Selasa, 13 Januari 2009

Hassan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi

sumber: www.islamlib.com
A. PENDAHULUAN
B. RIWAYAT HIDUP DAN KONDISI SOSIO-KULTURAL MESIR
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.[2]
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.[3] Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah iadilatih untuk ber­pikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah mau­pun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim­bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[4] Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan­-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam se­makin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.[5]
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguh­nya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan duapilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitas­nya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaru­an pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui ulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981.
Tulisan­-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Univer­sitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.[6]
Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek­tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan­nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYANYA
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang ber­kembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[7] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo­rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esaitentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[8]
Pada fase awal pemikirannya iru, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation).[9] Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[10] Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian uta­manya untuk mencari penyebab kekalahan umatIslam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri­ode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro­blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi­kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.[11]
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pe­merintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itumembawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan “Kiri Keagamaan” yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta “Kiri Islam dan Integritas Nasional”. Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab muncul­nya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganali­sis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Is­lam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan feno­menologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[12]
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise­suaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris,[13] populis, dan transformatif.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang.[14]
Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.[15]
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme)[16] sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.[17] Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.
D. SEKITAR PANDANGAN HASSAN HANAFI TENTANG TEOLOGI TRADISIONAL ISLAM
Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.[18]
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.[19] Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata­-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.
Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[20]
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me­manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru­pakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.[21] Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk seti­ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada­lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.[22]
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas.[23] Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah­wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi­ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi.[24] Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.[25]
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.[26]
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe­basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.[27] Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap­an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu­siaan.[28]
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada­lah protes, oposisi dan revolusi.[29] Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.[30]
Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental.[31] Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim.[32] Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.


Daftar Pustaka
Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987)
Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983)
Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990)
Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984
Issa J. Boullatta, “Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk Dipraktekkan”, tulisan pendek yang diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam Islamika 1, g. 21.
Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988)

[1] Lihat Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), h. 133.
[2] Perkembangan ini bisa kita lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
[3] Lebih lanjut lihat, Ibid.
[4] Pengaruh-pengaruh intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat pada karya-karya awalnya. Hal ini juga diterangkan dalam, misalnya, Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), h. 332.
[5] Lihat, Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983), cet. ke-2, h. 7
[6] Lihat, al-Azminat, Loc.Cit.
[7] Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” (selanjutnya disebut Eksperimen), dalam Kazuo Shimogaki, Op Cit., h. Xi.
[8] Eksperimen, h. xi.
[9] Ibid., h. xiii.
[10] Lihat Abdurrahman Wahid, “Pengantar’” (selanjutnya disebut Pengantar), dalam ldeologi, h, xi.
[11] Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990), cet. ke-4.
[12] Lihat, Revolution, Loc.Cit.
[13] Arthur Schopenhauer, seorang filosof Barat modern, pernah memberikan gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki agar teologi tidak melulu berbicara tentang Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang manusia.
[14] Eksperimen, h. xvi.
[15] Ibid.

[16] Gagasan awal ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991.
[17] Ibid., h. xvii.
[18] Lihat catatan kaki (1) buku Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (selanjutnya disebut Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), h. 14.
[19] Issa J. Boullatta, “Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk Dipraktekkan”, tulisan pendek yang diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam Islamika 1, g. 21.
[20] Ideologi, h. 6.
[21] Lihat, Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984, h. 39.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid. hal. 40.
[26] Ideologi, h. 7.
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid, hal. 103.
[30] Ibid, hal. 104.
[31] Ibid, hal. 103.
[32] Ibid, hal. 103-104.

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PRAKTIK EKONOMI SYARIAH

I. PENDAHULUAN
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari‟ah. Disamping itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama, sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syariah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Bank Syariah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang penglolaannya berdasarkan prinsip syariah. Ekonomi syariah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi syariah yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi yang harus diketahui oleh para hakim di lingkungan lembaga Peradilan Agama. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ekonomi syariah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil (hukum acara) dan hukum materiel tentang ekonomi syariah. Pengaturan hukum ekonomi syariah yang ada selama ini adalah ketentuan yang termuat dalam kitab-kitab fiqih dan sebagian kecil terdapat dalam fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), dan dalam Peraturan Bank Indonesia. Melihat kepada kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sehubungan dengan sengketa antara Bank Syariah dan nasabahnya, dalam penyelesaiannya BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda yaitu fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional dan KUH Perdata. Hal ini dilakukan guna mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara.
Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiel tentang ekonomi syariah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia, dan Dewan Wakaf Nasional Indonesia. Saat ini Kelompok Kerja Perdata Agama (Pokja-Perdata Agama) Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama, tentu hal ini sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi syariah diterbitkan.

II. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH BERDASARKAN TRADISI ISLAM KLASIK.

1. Al Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai[1]. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa’ ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
a. Hal yang menyangkut subyek
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti pertama: wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya, kedua: pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, ketiga: nazir (pengawas) wakaf atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.
b. Hal yang menyangkut obyek
Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni pertama : berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua : dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama.
c. Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.
d. Pelaksana perdamaian
Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar sidang Pengadilan atau melalui sidang Pengadilan. Diluar sidang Pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syari‟at Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang Pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sedang diproses dalam sidang Pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati.
Perjanjian perdamaian (sulh) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktek dibeberapa negara Islam, terutama dalam hal per Bankkan Syari‟ah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq” (perundingan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern Bank, khususnya Bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah[2].
2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa[3]. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad[4] pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar[5] pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi‟iyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Ada juga yang berkembang di Madinah, tetapi lebih banyak dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian, sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris. Nabi Muhammad SAW. sendiri sering mejadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi baik di Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang lebih luas, mediator ditunjuk dari kalangan shahabat dan dalam menjalan tugasnya tetap berpedoman pada al Qur’an, al-Hadis dan ijtihad menurut kemampuannya. Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut “huququl Ibad” (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri seseorang yang telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan hutang piutang.
Oleh karena tujuan dari Arbitrase itu hanya menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang bisa diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Menurut Wahbah Az Zuhaili[6], para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa tahkim berlaku dalam masalah harta benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang mazhab ini) bahwa tahkim dapat dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam bidang nikah, li’an, qazdaf, dan qisas. Sebaliknya ahli hukum dikalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkim itu dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam bidang hudud dan qisas, Sedangkan dalam bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak saja. Ahli hukum Islam dikalangan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa tahkim dibenarkan dalam syariat Islam hanya dalam bidang harta benda saja tetapi tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan li’an, karena masalah ini merupakan urusan Peradilan.
Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh kalangan ahli hukum Islam. Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syariah. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhum[7] bahwa wilayah tahkim itu hanya yang berhubungan dengan harta benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas. Di Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang ADR dijelaskan bahwa sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ruang lingkup ekonomi yang mencakup perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual dan sejenisnya termasuk yang bisa dilaksanakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanannya.
Para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam (arbitrase) langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli hukum di kalangan mazhab Syafi’i. Alasan mereka ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa apabila mereka sudah sepakat mengangkat hakam untuk menyelesaikan persengketaan yang diperselisihkannya, kemudian putusan hakam itu tidak mereka patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah SWT. Di samping itu, barang siapa yang diperbolehkan oleh syariat untuk memutus suatu perkara, maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat, sama halnya dengan hakim di Pengadilan yang telah diberi wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara.
3. Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. Al Hisbah
Al Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Al Mawardi[8] Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada kebaikan terbagi kepada tiga bagian, yakni pertama : menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang untuk melaksanakan sholat jum’at jika ditempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum mereka jika terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat jumat tersebut, kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya, ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia, misalnya menyuruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laik-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak menjatuhkan ta‟zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan iddahnya.
b. Al Madzalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadlir.
Melihat kepada tugas yang dibebankan kepada wilayah al Mudzalim ini, maka untuk diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan al Mudzalim ini haruslah orang yang pemberani dan sanggup melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa dalam menundukkan pejabat dalam sengketa. Seseorang yang pengecut dan tidak berwibawa tidak layak untuk diangkat sebagai pejabat yang melakukan tugas-tugas di lingkungan al Mudzalim. Tugas-tugas al Mudzalim pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri, namun badan ini baru berkembang pada pemerintahan Bani Umayyah pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan.
Menurut Al Mawardi[9] bahwa Abdul Malik Ibn Marwan adalah orang yang pertama sekali mendirikan badan urusan al Mudzalim dalam pemerintahan Islam, khususnya dalam pemerintahan Bani Umayyah. Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memperbaiki kinerja lembaga al Mudzalim ini dengan mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizalimi oleh para pejabat kekuasaan sebelumnya. Lembaga ini sangat berwibawa dan tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bertindak zalim kepada masyarakat.
c. al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana)[10].
Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah Islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama adalah al Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode sejarah, yakni pada masa penghujung pemerintah Khulafaurrasyidin (masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal dari pemerintahan Bani Umayyah. Di samping tugas-tugas menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara, misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim. Melihat ketiga wilayah al Qadha (kekuasaan kehakiman) sebagaimana tersebut di atas, bila dipadankan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari tiga kekuasaan kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya, wilayah al mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, wilayah al al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi tugasnya mirip dengan polisi atau Kamtibmas, Satpol PP.

III. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH BERDASARKAN TRADISI HUKUM POSITIF INDONESIA
1. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia.
Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses tehnis pelaksanaan hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh negara. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riel dan lebih spesifik dalam upaya negara mengaplisikan dan mensosialisasikan institusi perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian para ahli.
Menurut Suyud Margono[11] kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan pertama: kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan. Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas. Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut:
a. Konsultasi
Black‟s Law Dictionary memberi pengertian Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya”. Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata ADR dalam prakteknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya menyelesaikan suatu masalah. Dalam hal ini konsultasi tidak dominan melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya.

b. Negosiasi
Dalam Business Law, Prinsiples, Cases and Policy yang disusun oleh Mark E. Roszkowski disebutkan : Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran. Bentuk ADR seperti ini memungkinkan para pihak tidak turun langsung dalam bernegosiasi yaitu mewakilkan kepentingannya kepada masing-masing negosiator yang telah ditunjuknya untuk melakukan secara kompromistis dan saling melepas atau memberikan kelonggaran-kelonggaran demi tercapainya penyelesaian secara damai. Bentuk negosiasi hanya dilakukan di luar pengadilan, tidak seperti perdamaian dan konsiliasi yang dapat dilakukan pada setiap saat, baik sebelum proses persidangan (ligitasi) maupun dalam proses pengadilan dan dapat dilakukan di dalam maupun di luar pengadilan. Agar mempunyai kekuatan mengikat, kesepakatan damai melalui negosiasi ini wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung setelah penandatangannya dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung sejak pendaftarannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
c. Konsiliasi
Black‟s Law Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya konsiliasi adalah bentuk ADR yang dapat dilakukan dalam proses non ADR, yaitu litigasi dan arbitrase. Dengan kata lain yang dimaksud dengan ADR berbentuk Konsiliasi merupakan institusi perdamaian yang bisa muncul dalam proses pengadilan dan sekaligus menjadi tugas hakim untuk menawarkannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1851 KUH Perdata. Konsiliasi mempunyai kekuatan hukum mengikat sama dalam konsultasi dan negosiasi, yakni 30 hari terhitung setelah penandatangannya dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung sejak pendaftarannya. (Vide pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
d. Pendapat atau Penilaian Ahli
Bentuk ADR lainnya yang diintrodusir dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Dalam rumusan pasal 52 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari tugas lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

2. Arbitrase (Tahkim)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).
Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999. adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topic yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syariah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
a) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI. Keberadaan BANI ini diprakarsai oleh kalangan bisnis nasional yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977.
Adapun tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan BANI di samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Oleh karena BANI dibentuk untuk kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI harus tunduk kepada hukum Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak diatur dalam HIR, khususnya pasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase dibenarkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan tetap berpedoman sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini dapat diketahui bahwa secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum positif arbitrase, dan tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan instirusi atau peraturan yang terdapat dalam Rv.
Namun keberadaan BANI telah menerobos sifat tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan lain, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan KEPRES Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059, sehingga ketentuan yang menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang mengatur arbitrase sudah dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI dibolehkan mendirikan institusi arbitrase permanent yang dilengkapi oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan aturan Rv atau aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain, tujuan didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan penyelesaian yang adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan dengan perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang cukup signifikan dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi BANI tetap berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus.
Secara garis besar prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
i. Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk.
ii. Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, maka klausula tersebut dianggap telah mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada sitermohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari.
iii. Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara para pihak atas nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.
iv. Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan surat kuasa khusus.
v. Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.
vi. Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan masing-masing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk menguatkannya.
vii. Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya.
viii. Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
ix. Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase ditetapkan dengan peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri yang bersengketa.

Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI, kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat diketahui bahwa sebagian besar perkara yang telah diputus oleh arbiter BANI masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

Perkembangan bisnis ummat Islam berdasar syariah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai berdirinya BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober 1993. Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama: memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk menjadi arbiter tunggal atau arbiter majelis diantaranya adalah beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya arbiter harus mengupayakan perdamaian semaksimal mungkin dan apabila usaha ini berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan memenuhi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tidak berhasil, maka arbiter akan meneruskan pemeriksaannya, dengan cara para pihak membuktikan dalil-dalil gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para ahli dan sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah terlebih dahulu. Azas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas ini tidak bersifat mutlak atau permanent, akan tetapi dapat dikesampingkan jika atas persetujuan kedua belah pihak setuju sidang dilaksanakan terbuka untuk umum. Kepentingan pemeriksaan secara tertutup ini adalah menghindari publisitas demi menjaga nama baik perusahaan atau bisnis masing-masing para pihak. Putusan BAMUI bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan wajib mentaati putusan tersebut, para pihak harus segera mentaati dan memenuhi pelaksanaannya. Apabila ada para pihak yang tidak melaksanakan itu secara suka rela, maka putusan itu dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 637 dan 639 Rv, yakni Pengadilan Negeri memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur bagi putusan arbitrase.
Oleh karena itu, BAMUI harus menyesuaikan diri dengan tata hukum yang ada, khususnya jangkauan kewenangannya, karena sengketa yang diputus oleh BAMUI itu bukanlah perkara yang didalamnya termuat campur tangan pemerintah atau bukan masalah-masalah yang berhubungan dengan NTCR, Wakaf dan Hibah sebagaimana tersebut dalam pasal 616 Rv. yang pada perkara ini ada Pengadilan yang mengurusnya. Mengingat bahwa tidak semua masalah dapat dieksekusi oleh Pengadilan, maka BAMUI membatasi kewenangannya hanya pada penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungannya dengan perdagangan, industri, keuangan dan jasa yang dikelola secara Islami. Supaya putusan arbitrase BAMUI ini dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka arbiter harus dapat menjatuhkan putusan yang adil dan tepat bagi pihak yang bersengketa.
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan di tempat-tempat lain yang dipandang perlu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada saat didirikan barnama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum Yayasan. Akte pendiriannya di tandatangani oleh Ketua Umum MUI Bp KH. Hasan Basri dan Sekretaris Umum Bp. HS Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Tahun 1992. Perobahan nama dari BAMUI menjadi BASYARNAS diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perobahan nama, perobahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan Pedoman Dasar yang di tetapkan oleh MUI : ialah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independent, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN (Dewan Syariah Nasional), LP-POM (Lembaga Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan Makanan), YDDP (Yayasaan Dana Dakwah Pembangunan). Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagai berikut : 1). Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-Undang No, 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagimana dimaksud Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah: a. Reglemen Acara Perdata (Rv.S,1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651, Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR S.1941: 44) Pasal 377 dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg 3.1927: 227) Pasal 705. b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Penjelasan Pasal 3 ayat 1. c. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI. 2). SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain. 3). Fatwa DSN-MUI Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : "Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara keduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah". (Lihat Fatwa No. 05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istishna', Fatwa No. 07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berwenang : 1). Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan Prosedur BASYARNAS. 2). Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai peraturan prosedur yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain : permohonan untuk mengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan putusan, perbaikan putusan, pembatalan putusan, pendaftaran putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), biaya arbitrase.

3. Proses Litigasi Pengadilan
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) akan diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Menurut ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Agama. Dalam kontek ekonomi Syariah, Lembaga Peradilan Agama melalui pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan Undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat-surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syariah melalui mekanisme litigasi Pengadilan terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syariah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Agama dapat dikemukakan argumentasi bahwa pelimpahan wewenang mengadili perkara ekonomi syariah ke Pengadilan Agama pada dasarnya tidak akan berbenturan dengan asas personalitas ke Islaman yang melekat pada Pengadilan Agama. Hal ini sudah dijustifikasi melalui kerelaan para pihak untuk tunduk pada aturan syariat Islam dengan menuangkannya dalam klausula kontrak yang disepakatinya. Selain kekuatiran munculnya kesan eksklusif dengan melimpahkan wewenang mengadili perkara ekonomi syariah ke Pengadilan Agama sebenarnya berlebihan, karena dengan diakuinya lembaga ekonomi syariah dalan undang-undang tersebut berarti Negara sudah mengakui eksistensinya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada siapa saja, termasuk juga kepada yang bukan beragama Islam.

IV. SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.

2. Sumber Hukum Materil
a. Nash al Qur’an
Dalam al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani[12] menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat, yang di antaranya yaitu: Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa’ ayat 5 dan 32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra’ ayat 27, dan lain-lain. Di samping ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat al Qur’an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
b. Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Oleh karena itu mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah sangat dianjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang. Hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan rujukan dapat diambil dalam beberapa kitab Hadits sebagai berikut:
a. Sahih Bukhari, Al Buyu’ ada 82 Hadits, Ijarah ada 24 Hadits, As Salam ada 10 Hadits, Al Hawalah ada 9 Hadits, Al Wakalah 17 Hadits, Al Muzara’ah 28 Hadits dan Al Musaqat 29 Hadits.
b. Sahih Muslim ada 115 Hadits dalam al Buyu’.
c. Sahih Ibn Hiban, tentang al Buyu’ ada 141 Al Hadits, tentang al Ijarah ada 38 al Hadits.
d. Sunan Abu Daud ada 290 al Hadits dalam kitab al Buyu’. Dan lain-lain.
Angka-angka yang tersebut dalam kitab-kitab tersebut bukanlah hal yang berdiri sendiri, sebab banyak sekali nash al Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut bunyi dan sanadnya sama. Hal ini akan sangat membantu dalam menjadikan al Hadits sebagai sumber hukum ekonoi syariah.
Di samping sumber hukum ekonomi syariah yang terdapat di dalam kitab-kitab al Hadits di atas, masih banyak lagi al Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab lain seperti Sunan al Daruquthni, Sahih Ibnu Khuzaimah, Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya’la al Musili, Musnad Abu, Awanah, Musnad Abu Daud al Tayalisi, Musnad al Bazzar, dan masih banyak yang lain yang semuanya merupakan sumber hukum ekonomi syariah yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan perkara di Peradilan Agama.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah. Di antara peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim Peradilan Agama yang berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dan lain-lain.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang lain yang mempunyai persentuhan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Peradilan Agama, antara lain : (1). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. (2). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 Tentang BUMN. (3). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982, tentang Wajib Daftar Perusahaan. (4). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, tentang Usaha Perasuransian dan lain sebagainya.
4. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Dewan syariah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sampai saat telah mengeluarkan 53 fatwa tentang kegiatan ekonomi syariah. Sebagai berikut : (1). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro. (2). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan. (3). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito. (4). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah. (5). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham. (6). Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna. Dan fatwa-fatwa yang lainnya.
5. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad. Kalangan Hambaliyah dan Ibnu Syurmah serta sebagian para pakar hukum Islam dikalangan Malikiyyah berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas[13]. Namun demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian itu adalah keridhaan kedua belah piahk, konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan.
Menurut Taufiq[14] dalam mengadili perkara sengketa Ekonomi Syari‟ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami apakah suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Apakah suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran dan kebenaran serta azas tertulis. Hakim juga harus meneliti apakah aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidak adilan. Jika unsur-unsur ini terdapat dalam aqad perjanjian itu maka hakim dapat menyimpang dari isi aqad perjanjian itu.
Berdasarkan pasal 1244, 1245 dan 1246 KUH Perdata, apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi yang berupa pemulihan prestasi, ganti rugi, biaya dan bunga. Apakah ketentuan ini dapat dilaksanakan dalam konsep perjanjian dalam syari‟at Islam ? Ketentuan ini tentu saja tidak bisa diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syari‟at Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi. Jika debitur yang wanprestasi karena pertama : ketidakmampuan yang bersifat relatif, maka kreditur harus memberikan alternatif berupa perpanjangan waktu pembayaran (rescheduling), memberi pengurangan (discaunt) keuntungan, diberikan kemudahan berupa secondinitioning kontrak atau dilakukan likuidasi (penjualan barang-barang jaminan). Jika debitur masih juga tidak mampu membayar prestasinya, maka kreditur (Bank) dapat memberikan kebijakan hapus buku (write of). Kedua : karena ketidakmampuannya yang bersifat mutlak, kreditur (Bank) harus membebaskan debitur dari kewajiban membayar prestasi atau memberikan kebijakan hapus tagih (hair cut). Ketiga : jika debitur wanprestasinya karena itikad tidak baik, maka dapat diumumkan kepada masyarakat luas sebagai debitur nakal dan dikenakan sangsi paksa badan atau hukuman lainnya.
Perbuatan melawan hukum oleh CST Kansil[15] diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Sangsi untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menetapkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dalam hukum Islam, perbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah “PERBUATAN YANG MEMBAHAYAKAN” atau “AL FI’IL AL DHARR”. Dalam kaitan ini Musthafa Ahmad al Zarqa[16] menjelaskan bahwa ada 9 ayat al Qur’an, 31 Hadits Rasulullah SAW dan 23 pendapat sahabat yang menjelaskan perbuatan yang membayakan itu. Ayat-ayat Al Qur’an yang dimaksud adalah Al Nisa ayat 30, Al Baqarah ayat 188, Al „Araf ayat 56, Al Baqarah ayat 205, Yusuf ayat 73, Al Nur ayat 4 & 23 dan surat Al Anbiya ayat 78-79.
Melihat kepada ayat-ayat di atas, maka bagi seorang yang melakukan perbuatan melawan Hukum diminta untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Hanya saja bentuk tanggung-jawabnya berbeda-beda, ada yang bersifat moral (saksi ukhrawi) ada pula yang bersifat sanksi duniawi, yakni berbentuk keharusan memberi ganti rugi yang seimbang dan adil dengan kerugian yang diderita, ada juga yang berbentuk tanggung jawab dengan menghilangkan dharar (bahaya dan kerugian) dengan cara yang makruf atau bentuk lain yang dibenarkan oleh Syariat Islam. Namun ganti rugi disini tidak boleh mengandung unsur-unsur ribawi sebagaimana konsep ganti rugi yang diatur dalam KUH Perdata. Jadi, dalam hukum Islam bagi pihak debitur/kreditur yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dikenakan ganti rugi dan atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan dan tidak mengandung unsur ribawi.
6. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah. Di samping kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab fiqh dalam memutus perkara di lingkungan Peradilan Agama, perlu juga dipelajari berbagai kitab fiqih lain sebagai bahan perbandingan dan pedoman seperti Bidayatul Mujtahid yang ditulis oleh Ibn Rusy, Al Mulakhkhash Al Fiqhi yang ditulis oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh DR. Wahbah al Zuhaili, Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq dan sebagainya.
Selain dari itu perlu juga dipahami berbagai qaidah fiqih, sebab qaidah-qaidah ini sangat berguna dalam menyelesaikan perkara. Kaedah fiqh terkandung prinsip-prinsip fiqh yang bersifat umum dalam bentuk teks pendek yang mengandung hukum umum yang sesuai dengan kebahagian-kebahagiannya. Kaedah Fiqh ini berisi kaedah-kaedah hukum yang bersifat kulliyah yang diambil daripada dalil-dalil kulli, yaitu dari dalil-dalil Al Quran dan al Sunnah, seperti al Dararu Yuzalu (Hal-hal yang dharurat nusti harus dihapuskan). Dengan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa qawaid fiqiyah adalah qaidah atau dasar fiqh yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum syara’ menyeluruh dari berbagai bab dalam masalah-masalah yang masuk dibawah cakupannya. Dewan Syariah Nasional MUI dalam menetapkan berbagai fatwa tentang ekonomi syariah sebagaimana yang terdapat dalam buku Himpunan Fatwa DSN, hampir semua fatwanya selain berhujjah pada al Quran dan al Sunnah serta aqwal ulama adalah berhujjah kepada aqidah fiqhiyyah.
7. Adab Kebiasaan
Islam sengaja tidak menjelaskan semua persoalan hukum, terutama dalam bidang muamalah didalam al Quran dan al Sunnah. Islam meletakkan prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Inilah diantaranya yang mejamin eksistensi dan fleksibelitas hukum Islam, sehingga hukum Islam akan tetap shalihun likulli zaman wal Makan. Jika masalah-masalah baru yang timbul saat ini tidak ada dalilnya dalam al Qur’an dan al Sunnah, serta tidak ada prinsip-prinsip umum yang dapat disimpulkan dari peristiwa itu, maka dibenarkan untuk mengambil dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Hal-hal yang baik menjadi kebiasaan, berlaku dan diterima secara umum serta tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip syariah itulah Urf. Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa urf semacam ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Disinilah muncul kaedah “Al „Adah Muhakkamah”. Berdasarkan uruf, para ahli hukum Islam menyatakan sahnya bai’ salam, bai’ istishna’, bai’ mu’athah, ijarah dan sebagainya. Dalam literatur yang membahas tentang kehujjahan urf sebagai sumber hukum, dapat diketahui bahwa urf itu telah diamalkan oleh semua para ahli hukum Islam, terutama dikalangan mazhab Hanafiah dan Malikiyyah. Ahli hukum dikalangan Hanafiah menggunakan Istihsan dalam menetapkan hukum dan salah bentuk istihsan ini adalah istihsan al urf. Para ahli hukum dikalangan mazhab Malikiyyah juga mempergunakan urf sebagai sumber hukum terutama urf yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Para ahli hukum dikalangan Syafiiyyah banyak mempergunakan urf dalam hal yang tidak ditemukan hukumnya dalam hukum syara’. Mereka mempergunakan kaedah “setiap yang datangnya dengan syara’, secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka hal tersebut dikembalikan kepada urf”. Imam Syafi’i mempergunakan urf sebagai sumber hukum atas dasar pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak mempergunakan urf sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang timbul dalam kehidupan masyarakat.
8. Yurisprudensi
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi (putusan Pengadilan Agama) yang berhubungan dengan ekonomi syariah. Yurisprudensi yang ada hanya putusan Pengadilan Niaga tentang ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam pemeriksaan dan memutus perkara ekonomi syari’ah.
Dalam kaitan ini ada beberapa yurisprudensi dari Pengadilan Sudan, Bangladesh, Bahrein dan Qatar yang dapat dijadikan acuan dan perbandingan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara ekonomi syariah. Saat ini sedang di translet kedalam Bahasa Indonesia.

V. PENUTUP
Demikianlah beberapa hal yang menyangkut permasalahan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama. Sudah tentu kendala-kendala yang dihadapi cukup banyak, namun sebahagian kecil permasalahan tersebut telah diuraikan di atas dengan maksud semua pihak, terutama aparat di lingkungan Peradilan Agama supaya dapat menghadapi kendala-kendala tersebut, guna mengantisipasi dalam menangani kasus-kasus penyelesaian sengketa ekonomi Syariah yang ditugaskan kepadanya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah al Mushlih dan Shalah Ash Shawi, Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, terjemahan Abu Umar Basyir, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam Darul Haq, Jakarta, 2004,

Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, Darr Al Fikr, Kairo, Mesir,1976.

Asyur Abdul Jawad Abdul Hamid, An Nidham Lil Bunuk al Islami, Al Mahad al Alamy lil Fikr al Islamy, Cairo,Mesir,1996.

AW Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta,1984.

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986),

Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon, 1960.

Liwis Ma’luf, Al Munjid al Lughoh wa al-A’lam, Daar al Masyriq, Bairut,tt.

Mahmud Syauqi al Fanjani, Al Wajiz fi al Iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir AS dengan judul Ekonomi Islam Masa Kini,1989, Husaini, Bandung.

Muhammad Ibnu Farhum,Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam, Darr al Maktabah al Ilmiah,Jilid I,Bairut, Libanon,1031,tt.

Musthafa Ahmad al Zarqa, Al Fi’il al Dharr al Dhaman fih, (Damaskus; Dar al Qalam, 1988).

Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia,BAMUI & BMI, Jakarta,1994.

Suyud Margono,ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,Ghalia Indonesia,Jakarta,2000.

Taufiq, Sumber Hukum Ekonomi Syariah, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloka Syariah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006.

Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV (2005) Dar El Fikr, Damaskus Syria.
[1] AW Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta,1984,hal.843
[2] Asyur Abdul Jawad Abdul Hamid, An Nidham Lil Bunuk al Islami, Al Ma’had al Alamy lil Fikr al Islamy, Cairo,Mesir,1996,hal.230
[3] Liwis Ma’luf, Al Munjid al Lughoh wa al-A’lam, Daar al Masyriq, Bairut,tt,hal.146.
[4] Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, Darr Al Fikr, Kairo, Mesir,1976,hal.84.
[5] Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia,BAMUI & BMI, Jakarta,1994,hal.48-49
[6] Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV (2005) Dar El Fikr, Damaskus Syria, hal.752
[7] Muhammad Ibnu Farhum,Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam, Darr al Maktabah al Ilmiah,Jilid I,Bairut,Libanon,1031,tt.Hal.19
[8] Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal.134
[9] Al Mawardi,Opcit,hal.244
[10] Ibid.
[11] Suyud Margono,ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,Ghalia Indonesia,Jakarta,2000,hal.82
[12] Mahmud Syauqi al Fanjani, Al Wajiz fi al Iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir AS dengan judul Ekonomi Islam Masa Kini,1989, Husaini, Bandung. Hal.
[13] Abdullah al Mushlih dan Shalah Ash Shawi, Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, terjemahan Abu Umar Basyir, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam Darul Haq, Jakarta, 2004,hal.58
[14] Taufiq, Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloka Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006,hal 6-7.

[15] CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hal.254.
[16] Musthafa Ahmad al Zarqa, Al Fi’il al Dharr al Dhaman fih, (Damaskus; Dar’al Qalam, 1988),hal.208.