Sabtu, 20 Desember 2008

Wakaf Uang

Dasar Hukum
Istilah wakaf uang belum dikenal dizaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat slam. Di Turkey, pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar ditengah masyarakat. Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable business activities.Dimana keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.
Diabad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk meimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, bberbagai lembaga keuangan lahir seperti, bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.
Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berabagai cara.
Di Malaysia, disamping wakaf uang yang dikelola oleh Baitul Mal lahir pula institusi amanah saham wakaf. Amanah saham wakaf ini dioperasikan melalui bank. Mereka menawarkan saham ini kepada masyarakat dengan harga tertentu. Masyarakat yang membeli saham ini tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dan amal uang yang digunakan untuk membeli saham tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pengelolah tanpa dapat mereka minta kembali. Keuntungannya akan dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan umum. Di Malaysia tujuan utama dari wakaf uang yang dikumpulkan adalah
1.Membangun sarana-sarana yang bisa mendatangkan keuntungan, pada tanah-tanah wakaf yang sudah sedia ada.
2.Membeli sarana baru yang akan dijadikan harta wakaf
3. Menginvestasikan pada sektor yang aman agar tidak hilangnya nilai nominal harta wakaf.

Di Indonesia, dalam memasuki milenium ketiga ini, berbagai elemen masyarakat mencoba mensosialisasikan wakaf uang dengan berbagai cara. Bukan saja tahap sosialisasi ini berjalan tanpa aplikasi, malah sudah ada lembaga tertentu yang mencoba meaplikasikannya, dan banyak juga masyarakat yang tertarik untuk ikut serta berkontribusi untuk itu.
Untuk konteks ke Indonesiaan,MUI (majelis Ulama Indonesia) .Alasannya menerima pandangan yang membolehkan wakaf uang wakaf uang tidak mengharuskan wakif menyerahkan uang dalam jumlah banyak. Hal ini dapat merangsang minat lebih banyak kalangan yang dapat berwakaf tanpa terlebih dahulu menunggu dahulu memiliki tanah yang luas dan berlebih. Alasan lain, wakaf uang mengadung arti bahwa wakaf berwujud harta lancar yang penggunaannya sangat fleksibel, sehingga harta wakaf bisa menjadi modal yang diinvestasikan di bank-bank.Wakaf pun bisa berbentuk sebagian saham perusahaan yang hasilnya dapat digunakan untuk menunjang kamaslahatan masyarakat.
MUI telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang sebagai berikut:
1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang uang
2. Termasuk kedalam pengrtian uang adalah surat-surat berharga
3. Wakaf hukumnya jawaz (harus)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Pemerintah mengatur pengelolaan wakaf ini dalam Undang-Undang Nomor 41Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Sebenarnya, wakaf uang itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik.

Konsep Sertifikat Wakaf Uang
Sertifikat wakaf uang diterbitkan untuk menghimpun harta wakaf dari sekumpulan pihak yang tidak harus saling berhubungan dan harta yang dihimpun berupa harta finasial .Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan manfaat dari kumpulan harta yang dihimpun melalui pengelolalan kolektif. Sertifikat wakaf uang adalah bukti keikutsertaan wakaf yang dikelola secara kolektif dan transaksinyapun dilakukan secara kolektif.
Diamping wakaf, Islam juga mempunyai instrumen yang funsinya hampir sama dengan wakaf, yaitu zakat dan sedekah. Akan tetapi antara zakat, sedekah dan wakaf berbeda.Beda wakaf, sedekah dan zakat:
· Uang pokok dan profits pada sedekah dapat dipindahkan
· Uang pokok pada wakaf dapat ditahan tapi propfit merupakan keuntungan bagi masyarakat dan diperuntukkan untuk kesejahteraan umat
· Wakaf tidak dapat dianggap sebgai zakat
· Zakat merupakan kewajiban yang pengalokasiannya untuk delapan ashnaf
c. Institusi Wakaf Uang
Masalah instutusi adalah masalah yang relatif. Ia bisa berbentuk suatu institusi seperti lembaga zakat yang dikelola secara profesional oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan, ia bisa juga dikelola oleh lembaga seperti reksa dana dengan syarat-syarat tertentu pula atau oleh suatu institusi yang ditetapkan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan bank. Ia bisa berdiri sendiri atau ia juga menjadi bagian dari institusi lain yang bisa saling membantu untuk meningkatkan pendapatan wakaf tersebut.
Agar ia dikelola secara profesional, maka yang terbaik ia mesti berdiri sendiri, jangan bercampur dengan lembaga lain seperti, zakat, atau langsung dibawah bank, asuransi dll, dan yang terbaik ia dikendalikan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan dijalankan dengan profesional dan pemerintah bertugas hanya sebagai pengawas terhadap badan itu.

Kriteria Institusi Pengelola Wakaf Uang
1.Kemampuan akses kepada calon waqif
2.kemampuan melakukan investasi dana wakaf
3.Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary
4. Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf
5.Mempunyai kredibilitas dimata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat

Investasi Wakaf Uang
Seandainya suatu institusi berhasil untuk menghimpun dana dari wakaf uang, tentu akan menjadi pertanyaan mau dikemanakan harta tersebut?. Kenapa itu perlu dipertanyakan? Sesuai dengan prinsip wakaf bahwa harta wakaf tidak boleh dihabiskan, ain benda mesti kekal, yang boleh diambil adalah manfaatnya saja.
Mungkin ada yang berpikiran, kita belikan saja kepada binatang ternak, nanti hasil dari perkembangan binatang tersebut kita manfaatkan sesuai dengan prinsip wakaf. Sebenarnya pikiran seperti itu tidak salah, namun bagaimana kalau binatang ternak tersebut mati atau ditimpa penyakit, atau tidak berhasil sistem penggemukannya? Bisa saja harta wakaf tersebut lenyap ditelan gelombang kerugian, siapa yang mesti bertanggungjawab dalam hal ini.
Agar kesalahan-kesalahan fatal jangan terjadi, maka mekanisme yang sesuai dengan aturan wakaf secara menyeluruh perlu ada pengaturan. Umpamanya untuk memperkecil resiko mungkin perlu berpikir konservatif. Umpamanya uang yang dikumpul digunakan untuk membangun harta wakaf yang sudah ada. Mungkin ada sebidang tanah yang sudah diwakafkan terlebih dahulu, diatas tanah ini tentu lebih baik dibangun kelinik, sekolah, atuu ruko dll.
Seandainya ia terletak pada posisi yang strategis, ruko bisa disewakan, sewanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang ramai. Atau adanya klinik, masyarakat Islam bisa memberikan pengobatan yang murah kepada orang Islam yang membutuhkan, atau dengan adanya sekolah, anak-anak muslim bisa dididik dengan biaya rendah dengan kualitas prima, atau bisa saja uang wakaf dibelikan kepada bangunan atau apa saja yang bisa melahirkan keuntungan. Dari keuntungan tersebut pengelola bisa mengeluarkan biaya pengelolaan, bisa membiayai aktivitas, sosial, bisa memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Jumat, 19 Desember 2008

Pengertian wakaf uang

Wakaf uang adalah penyerahan asset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindah tangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi esensial wakaf), baik wakaf tersebut dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga ataupun badan hukum. Dengan demikian yang menjadi mauquuf pada wakaf uang adalah uang tunai yang dapat diinvestasikan pada sektor bisnis yang menguntungkan. Dalam pelatian 1 telah disebutkan syarat-syarat barang yang boleh diwakafkan, di antaranya adalah harta yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu Perundang-undangan Indoneisa membolehkan wakaf benda bergerak yang berupa uang dengan tata cara yang telah ditetapkan (UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP no. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf).

Fatwa MUI tentang wakaf uang
Meskipun masalah wakaf uang adalah masalah yang diperselisihkan ulama fiqh, namun Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah memutuskan bahwa wakaf uang tunai hukumnya jawaz (boleh). Hal ini karena pertimbangan akan keumuman ayat al-Quran dan hadis Nabi yang menjelaskan tentang wakaf seperti yang telah di sebutkan di atas (pelatihan 1). Selain itu, Majlis Ulama Indonesia juga memperhatikan akan pendapat al-Zuhri yang menyatakan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquuf ‘alaih (penerima wakaf) (Abu Su’ud Muhammad: 20-21)
Ulama madzhab Hanafi juga membolehkan mewakafkan uang dinar dan dirham sebagai pengecualian atas dasar Istihsan bi al-Urfi (Wahbah al-Zuhaili: 8/162). Di samping itu, sebagian ulama madzhab Syafi’i juga membolehkan mewakafkan uang dinar dan dirham (al-Mawardi: 9/379) dengan dasar tersebut di atas, Majlis Ulama Indonesia memutuskan bahwa;
a) Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai
b) Termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
c) Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
d) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syar’i
e) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.

Manfaat wakaf uang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Islam mengambil pendekatan bahwa pembangunan ekonomi perlu disertai dan disumbang oleh setiap anggota masyarakat. Tidak ada seorangpun yang terkecuali dari peran ini. Justru itu peluang untuk giat dalam aktifitas ekonomi perlu disusun dan dicetuskan kepada semua individu masyarakat. Usaha untuk mencetuskan keikutsertaan tersebut tidak terbatas pada sektor publik dan sektor perdagangan semata. Ia juga bisa dimainkan oleh individu atau institusi yang memiliki kemampuan. Melalui institusi dan mekanisme wakaf peran ini dapat ikut disumbangkan oleh individu dan institusi.
Dengan program wakaf uang, institusi wakaf dapat ikut membantu pemerintah dalam mengurangkan kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi umat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, institusi wakaf dapat bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk menggalang dana umat yang akhirnya diinvestasikan di berbagai sektor ekonomi yang menguntungkan. Dengan investasi tersebut, secara otomatis akan terbuka lapangan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran.Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya kesadaran masyarakat yang mampu untuk mewakafkan sebagian harta yang telah dikaruniakan Allah untuk kepentingan umat. Selain itu perlu adanya pengelola wakaf yang profesional sehingga dana wakaf uang yang telah terkumpul tidak berkurang jumlah dan nilainya sehingga tujuan wakaf yang sebenarnya dapat tercapai.

Pengertian istibdal

Istibdal adalah menukar atau mengganti harta benda wakaf dengan harta lain atau mengganti peruntukan harta benda wakaf yang telah ditentukan oleh Wakif kepada peruntukan yang lain.
Menurut hukum Islam, harta benda wakaf tidak boleh dijual, diberikan secara gratis, diwariskan dan dipergunakan yang dapat menghilangkan atau mengurangkan wakafnya. Hal tersebut sesuai dengan hadith Umar bin al-Khattab yang telah disebutkan di atas.
Harta benda wakaf adalah harta benda yang kekal penggunaannya berdasarkan kepada lafadz (shighat) yang diucapkan atau diikrarkan oleh Wakif. Dalam pasal 40 UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

2. Pendapat ulama tentang istibdal
Ulama fiqh berbeza pendapat mengenai penukaran (istibdal) dan penjualan harta wakaf dalam keadaan-keadaan tertentu. Perbezaan tersebut sebagaimana yang disebutkan di bawah ini;
Imam Maliki dan Syafi‘i mempunyai pendapat yang keras terhadap permasalahan ini. Mereka berpendapat bahawa penukaran (istibdal) dan penjualan harta wakaf adalah dilarang kecuali jika harta tersebut tidak dapat dimanfaatkan menurut peruntukan wakaf yang ditentukan oleh Wakif. Kedua Imam ini mempunyai pendapat yang sama dalam harta wakaf yang berupa tanah masjid. Masjid-masjid wakaf tidak boleh ditukar atau dijual walaupun dengan tujuan menggantinya dengan masjid yang baru (al-Nawawi: 5/358, al-Dasuqi: 2/91). Namun dalam masalah harta wakaf yang berbentuk harta bergerak, kedua Imam tersebut berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahawa penukaran boleh dilakukan ke atas harta bergerak menjadi harta tidak bergerak seperti menukarkan kendaraan menjadi rumah atau tanah (al-Dasuqi: 2/90), sedangkan imam Syafi‘i tetap melarang penukaran tersebut (al-Nawawi: 5/357).
Imam Hanbali mempunyai pendapat yang agak longgar dalam masalah penukaran (istibdal) harta benda wakaf. Ia membolehkan penukaran harta-harta wakaf termasuk masjid seandainya penukaran tersebut bisa meneruskan dan mengembangkan tujuan wakaf. Ia juga berpendapat bahawa hasil dari penjualan harta benda wakaf dapat digunakan untuk membeli harta lain walaupun berlainan jenisnya dari harta semula. Pendapat ini berdasarkan kepada tindakan Umar bin al-Khaththab yang telah menggantikan masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru (Ibnu Qudamah: 6/225-227).
Sedangkan imam Hanafi mempunyai pendapat yang lebih longgar dan terbuka jika dibandingkan dengan ulama fiqh yang lain. Ia melihat dari tiga keadaan: Pertama; Wakif telah mensyaratkan hak menukar harta benda wakaf yang diberikannya pada dirinya. Dalam keadaan ini wakaf yang dilakukan dan syarat yang ditetapkan Wakif adalah sah. Maka, Wakif atau wakilnya berhak menukar harta benda wakaf tersebut dengan harta lain tanpa izin hakim. Kedua; Wakif tidak mensyaratkan hak menukar harta benda wakaf ketika mengucapkan ikrar wakaf, apabila harta benda wakaf tersebut telah rusak sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi, maka penukaran harus dilakukan seandainya hakim setuju bahawa harta tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan. Ketiga; Wakif tidak mensyaratkan hak menukar harta benda wakaf, sedangkan harta tersebut masih memiliki manfaat secara keseluruhan, maka penukaran dalam keadaan seperti ini tidak dibolehkan (Wahbah al-Zuhaili: 8/221, Ibnu Abidin: /384).
Dalam sistem Perundang-undangan Indonesia penukaran harta benda wakaf dibolehkan apabila telah mendapat izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia akan memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk penukaran harta benda wakaf apabila;
a) perubahan harta benda tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
b) harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau
c) pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
Contoh kasus dalam penukaran harta wakaf adalah penukaran tanah wakaf seperti yang terjadi pada tanah wakaf seluas 166 m2 milik masjid al-Istiqamah dan tanah seluas 112,5 m2 milik Mushola Hayatuddin yang terletak di Kebon Melati V Rt. 02 Rw. 08 Kel. Kebon Melati Kec. Tanah Abang Jakarta Pusat. Tanah wakaf tersebut ditukar dengan sebidang tanah milik PT. Jakarta Realty seluas 420 m2 di jln. KH. Mas Mansur no. 57 Kel. Kebon Melati Kec. Tanah Abang Jakarta Pusat.

Jenis wakaf

Dalam buku-buku fiqh, wakaf terbagi menjadi dua, iaitu wakaf keluarga (waqf al-ahli) dan wakaf kebajikan (waqf al-khairi). Namun pembagian ini mengalami penambahan dalam konteks pelaksanaan di lapangan.
a) Wakaf keluarga (waqf al-ahli)
Dalam wakaf jenis ini, manfaat harta wakaf diberikan kepada keturunan Wakif seperti anak, cucu dan sebagainya. Biasanya penerima wakaf telah ditetapkan menurut ketentuan syarat yang dibuat Wakif. Dari segi syariah, wakaf jenis ini dianggap sah. Sebagai contoh seorang mewakafkan buku untuk anak-anaknya yang dapat mempergunakan, kemudian kepada cucu-cucunya dan seterusnya. Masalah yang mungkin timbul adalah apabila diantara anak-cucu keturunan Wakif tidak ada lagi yang mampu mempergunakan buku-buku tersebut ataupun keturunan Wakif terputus. Dalam keadaan seperti ini, harta wakaf berpindah untuk keluarga Wakif yang lebih jauh ataupun digunakan untuk umum.
Namun di beberapa negara Arab, jenis wakaf ini telah dihapuskan karena banyak masalah yang terjadi dalam wakaf ini.
b) Wakaf kebajikan (waqf al-khairi)
Wakaf kebajikan adalah wakaf yang semestinya diberikan untuk amal kebajikan, seperti wakaf tanah untuk kegunaan rumah sakit atau madrasah (Wahbah al-Zuhaili: 8/161). Wakaf jenis ini dianjurkan dalam Islam karena ia ditujukan untuk kepentingan umum atau orang umum. Pahala wakaf kebajikan akan diterima terus oleh Wakif walaupun ia sudah meninggal dunia karena manfaat dari harta wakafnya bisa dinikmati secara umum oleh masyarakat.
Wakaf kebajikan ini bisa digunakan sebagai salah satu sumber investasi untuk pembangunan ekonomi umat, baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Hal ini karena harta wakaf jenis ini dapat dijadikan modal pembangunan sehingga dapat tercapai kesejahteraan masyarakat.
c) Wakaf campuran (waqf al-musytarak)
Wakaf ini merupakan campuran antara wakaf keluarga (waqf al-ahli) dan wakaf kebajikan (waqf al-khairi). Ia berlaku apabila Wakif mewakafkan sebahagian hartanya untuk kebajikan dan sebahagian lagi untuk individu tertentu. Dari segi manfaatnya, ia berdasarkan kepada kadar yang telah ditetapkan oleh Wakif. Di antara contohnya adalah wakaf tanah pertanian yang sebagian dari hasil tanah tersebut diberikan untuk anak-cucu dan sebagian yang lain diberikan untuk kepentingan umum.
Wakaf jenis ini telah menimbulkan masalah perpecahan harta yang dapat melahirkan kerusakan pada harta wakaf tersebut. Setiap bagian wakaf akan mengambil posisi dan hukum tersendiri, baik sebagai wakaf keluarga (waqf al-ahli) atau wakaf kebajikan (waqf al-khairi).
d) Wakaf patungan
Wakaf patungan (di Malaysia disebut wakaf kaki) adalah mewakafkan harta untuk tujuhan kebajikan dengan cara pengurus wakaf (Nazhir) membeli semua harta dan Wakif membayar harga ukuran tertentu yang diinginkan, atau dengan kata lain mewakafkan tanah menurut kemampuan secara bersama-sama (Kamaruddin Ngah: 84).
Wakaf jenis ini banyak diamalkan di Asia, karena wakaf patungan merupakan usaha yang bertujuan untuk memperbanyak tanah wakaf. Di samping itu ia bertujuan agar ajaran wakaf dapat dilaksanakan oleh setiap Muslim. Ia tidak hanya diamalkan oleh orang kaya yang mempunyai banyak tanah saja, namun ia juga dapat diamalkan oleh orang yang mempunyai pendapatan kecil dengan cara membeli tanah dengan kemampuan yang dimiliki melalui sistem wakaf patungan.

Rukun dan syarat wakaf

Dalam melaksanakan amalan wakaf harus ada empat rukun yang harus dipenuhi, empat rukun tersebut adalah;
a) Wakif (waaqif)
Wakif adalah orang yang berwakaf. Wakif bisa melakukan amalan wakaf harus memenuhi syarat; ia merupakan pemilik harta secara sah, berakal, baligh, dan dengan kerelaan sendiri. Selain itu Wakif disyaratkan harus mempunyai hak untuk memindahkan hartanya kepada orang lain. Amalan wakaf sah meskipun dilakukan oleh non-Muslim (al-Kasani: 8/3911).
Namun terdapat perbezaan pendapat antara ulama fiqh tentang wakaf non-Muslim. Imam Hanafi berpendapat bahawa hal tersebut tidak sah, kecuali amalan wakaf dilakukan untuk sesuatu yang dapat mendekatkan diri (qurbah) menurut keyakinan mereka dan juga menurut keyakinan orang Islam. Manakala imam Syafi‘i mengatakan bahwa amalan tersebut sah jika tidak untuk kemaksiatan, namun untuk mendekatkan diri menurut orang Islam (al-Syarbini: 2/377).
b) Penerima wakaf (mauquuf ‘alaih)
Penerima wakaf adalah orang yang menerima faedah atau manfaat dari harta benda yang diwakafkan. Ia bisa berupa pihak tertentu atau pihak umum yang tidak tertentu seperti orang-orang miskin, para ulama atau masjid.
Wakaf al-ahli (wakaf keluarga) biasanya diberikan kepada pihak tertentu seperti anak-anak Wakif, atau saudara-saudara Wakif. Sedangkan wakaf al-khairi (kebajikan) tidak mesti ditetapkan penerimanya. Imam Syafi‘i berpendapat bahawa wakaf kebajikan tidak memerlukan penerima yang tertentu. Begitu juga imam Hanafi berpendapat bahawa penerima wakaf kebajikan tidak perlu ditentukan. Sehingga apabila seseorang mewakafkan rumah tanpa menyebut penerima wakaf, maka manfaat dari rumah yang diwakafkan tersebut diberikan kepada fakir miskin secara umum (al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah: 30).
c) Harta benda wakaf (mauquuf)
Harta benda yang diwakafkan disyaratkan berupa harta benda yang mempunyai nilai, harta milik Wakif, dan harta benda yang berfaedah atau bermanfaat (al-Nawawi: 5/316). Menurut madzhab Hanafi, harta benda yang boleh diwakafkan merupakan harta yang abadi (perpectual), berupa harta tetap dan tidak bergerak serta berupa harta yang dapat dibagi (Ibnu Qudamah: 6/238).
d) Lafadz wakaf (shighat)
Lafadz wakaf atau disebut juga dengan ikrar wakaf. Lafadz wakaf harus mengandungi arti kekal selamanya, dilakukan secara langsung, menjelaskan tempat pemberian wakaf dan harus mengikat kokoh akad wakaf (al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah: 30). Jika Wakif tidak menentukan pihak yang menerima wakaf atau wakaf diberikan kepada pihak umum, ia tidak memerlukan kepada lafadz penerimaan (qabuul). Tetapi jika wakaf tersebut ditujukan kepada pihak tertentu, maka terdapat perbezaan pendapat antara ulama fiqh. Imam Hanafi dan Hanbali berpendapat, wakaf tersebut tidak memerlukan lafadz penerimaan (qabuul) (Ibnu Qudamah: 6/189). Manakala imam Syafi‘i dan Maliki berpendapat bahawa wakaf tersebut memerlukan lafadz penerimaan (qabuul) (al-Nawawi: 5/324).

Syarat Pelaksanaan Wakaf
Setelah Wakif mengucapkan ikrar wakaf, maka untuk pelaksanaannya diperlukan syarat-syarat sebagai berikut;
a) Kekal selamanya
Maksud dari kekal selamanya adalah wakaf tidak boleh dibatasi dengan satu tempo waktu tertentu karena wakaf bersifat berterusan untuk pahala yang berterusan juga, syarat ini merupakan pendapat mayoritas ulama fiqh. Terdapat tiga syarat dalam menentukan bahawa harta wakaf dapat mempunyai sifat kekal selamanya. Pertama; syarat kekal yang berkaitan dengan sifat barang yang diwakafkan (mauquuf). Kedua; syarat kekal yang berkaitan dengan keinginan Wakif yang menginginkan kekekalan wakaf tersebut. Ketiga; syarat yang berkaitan dengan tujuan wakaf yang selalu berterusan (Wahbah al-Zuhaili: ? Munzir Khaf: 102-104).
b) Pasti dilaksanakan
Wakaf merupakan amalan yang pasti harus dilaksanakan tanpa syarat atau pilihan apapun, baik melangsungkan pelaksanaan ataupun membatalkannya. Sehingga apabila wakaf diikuti dengan pilihan syarat, baik berupa syarat yang jelas ataupun tidak jelas maka amalan wakaf tersebut dinyatakan tidak sah (Wahbah al-Zuhaili: 8/208). Ini merupakan syarat pelaksanaan wakaf yang ditetapkan mayoritas ulama fiqh kecuali imam Malik.
c) Pelaksanaan segera
Apabila ikrar wakaf sudah diucapkan dan dibuat, wakaf perlu dilaksanakan dengan segera tanpa ditangguhkan atau disyaratkan pada suatu kejadian tertentu. Pelaksanaan segera ini perlu karena ikrar wakaf (shighat) menimbulkan akibat pemindahan hak milik Wakif atas harta benda wakaf setelah ia mengucapkan ikrar wakaf. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama fiqh kecuali imam Malik, karena dia berpendapat bahawa wakaf bisa berlaku dengan menangguhkan pelaksanaannya (al-Dasuqi: 2/87).
d) Menentukan penerima wakaf dengan jelas
Pihak-pihak yang akan menerima wakaf harus dijelaskan secara terperinci untuk menjauhkan dari berbagai perselisihan, fitnah atau permasalahan nantinya. Syarat ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh imam Syafi‘i, sedangkan ulama fiqh yang lain tidak mensyaratkan hal tersebut (Wahbah al-Zuhaili: 8/209-210).

Dalil disyariatkannya wakaf

Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut adalah;
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚö‘F{$# ( Ÿ
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& ’Îû È@‹Î6y™ «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y™ Ÿ@Î/$uZy™ ’Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß™ èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o„ 3 ª!$#ur ììÅ™ºur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;
أصَابَ عُمَرُ أرْضًا بِخَيْبَرَ فَأتَى النَبِيَّ يَسْتَأمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَارَسُوْلَ الله إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ, فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ؟ قَالَ إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا, قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أنَّهُ لاَ يُبَاعُ أصْلُهَا وَلاَ يُبْتَاعُ وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْهَبُ, قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَ فِى القُرْبَى وَ فِى الرِّقَابِ وَ فِى سَبِيْلِ الله وَ ابْنِ السَبِيْلِ وَالضَّيْفِ, لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وُلِّيْهَا أنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ أوَ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوَّلٍ فِيْهِ (رواه جماعة)
“Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah;
إذَا مَاتَ الإنْسَانُ إنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أشْيَاءٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ (رواه أبو داوود)
“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

Pengertian wakaf

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut;
Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Sedangkan Malikiyah berpendapat bahawa, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Golongan Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Manakala Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185).
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Menurut pendapat penulis, definisi yang terdapat dalam undang-undang ini lebih dekat dengan definisi yang diberikan oleh madzhab Maliki karena ia membolehkan wakaf dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomer 42 Tahun 2006

Wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomer 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Peraturan Pemerintah sangat diperlukan oleh para nazir dalam mengelola wakaf, khususnya wakaf uang. Hal ini dapat difahami, karena sementara ini sudah ada beberapa nazir yang sudah mengelola wakaf uang maupun wakaf produktif. Tabung wakaf dan Baitul Mal Muamalat, misalnya mereka sudah menerima wakaf uang dari wakif, untuk kemudian dikembangkan dan didistribusikan hasilnya kepada mauquf ‘alaih. Dengan adanya Peraturan Pemerintah, para Nazir berharap punya landasan yang kuat dalam melaksanakan tugas mereka. Kemudahan dan keamanan dalam penyelenggaraan wakaf khususnya wakaf uang ini sangat penting, mengingat banyaknya penduduk muslim yang diharapkan mau mewakafkan uang untuk kemudian dikembangkan oleh nadzir, sehingga mauquf ‘alaih segera mendapat kucuran hasil pengembagan wakaf tersebut.
Ada tujuh pasal yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yakni Pasal 14; Pasal 21; Pasal 31; Pasal 39; Pasal 41; Pasal 46; Pasal 66; dan Pasal 69. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf memuat sebelas Bab. Bab I memuat Ketentuan Umum. Bab II mengatur masalah Nazir, terdiri dari lima Bagian. Bagian kesatu mengatur Nazir secara umum, berisi dua pasal; bagian kedua mengatur tentang Nazir Perseorangan berisi tiga pasal; Bagian ketiga mengatur tentang Nazir organisasi, berisi empat pasal; Bagian keempat mengatur tentang Nazir Badan Hukum, berisi dua pasal; Bagian kelima mengatur Tentang tugas dan masa bakti Nazir, berisi dua pasal. Bab III mengatur tentang jenis harta benda wakaf, akta ikrar wakaf, dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengatur jenis harta benda wakaf, berisi 13 pasal; Bagian kedua mengatur tentang Akta Ikrar Wakaf dan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, berisi sembilan pasal; Bagian ketiga memuat ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, berisi satu pasal. Bab IV mengatur tentang tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengatur tentang tata cara pendaftaran harta benda wakaf, berisi enam pasal; Bagian kedua mengatur pengumuman harta benda wakaf, hanya berisi satu pasal. Bab V mengatur pengelolaan dan pengembangan wakaf, berisi empat pasal. Bab VI mengatur tentang penukaran harta benda wakaf, memuat tiga pasal. Bab VII mengatur bantuan pembiayaan Badan Wakaf Indonesia, berisi satu pasal. Bab VIII mengatur pembinaan dan pengawasan, berisi empat pasal. Bab IX mengatur sanksi administratif, terdiri satu pasal. Bab X memuat ketentuan peralihan, terdiri dari dua pasal. Bab XI memuat ketentuan penutup, terdiri dari dari dua pasal.
Sebenarnya cukup banyak hal yang diamanatkan dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, beberapa di antaranya adalah ketentuan mengenai pendaftaran nadzir, baik nadzir perorangan, organisasi maupun badan hukum; ketentuan mengenai ikrar wakaf untuk benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang dan benda bergerak selain uang; dan pembuatan akta ikrar wakaf untuk masing-masing benda yang diwakafkan. Akta ikrar wakaf untuk benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang dan benda bergerak selain uang tentu masing-masing berbeda. Sebagai contoh misalnya mengenai ketentuan ikrar wakaf uang tentu berbeda dengan ketentuan ikrar wakaf tanah. Berkenaan dengan wakaf uang, dalam undang-undang sudah disebutkan dengan jelas bahwa “wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri.” Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya “dalam hal wakaf uang, siapakah yang berhak menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ?” Sebelum ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, karena yang diatur hanyalah tanah milik, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah Kepala KUA Kecamatan. Untuk saat ini berdasarkan karakteristiknya, tentu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk wakaf uang mestinya bukan Kepala KUA Kecamatan, apalagi dalam undang-undang juga sudah disebutkan bahbwa Sertifikat Wakaf Uang diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Di samping hal-hal yang sudah dikemukakan, tatacara pendaftaran benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang, dan benda bergerak selain uang, masing-masing juga harus diatur secara rinci.

Perwakafan dalamUndang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Sayangnya pemahaman umat Islam di Indonesia tehadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam peraturan-perundang-undangan hanyalah tanah milik, yakni diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh umat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001. Dengan demikian wakaf benda bergerak khususnya uang masih belum dikenal secara luas dalam masyarakat, bahkan berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, masih ada sebagian masyarakat yang mempermasalahkan bolehnya wakaf uang. Alhamdulillah pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut:
1. Wakaf uang (Cash Waqf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dalam Undang-undang Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini terdiri dari 11 (sebelas) Bab dan Penjelasan. Bab I berisi Ketentuan Umum. Bab II, mengenai Dasar-dasar Wakaf, yang terdiri 10 (sepuluh) bagian. Bagian Pertama berisi hal yang bersifat umum, terdiri dua pasal; Bagian Kedua berisi tujuan dan fungsi Wakaf terdiri dua pasal; Bagian Ketiga berisi unsur Wakaf terdiri satu pasal; Bagian keempat berisi tentang Wakif, terdiri dua pasal; Bagian kelima berisi tentang Nazir terdiri dari enam pasal; Bagian keenam berisi tentang harta benda wakaf, terdiri dua pasal; Bagian ketujuh berisi tentang Ikrar Wakaf, terdiri lima pasal; Bagian kedelapan berisi tentang peruntukan harta benda wakaf, terdiri dari dua pasal; Bagian kesembilan berisi tentang wakaf dengan wasiat, terdiri empat pasal; Bagian kesepuluh berisi tentang wakaf benda bergerak berupa uang, terdiri empat pasal. Adapun Bab III mengatur tentang pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf. Bab ini terdiri delapan pasal. Bab IV mengatur tentang perubahan status harta benda wakaf, terdiri dua pasal. Bab V mengatur tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, terdiri lima pasal. Bab VI mengatur tentang Badan Wakaf Indonesia. Bab ini terdiri dari tujuh bagian. Bagian pertama mengatur tentang kedudukan dan tugas Badan Wakaf Indonesia, terdiri dari empat pasal; Bagian kedua mengatur tentang organisasi Badan Wakaf Indonesia, terdiri dua pasal; Bagian Ketiga mengatur keanggotaan dalam Badan Wakaf Indonesia, terdiri dari dua pasal; Bagian keempat mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Badan wakaf Indonesia, terdiri dari empat pasal; Bagian kelima mengatur tentang pembiayaan Badan Wakaf Indonesia, terdiri satu pasal; Bagian keenam berisi tentang ketentuan pelaksanaan Badan wakaf Indonesia, terdiri satu pasal; Bagian kertujuh berisi tentang pertanggungjawaban, terdiri xdua pasal. Bab VII beridsi tentang penyelesaian sengketa, terdiri satu pasal. Bab VIII berisi tentang pembinaan dan pengawasan. Bab ini terdiri dari empat pasal. Bab IX berisi tentang ketentuan pidana dan sanksi administrative, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi tentang ketentuan pidana, terdiri satu pasal; Bagian kedua mengatur tentang sanksi administratif, terdiri satu pasal juga. Bab X berisi tentang ketentuan peralihan, terdiri dua pasal. Bab XI berisi ketentuan penutup, berisi satu pasal.
Dalam Undang-undang Nomor 41 tersebut ada beberapa hal yang baru dibandingkan dengan wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam Undang-undang tersebut yang diatur tidak hanya mengenai perwakafan tanah milik, tetapi perwakafan semua benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Hal ini tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri:
a) benda tidak bergerak; dan
b) benda bergerak.
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai wakaf uang, karena pelaksanaannya melibatkan Lembaga Keuangan Syariah, maka dalam Undang-Undang Tentang Wakaf, wakaf uang diatur dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Adapun ketentuan mengenai wakaf benda bergerak yang berupa uang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan wakaf uang ini memang tidak mudah, karena dalam pengelolaannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, khususnya wakaf uang harus dilakukan oleh nadzir yang profesional. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa seseorang hanya dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan: a. Warga negara Indonesia; b. Beragama Islam; c. Dewasa; d. Amanah; e. Mampu secara jasmani dan rohani; dan f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Adapun tugas nadzir dalam Undang-undang Tentang Wakaf dengan jelas disebutkan dalam Pasal 11, yakni:
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Apabila dilihat dari tugas nadzir di atas, menurut penulis, nadzir selain memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Undang-undang, dalam pelaksanaannya nanti, agar nadzir dapat bekerja secara profesinal dalam mengelola wakaf, maka nadzir khususnya nazhir wakaf uang juga harus memiliki kemampuan yang lain, yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama.
Dengan syarat-syarat yang demikian, diharapkan nadzir benar-benar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat. Untuk mendapatkan nadzir yang memenuhi syarat di atas tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf tunai, harus ada lembaga yang siap melakukan pelatihan bagi calon nadzir.
Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
Salah satu tujuan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersifat independen. Dalam UU tentang Wakaf Pasal 48 disebutkan bahwa BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di propinsi dan atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Dalam Pasal yang sama ayat (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu.
Dilihat dari tugas dan wewenang BWI dalam UU ini nampak bahwa BWI mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia, sehingga nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf.
Untuk itu orang-orang yang berada di BWI hendaknya memang orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing sesuai dengan yang dibutuhkan oleh badan tersebut. Mengenai organisasi Badan wakaf Indonesia, sebenarnya sudah jelas disebutkan dalam undang-undang. Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Pada ayat (2) Pasal yang sama disebutkan pula bahwa Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan ayat (3) menyebutkan bahwa Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia. Menurut Pasal 52 ayat (1), Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota. Sedangkan Pasal 52 ayat (2) menyebutkan bahwa keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat (Pasal 53).
Dalam 54 ayat (1) disebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syari’ah; dan h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional. Pada ayat (2) Pasal yang sama disebutkan pula bahwa selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimanakah cara pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia ? Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia, sedangkan ayat (3) mengatur bahwa ketentuan tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum. Satu hal yang penting dalam UU ini adalah masalah peruntukan wakaf. Dalam Penjelasan Umum UU ini disebutkan bahwa peruntukan benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah \kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.
Dengan melihat substansi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nampak bahwa masa depan perwakafan di Indonesia cukup prospektif dan cukup menjanjikan dapat menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunann di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk meme­ nuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pem­bangunan-pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat dan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data tata guna tanah menunjukkan bahwa masih terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orang-orang yang menggarapnya.[1]
Di samping hal di atas ada keluhan masyarakat dan instansi yang mengelola tanah wakaf bahwa sebelum dikeluar­ kan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, pengurusan dan pengelolaan tanah-tanah wakaf kurang teratur dan kurang terkendalikan, sehingga sering terjadi penyalahgunaan wakaf.[2] Kondisi demikianlah yang mendorong pemerintah untuk mengatasi masalah yang muncul dari praktik perwakafan di Indonesia. Hal ini tergambar dari latar belakang dikeluar­ kannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977. Ada beberapa yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, yakni:
a. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain dari belum memenuhi kebutuhan, juga diatur secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri. Ini disebabkan karena beraneka ragamnya bentuk wakaf (wakaf keluarga dan wakaf umum) dan tidak adanya keharusan mendaftarkan benda-benda yang diwakafkan itu. Akibatnya banyak benda-benda yang diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, malah ada diantaranya yang telah menjadi milik ahli waris pengurus (nadzir) wakaf bersangkutan. Hal-hal ini kemudian (b) menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang menjurus pada perasaan antipati terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam. Selain dari itu (c) dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai tanah wakaf karena tidak jelasnya status tanah wakaf yang bersangkutan.[3]
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama, dinyatakan bahwa negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa "Negara Republik Indonesia" wajib mebantu pelaksanaan syari'at Islam bagi orang Islam, syari'at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari'at Hindu Dharma bagi orang Hindu Dharma, apabila dalam pelaksanaan syari'at itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara.[4]
Kekuasaan Negara yang wajib membantu pelaksanaan syari'at masing-masing agama yang diakui dalam negara Republik Indonesia ini adalah Kekuasaan Negara yang berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh syari'at yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.[5] Di samping itu pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerde­kaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Di lihat dari ayat (1) dan (2) pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tersebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Allah yang termasuk ibadah maliyah yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.[6] Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar hak dan kewajiban serta kepentingan masya­rakat itu dapat berjalan dengan baik, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu ketertiban dalam praktik perwakafan ini dapat terwujud hingga manfaatnya pun dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai suatu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah tanah, wakaf di Indonesia sudah diatur pelaksanaan­ nya dengan beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Adapun peraturan perun­dang-undangan yang langsung mengenai perwakafan tanah milik adalah seperangkat peraturan yang dikeluarkan mulai tahun 1977 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwa­kafan Tanah Milik.
Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik ini terdiri dari tujuh bab, delapan belas pasal, dengan susunan sebagai berikut: Bab I mengenai ketentuan umum yang berisi definisi tentang wakaf, wakif, ikrar wakaf dan nazir. Bab II mengenai fungsi wakaf yang terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama memuat rumusan fungsi wakaf, bagian kedua memuat unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, bagian tiga memuat ketentuan mengenai kewajiban dan hak-hak nazir. Bab III memuat ketentuan mengenai tata cara mewakafkan dan pendaftarannya, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengenai tata cara perwakafan tanah milik, bagian kedua tentang pendaftaran tanah milik. Bab IV berisi tentang perubahan, penyelesaian dan pengawasan perwakafan tanah milik. Bab IV terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ketentuan mengenai perubahan perwakafan tanah milik, bagian kedua memuat ketentuan mengenai penyelesaian perse­lisihan perwakafan tanah milik, dan bagian ketiga mengenai pengawasan perwakafan tanah milik. Bab V mengenai ketentuan pidana. Bab VI memuat ketentuan peralihan dan Bab VII memuat ketentuan penutup. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini akan diba­has secara rinci dalam bab IV.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah mengenai perwakafan tanah milik. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini terdiri dari lima bab dan empat belas pasal. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut : Bab I ketentuan umum yang memuat pernyataan bahwa tanah yang diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik, ketentuan mengenai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, bentuk Akta Ikrar Wakaf dan biaya-biaya yang berkenaan dengan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan keten­tuan para saksi. Bab II berisi tentang pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah hak milik. Bab III memuat ketentuan mengenai biaya pendaftaran dan pencatatan dalam sertifikat. Bab IV memuat ketentuan peralihan dan Bab V berisi ketentuan yang menjelaskan tentang mulai berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini.
3. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Menteri Agama ini terdiri dari sepuluh bab, dua puluh pasal. Adapun susunannya adalah sebagai berikut: Bab I ketentuan umum yang memuat rumusan berbagai istilah dalam perwakafan. Bab II mengenai ikrar wakaf dan aktanya, Bab III memuat ketentuan mengenai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama. Bab ini juga memuat tugas-tugas Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Bab IV memuat ketentuan tentang nazir, kewajiban dan haknya. Bab V menge­nai perubahan perwakafan tanah milik, Bab VI mengenai pengawasan dan bimbingan, Bab VII mengenai tata cara pendaftaran wakaf yang terjadi sebelum PP. No. 28 Tahun 1977, Bab VIII mengenai penyelesaian perselisihan perwakafan, Bab IX mengenai biaya, dan Bab X memuat ketentuan penutup.
4. Instruksi Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor:1 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan 1 Tahun 1978 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada para Gubernur Kepala Daerah dan para Kepala Kantor Wilayah Departe­men Agama Seluruh Indonesia untuk pertama: melaksanakan dengan sebaik-baiknya ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwa­kafan Tanah Milik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, serta Peraturan Men­teri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelak­sanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik. Kedua: memerintahkan kepada Instansi dan Pejabat bawahannya untuk mentaati dan melaksanakan Instruksi ini serta segenap peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ketiga: mengamankan dan mendaftarkan Perwakafan Tanah Milik yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tanpa biaya apapun kecuali biaya pengukuran dan meterai. Keempat: memberikan laporan tentang pelaksanaan instruksi ini kepada Men­teri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Kelima: instruksi ini diberlakukan sejak tanggal 23 Januari 1978.
5. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksa­ naan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini terdiri dari lima pasal dengan dua kelompok lampiran. Lampiran I berisi 14 bentuk formulir yang dipergunakan dalam perwakafan tanah milik. Sedang­kan lampiran II memuat pelaksanaan mengenai perwakafan yang meliputi : (1) tata cara perwakafan tanah milik, 2) surat-surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf), (3) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang meliputi penunjukan dan tugas-tugasnya, (4) Nazir, kewajiban dan haknya, (5) biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf, (6) tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977, dan (7) penyelesaian perselisihan perwakafan.
6. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indone­sia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
7. Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Men­teri Agama No. 73 Tahun 1978.
8. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/14/1980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan lampiran Surat Dirjen Pajak No. S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai, dan jenis formulir yang dikenakan bea materai, dan berapa besar materainya.
9. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/07/1981 tanggal 17 Februari 1981 kepada Guber­nur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan permohonan keringanan atau pembebasan dari semua pembebanan biaya.
10. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D II/5/Ed/11/1981 tanggal 16 April tentang Petunjuk Pemberian Nomor pada formulir perwakafan Tanah Milik.
Di samping peraturan-peraturan yang langsung berkenaan dengan masalah perwakafan, sebagaimana sudah disebutkan ada juga beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak langsung yakni peraturan perundang-undangan yang menyebut tentang perwakafan tanah milik. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, tanggal 24 September 1960. Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 memberi isyarat bahwa "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
2. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini berlaku umum, artinya semua tanah. Oleh karena itu peraturan ini juga berlaku untuk tanah wakaf.
3. Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23 September 1961.
4. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang Penun­jukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 ini dikeluarkan sebagai realisasi dari apa yang dimaksud oleh pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi "Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya". Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 menyebutkan bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah selain bank-bank yang didirikan oleh Negara (huruf a), perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 tahun 1958, juga disebutkan pada huruf c bahwa badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. Adapun pasal 1 huruf d menyebutkan badan-badan social yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial juga dapat mempunyai hak milik atas tanah.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran Tanah.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan ini kemudian ditambah atau disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1978 tentang Keten­tuan Mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978. Pada Pasal 4a ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 ditentukan bahwa "Untuk badan-badan hukum sosial dan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifi­kat sebagai yang ditetapkan di dalam bab II, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan". Tanah yang diwakafkan selain untuk kegiatan keaga­maan juga untuk kegiatan sosial tentu sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tersebut di atas. Dari ketentuan di atas tampak bahwa dalam penyer­tifikatan tanah wakaf biayanya relatif murah, karena bagi badan hukum selain badan hukum sosial dan keaga­maan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II Peraturan Menteri Dalam Negeri ini.
6. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang Penyertifikatan Tanah Bagi Badan Hukum Keaga­maan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria.
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri ini dengan jelas disebutkan bahwa dalam penyertifikatan tanah secara masal, maka tanah-tanah yang dikuasai/dipunyai oleh Badan Hukum Keagamaan, Badan Hukum Sosial, dan Lembaga Pendidikan yang dipergunakan secara langsung untuk kepentingan di bidang keagamaan, sosial, dan pendidikan dapat dijadikan obyek Proyek Nasional Agraria.
7. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.178/DJA/1982 tentang Penunjukan Badan Kesejahtaraan Masjid (BKM) pusat sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Dari beberapa peraturan penting yang berhubungan dengan peraturan perwakafan tanah milik yang telah dikemukakan baik peraturan perundang-undangan yang langsung maupun yang tidak langsung, jelas bahwa perwakafan di Indonesia mendapat perhatian besar dari pemerintah. Perhatian pemerin­tah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwe­nang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Dengan adanya peraturan-peraturan dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib dan teratur tanpa ada pe­nyimpangan-penyimpangan sebagaimana sudah disebutkan. Ter­tibnya tanah wakaf memungkinkan wakaf itu berfungsi sebagai­mana mestinya yakni sebagai salah satu sarana untuk mengem­bangkan kehidupan keagamaan bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk mencapai kesejahteraan materiil dan spiritual baik di dunia maupun di akhirat kelak. Akan tetapi dalam kenyataannya peraturan-peraturan yang sebenarnya diharapkan dapat menertibkan tanah wakaf di Indonesia ini sampai dengan tahun 1990 belum juga mampu mengatasi permasalahan perwakafan yang terjadi dalam masya­rakat. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada tersebut pada tanggal 30 Nopember 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. 24 Tahun 1990
Dari instruksi bersama tersebut diinstruksikan kepada Kepala kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadia dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadia seluruh Indonesia, mengenai: pertama: untuk mengadakan koordinasi sebaik-baiknya dalam penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Kedua: mengupayakan penyelesaian sertifikat tanah wakaf tersebut selambat-lambatnya pada akhir Pelita V. Ketiga: menggunakan tolok ukur satuan biaya Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA) sebagai dasar pembiayaan penyelesaian sertifikat tanah wakaf. Keempat: merencanakan penyerahan secara masal sertifikat tanah wakaf dalam rangkaian acara hari ulang tahun Undang-undang Pokok Agraria ke-31 tanggal 24 September 1991 dan Hari Amal Bakti Departemen Agama ke-46 tanggal 3 Januari 1992 yang penyerahannya akan dilakukan oleh Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kelima: mengintensifkan tanah wakaf baik yang bersumber dari APBN, APBD maupun dari masyarakat. Keenam: melaporkan kepada Gubernur Kepala daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan dan Menteri Agama RI apabila dalam sertifikat tanah wakaf tersebut mengalami kesulitan/hambatan tentang pembiayaan, tenaga teknis, peralatan dan kebutuhan lainnya. Ketujuh: Instruksi ini supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya dan setiap tiga bulan melaporkan perkembangannya kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Agama RI. Kedelapan: Instruksi ini mulai berlaku sejak dikeluarkan, yakni tanggal 30 Nopember 1990.
Peraturan-peraturan yang telah dikemukakan tersebut pada umumnya dilengkapi dengan surat keputusan atau instruk­ si dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di masing-masing propinsi di seluruh Indonesia. Gubernur DKI Jakarta misal­nya, telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 154 Tahun 1991 tentang Pelayanan Sertifikat Tanah-tanah wakaf di DKI Jakarta. Instruksi ini ditujukan kepada para Walikota; para Kepala Kantor Perta­nahan; Kepala Suku Dinas Tata Kota; para Kepala Kantor Pelayanan PBB; para Camat dan para Lurah. Di samping itu Gubernur KDKI Jakarta juga membantu dana untuk biaya penyertifikatan tanah-tanah wakaf dengan dana yang berasal dari APBD dan BAZIS DKI Jakarta tahun 1991/1992 dan 1992/1993. Bantuan ini dituangkan dalam Surat Gubernur KDKI Jakarta No. 1950/073.521, tanggal 30 Mei 1991. Instruksi bersama antara Menteri Agama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional ternyata cukup mendorong setiap propinsi untuk segera menertibkan tanah wakaf yang berada di wilayahnya. Hal ini nampak misalnya di kelima wilayah yang ada di DKI Jakarta. Setiap bulan masing-masing Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan harus melaporkan perkem­bangan sertifikat tanah wakaf kepada Kepala Kantor Departe­men Agama masing-masing kota, kemudian laporan ini diterus­kan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakar­ ta.[7]
Di samping DKI Jakarta, propinsi-propinsi lain juga berusaha menertibkan tanah-tanah wakaf dan berusaha meman­faatkan sebagaimana mestinya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan beberapa peraturan yang mendukung terlaksananya Peraturan Pemerintah tersebut, maka seluruh peraturan atau ketentuan-ketentuan perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad No. 6196 Tahun 1905; No. 12573 Tahun 1931; No. 13390 Tahun 1934 dan No. 13480 Tahun 1935 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang yang berten­tangan dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksa­nakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepas­tian hukum.[8]
Untuk mengatasi masalah di atas Prof. Dr. H. Busthanul Arifin,SH mengemukakan gagasan perlunya disusun Kompilasi Hukum Islam. Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama sekarang ini, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Febru­ari 1988. Melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum terse­but. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu agar menerapkan Kom­pilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah dibi­dang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.[9]
Di samping peraturan-peraturan yang langsung berkenaan dengan masalah perwakafan, sebagaimana sudah disebutkan ada juga beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak langsung yakni peraturan perundang-undangan yang menyebut tentang perwakafan tanah milik. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah sebagai berikut :
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, tanggal 24 September 1960. Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960 memberi isyarat bahwa "Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tanggal 23 Maret 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini berlaku umum, artinya semua tanah. Oleh karena itu peraturan ini juga berlaku untuk tanah wakaf.
Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah. Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 23 September 1961.
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tentang Penun­jukan Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran Tanah. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan ini kemudian ditambah atau disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1978 tentang Keten­tuan Mengenai Biaya Pendaftaran Tanah untuk Badan-badan Hukum tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978. Pada Pasal 4a ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 ditentukan bahwa "Untuk badan-badan hukum sosial dan keaga­maan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari Menteri yang bersangkutan, berlaku ketentuan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifi­kat sebagai yang ditetapkan di dalam bab II, sepanjang tanah yang bersangkutan dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan sosial atau keagamaan".
Tanah yang diwakafkan selain untuk kegiatan keaga­maan juga untuk kegiatan sosial tentu sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1978 tersebut di atas. Dari ketentuan di atas tampak bahwa dalam penyer­tifikatan tanah wakaf biayanya relatif murah, karena bagi badan hukum selain badan hukum sosial dan keaga­maan dikenakan biaya pendaftaran hak dan pembuatan sertifikat sebesar 10 kali tarif yang ditetapkan dalam Bab II Peraturan Menteri Dalam Negeri ini.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 348 Tahun 1982 tentang Penyertifikatan Tanah Bagi Badan Hukum Keaga­maan, Badan Hukum Sosial dan Lembaga Pendidikan yang menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria.
7. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.178/DJA/1982 tentang Penunjukan Badan Kesejahtaraan Masjid (BKM) pusat sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
Dari beberapa peraturan penting yang berhubungan dengan peraturan perwakafan tanah milik yang telah dikemukakan baik peraturan perundang-undangan yang langsung maupun yang tidak langsung, jelas bahwa perwakafan di Indonesia mendapat perhatian besar dari pemerintah. Perhatian pemerin­tah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwe­nang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Dengan adanya peraturan-peraturan dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib dan teratur tanpa ada pe­nyimpangan-penyimpangan sebagaimana sudah disebutkan. Akan tetapi dalam kenyataannya peraturan-peraturan yang sebenarnya diharapkan dapat menertibkan tanah wakaf di Indonesia ini sampai dengan tahun 1990 belum juga mampu mengatasi permasalahan perwakafan yang terjadi dalam masya­rakat. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada tersebut pada tanggal 30 Nopember 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan beberapa peraturan yang mendukung terlaksananya Peraturan Pemerintah tersebut, maka seluruh peraturan atau ketentuan-ketentuan perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad No. 6196 Tahun 1905; No. 12573 Tahun 1931; No. 13390 Tahun 1934 dan No. 13480 Tahun 1935 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sepanjang yang berten­tangan dengan peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana diketahui bahwa selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang m enghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksa­nakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepas­tian hukum (Departemen Agama RI, 1992: 139).[10]
Untuk mengatasi masalah di atas Prof. Dr. H. Busthanul Arifin,SH mengemukakan gagasan perlunya disusun Kompilasi Hukum Islam. Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama sekarang ini, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Febru­ari 1988. Melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum terse­but. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu agar menerapkan Kom­pilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah dibi­dang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan (Departemen Agama, 1992: 162-165).
Meskipun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah perwakafan, kenyataan menunjukkan bahwa dilihat dari tertibnya administrasi, perwakafan di Indonesia memang meningkat karena sudah cukup banyak tanah wakaf yang bersertifikat, akan tetapi dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat belum nampak. Hal ini barangkali karena wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur. Karena benda-benda bergerak di Indonesia belum ada peraturannya, maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan, ditambah lagi kebanyakan nadzir wakaf juga kurang professional dalam pengelolaan wakaf, sehingga mereka belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif.
Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka Undang-undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam menyambut baik Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Undang-undang Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf yang diatur dalam Undang-undang Wakaf tidak dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam termasuk wakaf uang, saham dan lain-lain.
[1] Soeprapto, "Perubahan Peruntukan/Penggunaan Tanah Wakaf dari Sudut Agraria", mimeo, Makalah disampaikan Temu Wicara Perwakafan Tanah Milik, Departemen Agara RI, (Jakar­ta, 19-20 September 1987), h. 4
[2] Sutarmadi, Muhda Hadisaputra dan Amidhan, Pedoman Praktis Perwakafan (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid, 1990), h. 6

[3] Mohammad Daud Ali, op.cit., hal. 99-100.
[4] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 34
[5]Ibid., h. 75
[6]Ibid., hal. 98-99
[7] Hasil wawancara penulis dengan Kepala Kantor Departe­men Agama Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan pemantauan penulis selama penelitian. Selama penelitian penulis juga sering mengikuti pertemuan yang dilakukan antara Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan Kepala Kantor Agama Departemen Agama (Wilayah) dalam menyelesaikan permasalahan wakaf di wilayah masing-masing.
[8] Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1992), h. 139
[9] Ibid., h. 162-165
[10] Ibid., hal. 139

Peraturan Wakaf Pada Masa Kemerdekaan

Peraturan Wakaf Pada Masa Kemerdekaan sampai dengan Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
Peraturan-peraturan tersebut pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan terus, karena belum diadakan peraturan perwakafan yang baru. Pemerintah Republik Indone­sia juga tetap mengakui hukum agama mengenai soal wakaf, namun campur tangan terhadap wakaf itu hanya bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliha­raan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai, atau menjadikan barang-barang wakaf menjadi tanah milik negara. Dasar hukum, kompetensi, dan tugas mengurus soal-soal wakaf oleh kementerian agama ialah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949 jo. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1980, serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 Tahun 1952. Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952 menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah KUAP. KUAK dan KUA Kecamatan mempunyai salah satu kewajiban "menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf".[1] Menurut peraturan tersebut perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.
Tugas Menteri Agama/Pejabat yang ditunjuk ialah mengawasi, meneliti, dan mencatat perwakafan tanah apakah sesuai dengan maksud dan tujuan perwakafan menurut agama Islam atau tidak. Untuk keperluan perwakafan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut, dapat dibuatkan surat-surat bukti baru berdasarkan kesaksian-kesaksian yang ada. Sebagai langkah penertiban, Kantor Pusat Jawatan Agama mengeluarkan Surat Edaran tanggal 31 Desember 1956, No. 5. Surat Edaran ini antara lain memuat anjuran agar perwakafan tanah dibuat dengan cara tertulis. Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5 Maret 1959 No.Pem.19/22/23/7; S.K./62/Ka/59 P., maka pengesahan perwakafan tanah milik yang semula menjadi wewenang Bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksa­naan selanjutnya diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari 1960 No. Pda. 2351/34/II.[2]
Dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tampak adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertiban juga diperlihatkan oleh Pemerintah RI. Di samping beberapa peraturan yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan Agama surat edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemesjidan.[3]Meskipun demikian peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di negara Indonesia, persoalan tentang perwa­kafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49 sebagaimana sudah dikutip pada Bab pendahuluan. Dari Pasal 49 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1960 jelas disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah tersebut ternyata baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu. Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik itu diharapkan tanah wakaf yang ada di Indone­sia lebih tertib dan lebih terjaga. Selama belum adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah, di Indonesia banyak terjadi permasalahan tanah wakaf yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah tidak memperdulikan masalah perwakafan, namun karena peraturan yang ada sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan kurang memadai, maka pemerintah pun sulit untuk menertibkan tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak.
[1] Ibid., h. 8
[2] Ibid., h.10
[3] Abdurrahman, loc.cit.

Peraturan Wakaf Pada Masa Kolonial Belanda

Peraturan-peraturan tersebut antara lain adalah:
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den bouw van Mohammedaansche bedehuizen. Meskipun dalam surat edaran ini tidak diatur secara khusus tentang wakaf, akan tetapi dinyatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak bermaksud untuk menghalang-halangi orang Islam Indone­sia memenuhi keperluan keagamaan mereka. Pembatasan dalam pembuatan rumah ibadat baru boleh diadakan apabi­la dikehendaki oleh kepentingan umum. Surat edaran ini ditujukan kepada para Kepala Wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja dimana sepanjang belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar itu harus dicatat asal-usul tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk salat jum'at atau tidak ada pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak. Di samping itu setiap Bupati diwajibkan pula untuk membuat daftar yang memuat keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya (orang Bumi Putra) ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.[1] Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dan umat Islam karena orang yang berwakaf dalam praktiknya harus minta izin kepada Bupati, walaupun katanya hanya bermaksud untuk mengawasi. Reaksi tersebut sebenarnya merupakan penen­tangan terhadap campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam.[2] Oleh karena itu Pemerintah Kolonial mengeluar­kan surat edaran lagi pada tahun 1931.
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 125/3, tentang Toezich Van de Regeering op Mohamme­daansche bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Walau­pun dalam surat edaran ini terdapat beberapa perubahan Bijblad 6196 antara lain ditentukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat, rumah ibadat terse­but dipergunakan untuk salat Jum'at atau tidak, menca­tat asal usulnya dan berupa wakaf atau bukan. Bijblad 6196 harus diperhatikan dengan baik supaya diperoleh register harta benda wakaf. Namun demikian, untuk mewakafkan harta tetap diperlukan izin Bupati. Bupati menilai permohonan itu dari segi tempat harta tetap itu berada, dan maksud pendiriannya. Bupati memberi perin­tah supaya wakaf yang diizinkannya, dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan Agama. Dari setiap pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk digunakan sebagai bahan baginya dalam membuat laporan kepada kantor landrente.[3] Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran yang kedua ini, namun masih tetap ada reaksi dari pergerakan-pergerakan dan umat Islam, dengan alasan bahwa menurut umat Islam perwakafan adalah suatu tindakan hukum privat (meteriil privaatrecht). Mereka beranggapan bahwaperwakafan adalah pemisahan harta benda dari pemilikannya dan ditarik dari peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat. Oleh karena itu untuk sahnya tidak perlu izin dari pemerintah, bahkan pemerintah tidak perlu campur tangan.[4]
Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat edaran lagi, yakni Edaran Gubernemen tanggal 24 Desem­ber 1934 No. 3088/A sebagaimana termuat di dalam Bij­blad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdagdien­sten en Wakafs. Surat edaran ini sifatnya hanya memper­tegas apa yang disebutkan dalam surat edaran sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin usaha untuk mencari penyelesaian seandainya terjadi persengketaan dalam masyarakat dalam hal pelaksanaan salat Jum'at, asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya. Oleh karena itu Bupati harus mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak mematuhinya.[5]
Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan Surat Edaran Sekretaris Gubernement tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No. 13480 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohamme­daansche Bedehuizen en wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan. Di samping itu, dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukan kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat memper­timbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan setempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu dalam daftar yang disediakan untuk itu.[6]
Dalam surat edaran terakhir ini tampaknya masalah perwakafan tidak lagi diharuskan minta izin Bupati, tetapi cukup pemberitahuan kepada Bupati. Dalam hal ini Bupati memang mempunyai hak untuk mempertimbangkan, meneliti, apakah ada peraturan-peraturan umum atau peraturan setempat yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan wakaf. Jika ada, Bupati hanya berhak mengajukan wakaf tanah-tanah lain, kemudian tanah-tanah wakaf tersebut didaftarkan oleh Kepala Raad Agama atas perintah Bupati kemudian diberitahukan kepada asisten Wedana, kemudian asisten Wedana wajib melaporkan kepada Kepala Kantor Landrente (Kepala Agraria).[7]
[1] Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita (Bandung: Alumni, 1979), h. 20-21
[2] Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia (Yogyakarta: Dua Demensi, 1985), h. 6-7
[3] Abdurrahman, loc.cit.
[4] Imam Suhadi, loc.cit.
[5] Abdurrahman, op.cit, h. 22
[6] Ibid., h. 21-22
[7] Imam Suhadi, loc.cit.