Kamis, 14 Februari 2008

Menyelamatkan Generasi Yang Mengkhawatirkan


Menyelamatkan Generasi yang Mengkhawatirkan
Oleh:
Sarmidi Kusno


Banyak yang khawatir sekaligus cemas ketika Bank Dunia mengumumkan, presentasi usia produktif (15-64 tahun) terhadap total populasi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam akan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Pada saat bersamaan, presentase usia produktif di China sudah mengalami penurunan, yang dimulai tahun 2015. Dan raksasa ekonom Asia lainnya, Korea Selatan juga akan mengalami penurunan tahun 2020. Sementara Jepang sudah lebih dulu mengalami penurunan sejak tahun 1990 (Philip S, 2006).
Dapat diperkirakan, pada tahun 2025 nanti akan terjadi persaingan yang sengit antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam di bidang perekonomian dan perdagangan dalam bingkai sistem pasar bebas.
Hal tersebut membuat banyak orang bertanya. Bagaimana kira-kira tingkat daya saing generasi bangsa Indonesia nanti? Langkah-langkah apa yang telah dan akan dilakukan untuk menyongsong persaingan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, muncullah berbagai kekhawatiran akan nasib generasi bangsa.

Kekhawatiran: Buah Kebijakan?
Kekhawatiran tersebut menjadi pas ketika kita melihat fakta generasi bangsa Indonesia, saat ini, merupakan produk anak-anak yang tumbuh dengan tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara langkah strategis pemerintah untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas kurang, untuk mengatakan tidak sama sekali, diperhatikan.
Data terbaru menyebutkan, dari sekitar 34 juta lebih anak Indonesia usia sekolah yang mengikuti pendidikan dasar mencapai 97%, dan rasio untuk pendidikan menengah lebih rendah, yaitu 62%. Meski demikian, hanya setengah dari anak sekolah Indonesia yang menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Sekitar 18% anak putus sekolah dasar, selebihnya tidak melanjutkan atau tidak menyelesaikan sekolah menengah (Philip S, 2006). Artinya, lebih dari 17 juta anak Indonesia yang tidak menyelesaikan sekolah menengah.
Sementara itu, angka kemiskinan terus meningkat. Pada tahun 2007 diperkirakan juga akan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga beras, pencabutan bantuan tunai langsung (BLT)), dan berbagai bencana yang menerpa negeri ini (Koran SINDO, 15/02/2007). Kondisi ini akan menambah panjang daftar warga yang tidak mampu menyekolahkan putra-putrinya. Akibanya, generasi bangsa pun betambah memperihatinkan.
Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya angka pengangguran yang, pada tahun ini, diperkirakan akan mengalami kenaikan juga. Kenaikan angka pengangguran lebih disebabkan oleh adanya angkatan kerja baru dari lulusan pendidikan, musibah banjir di Jakarta dan sekitarnya, gempa yang melanda wilayah Yogyakarta, semburan lumpur Lapindo yang menimpa warga Sidoarjo, dan gempa di Sumatra Barat yang diperkirakan mencapai 2,5 juta orang (Republika, 16/03/2007). Dalam keadaan menganggur ditambah dengan kondisi ekonomi lemah, prioitas kehidupan masyarakat bergeser pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan mengesampingkan pendidikan putra-putri mereka. Hal tersebut tentu akan menambah deretan jumlah generasi bangsa yang berkualitas rendah. Bagaimana generasi bangsa mampu bersaing kalau tidak cukup bekal pendidikannya.
Memang ada beberapa generasi bangsa yang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Mereka mampu duduk di bangku sekolah yang menamakan diri sebagai sekolah nasional plus yang mengadopsi kurikulum asing. Hasilnya pun juga memuaskan. Prestasi kelas dunia seperti kemenangan dalam Olimpiade Fisika pun dapat diraih oleh Tim Fisika asuhan Yohanes Surya (Kompas, 03/05/2006). Namun jumlah mereka tidak lebih dari 10 persen generasi bangsa yang ada. Lebih dari 90 persen generasi bangsa yang tidak mengenyam pendidikan berkualitas dan terancam menjadi generasi yang berkualitas rendah.
Jadi, keberhasilan Tim Fisika Yohanes Surya menjadi yang terbaik kedua, di bawah China, di kancah Olimpiade Fisika Internasional, tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional. Karena tolok ukur keberhasilan pendidikan nasional lebih ditentukan pada kemampuan negara mewujudkan pemerataan dan memastikan keterjangkauan pendidikan yang berkualitas bagi semua generasi bangsa, bukan segelintir dari mereka.
Namun fakta mengatakan lain, negara terbukti belum mampu menyediakan peluang bagi 90 persen lebih generasi bangsa untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas sebagai salah satu hak dasar mereka. Bahkan, seperti saya sebutkan di atas, 17 juta anak lebih tidak dapat menyelesaikan pendidikan menengah.
Padahal, sesuai dengan amanat UUD 45, negara mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 45) dan memberikan peluang bagi semua warga negara untuk mendapatkan pengajaran (pasal 31 UUD 45). Akan tetapi amanat tak kunjung terpenuhi. Hal ini lebih disebabkan oleh kebijakan negara yang kurang memperhatikan masa depan generasi bangsa, sehingga sumber daya manusia (SDM) yang tak berkualitas berada di depan mata.
Kebijakan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN yang ada belum kunjung terrealisasikan. Hal ini memupuskan harapan akan terpenuhinya janji Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang akan mengupayakan pembiayaan pendidikan terhadap generasi yang tidak mampu (Kompas, 13/03/2007). Upaya pembebasan biaya pendidikan (pendidikan gratis) bagi generasi bangsa yang tidak mampu sudah barang tentu sulit terwujud. Selain jumlahnya yang terlalu banyak (17 juta lebih), dukung anggaran pendidikan juga belum memadahi.
Kondisi seperti ini tentu menyangsikan kita akan kemampuan generasi bangsa untuk bersaing di masa depan. Daya saing mereka tidak cukup kuat untuk berkompetisi menjadi aktor utama dalam percaturan ekonomi di masa yang akan datang. Apa lagi untuk merealisasikan mimpi Presiden SBY yang berharap Indonesia masuk lima negera dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia pada 2030. Indonesia akan mempunyai pendapatan per kapita UU$ 18 ribu per tahun (Koran SINDO, 23/03/07).

Apa yang Harus Dilakukan?
Kondisi sulit bukan berarti kita harus berhenti bebuat, akan tetapi kita harus tetap berusaha, minimal, menekan tingginya generasi bangsa yang berkualitas rendah. Sebab, kalau kondisi seperti ini dibiarkan berlaut-larut, tak pelak, kualitas generasi bangsa akan tetap dan bahkan mungkin bertambah memperihatinkan. Sebagai akibatnya, pada saatnya nanti, mereka akan dihinggapi rasa ketidak-berdayaan menghadapi persaingan.
Saat ini, kita masih punya kesempatan untuk mempersiapkan generasi bangsa yang siap bersaing pada 2025 mendatang, walau sangat kecil. Akan tetapi, untuk memanfaatkan kesempatan yang kecil tesebut tentu harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak pada sektor pendidikan.
Setidaknya, kebijakan pendidikan nasional harus mulai difokuskan pada usaha-usaha: pertama, melaksanakan mandat pasal 31 UUD 45, yaitu menjamin kesempatan yang adil dan merata bagi setiap generasi bangsa untuk memperoleh pendidikan berkualitas; kedua, melaksanakan mandat Pembukaan UUD 45, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyelengarakan pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyaakat Indonesia kini dan mendatang dalam menghadapi tantangan masa depan; ketiga, memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan yang memadahi sebagaimana amanat Undang Undang guna mendukung usaha mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas agar mampu bersaing, mengingat seiring adanya liberalisasi ekonomi yang sulit dibendung, persaingan pun sangat berat.
Oleh karena itu, kiranya perlu ada gerakan bersama untuk memikirkan dan menyelamatkan nasib generasi bangsa yang mengkhawatirkan tersebut. Bangaimana kondisi kesejahteraan mereka nanti, harus dipikirkan mulai dari sekarang. Dan sebagai landasan teologis, menurut hemat penulis, hendaknya kita merenungkan kembali peringatan Alquran: “Dan hendaknya takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka” (QS. an-Nisa’: 9). Dengan kata lain, betapapun sulit dan berat beban kita untuk mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas yang siap bersaing di masa depan, diktum Alquran ini jangan samapai dilupakan agar rasa khawatir meninggalkan generasi lemah selalu tertanam, sehingga terbangun semangat untuk meningkatkan kualitas generasi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar