Sarmidi Husna
Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal umat Islam di seantero dunia memperingati maulid (hari lahir) Nabi Muhammad saw. Di Indonesia, peringatan tersebut juga menjadi agenda tahunan umat Islam. Gegap gempita peringatan maulid menyebar di seluruh penjuru Tanah Air yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, yakni agama yang dibawa oleh Muhammad saw. Hal itu mereka lakukan untuk mewujudkan rasa cinta, memulyakan, dan mengenang sejarah perjuangannya yang sangat agung.
Dalam sejarah tercatat bahwa Muhammad saw., yang lahir 12 Rabiul Awal/20 April 570 M, adalah tokoh revolusi sekaligus pemimpin revolusi terpenting yang pernah muncul sepanjang abad petengahan, bahkan dalam lintas sejarah. Revolusi Muhammad saw. mampu merubah karakter kawasan tempat kelahirannya, juga negara-negara sekitarnya, bahkan hingga negara-negara seberang yang mencakup berbagai bidang: teologi, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pengetahuan. Sebuah perubahan yang radikal yang tidak dapat diwujudkan kecuali hanya oleh beberapa gelintir revolusioner besar saja.
Di saat kondisi bangsa Indonesia berjalan tanpa arah, para pemimpin tidak dapat mengatasi persoalan rakyat –tingginya angka kekerasan yang bermodus agama, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan perlakuan diskriminasi terhadap yang lemah dan minoritas– maka peringatan maulid menemukan momentumnya untuk menggali kembali spirit revolusi Muhammad saw. Keberhasilan Muhammad saw. dalam melakukan perubahan dan menyelesaiakan persoalan masyarakat Mekkah harus dijadikan teladan oleh para pemimpin bangsa untuk merubah dan menyelesaikan persoalan rakyatnya. Apa yang dilakukan Muhammad saw. pada saat itu adalah langkah pembebasan dalam upaya membentuk masyarakat yang aman, adil, makmur, dan sejahtera.
Aksi Pembebasan
Aksi pembebasan, biasanya, hadir dipicu oleh adanya realitas yang terbelakang, tertinggal, miskin, dan termarjinalkan. Karena realitas tersebut, muncul tokoh yang gelisah untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat tersebut. demikian juga aksi pembebasan yang dilakukan oleh Muhamad saw. juga berangkat dari kegelisahannya melihat realitas masyarakat Mekkah yang, pada saat itu, penuh dengan kemiskinan, penindasan, marjinalisasi, dan kedaliman. Ini artinya, aksi pembebasan Muhammad saw. lebih menekankan pada tujuan untuk mewujudkan kebahagian umat manusia dalam bingkai norma-norma (syariat)) Islam.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka dapat dikemukakan obyek pembebasan yang dilakukan oleh Muhamad saw. yang mencakup beberapa bidang, di anataranya: Pertama, pembebasan di bidang teologi. Di bidang ini, Muhammad saw. berhasil merubah karakter peribadatan menyembah berhala-berhala menjadi monoteisme (menyembah Tuhan Yang Esa).
Sejarah menuturkan bahwa sebelum Islam datang, masyarakat Mekkah dan sekitarnya adalah masyaakat penyembah berhala. Mereka datang ke Ka’bah untuk beribadah haji dengan menyembah berhala yang berada di sekitar Ka’bah. Model ibadah seperti ini telah mengusik hati Muhamad saw., karena berhala-berhala yang mereka buat sendiri kemudian mereka jadikan sesembahan dan pujaan.
Walaupun, saat itu, Muhammad saw. bekerja membantu para jamaah tersebut, dengan menyediakan air minum mereka, namun ia tidak pernah beribadah menurut kepercayaan orang Arab tersebut. Bahkan menjelang umur 40 tahun, ia justru sering memisahkan diri dari keramaian masyarakat dan memusatkan pikiran untuk mencari jalan keluar agar masyarakat tidak lagi menyembah berhala. Ia sering menghabiskan waktunya di gua hira untuk bertafakkur, mengheningkan cipta, dan meminta petunjuk kepada Allah saw. dan beribadah menurut agama Ibrahim as. Dari tafakkur tersebut, ia menemukan kebenaran dengan berdasarkan wahyu untuk melakukan ibadah yang benar, yakni kebenaran tauhid yang mengesakan Allah saw.
Dalam menyampaikan kebenaran tauhid tersebut, pada awalnya, Muhammad saw. juga mendapatkan tantangan dari tokoh masyarakat Mekkah, dan bahkan dari keluarganya sendiri. Namun setelah melalui perjuangan yang keras, pada akhirnya masyarakat Arab mau menerima kebenaran tersebut. Muhammad saw. akhirnya berhasil membebaskan masyarakat Arab dari bentuk beribadah yang menyekutukan Allah swt. menuju mengesakan-Nya.
Kedua, pembebesan di bidang ekonomi dan sosial politik. Dalam bidang perekonomian, pada saat munculnya Islam, Mekkah merupakan pusat perdagangan internasional. Di sini tumbuh masyarakat ekonomi kelas dunia yang mengkhususkan diri dalam operasi finansial dan perdagangan. Pada esensinya, bisnis semacam ini tidak jauh berbeda dengan praktek korporasi yang terjadi dewasa ini, yakni menjajah dan merampas hak kaum lemah.
Melihat kondisi tesebut, Muhammad saw. merasakan adanya ketegangan akut yang berkembang dalam masyarakat Mekkah yang diakibatkan gap tajam antara si kaya dan si miskin, serta konflik serius yang tentunya bisa menyebabkan ketegangan yang tak terkendalikan. Muhammad saw. mengajak para hartawan mekkah untuk tidak menimbun harta kekayaan, tetapi sebaliknya mengajak membantu fakir miskin dan yatim piatu.
Aktivitas sosial Muhammad saw. dalam membantu fakir miskin dan yatim piatu telah ia mulai sejak berusia 15 tahun. Pada saat itu, di Mekkah terjadi peristiwa peperangan antara suku Hawazin dan suku Quraisy, yakni perang fijjar (harb al-fijjar). Disebut perang fijjar karena perang tersebut melanggar kesucian. Suku Hawazin menyerang suku Quraisy pada bulan Zulkaidah, salah satu bulan yang disebut bulan perdamaian.
Akibat dari perang tersebut, masyarakat Mekkah jatuh miskin dan menderita, terutama rakyat kecil. Menyaksikan kemiskinan dan penderitaan rakyat Mekkah tesebut, Muhamad mendirikan Hilful-Fudul, sebuah lembaga yang bertujuan membantu orang miskin dan orang yang teraniaya. Baik penduduk setempat maupun para pendatang mendapat perlindungan dak hak-hak yang sama dari lembaga tersebut.
Setelah Muhammad saw. menikah dengan Khadijah, janda kaya, kekayaan istrinya tersebut memberi kesempatan kepadanya untuk memebantu orang-orang miskin dan tertindas. Ia mendapat kesempatan untuk lebih mengaktifkan Hilful-Fudul untuk membantu mereka.
Ketiga, pembebasan di bidang kemanusiaan. Pembebasan Muhammad saw. dalam bidang kemanusiaan yang paling utama adalah membebaskan perempuan dari tradisi penguburan di masa bayi. Tradisi penguburan bayi perempuan lebih disebabkan oleh sistem sosial masyarakat Mekkah yang terdiri dari suku-suku. Karena bentuk masyarakat yang bersuku-suku, peperangan antar suku merupakan hal yang biasa. Dalam masyarakat yang sering berperang, wanita mempunyai nilai yang rendah. Oleh karena itu, merupakan hal biasa, saat itu, orang tua membunuh anaknya yang baru lahir jika bayi itu perempuan. Setelah Islam datang, tradisi seperti itu di tentang oleh Islam, sehingga tradisi tersebut dapat dihapuskan.
Selain itu, dalam masalah kemanusiaan, Muhammad saw. juga berjuang keras melawan praktek perbudakan dan melakukan aksi pembebasan budak. Langkah tesebut ia mulai sejak menikah dengan Khadijah. Dengan harta sang istri ia bisa membebaskan budak-budak dengan uang tebusan yang cukup mahal. Budak-budak yang telah dimiliki Khadijah sebelum pernikahan dimerdekakan semuanya. Salah seroang di antara mereka adalah Zaid bin Harisah, yang kemudian menjadi anak angkatnya. Langkah pembebasan budak juga dipertegas oleh peraturan atau denda bagi orang yang melanggar hukum. Suatu misal, orang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, maka dia dikenai denda harus memerdekakan budak (QS.an-Nisa’ 4: 92). Dengan di-syariat-kannya strategi pembebasan budak, upaya penghapusan perbudakan menjadi lebih lancar.
Kemudian aksi pembebasan dari diskriminasi juga dilakukan oleh Muhammad saw. Dalam hal menuntut ilmu, Muhammad saw. memberikan kewajiban yang sama bagi umatnya. Ia tidak membeda-bedakan antara kaum laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai kewajiban menunut ilmu dan diberikan kesempatan yang sama (thalabu al-‘ ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Dengan cara ini, diskriminasi terhadap perempuan semakin terkikis.
Agama Ruh Pembebasan
Semua aksi pembebasan Muhammad saw. di atas, secara otomatis, telah menjadi bagian dari ajaran agama Islam. Jika pembebasan yang dilakukan Muhamad saw. bertujuan untuk mewujudkan kebahagian umat manusia, maka agama Islam hadir juga untuk manusia, yaitu untuk memperbaiki kondisi sosial umat manusia. Dan ajaran Islam sudah semestinya dipahami sebagai ide dasar yang digunakan untuk melakukan usaha perbaikan umat manusia.
Jika di suatu negara, juga negara Indonesia, terjangkit penyakit masyarakat –kekerasan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan diskriminasi– maka agama Islam harus menjadi ruh pembebasan terhadap penyakit tersebut. Dan umat Islam harus menjadi garda depan dalam melakukan aksi pembebasan.
Oleh karena itu, dalam memperingati maulid Nabinya, umat Islam harus menggali kembali spirit pembebasan yang telah dilakukan Muhammad saw. Jika Muhammad saw. telah dan mengajarkan pemberantasan kemiskinan, melawan kaum konglomerat yang menindas, menentang diskriminasi, maka, sebagai umatnya, umat Islam harus meneladani dan mengamalkan ajaran tersebut. Artinya, umat Islam harus melakukan upaya pembebasan terhadap kaum yang tertindas, yakni rakyat miskin, yatim piatu, lansia, dan lain sebagainya. Mereka harus menjadi target utama pembebasan. Dengan cara inilah agama mempunyai makna, yaitu menjadi ruh penting untuk melakukan aksi pembebasan manusia dari segala belenggu dan penindasan.
Minggu, 16 Maret 2008
Hukum Membaca Shalawat Di antara Dua Khutbah
S : Bagaimana apabila seorang pemandu Khutbah (protokol Khutbah) dengan suara keras membaca shalawat antara dua Khutbah? Dan apabila shalawatnya panjang, apakah berarti memutuskan muwalat (kesinambungan) antara kedua khutbah itu?
J : Membaca shalawat antara dua Khutbah dengan suara keras itu adalah “bid’ah hasanah”, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila shalawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) diperkirakan waktunya cukup untuk dua rakaat.
Keterangan dari kitab:
1. Al- Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlali[1]:
فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إِنَّ اللّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ إلخ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالحَدِيْثِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ.
Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu Khutbah) di depan khatib: Inna Allaha wa malaikatahu (dst), lalu ia membaca hadits adalah termasuk bid’ah hasanah.
2. Al-Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal[2]:
(قَوْلُهُ الوَلاَءُ) الَّذِي يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَ مَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ.
(Yang dimaksud dengan al-wala’/menyambung) ialah p erbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat yang cepat maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu maka tidak merusak kesinambungan khutbah itu.
3. Fath al-Mu’in[3]
وَ وَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهَمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهَذَا هُنَا وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.
Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua Khutbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua Khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf).
[1] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, (Singapura-Jeddah: Matba’ah al-Haramain), Juz II, h. 65.
[2] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, ibid, h. 64.
[3] Zain al-Din al-Malaibari, Fath al-Mu’in, op. cit, Juz II, h. 70-71.
J : Membaca shalawat antara dua Khutbah dengan suara keras itu adalah “bid’ah hasanah”, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila shalawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) diperkirakan waktunya cukup untuk dua rakaat.
Keterangan dari kitab:
1. Al- Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlali[1]:
فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إِنَّ اللّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ إلخ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالحَدِيْثِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ.
Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu Khutbah) di depan khatib: Inna Allaha wa malaikatahu (dst), lalu ia membaca hadits adalah termasuk bid’ah hasanah.
2. Al-Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal[2]:
(قَوْلُهُ الوَلاَءُ) الَّذِي يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَ مَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ.
(Yang dimaksud dengan al-wala’/menyambung) ialah p erbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat yang cepat maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu maka tidak merusak kesinambungan khutbah itu.
3. Fath al-Mu’in[3]
وَ وَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهَمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهَذَا هُنَا وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.
Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua Khutbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua Khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf).
[1] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, (Singapura-Jeddah: Matba’ah al-Haramain), Juz II, h. 65.
[2] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, ibid, h. 64.
[3] Zain al-Din al-Malaibari, Fath al-Mu’in, op. cit, Juz II, h. 70-71.
Pendapat Ulama Yang boleh Difatwakan
Dalam Muktamar NU pertama, NU telah memutuskan untuk menggunakan pendapat tokoh (Imam) yang boleh difatwakan. yaitu menjawab masalah berikut;
S : Pendapat siapakah yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa di antara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama Syafi’iyyah?
J : Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Dalil yang digunakan berupa keterangan dari beberapa kitab, yaitu:
1. Fat’ul Mu’in[1]:
إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الْأَكْثَرُ فَالْأَعْلَمُ فَالْأَوْرَعُ.
Sesungguhnya yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wira’i).
2. Fatawa al-Dimyati[2]:
فَإِنْ قُلْتَ مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَ الرَّمْلِيَيْنِ وَ شَيْخِ الْإِسْلاَمِ وَ الْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ الْمَحَلِّي وَ الزِّيَادِي وَ الشِّبْرَمَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَ الْقَلْيُوْبِي وَ غَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الْأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، اَلْجَوَابُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُوْلِيْ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ وَ الْأَخْذُ بِالْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الْإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عَنْدَ الْإِخْتِلاَفِ التُّحْفَةَ وَ النِّهَايَةَ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيِّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِيْحِ.
Apabila Anda bertanya: “Kitab-kitab apakah yang bisa dijadikan pedoman untuk berfatwa dari kitab-kitab, syarah, hawasy (catatan pinggir), seperti kitab karya Ibnu Hajar, Imam Ramli, dan Rafi’i, Syaikh al-Islam al-Khatib, Ibnu Qasim al-Mahalli, al-Zayadi, Syibra Malisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi dan yang lain? Apakah kitab-kitab mereka ini bisa dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak berpedoman pada individu masing-masing ulama selain yang disebutkan tersebut, apabila mereka berbeda pendapat?”
Jawabnya, diperoleh dari jawaban al-‘Allamah Sa’id Ibnu Muhammad Sunbul al-Makky, seluruh kitab-kitab tersebut di atas bisa dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi harus tetap memperhatikan untuk bisa mendahulukan sebagian dari yang lain. Sedangkan untuk pengamalan diri sendiri boleh secara keseluruhan. Dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan ia harus mendahulukan kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dibanding yang lain. Jika keduanya berbeda, ia boleh memilih antara keduanya; apabila ia memang tidak mampu mengunggulkan salah satunya, namun jika dia mampu, ia harus berfatwa dengan pendapat yang lebih unggul (rajih).
[1] Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mailabari, Fath al-Mu’in, dalam I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz IV, h. 333-334.
[2] Fatawa al-Dimyati
S : Pendapat siapakah yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa di antara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama Syafi’iyyah?
J : Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Dalil yang digunakan berupa keterangan dari beberapa kitab, yaitu:
1. Fat’ul Mu’in[1]:
إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الْأَكْثَرُ فَالْأَعْلَمُ فَالْأَوْرَعُ.
Sesungguhnya yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wira’i).
2. Fatawa al-Dimyati[2]:
فَإِنْ قُلْتَ مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَ الرَّمْلِيَيْنِ وَ شَيْخِ الْإِسْلاَمِ وَ الْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ الْمَحَلِّي وَ الزِّيَادِي وَ الشِّبْرَمَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَ الْقَلْيُوْبِي وَ غَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الْأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، اَلْجَوَابُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُوْلِيْ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ وَ الْأَخْذُ بِالْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الْإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عَنْدَ الْإِخْتِلاَفِ التُّحْفَةَ وَ النِّهَايَةَ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيِّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِيْحِ.
Apabila Anda bertanya: “Kitab-kitab apakah yang bisa dijadikan pedoman untuk berfatwa dari kitab-kitab, syarah, hawasy (catatan pinggir), seperti kitab karya Ibnu Hajar, Imam Ramli, dan Rafi’i, Syaikh al-Islam al-Khatib, Ibnu Qasim al-Mahalli, al-Zayadi, Syibra Malisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi dan yang lain? Apakah kitab-kitab mereka ini bisa dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak berpedoman pada individu masing-masing ulama selain yang disebutkan tersebut, apabila mereka berbeda pendapat?”
Jawabnya, diperoleh dari jawaban al-‘Allamah Sa’id Ibnu Muhammad Sunbul al-Makky, seluruh kitab-kitab tersebut di atas bisa dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi harus tetap memperhatikan untuk bisa mendahulukan sebagian dari yang lain. Sedangkan untuk pengamalan diri sendiri boleh secara keseluruhan. Dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan ia harus mendahulukan kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dibanding yang lain. Jika keduanya berbeda, ia boleh memilih antara keduanya; apabila ia memang tidak mampu mengunggulkan salah satunya, namun jika dia mampu, ia harus berfatwa dengan pendapat yang lebih unggul (rajih).
[1] Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mailabari, Fath al-Mu’in, dalam I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz IV, h. 333-334.
[2] Fatawa al-Dimyati
Hukum Bermadzab
Dalam Muktamar NU Pertama pada tahun 1926, NU telah memutuskan Hukum Bermadzhab, dengan membahas soal masalah berikut ini;
S : Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?
J : Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan). Empat madzhab itu ialah:
a. Madzhab Hanafi
Yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.)
b. Madzhab Maliki
Yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan wafat pada tahun 179 H.)
c. Madzhab Syafi’i
Yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Ghozzah, Palestina pada tahun 150 H. dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.)
d. Madzhab Hanbali
Yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 241 H.)
Jawaban itu diambil dari kitab:
1. Al-Mizan al-Kubra[1]:
كَانَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْخَوَّاصِ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ إِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ الآنَ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ الْأُوْلىَ خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الضَّلاَلِ وَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَومَ.
Tuanku yang mulia Ali al-Khawash rahimahullah, jika ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.
2. Al-Fatawa al-Kubra[2]
وَ بِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ. وَ قَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَ تَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
Sesungguhnya ber-taqlid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.
3. Sullamul Usul[3]:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ ". وَ لَمَّا اِنْدَرَسَتْ المَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ الَّتِى انْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اتِّبَاعُهَا اتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَ الْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأًعْظَمِ.
Nabi Saw. Bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali imam empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti “mayoritas”, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari “mayoritas”.
[1] ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad Al-Sya’rani, Al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthofa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, (Bairut: Darul Fikr, 1403/1983), Juz IV, h. 307.
[3] Sulamul Usul Syarh Nihayat al-Shul
S : Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?
J : Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan). Empat madzhab itu ialah:
a. Madzhab Hanafi
Yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.)
b. Madzhab Maliki
Yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan wafat pada tahun 179 H.)
c. Madzhab Syafi’i
Yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Ghozzah, Palestina pada tahun 150 H. dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.)
d. Madzhab Hanbali
Yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 241 H.)
Jawaban itu diambil dari kitab:
1. Al-Mizan al-Kubra[1]:
كَانَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْخَوَّاصِ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ إِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ الآنَ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ الْأُوْلىَ خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الضَّلاَلِ وَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَومَ.
Tuanku yang mulia Ali al-Khawash rahimahullah, jika ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.
2. Al-Fatawa al-Kubra[2]
وَ بِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ. وَ قَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَ تَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
Sesungguhnya ber-taqlid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.
3. Sullamul Usul[3]:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ ". وَ لَمَّا اِنْدَرَسَتْ المَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ الَّتِى انْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اتِّبَاعُهَا اتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَ الْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأًعْظَمِ.
Nabi Saw. Bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali imam empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti “mayoritas”, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari “mayoritas”.
[1] ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad Al-Sya’rani, Al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthofa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, (Bairut: Darul Fikr, 1403/1983), Juz IV, h. 307.
[3] Sulamul Usul Syarh Nihayat al-Shul
Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk di dalamnya keputusan hukum Islam yang diambil oleh Nahdlatul Ulama terlebih dahulu digodok dalam forum Bahtsul Masail (pembahasan berbagai permasalahan hukum). Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masail tersebut, diperlukan tata cara pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam system pengambilan hukum Islam.
Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang manganut faham Ahlussunnah wal Jamaah menurut salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat.
A. Penjelasan Umum
Yang dimaksud dengan kitabâb adalah kutub al madzhahib al arba’ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal jamaâ’ah.
Yang dimaksud dengan madzhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi†dalam lingkup salah satu al madzhahib al arbaâah.
Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab dari al madzhahib al arbaâah.
Yang dimaksud dengan istinbath jamaâiy adalah mengeluarkan hukum syaraâ’ dari dalilnya dengan qowaid ushuliyyah secara kolektif.
Yang dimaksud dengan qaul dalam referensi madzhab Syafi’i adalah pendapat Imam Syafiâ’i.
Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i.
Yang dimaksud dengan taqrir jama’iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi’i.
Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhairiha) adalah menyamakan hukum suatu kasus /masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa judul masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahtsul masail oleh PB Syuriyah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU.
B. Sistem Pengambilan Hukum Islam
I. Kerangka Analisis Masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut:
Analisa Masalah (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai factor: a. Faktor ekonomi, b. Faktor politik, c. Faktor budaya, d. Factor social, e. Factor lainnya.
Analisa Dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain: a. Aspek social ekonomi, b. Aspek social budaya, c. Aspek social politik, d. Aspek lainnya.
Analisa Hukum (keputusan bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang) disamping mempertimbangkan hokum Islam juga memperhatikan yuridis formal. a. Status hukum (al ahkam al khamsah), b. Dasar dari ajaran / Ahlussunnah Wal Jama’ah, c. Hukum positif.
II. Prosedur Penjawaban Masalah
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzhahib al arba’ah dan disana terdapat hanya satu pendapat dari kutubul madzhahib al arba’ah, maka dipakailah madzhab tersebut.
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut: a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat. b. Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke-1 (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara memilih:1. Pendapat yang disepakati oleh asy Syaikhani (an Nawawi dan ar Rafi’iy). 2.Pendapat yang dipegangi oleh an Nawawi. 3. Pendapat yang dipegangi oleh ar Rafi’iy. 4.Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. 5.Pendapat ulama yang terpandai. 6.Pendapat ulama yang wara’.
Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih, dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’iy dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekan qawaid ushuliyah oleh para ahlinya.
C. Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail
Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun diluarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
Suatu hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah: a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelumnya dan atau, b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
Sebagai forum tertinggi di NU, Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir hasil Munas.
D. Kerangka Analisis Tindakan
Kerangka analisis tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil bahtsul masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan dan dimana hal itu hendak dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan keputusan) maka perlu memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
Aspek politik (berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah).
Aspek budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum (seperti majlis ta’lim dan sebagainya).
Aspek ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
Aspek social (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup dan lain sebagainya).
Demikian Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah.
Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman dalam memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang manganut faham Ahlussunnah wal Jamaah menurut salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat.
A. Penjelasan Umum
Yang dimaksud dengan kitabâb adalah kutub al madzhahib al arba’ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal jamaâ’ah.
Yang dimaksud dengan madzhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi†dalam lingkup salah satu al madzhahib al arbaâah.
Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab dari al madzhahib al arbaâah.
Yang dimaksud dengan istinbath jamaâiy adalah mengeluarkan hukum syaraâ’ dari dalilnya dengan qowaid ushuliyyah secara kolektif.
Yang dimaksud dengan qaul dalam referensi madzhab Syafi’i adalah pendapat Imam Syafiâ’i.
Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madzhab Syafi’i.
Yang dimaksud dengan taqrir jama’iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi’i.
Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhairiha) adalah menyamakan hukum suatu kasus /masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa judul masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu bahtsul masail oleh PB Syuriyah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU.
B. Sistem Pengambilan Hukum Islam
I. Kerangka Analisis Masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut:
Analisa Masalah (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai factor: a. Faktor ekonomi, b. Faktor politik, c. Faktor budaya, d. Factor social, e. Factor lainnya.
Analisa Dampak (dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain: a. Aspek social ekonomi, b. Aspek social budaya, c. Aspek social politik, d. Aspek lainnya.
Analisa Hukum (keputusan bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang) disamping mempertimbangkan hokum Islam juga memperhatikan yuridis formal. a. Status hukum (al ahkam al khamsah), b. Dasar dari ajaran / Ahlussunnah Wal Jama’ah, c. Hukum positif.
II. Prosedur Penjawaban Masalah
Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzhahib al arba’ah dan disana terdapat hanya satu pendapat dari kutubul madzhahib al arba’ah, maka dipakailah madzhab tersebut.
Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut: a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat. b. Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar ke-1 (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara memilih:1. Pendapat yang disepakati oleh asy Syaikhani (an Nawawi dan ar Rafi’iy). 2.Pendapat yang dipegangi oleh an Nawawi. 3. Pendapat yang dipegangi oleh ar Rafi’iy. 4.Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. 5.Pendapat ulama yang terpandai. 6.Pendapat ulama yang wara’.
Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih, dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath jama’iy dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekan qawaid ushuliyah oleh para ahlinya.
C. Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail
Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun diluarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
Suatu hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah: a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelumnya dan atau, b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
Sebagai forum tertinggi di NU, Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir hasil Munas.
D. Kerangka Analisis Tindakan
Kerangka analisis tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil bahtsul masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari bahtsul masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan dan dimana hal itu hendak dilakukan serta bagaimana cara sosialisasi mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan keputusan) maka perlu memperhatikan aspek-aspek berikut ini:
Aspek politik (berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah).
Aspek budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum (seperti majlis ta’lim dan sebagainya).
Aspek ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
Aspek social (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup dan lain sebagainya).
Demikian Keputusan Muktamar 31 Nahdlatul Ulama tahun 2004 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah.
Rabu, 05 Maret 2008
Perkembangan Wakaf di Indonesia
Oleh:
Sarmidi Husna
Dalam upaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial, Islam telah mencanangkan ajaran zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf. Ajaran zakat, infaq dan sedekah telah banyak dibicarakan, baik mengenai sistem penghimpunan, pengelolaan dan juga pentasarufannya. Berbeda dengan tiga ajaran tersebut, wakaf kurang mendapatkan perhatian, sehingga ajaran wakaf mengalami stagnasi dan bahkan kemunduran dalam menjalankan perannya. Padahal, jika dikelola dengan optimal, wakaf mempunyai peran yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban umat.
Secara historis, ajaran wakaf berdasar pada hadits yang meriwayatkan bahwa sahabat Umar ibn Khatab ra. memiliki sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk dalam melaksanakan ayat Lantanalu al-birra hatta tunfiqu minma tuhibbun artinya Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 3:92). Kemudian Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw. menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnnya.
Setelah mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw., kemudian Umar menyedekahkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. Umar tidak menjual, menghibahkan dan juga tidak mewariskan tanah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutanya, umat Islam telah menjabarkan hadits tersebut dengan mewakafkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umat. Harta benda wakaf dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, seperti pendidikan, kesehatan sarana publik lainnya. Keberadaan wakaf telah terbukti banyak membantu pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan dan pendidikan – pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung dan lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa pada abad ke-4 Hijriyah, di Istanbul (Turki) telah berdiri sebuah rumah sakit anak yang menggunakan dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Di Andalusia (Spayol), berdiri fasilitas rumah sakit yang melayani baik orang muslim maupun non muslim juga berasal dari dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Pada masa Khilafah Abasyiah, dana hasil pengelolaan harta benda wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah berperan bagi perkembangan arsitektur Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit. Dan dalam bidang pendidikan, universitas al-Azhar di Kairo, Mesir merupakan salah satu perguruan tinggi yang samapai saat ini masih eksis karena dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Dari sini sudah jelas bahwa wakaf telah menjadi instrument penting dalam pengembangan peradaban umat.
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial maupun pasca-kolonial (Indonesia merdeka).
Pada masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf, karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid yang semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf, sehingga perkembangan wakaf semakin marak. Namun perkembangan kegiatan wakaf tidak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas pada kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, musholla, langgar, madrasah, pekuburan sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme ajaran wakaf ini, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja, mengikuti awal perkembangan wakaf sebelumnya, yaitu wakaf selalu identik dengan tanah, dan tanah ini digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004. Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nadzir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan konstribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang memboleh Wakaf Uang (Waqf al Nuqud). Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No.41/2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak dan uang. Selain itu diatur pula beberapa kebijakan perwakafan di Indonesia, dari mulai pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama Tentang Wakaf Uang (PMA Wakaf Uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Dan setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No.42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.
Setelah dibentuk BWI dan diangkatnya anggota BWI, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) bahwa BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai beriku; melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan mengganti nazhir; memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Kemudian dalam ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dengan tugas dan wewenang tersebut, BWI mempunyai visi “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional” dan mempunyai misi “Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”.
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut BWI telah menyusun strategi yang akan menjadi langkah-langkah konkrit BWI, yaitu Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional; Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan; Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf; Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf; Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf; Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf; Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.
Kemudian visi, misi dan strategi di atas akan direalisasikan dengan program kerja BWI melalui 5 (lima) Divisi BWI, yaitu Divisi Pembinaan Nazhir; Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf; Divisi Kelembagaan; Divisi Hubungan Masyarakat; dan Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf.
Diharapkan dengan program tersebut dan dukungan dari masyarakat, BWI dapat mengemban amanat untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia, sehingga nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf. Wallahu a’lamu bishshawab.
Sarmidi Husna
Dalam upaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial, Islam telah mencanangkan ajaran zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf. Ajaran zakat, infaq dan sedekah telah banyak dibicarakan, baik mengenai sistem penghimpunan, pengelolaan dan juga pentasarufannya. Berbeda dengan tiga ajaran tersebut, wakaf kurang mendapatkan perhatian, sehingga ajaran wakaf mengalami stagnasi dan bahkan kemunduran dalam menjalankan perannya. Padahal, jika dikelola dengan optimal, wakaf mempunyai peran yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban umat.
Secara historis, ajaran wakaf berdasar pada hadits yang meriwayatkan bahwa sahabat Umar ibn Khatab ra. memiliki sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk dalam melaksanakan ayat Lantanalu al-birra hatta tunfiqu minma tuhibbun artinya Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran 3:92). Kemudian Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw. menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnnya.
Setelah mendapatkan petunjuk dari Rasulullah saw., kemudian Umar menyedekahkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. Umar tidak menjual, menghibahkan dan juga tidak mewariskan tanah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutanya, umat Islam telah menjabarkan hadits tersebut dengan mewakafkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umat. Harta benda wakaf dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, seperti pendidikan, kesehatan sarana publik lainnya. Keberadaan wakaf telah terbukti banyak membantu pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan dan pendidikan – pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung dan lainnya.
Sejarah telah mencatat bahwa pada abad ke-4 Hijriyah, di Istanbul (Turki) telah berdiri sebuah rumah sakit anak yang menggunakan dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Di Andalusia (Spayol), berdiri fasilitas rumah sakit yang melayani baik orang muslim maupun non muslim juga berasal dari dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Pada masa Khilafah Abasyiah, dana hasil pengelolaan harta benda wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah berperan bagi perkembangan arsitektur Islam terutama arsitektur dalam pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit. Dan dalam bidang pendidikan, universitas al-Azhar di Kairo, Mesir merupakan salah satu perguruan tinggi yang samapai saat ini masih eksis karena dana hasil pengelolaan harta benda wakaf. Dari sini sudah jelas bahwa wakaf telah menjadi instrument penting dalam pengembangan peradaban umat.
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial maupun pasca-kolonial (Indonesia merdeka).
Pada masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf, karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid yang semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf, sehingga perkembangan wakaf semakin marak. Namun perkembangan kegiatan wakaf tidak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas pada kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, musholla, langgar, madrasah, pekuburan sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme ajaran wakaf ini, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja, mengikuti awal perkembangan wakaf sebelumnya, yaitu wakaf selalu identik dengan tanah, dan tanah ini digunakan untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Peraturan Pemerintah ini bertahan cukup lama dan tidak aturan lain yang dibentuk hingga tahun 2004. Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Walaupun cukup banyak lembaga wakaf yang berdiri, akan tetapi hanya sebagian kecil lembaga wakaf (nadzir) saja yang mampu mengelola harta benda wakaf secara optimal. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan wakaf di Indonesia belum mampu memberikan konstribusi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang memboleh Wakaf Uang (Waqf al Nuqud). Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No.41/2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak dan uang. Selain itu diatur pula beberapa kebijakan perwakafan di Indonesia, dari mulai pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama Tentang Wakaf Uang (PMA Wakaf Uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Dan setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No.42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.
Setelah dibentuk BWI dan diangkatnya anggota BWI, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) bahwa BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai beriku; melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan mengganti nazhir; memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Kemudian dalam ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dengan tugas dan wewenang tersebut, BWI mempunyai visi “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional” dan mempunyai misi “Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”.
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut BWI telah menyusun strategi yang akan menjadi langkah-langkah konkrit BWI, yaitu Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional; Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan; Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf; Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf; Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf; Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf; Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.
Kemudian visi, misi dan strategi di atas akan direalisasikan dengan program kerja BWI melalui 5 (lima) Divisi BWI, yaitu Divisi Pembinaan Nazhir; Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf; Divisi Kelembagaan; Divisi Hubungan Masyarakat; dan Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf.
Diharapkan dengan program tersebut dan dukungan dari masyarakat, BWI dapat mengemban amanat untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia, sehingga nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf. Wallahu a’lamu bishshawab.
Langganan:
Postingan (Atom)