Dalam Muktamar NU pertama, NU telah memutuskan untuk menggunakan pendapat tokoh (Imam) yang boleh difatwakan. yaitu menjawab masalah berikut;
S : Pendapat siapakah yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa di antara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama Syafi’iyyah?
J : Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Dalil yang digunakan berupa keterangan dari beberapa kitab, yaitu:
1. Fat’ul Mu’in[1]:
إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الْأَكْثَرُ فَالْأَعْلَمُ فَالْأَوْرَعُ.
Sesungguhnya yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wira’i).
2. Fatawa al-Dimyati[2]:
فَإِنْ قُلْتَ مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَ الرَّمْلِيَيْنِ وَ شَيْخِ الْإِسْلاَمِ وَ الْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ الْمَحَلِّي وَ الزِّيَادِي وَ الشِّبْرَمَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَ الْقَلْيُوْبِي وَ غَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الْأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ، اَلْجَوَابُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُوْلِيْ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ وَ الْأَخْذُ بِالْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الْإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عَنْدَ الْإِخْتِلاَفِ التُّحْفَةَ وَ النِّهَايَةَ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيِّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِيْحِ.
Apabila Anda bertanya: “Kitab-kitab apakah yang bisa dijadikan pedoman untuk berfatwa dari kitab-kitab, syarah, hawasy (catatan pinggir), seperti kitab karya Ibnu Hajar, Imam Ramli, dan Rafi’i, Syaikh al-Islam al-Khatib, Ibnu Qasim al-Mahalli, al-Zayadi, Syibra Malisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi dan yang lain? Apakah kitab-kitab mereka ini bisa dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak berpedoman pada individu masing-masing ulama selain yang disebutkan tersebut, apabila mereka berbeda pendapat?”
Jawabnya, diperoleh dari jawaban al-‘Allamah Sa’id Ibnu Muhammad Sunbul al-Makky, seluruh kitab-kitab tersebut di atas bisa dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi harus tetap memperhatikan untuk bisa mendahulukan sebagian dari yang lain. Sedangkan untuk pengamalan diri sendiri boleh secara keseluruhan. Dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan ia harus mendahulukan kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dibanding yang lain. Jika keduanya berbeda, ia boleh memilih antara keduanya; apabila ia memang tidak mampu mengunggulkan salah satunya, namun jika dia mampu, ia harus berfatwa dengan pendapat yang lebih unggul (rajih).
[1] Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mailabari, Fath al-Mu’in, dalam I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz IV, h. 333-334.
[2] Fatawa al-Dimyati
Minggu, 16 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar