Senin, 02 Januari 2012

PENGEMBANGAN POTENSI WAKAF DALAM UPAYA MENINGKATKAN EKONOMI UMAT

PENGEMBANGAN POTENSI WAKAF

DALAM UPAYA MENINGKATKAN EKONOMI UMAT

PROF. DR. KH. THOLHAH HASAN

Perintah-perintah ibadah dalam Islam selalu mengarah pada tujuan yang mencakup beberapa dimensi, paling tidak mencakup: (1) meningkatkan ketakwaan, dan (2) meningkatkan kesejahteraan umat. Untuk memahami dimensi-dimensi tujuan ibadah tersebut, kadang-kadang dapat ditangkap dengan jelas, dan seringkali hanya dapat ditangkap dengan samar-samar. Di antara yang dapat ditangkap dengan jelas, adalah ibadah maliyah, seperti zakat, wakaf, hibah dan lain sebagainya. Pengertian ini tidak berarti bahwa ibadah-ibadah yang lain tidak mencakup dimensi ketakwaan dan dimensi kesejahteraan. Lihat saja seperti ibadah puasa, haji, sholat, korban dan lain-lain, apabila dicermati selalu ditemukan tujuan-tujuan tersebut. Al-Qur’an sendiri seringkali menyebut ketakwaan itu dibarengi dengan kesejahteraan, seperti firman Allah SWT:

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, dan mengamankan mereka dari rasa takut“. (QS. Quraisy : 3-4)

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa , pastilah Kami akan me-limpahkan berkah kepada mereka dari langit dan bumi .... “ . (QS. al-A’raf : 96)

Perintah wakaf itu sendiri terjadi pada saat Nabi Muhammad saw. dan masyarakat Islam sudah berada di Madinah, dan sedang giat-giatnya menata dan membangun kehidupan masyarakat, dalam bidang politik, keamanan, ekonomi dan sosial, dalam rangka mewujudkan “baldatun thoyyibah wa rabbun ghafur“. Tapi Nabi saw. dan para elite sahabat juga menyadari masih banyak masalah sosial yang harus dibenahi, termasuk kesenjangan dalam kehidupan masyarakat, antara yang mampu dan yang tidak mampu, antara yang mempunyai akses ekonomi yang luas dan yang aksesnya terbatas.

Sejarah tasyri’ wakaf menurut sebagian besar ulama, dimulai pada tahun ke-7 H, setelah pembebasan Khaibar dari komunitas Yahudi yang menguasainya. Waktu itu banyak kekayaan Yahudi yang berpindah ke tangan orang-orang Islam, salah seorang sahabat yang mendapatkan tanah perkebunan korma di Khaibar adalah sahabat Umar bin Khathhab. Sepulang dari Khaibar Umar menghadap kepada Nabi Muhammad saw. dan melaporkan kalau dia memperoleh sebidang tanah perkebunan yang dinilai sangat baik dan berharga, dia bertanya kepada Nabi saw.: Untuk apa kiranya tanah tersebut agar memberi manfaat dan maslahah yang lebih luas dan pahalanya lebih besar ? Nabi menjawab : “Tahanlah aset pokoknya, dan bagikan hasilnya (Ahbis ashlahu wa Sabbil tsamratahu)“. Hasil dari kebun wakaf yang diberikan oleh Umar bin Khattab ini di berikan kepada keluarga Umar yang tidak mampu, kepada kaum fakir miskin, ibnu sabil dan lain-lain. Setelah itu banyak sekali sahabat-sahabat lain yang mewakafkan tanah-tanahnya atau rumah-rumahnya (yang hasilnya dinafkahkan kepada orang-orang lain yang memerlukan), seperti Usman bin Affan, Abu Tholhah dan lain-lain.

Menurut Imam as-Syafi’i, dalam masyarakat Arab sebelum Islam, tradisi wakaf belum ada, jadi umat Islamlah yang memulai gerakan wakaf. Namun ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa pemberian tanah atau rumah untuk keperluan rumah-rumah ibadah sudah banyak dilakukan sebelum Islam, meskipun tidak disebut wakaf. Demikian juga terjadi di Mesir, Irak Romawi, dan di beberapa negara di Barat. Dari kasus wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab dan perintah pendayagunaan hasil wakaf tersebut, dapat difahami sebetulnya wakaf merupakan ibadah yang sarat dengan nilai-nilai kesejahteraan umat, bukan hanya sebatas pemberian kekayaan yang diharapkan pahalanya bagi si wakif . Dalam istilah sekarang disebut sebagai “wakaf produktif”.

Wakaf ini mengalami perkembangan yang dinamis, bukan hanya pada tataran teoritis tapi juga pada tataran praktisnya. Kalau dulu dalam karya-karya fikih klasik, umumnya kajian tentang wakaf hanya difokuskan pada barang-barang tidak bergerak (ghair manqulah), kemudian selanjutnya dimasukkan juga barang-barang yang bergerak (manqulah), bahkan pada wakaf tunai (waqfu an-nuqud), yang sekarang digalakkan di negara-negara Islam, bahkan di negara bukan muslim, seperti Singapore, India, Jerman dan lain sebagainya, karena wakaf memang boleh diberikan oleh orang non-muslim menurut hukum fikih.

Hasil dari wakaf dengan pengelolaan yang baik telah memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan masyarakat luas, baik dalam sektor pendidikan maupun sektor pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang lain. Sebagai contoh dapat disebut Universitas Azhar di Kairo, Universitas Qairuwan di Maroko, rumah-rumah sakit di Turki, Pondok Pesantren Gontor, Universitas Islam Indonesia di Yogjakarta, Pondok Pesantren Ibrahimi di Situbondo, dan lain-lain.

Bagaimana Wakaf di Indonesia ?

Sebenarnya, masyarakat muslim di Indonesia sudah cukup lama melakukan wakaf, terutama dalam wujud wakaf tanah atau rumah. Masjid-masjid, madrasah dan pondok pesantren serta tanah-tanah untuk kuburan, sebagian besar merupakan tanah-tanah wakaf, dan hal itu sudah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan negara Indonesia, hingga sekarang. Menurut Dirjen Bimas Islam Depag, sampai dengan tahun 2007 jumlah tanah wakaf tercatat sebanyak 404.676 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas mencapai 1.849.771.348,42 m2. Dari jumlah lokasi tersebut 304.662 lokasi sudah mempunyai sertifikat, sedangkan yang 40.024 baru terdaftar di BPN, sementara 32.759 lokasi belum terdaftar di BPN.

Dari luas seluruh tanah wakaf tersebut sebagian besar dipergunakan untuk masjid (40,42 %) untuk langgar (26,61 %), untuk mushalla (10,18 %), untuk sarana pendidikan sekolah (12,09 %), untuk pondok pesantren (1,72 %), untuk pemakaman (1,34 %), untuk pertanian produktif ( 2, 80 %), sisanya untuk sarana dan prasarana sosial. Dari paparan singkat tersebut dapat di lihat terbatasnya upaya pengembangan wakaf secara produktif (dalam arti tanaf-tanah tersebut dapat menghasilkan sesuatu produk yang mempunyai nilai ekonomis) yang dapat berperan sebagai kekuatan strategis dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat muslim di Indonesia, kecuali beberapa wakaf seperti yang disebut di muka, yang sudah dikelola dengan baik dan profesional.

Di antara titik lemah yang menyebabkan fungsi wakaf di Indonesia belum dapat mengembangkan perannya yang strategis dalam pemberdayaan umat, adalah :

1. Pemahaman sebagian besar masyarakat Islam masih sangat tradisional dan terbatas (menganggap wakaf sebatas ibadah makhdloh) saja.

2. Lemahnya peran nazhir, antara lain karena :

a- keterbatasannya dalam pemahaman tentang wakaf,

b- tidak memiliki kemampuan managerial dalam mengelola wakaf, dan

c- tidak mendapatkan imbalan yang layak dari tugas pengurusan wakaf.

Semangat baru dalam pemberdayaan wakaf di Indonesia .

