Jumat, 22 Februari 2008

Problem Pendidikan di Indonesia

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep,gagasan, fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalamwaktu lamasehinggi menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.
Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Panca Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justeru tidak ada yang mengerjakan.
Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di departemen pendidikan (depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara pendidikananak usia dini (PAUD)dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan local.
Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangunmasih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?
Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini (masa orde Baru), meliputi:
Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/ tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/ tahun.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif. Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
Cendekiawan yang hipokrit,
Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburka n uang untuk hal-hal yang tidak strategis.

Pendidikan pada Era reformasi
Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampumenawarkan soulusi.
Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru –yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudianmengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar akademik juga tidaklagi relefan.

Kamis, 21 Februari 2008

Teori Sosial


Sarmidi Kusno


Dalam sejarah sosial terdapat tiga teori sosial yang sering menjadi madzab negara-negara di dunia ini. Teori tersebut adalah sebagai berikut;
1. The Welfare state school
Pada abad ke-19, negara-negara di eropa mengimplementasikan secara serius ajaran laissez-faire yang beprinsip bahwa tugas negara pada prinsipnya hanya tebatas pada aspek perlindungan kedaulatan dan melindungi warga negara dari ketidakadilan yang dilakukan warga lain, sedangkan sisanya diserahkan kepada pasar.
Dengan prinsip tersebut, di eropa terjadi kenaikan kemakmuran rakyat yang cukup signifikan. Akan tetapi, sejalan dengan itu pula terjadi efek samping yang kuang baik seperti eksploitasi kaum buruh (termasuk anak-anak), pencemaran lingkunangan, kurangnya perumahan, dan jeleknya kesehatan masyaakat.
Abad itu adlah ea dimana kapitalisme tumbuh secara tidak adil, karena pada satu sisi lahir kelompok borjuis yang amat kaya, sedangkan di sisi lain lahir kelompok buruh yang diperas tenaganya untuk bekerja dengan upah yang tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka hasilkan.
Pada akhir abad 19 muncul pemikiran tentang welfare state sebagai respon terhadap terjadinya kapitalisme yang dipeloporin antara lain oleh Karl Marx.
Secara subtantif, teori welfare state menekankan adanya tanggung jawab negara utuk mensejahterakan rakyanya. Dalam pandangan teori ini, negara didirikan untuk mewujudkan kebaikan bagi seluruh penduduk, sehingga negara harus campur tangan pada setiap aspek yang bekaitan dengan pencapaian tujuan itu.
Secara umum, teori welfare state mengajarkan prinsip-prinsip berikut (Heywood, 2002, h.184):
· Political and supremacy over economy (Negara didirikan oleh rakyat, dijalankan dan diarahkan sesuia dengan kehendak mereka bukan oleh uang);
· Community and fraternity (kehudupan negara sebaiknya diatur dengan semangat humanisme dan kebesamaan, bukan semata dalam kerangka hubungan ekonomi);
· Multiplier and full employment (pemeintah betugas menciptakan kemakmuran, kalau perlu dengan stimulus dan intervensi ekonomi utamanya untuk mengatasi esesi dan pengangguran);
· Social security (setiap warga negara harus dijamin hak dan kebutuhan mereka, terutama kebutuhan dasar).
Sebagai akibat munculnya pemikiran welfare state, maka pasca peang dunia II banyak negara eropa, amerika, austalia, dan new Zealand membuat program bantuan bagi pengangguran, asuransi kesehatan bagi rakyat, bantuan pendidikan, dan social security. Selain itu, lahir pula badan usaha milik negara (state own enterprises) untuk mewujudkan kewajiban ekonomi negara dalam memakmurkan rakyat.

2. Neo-classicism school
Pada pertengahan tahun 1970-an, seiing dengan naiknya Margaret Thatcher menjadi perdana mentei di inggris dan Ronald Reagan menjadi presiden di amerika, liberalisme mengalami reinkarnasi dengan bentuk yang lebih berwarna dalam bingkai neo-classicism. Munculnya teori ini dikarenakan teori welfare state telah dipandang tidak efesien mengingat besarnya aktifitas (campur tangan) negara dalam bidang ekonomi.
Secara prinsipiul, neo-classicism memiliki konsep yang sama dengan liberalisme yang menganjurkan pembatasan peran negara, dan merekomendasikan agar institusi dan peran negara dikurangi. Selain itu, neo-classicism juga mengembangkan adanya praktek mekanisme pasar dalam proses penyelengaaan pemerintahan sepeti dengan mekanisme outsourcing (kontrak kerja), pelelangan, dan korporatisasi. Lebih lanjut neo-classicism juga mengadopsikan manajemen sector privat ke institusi public.

3. New social democracy school
Konsep terakhir ini juga dikenal dengan konsep jalan tengah (third way). Teoi ini meupakan elaborasi liberalisme dan sosialisme yang menganjuikan kompomi jalan tengah antara peran pemeintah dan pasar, antara market dan politics.
Pada pinsipnya, new social democracy memandang bahwa pasar bebas (free market) adalah bertentangan dengan prinsip-pinsip demokrasi, karena pemilik kedaulatan adalah orang (rakyat) baik yang punya uang maupun yang miskin. Oleh karena arah kehidupan masyarakat sebaiknya diserahkan kepada rakyat, bukan kepada pasar. Kalaupun mekanisme pasr digunakan dalam proses penyelenggaraan negara, mekanisme itu tidak boleh mengalahkan prinsip demokasi.

Kamis, 14 Februari 2008

Menyelamatkan Generasi Yang Mengkhawatirkan


Menyelamatkan Generasi yang Mengkhawatirkan
Oleh:
Sarmidi Kusno


Banyak yang khawatir sekaligus cemas ketika Bank Dunia mengumumkan, presentasi usia produktif (15-64 tahun) terhadap total populasi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam akan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Pada saat bersamaan, presentase usia produktif di China sudah mengalami penurunan, yang dimulai tahun 2015. Dan raksasa ekonom Asia lainnya, Korea Selatan juga akan mengalami penurunan tahun 2020. Sementara Jepang sudah lebih dulu mengalami penurunan sejak tahun 1990 (Philip S, 2006).
Dapat diperkirakan, pada tahun 2025 nanti akan terjadi persaingan yang sengit antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam di bidang perekonomian dan perdagangan dalam bingkai sistem pasar bebas.
Hal tersebut membuat banyak orang bertanya. Bagaimana kira-kira tingkat daya saing generasi bangsa Indonesia nanti? Langkah-langkah apa yang telah dan akan dilakukan untuk menyongsong persaingan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, muncullah berbagai kekhawatiran akan nasib generasi bangsa.

Kekhawatiran: Buah Kebijakan?
Kekhawatiran tersebut menjadi pas ketika kita melihat fakta generasi bangsa Indonesia, saat ini, merupakan produk anak-anak yang tumbuh dengan tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara langkah strategis pemerintah untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas kurang, untuk mengatakan tidak sama sekali, diperhatikan.
Data terbaru menyebutkan, dari sekitar 34 juta lebih anak Indonesia usia sekolah yang mengikuti pendidikan dasar mencapai 97%, dan rasio untuk pendidikan menengah lebih rendah, yaitu 62%. Meski demikian, hanya setengah dari anak sekolah Indonesia yang menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Sekitar 18% anak putus sekolah dasar, selebihnya tidak melanjutkan atau tidak menyelesaikan sekolah menengah (Philip S, 2006). Artinya, lebih dari 17 juta anak Indonesia yang tidak menyelesaikan sekolah menengah.
Sementara itu, angka kemiskinan terus meningkat. Pada tahun 2007 diperkirakan juga akan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga beras, pencabutan bantuan tunai langsung (BLT)), dan berbagai bencana yang menerpa negeri ini (Koran SINDO, 15/02/2007). Kondisi ini akan menambah panjang daftar warga yang tidak mampu menyekolahkan putra-putrinya. Akibanya, generasi bangsa pun betambah memperihatinkan.
Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya angka pengangguran yang, pada tahun ini, diperkirakan akan mengalami kenaikan juga. Kenaikan angka pengangguran lebih disebabkan oleh adanya angkatan kerja baru dari lulusan pendidikan, musibah banjir di Jakarta dan sekitarnya, gempa yang melanda wilayah Yogyakarta, semburan lumpur Lapindo yang menimpa warga Sidoarjo, dan gempa di Sumatra Barat yang diperkirakan mencapai 2,5 juta orang (Republika, 16/03/2007). Dalam keadaan menganggur ditambah dengan kondisi ekonomi lemah, prioitas kehidupan masyarakat bergeser pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan mengesampingkan pendidikan putra-putri mereka. Hal tersebut tentu akan menambah deretan jumlah generasi bangsa yang berkualitas rendah. Bagaimana generasi bangsa mampu bersaing kalau tidak cukup bekal pendidikannya.
Memang ada beberapa generasi bangsa yang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Mereka mampu duduk di bangku sekolah yang menamakan diri sebagai sekolah nasional plus yang mengadopsi kurikulum asing. Hasilnya pun juga memuaskan. Prestasi kelas dunia seperti kemenangan dalam Olimpiade Fisika pun dapat diraih oleh Tim Fisika asuhan Yohanes Surya (Kompas, 03/05/2006). Namun jumlah mereka tidak lebih dari 10 persen generasi bangsa yang ada. Lebih dari 90 persen generasi bangsa yang tidak mengenyam pendidikan berkualitas dan terancam menjadi generasi yang berkualitas rendah.
Jadi, keberhasilan Tim Fisika Yohanes Surya menjadi yang terbaik kedua, di bawah China, di kancah Olimpiade Fisika Internasional, tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional. Karena tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional lebih ditentukan pada kemampuan negara mewujudkan pemerataan dan memastikan keterjangkauan pendidikan yang berkualitas bagi semua generasi bangsa, bukan segelintir dari mereka.
Namun fakta mengatakan lain, negara terbukti belum mampu menyediakan peluang bagi 90 persen lebih generasi bangsa untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas sebagai salah satu hak dasar mereka. Bahkan, seperti saya sebutkan di atas, 17 juta anak lebih tidak dapat menyelesaikan pendidikan menengah.
Padahal, sesuai dengan amanat UUD 45, negara mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 45) dan memberikan peluang bagi semua warga negara untuk mendapatkan pengajaran (pasal 31 UUD 45). Akan tetapi amanat tak kunjung terpenuhi. Hal ini lebih disebabkan oleh kebijakan negara yang kurang memperhatikan masa depan generasi bangsa, sehingga sumber daya manusia (SDM) yang tak berkualitas berada di depan mata.
Kebijakan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN yang ada belum kunjung terrealisasikan. Hal ini memupuskan harapan akan terpenuhinya janji Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang akan mengupayakan pembiayaan pendidikan terhadap generasi yang tidak mampu (Kompas, 13/03/2007). Upaya pembebasan biaya pendidikan (pendidikan gratis) bagi generasi bangsa yang tidak mampu sudah barang tentu sulit terwujud. Selain jumlahnya yang terlalu banyak (17 juta lebih), dukung anggaran pendidikan juga belum memadahi.
Kondisi seperti ini tentu menyangsikan kita akan kemampuan generasi bangsa untuk bersaing di masa depan. Daya saing mereka tidak cukup kuat untuk berkompetisi menjadi aktor utama dalam percaturan ekonomi di masa yang akan datang. Apa lagi untuk merealisasikan mimpi Presiden SBY yang berharap Indonesia masuk lima negera dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia pada 2030. Indonesia akan mempunyai pendapatan per kapita UU$ 18 ribu per tahun (Koran SINDO, 23/03/07).

Apa yang Harus Dilakukan?
Kondisi sulit bukan berarti kita harus berhenti bebuat, akan tetapi kita harus tetap berusaha, minimal, menekan tingginya generasi bangsa yang berkualitas rendah. Sebab, kalau kondisi seperti ini dibiarkan berlaut-larut, tak pelak, kualitas generasi bangsa akan tetap dan bahkan mungkin bertambah memperihatinkan. Sebagai akibatnya, pada saatnya nanti, mereka akan dihinggapi rasa ketidak-berdayaan menghadapi persaingan.
Saat ini, kita masih punya kesempatan untuk mempersiapkan generasi bangsa yang siap bersaing pada 2025 mendatang, walau sangat kecil. Akan tetapi, untuk memanfaatkan kesempatan yang kecil tesebut tentu harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak pada sektor pendidikan.
Setidaknya, kebijakan pendidikan nasional harus mulai difokuskan pada usaha-usaha: pertama, melaksanakan mandat pasal 31 UUD 45, yaitu menjamin kesempatan yang adil dan merata bagi setiap generasi bangsa untuk memperoleh pendidikan berkualitas; kedua, melaksanakan mandat Pembukaan UUD 45, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyelengarakan pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyaakat Indonesia kini dan mendatang dalam menghadapi tantangan masa depan; ketiga, memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan yang memadahi sebagaimana amanat Undang Undang guna mendukung usaha mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas agar mampu bersaing, mengingat seiring adanya liberalisasi ekonomi yang sulit dibendung, persaingan pun sangat berat.
Oleh karena itu, kiranya perlu ada gerakan bersama untuk memikirkan dan menyelamatkan nasib generasi bangsa yang mengkhawatirkan tersebut. Bangaimana kondisi kesejahteraan mereka nanti, harus dipikirkan mulai dari sekarang. Dan sebagai landasan teologis, menurut hemat penulis, hendaknya kita merenungkan kembali peringatan Alquran: “Dan hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka” (QS. an-Nisa’: 9). Dengan kata lain, betapapun sulit dan berat beban kita untuk mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas yang siap bersaing di masa depan, diktum Alquran ini jangan samapai dilupakan agar rasa khawatir meninggalkan generasi lemah selalu tertanam, sehingga terbangun semangat untuk meningkatkan kualitas generasi bangsa.