Rabu, 08 Oktober 2008

Neoliberalisme Kena Batunya

Oleh Martin Manurung

Kali ini neoliberalisme terpojok. Pemerintah Amerika Serikat menghadapi dilema dalam mengatasi krisis keuangan terberat setelah depresi besar pada tahun 1930-an.
Pilihannya adalah antara membiarkan mekanisme ”pasar bebas” mengoreksi segala kebobrokan finansial yang kian membubung selama 10 tahun atau melakukan intervensi pemerintah untuk mengerem laju percepatan krisis dan mengembalikan kepercayaan terhadap perekonomian negara adidaya itu.
Presiden AS George W Bush mengambil pilihan kedua. ”Kita harus bertindak,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan berbagai televisi internasional. Dengan persetujuan Kongres, Pemerintah AS mengintervensi pasar dengan menggelontorkan dana talangan raksasa, total lebih dari satu triliun dollar AS bila dihitung sejak awal krisis, guna menyelamatkan berbagai perusahaan raksasa di Wall Street.
Pilihan itu merupakan konfirmasi bahwa ideologi neoliberalisme yang selama ini diusung dan dikampanyekan negeri itu kepada dunia ternyata omong kosong. ”Tangan-tangan ajaib” yang katanya menggerakkan ”pasar bebas” harus diikat agar tidak kian menyeret perekonomian negeri itu ke jurang kehancuran.
Neoliberalisme mengampanyekan ”pasar bebas” berdasarkan model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab teori ekonomi neoklasik. Pada model ini, sejatinya berlaku persyaratan free entry dan free exit’ (bebas masuk dan keluar). Hanya keuntungan, bukan pemerintah, yang dapat menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar saat defisit. Proses itu berlangsung begitu rupa sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal (normal profit)”. Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti itu, sebagaimana ”pakem” yang diyakini kalangan neoliberal.
Mekanisme pasar
Kekisruhan di Wall Street saat ini dapat dipandang sebagai bagian proses mekanisme pasar. Awalnya, berbagai korporasi diberi insentif untuk membesar dengan membebaskan dari aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka ”difasilitasi” regulasi yang sengaja dibiarkan longgar sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan berbagai produk keuangan yang ”ajaib” dan berisiko tinggi.
Lalu, posisi yang dominan dan ukuran besar membuat mereka mendapat predikat too big to be allowed to fail (terlalu besar untuk dibiarkan gagal). Predikat itu seolah menjadi sabuk pengaman untuk lebih menyerempet bahaya sehingga memperburuk terjadinya moral hazard. Yang lebih parah, selama proses menyerempet bahaya, otoritas pasar finansial, otoritas moneter dan Pemerintah AS menutup mata demi keuntungan politis penguasa.
Dengan demikian, krisis yang kini terjadi adalah konsekuensi alami dari praktik penyerempetan bahaya di Wall Street dan pembiaran Pemerintah AS. Dalam investasi berlaku hukum high risk, high returns atau risiko tinggi membawa tingkat pengembalian –dan kerugian—yang tinggi pula.
Para investor yang menanamkan modal pada instrumen keuangan yang berisiko tinggi, sepatutnya sadar, mereka siap menanggung akibatnya. Mengutip Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang mereka minta). Kerakusan para pemburu rente berbuah bencana.
Negara pelindung modal
Alih-alih mengikuti mekanisme pasar, Pemerintah AS justru memberi ”napas buatan” melalui dana talangan tanpa banyak persyaratan. Tak ada tenggat pengembalian dan batas maksimum dana yang digelontorkan. Pun tak diatur apa yang harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi organisasi dan kebijakannya guna memastikan dana talangan itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila dibandingkan aneka kondisional yang dianjurkan AS melalui IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada negara-negara berkembang.
Konsistensi pada paham ”pasar bebas” menghendaki Pemerintah AS membiarkan swakoreksi (self correcting) pada mekanisme pasar di Wall Street. Tak seharusnya dana publik yang dikelola pemerintah digunakan untuk menyelamatkan korporasi yang mengalami kesulitan akibat perbuatannya sendiri.
Hal itu menegaskan, kembalinya peran pemerintah di AS cenderung sebagai upaya untuk melindungi pemilik modal ketimbang publik. Tesis negara sebagai pelindung modal, sebagaimana pernah dikatakan Karl Marx, menjadi sungguh-sungguh hadir dan nyata dalam krisis AS.
Martin Manurung Penulis Analis Ekonomi-Politik dan Pembangunan; Alumnus School of Development Studies, University of East Anglia, Inggris
Kompas, Rabu, 8 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar