Kamis, 21 Februari 2008

Teori Sosial


Sarmidi Kusno


Dalam sejarah sosial terdapat tiga teori sosial yang sering menjadi madzab negara-negara di dunia ini. Teori tersebut adalah sebagai berikut;
1. The Welfare state school
Pada abad ke-19, negara-negara di eropa mengimplementasikan secara serius ajaran laissez-faire yang beprinsip bahwa tugas negara pada prinsipnya hanya tebatas pada aspek perlindungan kedaulatan dan melindungi warga negara dari ketidakadilan yang dilakukan warga lain, sedangkan sisanya diserahkan kepada pasar.
Dengan prinsip tersebut, di eropa terjadi kenaikan kemakmuran rakyat yang cukup signifikan. Akan tetapi, sejalan dengan itu pula terjadi efek samping yang kuang baik seperti eksploitasi kaum buruh (termasuk anak-anak), pencemaran lingkunangan, kurangnya perumahan, dan jeleknya kesehatan masyaakat.
Abad itu adlah ea dimana kapitalisme tumbuh secara tidak adil, karena pada satu sisi lahir kelompok borjuis yang amat kaya, sedangkan di sisi lain lahir kelompok buruh yang diperas tenaganya untuk bekerja dengan upah yang tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka hasilkan.
Pada akhir abad 19 muncul pemikiran tentang welfare state sebagai respon terhadap terjadinya kapitalisme yang dipeloporin antara lain oleh Karl Marx.
Secara subtantif, teori welfare state menekankan adanya tanggung jawab negara utuk mensejahterakan rakyanya. Dalam pandangan teori ini, negara didirikan untuk mewujudkan kebaikan bagi seluruh penduduk, sehingga negara harus campur tangan pada setiap aspek yang bekaitan dengan pencapaian tujuan itu.
Secara umum, teori welfare state mengajarkan prinsip-prinsip berikut (Heywood, 2002, h.184):
· Political and supremacy over economy (Negara didirikan oleh rakyat, dijalankan dan diarahkan sesuia dengan kehendak mereka bukan oleh uang);
· Community and fraternity (kehudupan negara sebaiknya diatur dengan semangat humanisme dan kebesamaan, bukan semata dalam kerangka hubungan ekonomi);
· Multiplier and full employment (pemeintah betugas menciptakan kemakmuran, kalau perlu dengan stimulus dan intervensi ekonomi utamanya untuk mengatasi esesi dan pengangguran);
· Social security (setiap warga negara harus dijamin hak dan kebutuhan mereka, terutama kebutuhan dasar).
Sebagai akibat munculnya pemikiran welfare state, maka pasca peang dunia II banyak negara eropa, amerika, austalia, dan new Zealand membuat program bantuan bagi pengangguran, asuransi kesehatan bagi rakyat, bantuan pendidikan, dan social security. Selain itu, lahir pula badan usaha milik negara (state own enterprises) untuk mewujudkan kewajiban ekonomi negara dalam memakmurkan rakyat.

2. Neo-classicism school
Pada pertengahan tahun 1970-an, seiing dengan naiknya Margaret Thatcher menjadi perdana mentei di inggris dan Ronald Reagan menjadi presiden di amerika, liberalisme mengalami reinkarnasi dengan bentuk yang lebih berwarna dalam bingkai neo-classicism. Munculnya teori ini dikarenakan teori welfare state telah dipandang tidak efesien mengingat besarnya aktifitas (campur tangan) negara dalam bidang ekonomi.
Secara prinsipiul, neo-classicism memiliki konsep yang sama dengan liberalisme yang menganjurkan pembatasan peran negara, dan merekomendasikan agar institusi dan peran negara dikurangi. Selain itu, neo-classicism juga mengembangkan adanya praktek mekanisme pasar dalam proses penyelengaaan pemerintahan sepeti dengan mekanisme outsourcing (kontrak kerja), pelelangan, dan korporatisasi. Lebih lanjut neo-classicism juga mengadopsikan manajemen sector privat ke institusi public.

3. New social democracy school
Konsep terakhir ini juga dikenal dengan konsep jalan tengah (third way). Teoi ini meupakan elaborasi liberalisme dan sosialisme yang menganjuikan kompomi jalan tengah antara peran pemeintah dan pasar, antara market dan politics.
Pada pinsipnya, new social democracy memandang bahwa pasar bebas (free market) adalah bertentangan dengan prinsip-pinsip demokrasi, karena pemilik kedaulatan adalah orang (rakyat) baik yang punya uang maupun yang miskin. Oleh karena arah kehidupan masyarakat sebaiknya diserahkan kepada rakyat, bukan kepada pasar. Kalaupun mekanisme pasr digunakan dalam proses penyelenggaraan negara, mekanisme itu tidak boleh mengalahkan prinsip demokasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar