Rabu, 16 Juli 2008

Politik di Pesantren

Kompas, Selasa, 15 Juli 2008 00:46 WIB
Oleh Wisnu Dewabrata
Walau tidak persis sama dan sebangun dengan model ketaatan hierarkis ala militer, pola ketaatan seorang santri dan kultur masyarakat pesantren kepada kiainya sedikit banyak tidak terlalu berbeda dengan ketaatan seorang prajurit terhadap jenderalnya.
Kalau ada bedanya, model hubungan kiai, santri, dan nahdliyin tidak mengenal terminologi komando ala militer. Polanya lebih khas. Perintah seorang kiai sering kali tidak perlu disampaikan secara gamblang. Kadang cukup dengan simbol tertentu. Hal itu sudah masuk kategori perintah yang harus didengarkan dan ditaati. Sami'na wa ata'na, kami mendengar dan kami menaatinya.
Seorang rekan, sebut saja Ilmie, bercerita pengalamannya ketika masih nyantri di salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur. Saat itu rezim Orde Baru masih berkuasa. Setiap menjelang pemilu, selain banyak tokoh partai dan organisasi datang ke ponpes tempatnya, sang kiai pengasuh ponpes juga punya kebiasaan meliburkan santrinya. Harapannya agar santri pulang dan memberikan suara di kota tempat tinggal masing-masing bersama keluarga. Namun, sebelum santri pulang, kiai biasa memberi "wejangan" soal partai mana yang akan dipilihnya.
Memang tanpa paksaan atau perintah. Namun, santri mafhum apa isi pesan di balik wejangan sang ajengan. Tidak hanya santri, keluarga pun kadang mengikutinya.
Pendekatan terhadap sosok kiai dan ponpes sejak dahulu dipahami sebagai salah satu cara efektif, setidaknya untuk memengaruhi dan menarik simpati masyarakat agar kemudian memilih parpol atau tokoh seperti yang dipilih sang kiai. Kiai sebagai sosok penyedot suara (vote getter) terbilang ampuh.
Namun, seiring berjalannya reformasi, sejumlah kalangan mulai meyakini ada penurunan kadar ketaatan, terutama jika dikaitkan dengan hubungan antara preferensi politik santri, masyarakat, dan kiai. Ada banyak faktor yang dinilai menjadi penyebab. Dalam sebuah wawancara akhir Juni lalu, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Priyatmoko, menyebutkan setidaknya dua faktor penyebab.
Pertama, semakin beragamnya partai dan tokoh yang dapat dipilih masyarakat dalam pemilu. Hal itu tidak saja mengubah perilaku dan preferensi memilih, tidak hanya masyarakat, tetapi juga para kiai.
Faktor kedua, semakin menipisnya "ketaatan" politis umat. Menurut Priyatmoko, hal itu disebabkan kian banyak warga yang berpengetahuan dan berpengalaman tentang bagaimana memilih dan siapa atau apa yang harus mereka pilih.
Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat calon pemilih, baik dalam pilkada langsung maupun pemilu, lebih paham soal bagaimana perilaku dan kecenderungan memilih ajengan dan manfaatnya bagi mereka.
"Sekarang ini (santri) yang generasi muda kian kritis. Saat mendengar fatwa atau tausiyah, mereka tak langsung mengiyakan. Mereka juga mulai bisa berpikir, dalam kasus ini kiai dapat (keuntungan) berapa?" ujar Priyatmoko. Sikap kritis yang didasari banyak masukan informasi dan pengetahuan, lanjut Priyatmoko, tidak lepas dari kian terbukanya kalangan ponpes terhadap informasi, terutama dari berbagai media massa.
"Dalam batas tertentu, keberadaan kiai dan ponpes memang masih dimanfaatkan parpol dan kandidat untuk didekati. Namun, itu simbolisasi saja. Jika memang (pengaruhnya) masih kuat, pencalonan Pak Hasyim Muzadi dalam Pemilu 2004 mestinya kan bisa menang," ujar Priyatmoko.
Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair, Kacung Marijan, menambahkan, fragmentasi politik itu terjadi lantaran Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan kebijakan "Kembali ke Khittah NU 31 Januari 1926". Slogan yang terkenal kemudian adalah "NU bisa ada di mana-mana, namun tidak ke mana-mana". Secara politik hal itu semakin mendorong fragmentasi. Pada masa Orde Baru, dampaknya tidak terlalu berat dan besar karena cuma ada tiga peserta pemilu saat itu.
"Justifikasi keagamaan yang dulu sering dipakai, sekarang tidak bisa lagi digunakan. Di masa lalu gampang saja, kiai bisa bilang kalau memilih selain Partai Persatuan Pembangunan bisa masuk neraka. Sekarang enggak bisa karena kiai memilih banyak parpol dan akibatnya preferensi politik individu jadi semakin otonom," ujar Kacung.
Terkait pendekatan yang dilakukan parpol maupun calon dalam pilkada, Kacung menilai hal seperti itu sah-sah saja. Apalagi selama ini kiai juga terbiasa melakukan hal serupa, termasuk menerima sumbangan dari kandidat maupun parpol.
"Apa yang berkembang kemudian adalah masyarakat yang serba transaksional dan berpikiran ekonomi. Padahal, dalam demokrasi modern bentuk transaksinya bukan dalam konteks ekonomi, melainkan lebih pada kebijakan, yang kemudian dihasilkan untuk menyejahterakan masyarakat," ujar Kacung.
Jika kondisi seperti itu semakin berkembang dan meluas, Kacung menilai hal itu juga sebagai kesalahan kiai. Seharusnya seorang kiai juga mempertimbangkan secara obyektif sebelum menerima pemberian atau memberikan dukungan. Calon yang datang tentu punya kepentingan di balik pemberian atau kedatangan mereka. Dalam konteks itu dibutuhkan komitmen moral.
Terjadi rasionalisasi
Walau membenarkan ada penurunan pengaruh, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU Endang Turmudi meyakini hal itu hanya terjadi pada preferensi politik. Jika dikaitkan dengan karisma terkait masalah syariah, figur kiai masih menentukan dan berpengaruh.
"Kalau dahulu figur kiai bisa sangat berpengaruh dan bahkan memiliki kemampuan memaksa, sekarang hal seperti itu tidak bisa lagi dilakukan. Hal itu karena masyarakat tidak lagi memandang sosok kiai dalam konteks seperti itu. Memang terjadi pergeseran dan rasionalisasi, " kata Endang.
Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kabupaten Kediri, Jatim, KH Imam Mahrus, berpendapat akan jauh lebih baik jika persoalan pilihan atau preferensi politik, baik kiai, santri, maupun masyarakat, diserahkan kepada masing-masing individu. Tidak hanya itu, semua pihak juga diminta dapat saling menghargai pilihan satu sama lain.
Pemikiran seperti itu, diyakini Mahrus, jauh lebih baik, terutama bagi NU, yang seharusnya bisa mengayomi dan menempatkan diri di atas semua golongan. Semua calon kepala daerah yang memiliki latar belakang NU wajib mendapatkan dukungan dari warga NU. Namun, jika ada banyak calon berlatar belakang sama, siapa pun yang didukung menjadi tidak masalah.

Negara Telah Kalah

http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/779/52/
Negara telah Kalah !

Setelah mendapat desakan bertubi-tubi dan pengepungan Istana oleh kalangan fundamentalis pada 9 Juni 2008, pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Menteri Agama, Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dari enam poin isi SKB, tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktifitasnya. Aktifitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktifitas komunal atau aktifitas individu. Apakah warga JAI tidak boleh shalat di masjid yang mereka bangun, juga tidak jelas. Namun kalau kita pahami dengan teliti pada poin dua, tidak semua kegiatan JAI diminta untuk dihentikan, tapi hanya yang terkait dengan penafsiran yang dianggap tidak sesuai dengan Islam pada umumnya. Oleh karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah sebagaimana biasa. Substansi SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Namun, dalam SKB tersebut pemerintah masih mengakui eksistensi Ahmadiyah sehingga perlu dilindungi dari kemungkinan tindak kekerasan, sebagaimana tercantum dalam butir empat.
Namun, dalam praktiknya, pasca SKB banyak aktivitas ibadah warga Ahmadiyah yang diganggu massa. Hal inilah yang menjadi fokus utama Monthly Report edisi XI ini. Di samping soal SKB, kami juga lampirkan sejumlah kasus intimidasi terhadap warga Ahmadiyah pasca terbitnya SKB.
Di samping SKB, kami juga melaporkan sejumlah kasus lain, seperti aksi FPI di Lamongan Jatim yang menyiram seorang penjual tuak. Tampakya hobi FPI melakukan aksi-aksi premanisme terus berlanjut. Lagi-lagi aparat keamanan setempat tidak pernah mengambil tindakan terhadap mereka. Kasus-kasus lain seperti larangan siswi SMK berfoto memakai jilbab, usulan agar Lia Eden ditangkap lagi, soal nabi palsu dan sebagainya juga kami laporkan. Ada juga hal menarik, jika di berbagai daerah sedang berlomba untuk membuat perda bernuansa agama termasuk perda zakat, Bupati Sinjai justru menolaknya.Selamat membaca!