Fase Awal Berdiri pada tahun 1945, pasca masa pendudukan Jepang, pesantren ini semula lebih dikenal dengan nama Pesantren Rembang. Pada awal masa berdirinya menempati lokasi Jl. Mulyo no. 3 Rembang saja namun seiring dengan perkembangan waktu dan berkembangnya jumlah santri, pesantren ini mengalami perluasan sampai keadaan seperti sekarang. Tanah yang semula menjadi lokasi pesantren ini adalah tanah milik H. Zaenal Mustofa, ayah dari KH. Bisri Mustofa pendiri Pesantren Rembang. Kegiatan belajar mengajar sempat terhenti beberapa waktu akibat ketidakstabilan kondisi waktu itu yang mengharuskan KH. Bisri Mustofa harus mengungsi dan berpindah-pindah tempat sampai tahun 1949. Pesantren ini oleh banyak orang disebut-sebut sebagai kelanjutan dari Pesantren Kasingan yang bubar akibat pendudukan Jepang pada tahun 1943. Pesantren Kasingan pada masa hidup KH. Cholil Kasingan adalah pesantren yang memiliki jumlah santri ratusan orang dan terkenal sebagai pesantren tahassus ‘ilmu ’alat. Santri-santri dari berbagai daerah belajar di sini untuk menuntut ilmu-ilmu alat sebagai ilmu yang dijadikan keahlian khusus macam nahwu (sintaksis Arab), shorof (morfologi Arab), balaghoh (stilistika). Atas usul beberapa santri senior dan mengingat kondisi pada waktu itu pada tahun 1955, Pesantren Rembang diberi nama Raudlatuth Tholibin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan nama Taman Pelajar Islam. Motto pesantren ini adalah ta’allama al-‘ilm wa ‘allamahu al-naas (kurang lebih berarti: mempelajari ilmu dan mengajarkannya pada masyarakat). Metode Belajar Mengajar Metode pengajaran yang dikembangkan oleh pesantren ini pada awal berdirinya adalah murni salaf (ortodoks). Pengajaran dilakukan dengan cara bandongan (kuliah umum) dan sorogan (privat). Keduanya diampu langsung oleh KH. Bisri Mustofa sendiri. Ketika jumlah santri meningkat dan kesibukan KH. Bisri Mustofa bertambah maka beberapa santri senior yang telah dirasa siap, baik secara keilmuan maupun mental, membantu menyimak sorogan. Pengajian bandongan terjadwal dalam sehari semalam pada masa KH. Bisri Mustofa meliputi pengajian kitab Alfiyyah dan Fath al-Mu’in sehabis maghrib, Tafsir Jalalain setelah jama’ah shubuh, Jam’ul Jawami’ dan …. Pada waktu Dhuha, selain itu KH. Bisri Mustofa melanjutkan tradisi KH. Cholil Kasingan mengadakan pengajian umum untuk masyarakat kampung sekitar pesantren tiap hari Selasa dan Jum’at pagi. 1967, tiga tahun setelah putra sulung KH. Bisri Mustofa, yakni KH. M. Cholil Bisri pulang dari menuntut ilmu, KH. Cholil Bisri mengusulkan kepada ayahnya untuk mengembangkan sistem pengajaran model madrasi dengan kurikulum yang mengacu kepada kurikulum madrasah Mu’allimin Mu’allimat Makkah di samping pengajian bandongan dan sorogan. Usul ini disepakati oleh K.Bisri sehingga didirikanlah Madrasah Raudlatuth Tholibin yang terdiri dari dua jenjang yakni I’dad (kelas persiapan) waktu tempuh 3 tahun dan dilanjutkan dengan Tsanawi (kelas lanjutan) waktu tempuh 2 tahun. Pengajarnya adalah kyai-kyai di sekitar Rembang dan santri-santri senior. 1970, putra kedua beliau yakni KH. A.Mustofa Bisri, sepulang dari menuntut ilmu didesak oleh santri-santri senior untuk membuka kursus percakapan bahasa Arab. Desakan ini dikarenakan KH. Bisri Mustofa dalam banyak kesempatan hanya berkenan ngobrol dengan santri senior dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan ijin KH. Bisri Mustofa kursus ini didirikan dengan standar kelulusan ‘kemampuan marah dalam bahasa Arab’. Pada tahun ini pula didirikan Perguruan Tinggi Raudlatuth Tholibin Fakultas Da’wah, namun karena tidak mendapatkan ijin dari pemerintah maka Perguruan Tinggi ini terpaksa ditutup setelah berjalan selama 2 tahun. 1983, putra ketiga beliau yakni KH. M. Adib Bisri mengembangkan pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan menterjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri. Ini terinspirasi oleh produktifitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbah Mustofa baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun dalam bahasa Arab. Pada saat yang sama kemampuan kepenulisan rata-rata santri dalam bahasa Indonesia sangatlah minim. Selain itu pada tahun itu juga didirikan Perpustakaan Pesantren sebagai sarana pendokumentasian dan sumber rujukan literer bagi para santri. Fase Kedua Sepeninggal KH. Bisri Mustofa, 1977, pengajaran di pesantren diampu oleh ketiga putra beliau. Madrasah tetap berjalan. Pengajian bandongan Alfiyah dan satu judul kitab fiqh yang berganti-ganti sehabis Maghrib diampu oleh KH. Cholil Bisri untuk santri-santri senior serta KH. M. Adib Bisri untuk santri-santri yunior, Tafsir Jalalain setelah Shubuh diampu oleh KH. Mustofa Bisri untuk semua santri, waktu Dhuha KH. Cholil Bisri mengajar Syarah Fath al-Muin dan Jam’ul Jawami’ untuk santri senior. Pengajian hari Selasa diampu oleh KH. Cholil Bisri dengan membacakan Ihya’ Ulumuddin. Pengajian Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri dengan membacakan Tafsir Al-Ibriz. Pada saat inilah mulai diterima santri putri. Sekitar akhir tahun 1989, KH. M. Adib Bisri mendirikan Madrasah Lil-Banat. Madrasah ini khusus untuk santri putri. Kurikulumnya disusun oleh ketiga bersaudara putra KH. Bisri Mustofa. Madrasah Lil Banat ini memulai kegiatan belajar mengajarnya sejak pukul 14.30 dan selesai jam 16.30. Madrasah khusus putri ini terbagi menjadi I’dad (kelas persiapan) 2 tingkatan dan Tsanawiy (lanjutan) 4 tingkatan. Pengajarnya adalah santri-santri senior. Pada perkembangannya kemudian, mengingat jumlah santri yang semakin banyak, beberapa santri senior yang dianggap sudah cukup mumpuni diminta untuk membantu mengajar bandongan bagi para santri pemula. Pengajian setelah Shubuh diampu oleh KH. Cholil Bisri karena kesibukan KH. Mustofa Bisri. KH. Mustofa Bisri kemudian diminta mengajar khusus santri-santri yang sudah mengajar di Madrasah Raudlatuth Tholibin setiap selesai pengajian Ba’da Maghrib. Sepeninggal KH. M. Adib Bisri, 1994, pengajian ba’da Maghrib untuk santri yunior dilanjutkan oleh putra KH. Cholil Bisri yaitu KH. Yahya C. Staquf. Madrasah tetap seperti semasa KH. Bisri Mustofa yaitu dimulai sejak pukul 10.00 sampai dengan pukul 13.00. Kurikulumnya mengacu pada Madrasah Mu’allimin Mu’allimat pada masa KH. Cholil bersekolah di sana, dengan beberapa tambahan yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat secara tambal sulam misalnya pernah ditambahkan materi sosiologi untuk Tsanawiyah, materi bahasa Indonesia untuk I’dad, materi bahasa Inggris untuk Tsanawiyah dan lain sebagainya. Pada tahun 2003, atas prakarsa Bisri Adib Hattani putra KH. M. Adib Bisri, dengan seijin KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri, diadakanlah madrasah yang masuk sore hari untuk santri-santri putra yang menempuh ‘sekolah umum’ pada pagi hari. Madrasah sore ini terdiri dari 5 tingkatan yaitu 2 tingkat I’dad dan 3 tingkat Tsanawiy. Kurikulumnya merupakan perpaduan dari Madrasah Diniyah Nawawiyah (terkenal dengan nama Madrasah Tasikagung) dan Madrasah Raudlatuth Tholibin Pagi. Kelas 3 Tsanawiyah sore beban pelajarannya setara dengan kelas 1 Madrasah Tsanawiyah pagi. Kondisi Kontemporer Pada tahun 2004, KH. Cholil Bisri meninggal dunia. Beberapa pengajian yang semula diampu oleh beliau sekarang diampu oleh santri-santri tua. KH. Makin Shoimuri melanjutkan pengajian bandongan ba’da Maghrib dan waktu Dluha. KH. Syarofuddin melanjutkan pengajian bandongan ba’da Shubuh selain membantu mengajar santri yunior selepas Maghrib. Pengajian bandongan santri yunior ba’da Maghrib diampu oleh beberapa orang santri senior yang dianggap sudah mumpuni. Santri senior yang sudah mengajar di madrasah dibimbing oleh KH. Mustofa Bisri dengan pengajian setiap malam selepas Isya’. Kecuali ‘santri pengajar madrasah’ semua santri mulai jam 21.00-23.00 diwajibkan berkumpul di aula-aula untuk nderes (istilah untuk mengulang pelajaran yang sudah diterima) bersama-sama. Hari Selasa dan Jum’at semua pengajian bandongan diliburkan. Malam Selasa seluruh santri diwajibkan untuk mengikuti munfarijahan dan latihan pidato selepas maghrib. Malam Jum’at selepas maghrib semua santri diwajibkan mengikuti keplok, yaitu membaca hapalan seribu bait Alfiyyah bersama-sama diiringi tepuk tangan. Setelah acara tersebut, sekitar pukul 22.00-23.00 diadakan musyawarah kitab yang diikuti oleh seluruh santri. Pengajian untuk umum setiap hari Selasa yang semula diampu oleh KH. Cholil Bisri sekarang dilanjutkan oleh putra beliau yaitu KH. Yahya C. Staquf yang khusus diminta pulang dari Jakarta untuk membantu mengurusi pesantren. Pengajian hari Jum’at diampu oleh KH. Mustofa Bisri. Apabila keduanya berhalangan mengajar pada hari-hari tersebut maka KH. Syarofuddin diminta untuk menggantikan mengajar. Santri yang berjumlah sekitar 700 orang membuat manajemen pengelolaan pun semakin kompleks. Untuk persoalan harian santri dibentuk satu kepengurusan yang terdiri atas santri-santri senior yang sudah magang mengajar. Kepengurusan ini dikoordinatori oleh seorang ketua yang dipilih oleh semua santri setiap dua tahun sekali. Santri-santri pengajar pengajian bandongan menjadi pengawas bagi berlangsungnya proses kepengurusan selama dua tahun sebagai dewan penasehat. Kesemuanya di bawah bimbingan langsung KH. Mustofa Bisri dan KH. Yahya C. Staquf yang menggantikan kedudukan ayahnya. Para santri yang mengikuti Pengajian Selasa dan Jum’at pagi biasa disebut dengan nama Jama’ah Seloso-Jemuah pun memiliki kepengurusan tersendiri yang mengurusi bantuan-bantuan kepada anggota jama’ah, ziarah-ziarah, peringatan hari-hari besar Islam dan lain sebagainya yang terkait langsung dengan masyarakat.
Kiai Bisri Mustofa22 Desember 2006 19:48:37
K.H. Bisri Mustofa adalah seorang kiai kharismatik pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang JawaTengah. Ia dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Sewaktu kecil ia diberi nama Mashadi oleh kedua orang tuanya, Yaitu H. Zainal Mustofa dan Chodijah. Selanjutnya setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 ia menganti nama dengan Bisri.Pada masa kecil KH. Bisri Mustofa merupakan sosok anak yang malas belajar dan mengaji di pondok pesantren. Bahkan ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada mengaji. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, sampai pada akhirnya ia bersedia untuk mengaji di pesantren dan menekuni ilmu-ilmu agama. KH. Bisri Mustofa belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren kasingan Rembang yang diasuh oleh Kiai Cholil. Di pesantren inilah ia kemudian menekuni ilmu-ilmu agama selanjutnya menjadi bekal yang paling berharga di dalam kehidupannya. Selain di pesantren Kasingan Rembang ia juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesatren Tebuireng Jombang asuhan KH Hasyim Asy’ari. Selain itu KH. Bisri Mustofa juga pernah mengaji untuk memperdalam ilmunya di kota suci Makkah pada tahun 1936 kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar Khamdan Al-Magrib. Syaik Maliki, Syyid Amir, Syaikh Hasan Masysyath, dan kiai Abdul Muhaimin. Selain sebagai guru, Kiai Cholil adalah mertua KH Bisri Mustofa karena ia dinikahkan dengan putrinya yang bernama Marufah. Pernikahannya dengan Ma’rufah ini, KH. Bisri Mustofa dikaruniai delapan orang anak, yaitu : Cholil, Mustofa, Adieb, Faridah, Najichah, labib, Nihayah dan Atikah. Kehidupan KH Mustofa Bisri mengalami berbagai dinamika seiring dengan berjalannya waktu dengan kondisi zaman waktu itu. Ia mengalami pahitnya hidup pada zaman penjajahan jepang, masa awal kemerdekaan sampai pemberontakan G 30 S. PKI. Setelah wafatnya Kiai Cholil, KH Bisri Mustofa ikut aktif dalam mengajar santri-santri di pondok pesantren kasingan Rembang tersebut bubar pada masa pendudukan jepang, kemudian KH Bisri Mustofa meneruskan pesantren tersebut di Jl. Leteh Rembang yang diberi nama pesantren Raudhatut Thaliban. KH Bisri Mustofa adalah seorang kiai yang mendididik para santrinya dengan penuh kasih sayang meskipun ia adalah seorang yang sangat sibuk, akan tetapi jarang sekali ia meningalkan waktu mengajar para santrinya. Selain sebagai kiai yang mengasung pesatren KH. Bisri Mustofa adalah seorang politikus handal yang disegani semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi KH. Bisri Mustofa adalah seorang aktifis Masyumi yang sangat gigih berjuang akan tetapi setelah NU menyatakan diri keluar dari Masyumi, ia pun keluar dari Masyumi dan berjuang di NU. Pada pemilu 1955 KH. Bisri Mustofa terpilih menjadi angota konstituante yang merupakan wakil dari partai NU setelah ada Dekrit presiden pada tahun 1959 yang membubarkan dewan konstituante dan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (MPRS), KH. Bisri Mustofa juga ditunjuk sebagai anggota MPRS dari unsur ulama. Kemudian pada pemilu 1971 iapun tetap konsisten berjuang di partai NU yang selanjutnya menghantarkan dirinya menjadi angota MPR dari daerah Jawa Tengah. Sewaktu pemerintahan Orde Baru Menerapkan fusi atas partai-partai yang ada waktu itu, sehinga partai NU pun harus berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH. Bisri Mustofa pun akhirnya bergabung di PP dan memperjuangkan partai tersebut. Pada pemilu tahun 1977 ia pun masuk daftar calon legislatif (caleg) dari PPP dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Akan tetapi ketika masa kampanye kurang seminggu lagi tetapnya Hari Rabu tanggal 17 Februari 1977 ( 27 Shafar 1397 H) menjelang waktu Ashar KH Bisri Mustofa dipanggil kehariban Allah SWT untuk selama-lamanya. KH Bisri Mustofa dikenal sebagai tokoh yang handal berpidato. Ia adalah seorang orator. Dalam setiap kampanyenya ia pasti jadi juru kampanye adalan partainya. Kemampuan panggung KH Bisri memang tak terbantah dan diakui oleh siapa pun. Benar apa yang digambarkan KH. Syaifuddin Zuhri bahwa KH. Bisri adalah orator, ahli pidato yang mengutarakan hal-hal sebenarnya sulit menjadi gamblang. Mudah diterima oleh orang desa maupun kota. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Kritikan-kritikan tajam meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyegarkan. Selain itu ia pun menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Pemikiran keagamaan KH. Bisri Mustofa oleh banyak kalangan dinilai bersifat moderat. Sifat moderat KH. Bisri Mustofa merupakan sikap yang diambil dengan pendekatkan ushul fiqh yang mengendapkan kemaslahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyrakatnya. Oleh karena itu, pemikirannya sangat kontektual. KH. Bisri Mustofa adalah seorang ulama Sunni yang gigih menperjuangkan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang sampai tiga kali revisi untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dan masyarakat. Ia juga menyerukan adanya konsep amar ma'ruf nahi munkar yang dimaknai dan di dasari oleh solidaritasa dan kepedulian sosial. Obsesinya untuk menegakan amar ma'ruf nahi munkar ini ditujukan dengan sejajar konsep tersebut dengan rukun-rukun islam yang ada lima. Ia sering mengatakan bahwa seandainya boleh maka rukun islam yang ada lima itu ditambah rukun yang keenam yaitu amar ma'ruf nahi munkar. Pemikiran-pemikiran KH. Bisri Mustofa itu biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, kitab-kitab dan lain sebgainya. Banyak sekali hasil karyanya yang sekarang ini menjadi rujukan para ulama yang mengajar dipesantrwn dan pegangan bagi para santri. dari hasil penulis wawancara dengan KH. Chollil Bisri dijelaskan bahwa seluruh hasil karya KH. Bisri Mustofa yang telah dicetak kira-kira jumlahnya 176 buku/kitab. Selain menjadi kiai yang alim, politikus yang handal, pengarang yang produktif. KH. Bisri Mustofa juga dikenal sebagai satrawan atau seniman. Hal ini dibuktikan dengan hasil karyannya yang berupa syair-syair atau puisi-puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Ia juga pernah menulis drama tentang cinta kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaicha yang kemudian ia rekam sendiri dalam bentuk monolog. Selain hal ekonomi dan perdagangan KH. Bisri Mustofa adalah sosok yang gigih kreatif dalam menagnkap peluang usaha atau bisnis. Ia memang didik menjadi keluarga pedagang yang secara langsung atau tidak langsung memberikan pelajaran baginya dalam hal pedagang atau keuletan dan kreatifitas hidupnya dapat dilihat dari perjalanan dari zaman Jepang sampai akhir masa hidupnya. KH. Bisri Mustofa juga pernah mendirikan Yayasan yang bergerak dibidang ekonomi dan perdagangan yaitu Yayasan Mu'awanah Lil Muslimin (YAMU'ALIM). Pada tahun 197-an KH. Bisri Mustofa telah menikah untuk kedua kalinya dengan perempuan asal Jawa Tengah yang bernama Umi Atiyah. Dalam pernikahan dengan istri kedua KH. Bisri Mustofa dikarunai seorang anak laki-laki yang diberi nama Maemun.
Kamis, 09 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
lha BENDAN pundi gus.... ko' mlh ttg Rembang, Kudus dunk......
BalasHapusjadi tertarik untuk mondok di PONDOK PESANTREN RAUDLATUTH THOLIBIN
BalasHapustahun 94-97 pernah jadi santri di sana sampe sekarang jiwa itu masih ada
BalasHapus