Sejak di selenggarakannya Kongres Menteri Wakaf /Agama Negara-negara Islam, di Jakarta pada bulan Oktober 1997, masalaf wakaf mencuat menjadi agenda besar yang mendapat perhatian di dunia Islam, termasuk Indonesia yang merasakan ketertinggalannya dalam memberdayakan wakaf, dibanding dengan negara-negara lain, seperti Mesir, Maroko, Yordan, Turki, Kuwait , Qatar, Iran, dan lain-lain . yang telah mengelola wakaf secara profesional, efektif dan produktif dan telah berhasil menghimpun dan mengembangkan dana wakaf ( istitsmar amwal al-auqaf ) dalam jumlah besar, dan mendayagunakannya untuk kemaslahatan Umat Islam dalam skala internasional. Gerakan wakaf menggelinding dalam berbagai macam kegiatan, seperti kongres, seminar, lokakarya, kajian-kajian ilmiah, proyek-proyek kerjasama wakaf, pemberian beasiswa pendidikan, pendirian pusat-pusat pelayanan kesehatan, program dakwah internasional, pembukaan pusat-pusat informasi wakaf, dan lain sebagainya.

Dengan terbitnya UU. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan PP. Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengembangkan dan memberdayakan wakaf dengan paradigma baru, seperti wakaf produktif, wakaf uang, serta melibatkan beberapa lembaga keuangan syari’ah dalam menangani masalah perwakafan ini, juga membentuk lembaga independen yang menangani wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI), disamping Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI. Tujuan utamanya adalah : Bagaimana wakaf dapat berperan sebagai lembaga keagamaan yang juga berfungsi dalam peran penanggulangan ketertinggalan umat. Bagaimana wakaf dapat berkembang sebagai lembaga keuangan dan ekonomi syari’ah yang dikelola dengan profesional dan akuntabel. Bagaimana wakaf dapat ikut berperan menjadi penunjang rekonstruksi peradaban Islam di tengah-tengah arus globalisasi sekarang dan di masa depan? Masih banyak dibutuhkan pikiran-pikiran kreatif dan keahlian serta jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga dalam skala nasional maupun internasional.

Disampaikan dalam pengajian bulanan di Masjid Istiqlal 24 Desember 2008

MUHAMMAD THOLHAH HASAN

Peningkatan Networking Pengembangan Wakaf

Peningkatan Networking Pengembangan Wakaf

OLEH PROF. DR. KH. THOLHAH HASAN

Peningkatan networking dalam pengembangan wakaf artinya adalah membuat jaringan di dalam mengembangkan potensi wakaf. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik orang itu adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain”. Bagaimana agar hidup kita menjadi hidup yang bermanfaat bukan hanya untuk hidup kita tetapi juga memberi manfaat untuk orang lain, lebih-lebih bias memberi manfaat kepada orang lain sebanyak mungkin.

Berbicara mengenai wakaf erat kaitannya dengan istilah dakwah. Dalam era globalisasi dituntut agar supaya dakwah kita mampu meningkatkan kualitas ketakwaan umat dan meningkatkan kualitas kesejahteraan umat. Kalau kita berdakwah hanya menawarkan pahala, orang akan merasa malas mendengarnya. Akan tetapi kalau dakwah kita bisa menawarkan pahala dan juga menawarkan peningkatan sejahtera mereka, maka kaya orang jutru akan senang mendengarnya.

Dalam sejarah Islam, terdapat sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Dan sebagian besar dari shabat tersebut adalah orang-orang yang kaya hidupnya seperti Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqosh, Abdurrahman bin Auf, dan lain-lain. Ini yang dikenal dengan asyarotul qirom al-baroroh (sepupuh orang terbaik angkatan pertama). Jika kita ingin hidup kaya dan mati masuk surga maka dakwah kita harus seperti ini.

Subtansi topik pembahasan ini adalah masalah potensi wakaf. Sepuluh tahun yang lalu, wakaf sudah menjadi gerakan internasional. Artinya, dunia Islam sudah memulai secara sistematik dalam menggerakkan wakaf. Bagaimana kita mengalokasikan sebagian dari harta kita, kemudian kita serahkan total kegunaannya dan hasilnya untuk kemanfaatan umat? Biasanya, kalau kita berbicara masalah usaha untuk pemberdayaan umat yang dikeluhkan adalah masalah kekurangan biaya atau kekurangan uang. Hampir tidak ada masjid di desa-desa yang dibangun satu tahun langsung jadi dan ada keyakinan makin lama masjid dibangun tambah besar barokahnya.

Berapa banyak anak umat Islam terpaksa berhenti belajar karena kekurangan biaya pendidikan. Sampai saat ini, di Indonesia khususnya penghasilan 50% umat Islam kurang dari US$ 2. Oleh karena itu, wakaf dilihat sebagai salah satu potensi atau satu kekuatan yang dapat digerakkan untuk membantu masalah-masalah yang banyak dialami oleh umat Islam dan ini merupakan gerakan internasional.

Oleh karena itu, di dalam beribadah, masyarakat perlu memulai suatu gerakan ibadah yang cerdas. Misalnya, kalau kita mempunyai uang satu juta rupiah dan kita ibadahkan untuk sodaqoh, maka pahalanya hanya satu kali. Akan tetapi kalau satu juta itu kita wakafkan, maka pahalanya akan selamanya karena wakaf tidak terhenti pada waktu tertentu. Mana yang kita pilih antara uang satu juta untuk ibadah yang sekali dilakukan catatannya hanya sekali pahala yang diterima atau ibadah yang sekali kita berikan tetapi pahalanya terus menerus. Kalau kita cerdas pasti kita memilih pahala yang terus menerus.

Dalam suatu riwayat, Sayyidina Utsman bin Affan diajak jalan-jalan oleh Rasulullah SAW, di satu kampung beliau melihat ada orang yang memiliki sumur yang airnya di tukar dengan sejumlah butir kurma. Rasulullah SAW bertanya kepada pemilik sumur: “Mengapa kamu tidak memberikan air sumur ini untuk kepentingan umum tanpa harus beli nanti kamu akan mendapatkan ganti pahala di surga sebanyak-banyaknya? Orang ini menjawab: “Nabi, saya senang saja sumur saya akan diganti dengan pahala di surga tetapi saya di dunia ini tidak punya sumber penghasilan apa-apa selain menjual air ini. Lalu Sayyidina Utsman berkata: “Saya yang akan membeli sumur itu untuk kepentingan umat islam, apakah saya akan mendapat jaminan pahala surga”. Rasulullah SAW menjawab: “Iya”. Lalu Sayyidina Utsman berkata kepada pemilik sumur itu: “Kalau kamu jual sumur ini, kamu berikan harga berapa? Orang itu menjawab: “Empat ribu dirham”. Oleh Sayyidina Utsman tanpa ditawar sumur itu langsung dibayar 4000 dirham. Lalu Rasulullah SAW berkata: “Sumur ini untuk kepentingan umat maka tanpa harus membayar bagi yang mengambil airnya”. Ini adalah bentuk-bentuk pilihan ibadah yang cerdas seperti ibadah yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman

Dalam riwayat lain, seorang sahabat namanya Abu Tholhah adalah pemilik kebun kurma terbanyak di Madinah. Ketika ia mendengar ayat al-Qur’an turun yang berbunyi: “Lan tanaalul birro hatta tunfiqu mimma tuhibbuun” maka Abu Tholhah langsung menghadap Rasulullah dan berkata: “Milik saya yang saya sangat cintai adalah kebun yang ada di hadapan masjid”. Kemudian Rasulullah bertanya: Kenapa? Sumur saya yang dikenal dengan birruha sekarang saya wakafkan saya berikan untuk kepentingan umat Islam yang ada di Madinah. Nabi menyambut: “Bagus sekali itu adalah harta benda yang sangat menguntungkan”. Akhirnya kebun kurma dan sumur yang ada di dalamnya hasilnya dipakai untuk kepentingan umum.

Prinsipnya wakaf itu menahan harta kekayaan. Pokoknya ditahan tidak dijual, tidak di waris, tidak diberikan kepada orang lain tetapi hasilnya dikelola dengan baik untuk kepentingan dan kemanfaatan umat. Sekarang wakaf menjadi gerakan internasional hampir semua negara mempunyai badan wakaf yang dikuasai pemerintah atau badan yang dibetuk oleh pemerintah. Indonesia juga termasuk penggagas gerakan wakaf, akan tetapi ternyata Indonesia paling belakang menggerakkan wakaf. Sejak tahun 1997 Konfrensi yang membicarakan wakaf di Jakarta tetapi negara-negara peserta konfrensi sekarang sudah banyak memiliki rumah sakit Islam (dari dana wakaf).

Di Sudan terdapat bank dari bantuan wakaf. Di Kuwait sudah ada kampung dengan program santunan janda-janda dengan fasilitas kesehatan yang didanai oleh wakaf, sehingga wakaf dirasakan sebagai tempat untuk menyalurkan hal-hal yang menjadi kepentingan dan kemanfaatan masyarakat.

Untuk mengelola wakaf perlu ada suatu jaringan sebab organisasi yang baik selalu membutuhkan 4 (empat) modal yaitu; Modal intelektual (orang memikir dan menggagas), modal finansial (biaya), modal sosial (dukungan dari masyarakat), modal jaringan (kerjasama dengan berbagai macam lembaga baik nasional maupun internasional).

Sekarang Badan Wakaf Indonesia menggunakan empat modal tersebut, karena merupakan organisasi yang bergerak untuk pelayanan umat. Orang-orang yang duduk dalam anggota BWI adalah orang-orang ahli. Dari 22 orang yang ditunjuk oleh Presiden RI menjadi anggota BWI, 8 (delapan) di antaranya adalah Profesor dan Doktor dari berbagai macam bidang. Ini menunjukkan expertise dalam pengelolaan wakaf cukup bagus. Tapi kita butuh dukungan masyarakat, jaringan wakaf ini dapat terwujud dengan pembiayaan proyek wakaf. Dan insya Allah, pada bulan Juni 2009 Badan Wakaf Indonesia akan memulai mendirikan rumah sakit ibu dan anak di Serang. Di sana ada seorang ibu mewakafkan tanah seluas 3500 meter dan di sampingnya disediakan 3 hektar. Maka BWI pada bulan Juni 2009 akan mulai membangun rumah sakit ibu dan anak dengan biaya dari wakaf.

Kalau masing-masing daerah seperti itu saya kira tidak ada lagi kasus bayi yang tidak boleh dibawa pulang dari rumah sakit karena orangtuanya tidak bisa bayar biaya persalinan. Mari kita pecahkan bersama masalah ini dengan kerjasama pembiayaan proyek wakaf. Nanti bulan Juni bisa melihat di Serang akan memulai pembangunan. Kalau jama'ah mau wakaf uang diserahkan kepada Bank-bank syari’ah yang sudah ditunjuk sebagai penerima wakaf antara lain Bank Syari’ah Mandiri, Bank BNI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, Bank Mualamat, Bank DKI Syari'ah. Bank-bank ini sudah memperoleh sertifikat. Artinya, bank-bank tersebut oleh Bank Indonesia (Bl) dinyatakan layak untuk menjadi bank penerima wakaf uang. Kalau mewakafkan uang lebih dari 1 juta rupiah maka akan menerima sertifikat wakaf uang dari bank tersebut.

Pada tangga 15 Maret 2009, saya dipanggil oleh Prof. Muhammad Ali, Presiden Direktur IDB (Islamic Development Bank/Bank Pembangunan Islam) yang banyak memberikan arahan dan peluang salah satu diantaranya bagaimana kalau BWI menyelenggarakan Konfrensi Internasional Asia Tenggara tentang wakaf. Saya jawab siap insya Allah tahun depan dan semua biaya ditanggung oleh IDB.

Peningkatan dan pelatihan pemberdayaan Nazhir, di Indonesia sudah lama ada. Dalam pertemuan yang lalu saya sudah katakan di Indonesia pewakaf jumlahnya banyak kalau berupa tanah itu sudah lebih dari 2.600.000.000 meter tetapi yang banyak itu berupa kuburan dan masjid. Dan semua itu bagus tetapi butuh biaya. Karena sebagian besar wakaf di Indonesia membutuhkan biaya maka kekayaan wakaf/aset wakaf di Indonesia dinamakan wakaf konsumtif. Sekarang, di samping merawat wakaf-wakaf yang konsumtif, BWI mempunyai tugas untuk mewujudkan wakaf-wakaf produktif/yang menghasilkan.

Barangkali kalau bulan puasa kita sering beli kurma dari Aljazair yang masih ada tangkainya, maka perlu kita ketahui bahwa sebagian besar kurma yang dari Aljazair yang dikirim ke Indonesia itu adalah kurma dari hasil perkebunan wakaf. Indonesia hanya jadi konsumen tetapi kita sendiri tidak memproduk sesuatu barang wakaf yang bisa menghasilkan uang. Malaysia negara yang lebih kecil daripada Indonesia, di sana sudah mempunyai wakaf kebun sawit, di Maroko sudah ada wakaf untuk minyak zaitun. Indonesia hanya ada wakaf kuburan dan masjid. Seakan-akan wilayah wakaf hanya itu. Padahal ada wakaf lain yang sangat strategis yaitu wakaf yang bisa membangun satu kekuatan dana pemberdayaan umat yang kita sebut dengan wakaf uang.

Setelah kita data se-lndonesia ternyata ada ribuan nazhir. Akan tetapi 76% nazhir yang ada itu tidak berfungsi (tidak mampu mengelola barang-barang wakaf), karena banyak yang sudah tua, malah kadang-kadang dalam memilih nazhir pilih yang paling tua akhirnya nazhirnya hanya nazhoro dalam arti melihat tapi tidak memelihara, ini yang pertama. Kedua, sebagian besar nazhir tersebut pengetahuannya sangat terbatas. Nah, tugas BWI antara lain adalah bagaimana memberdayakan nazhir-nazhir tersebut. Tetapi nazhir yang bagus juga ada misalnya, Nazhir Universitas Islam Indonesia (UII) yang sudah berhasil membangun rumah sakit, Nazhir Pondok Pesantren Gontor berupa tanah-tanah, yang sekarang sebagian sudah menjadi toko. Di Jawa Timur ada koperasi pondok pesantren yang terbaik di seluruh Indonesia asetnya sampai mendekati triliyun karena memiliki bank yang dikelola koperasi pesantren. Di Makassar ada nazhir yang berhasil membangun masjid Markaz Islamy. Masjid Agung Semarang juga bangkit karena tanahnya banyak sekarang punya pom bensin wakaf, supermarket wakaf. Sekarang gerakan wakaf-wakaf seperti itu dan gerakan wakaf masjid masih tetap, tapi kalau bisa di sekitar masjid ada wakaf yang produktif yang bisa memberi pembiayaan kepada masjid.

Di Kuwait ada sebuah masjid. Dulu masjidnya itu kecil, tetapi sekarang masjid ini ternyata menjadi besar, mempunyai empat lantai, lantai pertama menjadi pasar (wakaf), lantai kedua menjadi perkantoran, lantai ketiga menjadi pelayanan kesehatan, lantai ke empat baru kemudian masjid. Semua kebutuhan masjid di danai dari lantai pertama dan kedua dan ini lebih dari cukup.

Beberapa waktu yang lalu ada gambar saya di koran karena mendatangi bank-bank syari’ah dalam rangka bekerjasama untuk mendapatkan sertifikat wakaf. Saya minta bank tersebut bisa mengumpulkan sebanyak-banyaknya wakaf uang dari nasabah-nasabah dan ini yang sudah kita kerjakan untuk networking wakaf.

Kami setiap hari mendapatkan laporan secara online dari hasil penghimpunan wakaf uang. Di Kuwait sudah jauh lebih maju, orang sudah tidak perlu datang ke bank untuk wakaf uang, sebab di sana gerakan wakaf uang sudah menggunakan elektronik banking, baik SMS atau ATM wakaf. Di Indonesai belum ada, dan BWI masih butuh bantuan berbagai pihak untuk mengembangkan wakaf sehingga bisa menjadi kuat. Andaikata pegawai negeri kita seluruh Indonesia mewakafkan 1 juta saja pertahun dari jumlah PNS sebanyak 4 juta maka akan terkumpul 4 triiiyun tiap tahun. Dengan dana semacam ini, kita bisa berbuat banyak dalam pengmbangan wakaf. Tetapi kalau wakafnya berupa tanah maka akan tambah berat mengelolanya.

Di luar negeri kami sudah mengadakan kerjasama, negara yang lebih melarat dari kita, seumpama, Sudan dan Banglades sudah lebih besar kekayaan wakafnya di banding dengan Indonesia karena mereka sudah lama mengelola zakat dan masyarakat di sana mendukung gerakan wakaf. Di Sudan sudah memiliki 1 bank wakaf, di Banglades sudah mempunyai gedung berupa rumah sakit dan barang-barang produktif lainnya. Indonesia juga bisa melakukan hal serupa, asalkan kita mau melakukan. Sebab andaikata jama'ah haji sunnah (yang sudah melakukan haji lebih dari satu kali) yang jumlahnya lebih dari 20% dari jumlah jama'ah haji yang ada sekitar 40.000 orang x 20.000.000 =800.000.000.000 rupiah ini menjadi tabungan umat untuk wakaf. Saya katakan ibadah harus kita lakukan dengan cerdas bisa memilih mana yang lebih bermanfaat untuk dirinya dan untuk orang lain.

Dalam dekade akhir ini wakaf mengalami kamajuan menjadi gerakan wakaf nasional dan internasional, pertama adalah aset legal dan institusional. Lembaga wakaf Indonesia legal karena dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu undang-undang nomor 41 tahun 2004 dan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006. Kepengurusan wakaf BWI bukan dibentuk sendiri tetapi berdasarkan keputusan Presiden tahun 2007. Oleh karena itu waktu kami mengadakan pertemuan dengan teman-teman di Timur Tengah mereka mengatakan ini yang kami tunggu yaitu lembaga wakaf yang resmi karena selama ini badan wakaf yang datang ke kami masih berbentuk LSM. Tapi BWI tidak akan bersaing dengan badan wakaf yang lain dan BWI justru akan bekerja sama dan menjadikan mereka sebagai mitra kerja.

Mengapa kita perlu networking? Antar badan-badan wakaf terjadi kerja sama formal dan informal dan banyak difasilitasi oleh IDB, jadi kami banyak di dukung oleh program IDB dan IDB merupakan salah satu hasil wakaf. Di Jeddah ada satu lembaga institusi yang namanya shunduqul awqof/tabung wakaf disana kami ditanya proyek wakaf di Indonesia apa? Dan kami menunjukkan proyek pembangunan rumah sakit ibu dan anak di Serang yang membutuhkan dana 6 milyar rupiah.

Mengapa perlu ada manajemen dalam wakaf, karena ada isu-isu yang mendorong diperlukannya networking pengelolaan wakaf ini. Sekarang ada istilah wakaf uang sedangkan di kitab-kitab fiqih dalam mazhab fiqih tidak ada yang mengulas wakaf uang/waqfun nuqud. Sebab wakaf pada kitab kuning umumnya wakaf tentang al-amwal ghairul manqulah/barang-barang yang tidak bergerak seperti tanah, bangunan. Wakaf uang baru sekitar 15 tahun yang lalu dari hasil seminar-seminar internasional tentang fiqih wakaf kemudian ditinjau manfaatnya, bahayanya, dan jaringan wakaf uang, ternyata lebih besar potensinya dibandingkan daripada wakaf tanah karena wakaf uang sifatnya massal dan semua orang bisa wakaf. Akhirnya ulama-ulama fiqih dari semua mazhab kumpul beberapa kali dalam beberapa acara. Akhirnya diputuskan secara jama'ah bahwa wakaf uang dibolehkan termasuk Majelis Ulama Indonesia juga menyampaikan fatwa bolehnya wakaf uang.

Dalam kitab kuning belum dibicarakan karena waktu itu sistem moneter berbeda dengan sistem moneter di zaman sekarang ini, dulu uang hanya sebagai alat bayar secara cash and carry uangnya diberikan barangnya diambil tetapi tidak ada yang namanya deposito, sukuk, saham. Uang kita berikan dan kita dapat saham harga saham sama dengan harga uang. Jadi pembayaran uang tidak otomatis nilai itu hilang sebab ada penggantinya. Oleh karena itu wakaf uang diseluruh dunia sudah melakukan, ini isu yang pertama.

Isu kedua, dibolehkannya wakaf barang bergerak. Di universitas Al-Azhar punya wakaf angkutan dan kabarnya akan membuat maskapai penerbangan, dengan syarat barang ini dalam jangka waktu lama bisa memberikan manfaat. Turki mempunyai armada tangker wakaf, dan ada wakaf produktif, ada investasi dana-dana wakaf. Waktu saya berbicara dengan teman-teman diperbankan/direktur-direktur bank syari'ah "andaikata bisa dikumpulkan dari pegawai bank syari'ah agar uang itu kita jadikan sukuk, mereka menjawab bisa saja.

Kemudian masalah penukaran barang wakaf, wakaf yang sudah tidak begitu berfungsi ditukar dengan barang lain yang lebih baik dan lebih berfungsi dengan syarat-syarat yang ada itu dibolehkan sebab zaman Sayyidina Umar pernah terjadi hal-hal seperti itu.

Ada sebuah madrasah di atas tanah wakaf, ada mushola kecil kemudian akan digunakan oleh salah satu pabrik BUMN ditukar tanah di tempat yang lain dibangunkan sekolah yang jauh lebih besar, dibangunkan masjid yang bagus, lepangan olah raga yang memenuhi kebutuhan untuk anak-anak boleh tidak? Ternyata dalam musyawarah kami membolehkan. Karena barang yang ditukar ini lebih baik, lebih berharga, lebih memenuhi kebutuhan yang dijadikan tujuan wakaf itu. Ini beberapa hal yang mendorong kita perlu adanya kerjasama sebab wakaf uang saja kita perlu ada yang menampung uangnya yaitu bank-bank syari'ah yang sudah ditunjuk oleh pemerintah sebagai penerima wakaf uang yang berarti kita perlu networking

Dengan demikian, menggerakkan wakaf produktif itu mesti memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. Kalau tingkat nasional kita mengadakan kerjasama seperti itu, sekarang wakaf Indonesia dalam sekala nasional menjalin kerjasama dengan perbankan syari'ah dan untuk tingkat internasional kita menggalang dengan berbagai lembaga keuangan di tingkat internasional. Di tingkat internasional sekarang BWI sedang menjalin satu MoU kerjasama dengan IDB, di Kuwait kita sudah membangun satu kerjasama dengan al-amnah al-ammah, di Qatar kerjasama dengan Hayyi'atul Awqaf al-Qotariyah dan Menteri Agama RI menyarankan supaya kami kerjasama dengan Iran.

Banyak sekali yang kita ingin lakukan dan memerlukan networking kemudian kerja sama kita kembangkan baik tingkat nasional maupun internasional. Kami sudah mengadakan kontak dengan Libia dan Turki suatu ketika kita akan mengadakan kerjasama dengan mereka, karena negara ini terkenal negara kaya namun sangat minim garapan yang dilakukan. Terutama dengan lembaga-lembaga wakaf yang sudah berhasil seperti Iran, Sudan, Turki, Mesir, Banglades, Jordania, Maroko dan Uni Emirat Arab.

Uni Emirat Arab baru satu negara bagian diantaranya Ro'sul Fina (negara bagian) pada waktu investasi di NTB kata mereka di NTB mudah mencari untung, bahkan mereka ingin membeli separuh NTB untuk pengembangan wakaf. Inilah beberapa gambaran mengapa kita membutuhkan jaringan. Mudah-mudahan kita bisa melakukan kerjasama dengan ormas-ormas Islam yang mempunyai potensi untuk menggalang wakaf uang. Kalau wakaf uang itu sudah melampaui 1 juta rupiah, maka orang yang wakaf itu disebut wakif secara otomatis mendapatkan sertifikat wakaf uang dari bank yang menerima wakaf.

Disampaikan pada pengajian Masyarakat Intelektual ke-40, 29 Mei 2009M./Jumadil Akhir 1430 H di Masjid Istiqlal.