Selasa, 13 Januari 2009

Hassan Hanafi: Islam Adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi

sumber: www.islamlib.com
A. PENDAHULUAN
B. RIWAYAT HIDUP DAN KONDISI SOSIO-KULTURAL MESIR
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.[2]
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.[3] Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah iadilatih untuk ber­pikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah mau­pun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim­bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[4] Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan­-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam se­makin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.[5]
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguh­nya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan duapilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitas­nya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaru­an pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui ulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981.
Tulisan­-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Univer­sitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.[6]
Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek­tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan­nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat Islam.
C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYANYA
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang ber­kembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[7] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo­rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esaitentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[8]
Pada fase awal pemikirannya iru, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation).[9] Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[10] Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian uta­manya untuk mencari penyebab kekalahan umatIslam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri­ode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro­blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi­kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.[11]
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pe­merintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itumembawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan “Kiri Keagamaan” yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta “Kiri Islam dan Integritas Nasional”. Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab muncul­nya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganali­sis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Is­lam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan feno­menologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[12]
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise­suaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris,[13] populis, dan transformatif.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang.[14]
Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.[15]
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme)[16] sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.[17] Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.
D. SEKITAR PANDANGAN HASSAN HANAFI TENTANG TEOLOGI TRADISIONAL ISLAM
Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.[18]
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.[19] Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata­-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.
Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[20]
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me­manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru­pakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.[21] Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk seti­ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada­lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.[22]
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas.[23] Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah­wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi­ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi.[24] Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.[25]
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.[26]
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe­basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.[27] Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap­an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu­siaan.[28]
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada­lah protes, oposisi dan revolusi.[29] Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.[30]
Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental.[31] Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim.[32] Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.


Daftar Pustaka
Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987)
Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983)
Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990)
Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984
Issa J. Boullatta, “Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk Dipraktekkan”, tulisan pendek yang diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam Islamika 1, g. 21.
Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988)

[1] Lihat Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), h. 133.
[2] Perkembangan ini bisa kita lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, “al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15 (1989).
[3] Lebih lanjut lihat, Ibid.
[4] Pengaruh-pengaruh intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat pada karya-karya awalnya. Hal ini juga diterangkan dalam, misalnya, Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), h. 332.
[5] Lihat, Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983), cet. ke-2, h. 7
[6] Lihat, al-Azminat, Loc.Cit.
[7] Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” (selanjutnya disebut Eksperimen), dalam Kazuo Shimogaki, Op Cit., h. Xi.
[8] Eksperimen, h. xi.
[9] Ibid., h. xiii.
[10] Lihat Abdurrahman Wahid, “Pengantar’” (selanjutnya disebut Pengantar), dalam ldeologi, h, xi.
[11] Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990), cet. ke-4.
[12] Lihat, Revolution, Loc.Cit.
[13] Arthur Schopenhauer, seorang filosof Barat modern, pernah memberikan gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki agar teologi tidak melulu berbicara tentang Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang manusia.
[14] Eksperimen, h. xvi.
[15] Ibid.

[16] Gagasan awal ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991.
[17] Ibid., h. xvii.
[18] Lihat catatan kaki (1) buku Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (selanjutnya disebut Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), h. 14.
[19] Issa J. Boullatta, “Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk Dipraktekkan”, tulisan pendek yang diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam Islamika 1, g. 21.
[20] Ideologi, h. 6.
[21] Lihat, Hassan Hanafi, “Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam,” dalam Prisma 4, April 1984, h. 39.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Ibid. hal. 40.
[26] Ideologi, h. 7.
[27] Ibid
[28] Ibid
[29] Ibid, hal. 103.
[30] Ibid, hal. 104.
[31] Ibid, hal. 103.
[32] Ibid, hal. 103-104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar