengapa wajib mengikuti salah satu empat madzhab, padahal empat madzhab itu mengambil dari al-Qur’an dan hadis?
J : Kewajiban umat Islam untuk mengikuti salah satu empat madzhab itu, karena dikhawatirkan mencampurkan haq dan bathil, atau tergelincir dalam kesalahan, atau mengambil yang mudah saja.

Keterangan dari kitab:
1. Bughyatul Mustarsyidin [1]:

تَقْلِيْدُ مَذْهَبِ الْغَيْرِ يَصْعَبُ عَلَى عُلَمَاءِ الْوَقْتِ فَضْلاً عَنْ عَوَامِّهِمْ.
وَأَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُّخَصَ بِأَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ مَا هُوَ الأَهْوَنُ عَلَيْهِ. وَأَنْ لاَ يُلَفَِّقَ بَيْنَ قَوْلَيْنِ تَتَوَلَّدُ مِنْهُمَا حَقِيْقَةٌ لاَ يَقُوْلُ بِهَا كُلٌّ مِنَ الْقَائِلِيْنَ.

“Mengikuti madzhab imam lain adalah sulit bagi ulama masa kini, apalagi bagi kalangan umum.
Dan seorang muqallid (orang yang mengikuti pendapat orang lain) hendaknya tidak mencari-cari keringanan dengan mengambil pendapat yang ringan dari setiap madzhab. Dan tidak boleh talfiq, dengan menggabungkan antara dua pendapat yang menimbulkan suatu bentuk hukum yang tidak dikemukakan oleh siapa pun (dari kalangan ulama)”.
[1] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Pekalongan: Syirkah Nur Asia, t. t.), h. 9.
Abu Al Mawahib Abd Al Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshari Asy Syafi’I Al Mashri Al Ma’ruf bi Asy Sya’rani, Mizan Al Kubra (Dar Al Fikr), Cet I, Juz I, h. 34
Sullam Al-Ushul Syarh Nihayat Al-Sul

Menjual Zakat Fitrah

Setiap menjelang hari raya idul fitri sering muncul pertanyaa: Apakah amil zakat diperbolehkan menjual zakat fitrah kemudian uang harganya diterimakan pada yang berhak?

Dalam literatu telah dijelaskan bahwa tidak boleh amil zakat fitrah berupa bahan makanan, kecuali dalam keadaan memaksa, seperti mengkhawatirkan menjadi rusak atau kesulitan pengangkutan yang besar.
penjelasan tersebut dapat kita dapati dari kitab al-Anwar [1]:
وَلاَ يَجُوْزُ لِلإِمَامِ وَالسَّاعِيِ بَيْعُ الزَّكَاةِ إِلاَّ لِضَّرُوْرَةٍ كَالإِشْرَافِ عَلَى التَّلَفِ أَوْ خَطَرِ الطَّرِيْقِ أَوِ الإِحْتِيَاجِ إِلَى مُؤْنَةِ النَّقْلِ.

“Imam (pejabat pemerintah) dan pengumpul zakat tidak boleh menjual zakat kecuali karena dharurat, seperti cepat rusak, adanya kekhawatiran (keamanan) di jalan, atau memerlukan biaya angkutan”.

[1] Yusuf al-Ardabili, al-Anwar lil A’mali al-Abrar, (Mesir: Musthafa al-Halabi, t. t.), Juz I, h. 155.

Pengertian al-Dayyuts

Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi seorang suami membiarkan istrinya bergaul bebas dengan lelaki lain. Hal ini dalam hadits Nabi SAW disebut Dayuts. Bagaimana hukumnya dayuts? Kitab al-Siraj al-Munir [1] telah menjelaskan sebagai berikut:
قَالَ فُقَهَاؤُنَا هُوَ الَّذِي لاَ يَمْنَعُ الدَّاخِلَ عَلَى زَوْجَتِهِ مِنَ الدُّخُوْلِ وَأَلْحَقَ بَعْضُهُمْ بِالزَّوْجَةِ المَحَارِمَ. وَقَالَ الْحِفْنِيّ: هُوَ مَنْ لاَ يَمْنَعُ الدُّخُوْلَ عَلَى حَرِيْمِهِ. وَلاَ مَانِعَ مِنَ التَّفْسِيْرَيْنِ كُلٌّ مِنْهُمَا قَدْ وَرَدَ وَأَلْحَقَ بَعْضُهُمْ بِالزَّوْجَةِ الْمَحَارِمَ وَالإِمَاءَ.

“Para ahli fiqh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Dayyuts (dalam hadits riwayat Ibnu Umar:
ثَلاَثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمْ الجَنَّةَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَالعَاقُ وَالدَّيُّوْثُ الّذِيْ يُقِرًّ فِيْ أَهْلِهِ الخَبَثَ يَعْنِيْ الزِّنَا أَيْ يَرْضَى بِالزِّنَا بِأَهْلِهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ)
adalah suami yang tidak melarang orang lain memasuki (tempat tinggal) istrinya. Sebagian ulama mengemukakan: termasuk terhadap mahramnya. Al-Hifni berpendapat al-Dayyuts adalah orang yang tidak melarang seseorang memasuki (tempat tinggal) harim-nya (istri dan keluarganya). Dan tidak ada pertentangan antara dua penafsiran ini. Sebagian ulama memandang bahwa mahram dan hamba sahaya sama dengan istri”.
[1] Ali Al-‘Azizi, Al-Siraj al-Munir dan Ta’liq Syekh al-Islam al-Hifni pada hamisynya, (Mesir: Mustafa al-Halabi, 1377 H./1957 M.), Cet III, Juz II, h. 196.

Kamis, 08 Mei 2008

Dilema Pendidikan Pesantren


Oleh: Sarmidi Husna
Alumnus Pondok Pesantren Roudlotul Falah Njumput, Pamotan, Rembang

Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam. Ia termasuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri khas. Karena, ia memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi lembaga-lembaga pendidikan lainnya.[1] Salah satu ciri khas pesantren sebagai pembeda dari lembaga lainnya adalah pengajaran kitab-kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, baik ditulis oleh ulama-ulama Arab maupun ulama-ulama Indonesia sendiri.
Karena tradisi tersebut, Banyak kalangan yang mengakui bahwa tradisi pengajaran di pesantren merupakan tradisi agung (great tradition) yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang dikenal dengan “tradisi pesantren”.[2] Pentransmisian ajaran Islam tradisional yang tertuang dalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) itulah yang menjadi ciri khas tradisionalisme sistem pendidikan di pesantren.
Selain bentuk pengajarannya yang tradisional, pesantren juga mempunyai pola kehidupan yang yang unik. Hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam komplek itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh/kiai; sebuah surau atau masjid; tempat pengajaran diberikan; dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri).[3] Dari keunikan kehidupan tesebut, pesantren dirasa cukup pantas untuk mengenakan predikat subkultur.[4] Pola kehidupan semacam itu terhitung sudah berlangsung selama berabad-abad, seiring dengan sejarah munculnya pesantren.
Dalam sejarah, munculnya pesantren sering kali dilihat sebagai buah dari perkawinan konspiratif antara teologi skolatisisme Asy’aiyah dan Mauridiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisime Islam) yang telah lama mewarnai corak keislaman di Indonesia.[5] Selain itu, sejarah pesantren juga bisa dilacak berawal dari hasil asimilasi budaya. Pada abad ke-11, Dharmawangsa dari Kerajaan Dhoha, Kediri, mendirikan padepokan yang menghimpun para cantrik untuk mendalami kitab-kitab Hindu. Kata cantrik merupakan akar kata santri,[6] yang berkonotasi pada seseorang yang belajar dan mendalami ajaran Islam. Setelah Islam masuk, model pendidikan padepokan ini berubah menjadi institusi pendidikan yang terkenal dengan pesantren.[7] Dalam hal ini, Syekh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419, Gresik Jawa Timur) adalah peletak batu pertama dari proses asimilasi budaya tersebut. Spiritual Father Walisongo tersebut dalam pandangan masyarakat santri Jawa merupakan gurunya guru (master of master) tradisi pesantren-pesantren di Tanah Jawa.[8]
Menurut oral history yang berkembang juga memberikan indikasi bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari Walisongo. Figur Maulana Malik Ibrahim memang sangat popular di luar Jawa. Misalnya, pesantren Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB yang dewasa ini memiliki lebih dari sepuluh ribu santri, juga memperoleh inspirasi dari ajaran dakwah islamiyah Maulana Malik Ibrahim.[9] Tokoh ini memang sangat akrab di lingkungan pesantren tersebut.
Keunggulan Pendidikan Pesantren
Walaupun bersifat tradisional, dalam perjalanannya, pesantren telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan muslim di Indonesia. Artinya, pesantren merupakan agen pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika. Ia mampu meningkatkan peran kelembagaannya sebagai pusat penggemblengan generasi muda Islam dalam menimba ilmu agama dan menanamkan budi pekerti pada mereka.
Selama berabad-abad, pendidikan pesantren dikenal sebagai sistem pendidikan yang paling tangguh dan memiliki kemampuan bertahan serta memperbaiki dirinya (revival ability). Diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk dan variasi proses pembelajarannya, merupakan buah dari peradaban bangsa yang telah melekat ke dalam sejarah bangsa.
Secara historis, peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah diketahui sejak era Walisongo, sejak masa awal penyebaran Islam, perang melawan penjajah di era kolonialisme, hingga era gobalisasi. Pesantren dikenal telah menyumbangkan pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip “memanuisakan manusia” dalam proses pembelajaran. Kesan ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa, saat ini, proses pembelajaran di sekolah dan satuan pendidikan formal lainnya sudah banyak bergeser dari tujuan awal. Proses pendidikan formal dianggap cenderung lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi dan pencapaian nilai akademik semata, serta kurangnya unsur keteladanan guru.[10] Lebih dari itu, pembelajaan di sekolah dan pendidikan formal telah “gagal” menanamkan pendidikan moral, sehingga banyak anak didik yang mengalami dekadensi moral.
Berbeda dengan pendidikan formal, di tengah pergulatan modernitas, pesantren yang lebih dikenal karena tradisionalisme dan klasiknya dipercaya menjadi pusat keteladanan oleh seorang kiai kepada santrinya yang saling berinteraksi 24 jam. Di samping itu, pendidikan pesantren tetap mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan dan imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual.
Keunggulan lainnya adalah adanya perasaan kebersamaan, yang meliputi sikap tolong menolong-menolong, kesetiakawanan, dan persaudaraan sesama santri. Dari sisi pembinaan karakter individual pesantren mengajarkan sikap hemat dan hidup sederhana yang jauh dari sifat konsumtif masyarakat perkotaan.[11] Dengan demikian, pesantren sebagai institusi pendidikan milik masyarakat sangat potensial menjadi pusat pengembangan sumber daya manusia (SDM) menuju terwujudnya kecerdasan dan kesejahteraan bangsa.

Dilema Pendidikan Pesantren: Antara Salaf dan Khalaf

Dalam peranannya sebagai benteng imperialisme budaya, memang pesantren sampai saat ini telah membuktikan keberhasilannya. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.[12] Di sinilah tantangan yang cukup berat yang dihadapi oeh pesantren, yakni masalah pokok yang menjadi delima: di satu pihak pesantren perlu menjalankan fungsi tradisionalnya, yaitu pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu Islam konvensional yang khusus untuk pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) guna mencetak kiai, guru agama, muballigh, dan ahli agama, tetapi di pihak lain dituntut juga untuk mengembangkan kurikulum baru (di luar kajian Islam/penguasaan sains) untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang lebih luas, dengan konsekuensi pengurangan pengajaran agama konvensional.[13]
Dalam artian, pesantren harus memilih untuk masuk menjadi kategori, meminjam istilah Zamakhsyari Dhofir, pesantren salaf atau kategori pesantren khalaf [14]. Pesantren salaf artinya adalah pesantren yang masih mempertahankan kajian-kajian kitab klasik (kitab kuning), baik dilakukan secara sorogan [15] maupun wetonan/bandongan.[16]
Sedangkan pesantren yang dikategorikan khalaf adalah pesantren yang menambahkan materi-materi pelajaran umum (di luar kajian Islam) pada madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membangun sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMA).
Padahal dalam prakteknya, mayoritas pesantren yang memasukkan kurikulum baru (di luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama Islam justru mengakibatkan penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama (tafaqquh fi al-din). Inilah dilema pendidikan pesantren: antara memilih pendalaman ilmu agama atau menerima materi-materi umum di luar kajian agama dengan konskuensi merosotnya tingkat tafaqquh fi al-din.

Problem Pendidikan Pesantren

Untuk menilai secara kritis atas berbagai hal di seputar pendidikan pesantren, kategorisasi pesantren di atas cukup untuk melihat diversifikasi pesantren di Indonesia. Selain itu kategorisasi pesantren di atas dapat menghindarkan munculnya generalisasi yang seakan-akan melihat bahwa semua pesanten itu sama. Dengan ini, diharapkan bisa melihat problem-problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan di pesantren yang berbeda-beda tersebut dengan jelas dan rinci.
Secara kuantitatif, pesantren di Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 14.000 pesantren. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen, pesantren berada dalam afiliasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mayoritas masih berupa pesantren tradisional, yaitu pesantren dengan karakternya yang mandiri, otonom, sederhana dan penuh keihlasan. Pesantren tradisional yang jumlahnya sangat besar itu, sudah barang tentu, telah mendidik jutaan anak bangsa. Sebagian dari alumni pesantren bahkan telah berhasil menjadi pemimpin bangsa. Peran pesantren telah melengkapi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam mencerdaskan kehidupan warganya.
Akan tetapi, dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren sebagaimana institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di segera atasi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus mampu mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan kurikulum, metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[17] Dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar mengajar, visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang, mengingat modernisasi menawarkan metode pengajaran berbeda dengan output yang berbeda pula. Tidak hanya itu, yang perlu mendapat perhatian juga adalah masa belajar di pesantren yang memakan waktu yang relatif lama. Padahal pinsip masyarakat modern kini cenderung praktis-pragmatis.

Kurikulum Pesantren

Dalam kaitannya dengan kurikulum, masih banyak pesantren yang mempertahankan pola shalafiyah secara kaku (rigid). Para pemimpin pesantren menganggap pola ini masih canggih (sophisticated) dalam menghadapi berbagai persoalan.[18] Padahal, kurikulum tersebut lebih bersifat parsial, subject matters oriented, dan teacher oriented, tidak child oriented dan integral. Ditambah lagi, proses penyususnan kurikulum di pesantren, biasanya, sangat sarat dengan subyektifitas kiai/pengasuh. Implikasinya, kurikulum pesantren menjadi terparsialisasi oleh sempitnya aliran dan wawasan pemahaman sang kiai. Materi-materi keilmuan di pesantren cenderung berafiliasi hanya pada satu madzhab atau aliran pemikiran.[19] Sehingga atmosfir ilmiah di dalamnya berlangsung sangat monoton.
Lebih dari itu, dominasi mereka yang cukup luas berorientasi pada terorientasikannya kurikulum pada apa yang diinginkan kiai, pengasuh, dan guru, bukan untuk menfasilitasi segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi dan kompetensi santri.[20] Keinginan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicernakan dan dikuasai oleh anak didik masih belum mendapatkan perhatian.

Metode Pengajaran Pesantren

Hingga saat ini, doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk al-Quran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama, merupakan salah satu ruh yang menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami dinamika dan tidak memperhatikan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman.[21] Selama ini, metode pengajaran pesantren masih menekankan pada what to learn melalui hafalan, bukan how to learn sebagaimana dituntut oleh masyarakat modern.
Metodologi hafalan memang merupakan metode utama dalam penyelenggaraan pendidikan pesantren. Bahkan, hafalan dijadikan sebagai standar kualitas keilmuan seorang santri. Semakin hebat hafalan santri, maka semakin tinggi tingkat status sosialnya di lingkungn pesantren. Sekalipun cukup ampuh dalam melatih kedisipinan dan daya hafalan santri, metode ini justru akan mengkebiri kreatifitas dan daya kritis mereka. Sebab keterfokusan mereka pada hafalan menjadikan mereka belajar secara tekstual dan menerima segala apa yang dikemukakan sang kiai/pengasuh secara taken for granted, tanpa ada proses filterasi yang didasarkan pada semangat kritis dan kreatif. Oleh karena itu, di samping karena minimnya media dan wawasan pembelajaran, hal ini juga disebabkan karena besarnya dominasi guru, kiai atau pengasuh dalam kegiatan belajar-mengajar. Berkembangnya paradigma ini juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi turun menurun yang selama ini dikembangkan oleh para kiai/pengasuh pesantren. Sebuah tradisi yang lebih berorientasi pada hasil sehingga seringkali menganggap bahwa apa yang telah tertulis merupakan sesuatu yang sudah final, tingal dihafal. Akibatnya, proses sebagai orientasi pokok tergeser dan bahkan terlupakan.[22]
Selain itu, sistem pengajaran di pesantren juga bersifat monologis, bukannya dialogis-emansipatoris. Sistem monologis ini merupakan sistem doktrinasi sang kiai kepada santrinya. Metodologi pengajaran di pesantren juga masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan, dan sejenisnya. Di mana seorang santri diajari membaca kitab (teks) kata demi kata dan memahami kalimat yang tersusun secara harfiyah. Pesantren ternyata tidak mampu meninjau apakah seorang santri tidak membutuhkan pendekatan lain. Pokoknya kitab wajib ditelaah, dibacakan, dan diterangkan sesuai dengan kemampuan guru/kiai dan terserah kepada santi untuk menguasainya atau tidak.[23] Evaluasi atas kemampuan anak didik dengan demikian tidak memperoleh tempat yang sesuai dengan kepentingannya dalam sistem pendidikan tradisional.
Sistem pendidikan yang tidak dinamis dan sulit melakukan perubahan, serta hanya mengandalkan tradisi “hafalan” dan “membaca”, tanpa mengiringinya dengan budaya menulis tersebut, berakibat pesantren jarang menghasilkan penulis-penulis yang handal, kendati jumlah lulusannya besar.[24] Walaupun, saat ini, sudah ada beberapa lulusan pesantren yang menulis, akan tetapi prosentasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah lulusan yang ada.

Manajemen dan Pola Kepemimpinan

Permasalahan lain yang secara spesifik dihadapi pesantren berkaitan dengan manajemen dan pola kepemimpinannya. Dalam penyelenggaraan manajemen pendidikan pesantren sarat dengan dominasi otoritas administrasi birokrasi kekuasan, yakni bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai. Hal ini menjadi pas dengan pendapat Zamakhsyari Dhofir bahwa pesantren ibarat suatu kerajaan kecil yang bertradisi unik, di mana kiai merupakan pemimpin mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di dalamnya.[25]
Pola kepemimpinan seperti ini menyebabkan sirkulasi keilmuan di pesantren cederung berjalan sepihak. Kiai yang memiliki otoritas mutlak mempunyai wewenang penuh untuk menentukan corak keilmuan di pesantren yang dipimpinnya. Panorama ini tentu tidak terlepas dari kekuatan sistem pengajaran, maupun pola pergaulan yang patronal di pesantren tesebut.[26] Selain itu, budaya keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren lebih menitik beratkan pada ruhul inqiyad, yakni semangat untuk patuh atau menurut (sam’an wa tha’tan). Implikasinya semangat atau tingkat kekritisan (ruhul intiqad) santri menjadi lemah. Lebih dari itu, menurut dan ta’dzim yang mewarnai kehidupan kalangan santri juga berdampak pada penghormatan yang “membabi buta”.[27] Akibatnya, santri atau komunitas pesantren yang notabinenya menjadi pengagum berat Khulafa’ur Rasyidin tidak mampu mewarisi budaya kritis yang diterapkan oleh sahabat Umar bin Khatab ra. setiap kali berdikusi dengan Rasulullah saw.

Membenahi Sistem Pendidikan Pesantren

Memandang masalah-masalah berat yang dihadapi dunia pendidikan pesantren, maka membenahi sistem pendidikan pesantren jelas tidak bisa lagi dilakukan secara parsial. Artinya, pembenahan pendidikan harus bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan.
Dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, setidaknya dapat menjadi pijakan untuk melakukan pembenahan sistem pendidikan pesantren yang di antaranya adalah:

Membenahi Kurikulum

Dalam upaya membenahi kurikulum pendidikannya, seperti yang telah dijelaskan di atas, pesantren menghadapi ujian yang sangat dilematis. Dialektika yang serius antara mempertahankan watak tradisionalisme dan “rayuan” modernisme sungguh dialami oleh banyak pesantren.
Dari dialektika tersebut telah menyebabkan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pesantren yang menerima sepenuhnya sistem pendidikan formal (memasukkan kurikulum non-agama) dan pondok pesantren yang menolak sepenuhnya pendidikan formal. Pesantren tipe pertama pesantren berkeinginan menjadi institusi pendidikan yang bisa menyusuaikan diri dengan perubahan zaman. Pesantren juga menginginkan agar lulusannya, selain menguasai ilmu agama (Islam) juga mampu bersaing di masyarakat dalam memperebutkan peluang-peluang yang diberikan oleh perubahan yang terjadi, seperti lapangan kerja dan posisi-posisi sosial politik.
Sementara tipe kedua berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan formal di Indonesia yang dianggap tidak mendorong pada penguasaan terhadap ajaran Islam.[28] Berdasarkan analisa almarhum Nur Kholis Majid (Cak Nur), pesantren telah mengalami anacaman ditinggalkan umat Islam. Karena pesantren di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dalam menghasilkan ulama-ulama yang berkualitas.[29] Krisis ulama merupakan akibat dari menurutnya tingkat pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) yang biasa diperankan oleh pesantren. Jadi, praktis pesantren harus menanggung dua beban berat ini.
Merespon beban berat tersebut, belakangan ini, muncul beberapa pesantren yang mencoba menerima sebagian sistem pendidikan formal dan menolak sebagian yang lain. Artinya, ia menerima system pendidikan formal berikut tawaran legalitasnya, tetapi menolak sebagian kurikulum dan berbagai atribut yang menempel padanya.[30] Tipe pesantren melihat perlunya penambahan dan pengembangan ilmu terapan di samping ilmu agama. Di tengah tantangan globalisasi, pendidikan pesantren tidak cukup hanya mendalami ilmu agama dan bersikap eksklusif terhadap ilmu-ilmu terapan demi tuntutan pekembangan zaman.
Untuk itu, kurikulum pesantren harus tetap melakukan penekanan pada tafaqquh fi al-din guna menjaga keberlangsungan estafet keulamaan. Pengajaran kitab-kiab klasik (kitab kuning) harus tetap diutamakan. Sementara pesantren juga harus menerima kurikulum ilmu-ilmu terapan yang menjadi tuntutan di era modern, dengan tidak mengurangi tingkat tafaqquh fi al-din. Perubahan kurikulum seperti inilah yang akan membangun orientasi perkembangan pesantren ke depan.

Membenahi Metode Pengajaran

Tak dapat dipungkiri bahwa pengembangan pesantren tidak cukup dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Artinya, pembenahan kurikulum harus disertai dengan pembenahan metode pengajaran.
Metode-metode klasik seperti hafalan harus dibatasi sesuai dengan porsinya. Metode hafalan memang masih perlu dipakai untuk bidang studi tertentu yang memang perlu untuk dihafal. Tetapi, saat ini, pesantren harus lebih menekankan pada pendalaman pemahaman materi yang dikajinya, bukan hafalan.
Sementara itu, metode bandongan, pasaran, sorogan, dan sebagainya adalah metode pengajaran yang bersifat monologis. Tidak ada tradisi berdiskusi atau menyanggah terhadap guru/kiai, komunikasi berjalan searah, tidak ada materi tambahan selain materi dari kitab-kitab yang dikaji.
Untuk itu, metode semacam itu harus dirombak dan metodologi pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan kepada literatur (literature as central of science). Personifikasi keilmuan pada kiai harus dikurangi.[31] Pesantren harus muai mengadopsi metodologi ilmiah modern yang bersifat dialogis-emansipatoris. Sistem pengajaran yang terbuka untuk melakukan dialog, diskusi, dan bahkan dialog-kritis (menyanggah) akan lebih memperkaya khazanah keilmuan yang dipelajari di pesantren. Justru metode seperti inilah yang harus diterapkan di pesantren.

Membenahi Manajemen dan Pola Kepemimpinan

Upaya untuk membenahi manajemen dan pola kepemimpinan pesantren memang terasa sulit. Karena penyelenggaraan manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai sebagai pemiliknya. Manajemen seperti ini tentu tidak memiliki jaminan kelangsungan dan mutu. Karena sudah menjadi kebiasaan dunia pesantren, setalah ditinggal oleh kiainya banyak yang mengalami penurunan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, secara psikologis, kiai merasa sebagai pemilik dan pengelola sejak awal, maka tidak mudah menerima perubahan dari luar, termasuk dari pemerintah.
Untuk itu, sudah saatnya pesantren harus melepaskan diri dari citra kerajaan kecil agar tumbuh nilai-nilai keterbukaaan, kebebasan berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektifitas dan menerima secara opensif.[32] Karena hambatan untuk menciptakan nilai-nilai ini biasanya bersumber dari kepemimpinan pesantren yang sentralistik dan terpusat pada seorang kiai.
Perubahan penyelenggaraan pendidikan pesanten dapat dilakukan dengan merubah otorita kekuasaan menuju otorita akademik, dari sisem pendidikan sentralistik menuju paradigma pendidikan otonom, di mana masyarakat mempunyai peran evaluatif dan kontroling yang signifikan. Artinya, sudah saatnya kiai/pengasuh pesantren untuk melaksanakan program pendidikannya secara profesional dengan senantiasa membuka kran musyawarah egaliter yang demokratis.[33]
Demikianlah beberapa usulan perubahan untuk membenahi system pendidikan pesantren dalam rangka mengahadapi tantangan modernisasi. Dalam hal ini, harus kita sadari bersama bahwa ada baiknya pesantren tetap mempertahankan tradisionalisme dan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pendalaman ilmu agama (tafaqquh fi al-din).
Disamping itu, pesantren juga wajib memenuhi tuntutan hidup santrinya dalam kaitannya dengan perkembangan zaman, yaitu membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata melalui pendidikan ilmu terapan secara memadahi. Sehingga, pesantren diharapkan dapat melahirkan ulama yang tidak saja menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan.

Daftar Pustaka
[1] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001) hlm. 157.
[2] Istilah “Tradisi Pesantren” telah digunakan oleh Zamakhsyari Dhofir untuk judul sebuah bukunya yang diterbitkan LP3ES, Maret 1982. dalam buku tersebut, Dhofir meneliti pandangan hidup dan peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan paham Islam tradisional. Pandangan hidup dan peran tersebut secara sistematis membentuk apa yang disebut “tradisi pesantren” sebagai suatu kerangka system pendidikan tradisional yang pada umumnya berkembang di Jawa dan Madura. Selanjutnya baca Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982)
[3] Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. 3.
[4] Dalam uraian sosiologis, sebuah subkultur minimal harus memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarkhi kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Ketiga persyaratan minimal ini terdapat dalam kehidupan pesantren, sehingga dirasa cukup untuk mengenakan predikat subkultur pada kehidupan pesantren. Lihat Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal 7.
[5] Adurahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Darma Bakti, 1997) hal. 9
[6] Mengenai asal usul kata santri, para peneliti berbeda pendapat. Menurut A.H. John, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji” (A.H. John, Islam In Southeast Asia; Indonesia, C.M.I.P. hal. 40). Sementara CC Berg berpendapat lain, istilah santri berasal dari kata shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu (CC. Berg, Indonesia dalam HR. Gibb, Where Islam? A Suvey Of Modern Movenment in The Muslim Word, London 1932, hal. 257).
[7] Said Aqil Siradj, Pesantren dan Civic Values, Republika, 15 Maret 2007.
[8] KH. Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1979) hal. 263
[9] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara:Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 56.
[10] S. Yunanto, et.al, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, (Jakarta: The RIDEP Institut, 2005), hal. 2.
[11] S. Yunanto, et.al, Ibid.
[12] AM. Fatwa, Masa Depan Pesanten, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.
[13] Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. xiii-xiv.
[14] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, hal. 41.
[15] Suatu pola pembelajaran individual dalam system pendidikan Islam tradisional, di mana seorang santri sambil membawa kitab kuning yang hendak dikajinya, mendatangi seoang guru/kiai. Kemudian, sang guru/kiai membacakan beberapa baris dari kittab kuning itu dan menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa di hadapan santri. Setelah itu, sang santri di hadapan guru dalam majlis tersebut mengulangi bacaan dan menterjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan guru/kiai.
[16] Pola ini bersifat kolektif, di mana sekelompok santri mendengarkan seorang guru/kiai yang membaca, menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa, menerangkan dan seringkali menguas isi kitab kuning. Sementara para santri memperhatikan apa yang dibaca guru/kiai melalui kitab yang dibawa seraya membuat catatan-catatan tentang kata-kata aau buah pikiran yang keluar dari sang guru/kiai.
[17] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 15.
[18] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 113
[19] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 213
[20] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 21
[21] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 7
[22] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 22
[23] Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. 58
[24] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 217
[25] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, hal. 56
[26] Muhali Hisyam, Hermeneutika Dalam Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtos, 2003), hal. 157
[27] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 22
[28] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 3
[29] Nur Kholis Majid, Pesantren Alami Krisis Ulama, Kompas, Ju’mat, 14 November 2003.
[30] Marzuki Wahid, Ma’had Aly: Nesapa Tradisionalisme dan Tradisi Akademik yang Hilang, dalam Jurnal ISTIQRA, Voume 04, Nomor 01, 2005, hal. 95-96
[31] Saeful Huda, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtas, 20003), hal. 67.
[32] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 6
[33] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002. hal. 24