Minggu, 16 Maret 2008

Hukum Membaca Shalawat Di antara Dua Khutbah

S : Bagaimana apabila seorang pemandu Khutbah (protokol Khutbah) dengan suara keras membaca shalawat antara dua Khutbah? Dan apabila shalawatnya panjang, apakah berarti memutuskan muwalat (kesinambungan) antara kedua khutbah itu?

J : Membaca shalawat antara dua Khutbah dengan suara keras itu adalah “bid’ah hasanah”, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila shalawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) diperkirakan waktunya cukup untuk dua rakaat.
Keterangan dari kitab:

1. Al- Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlali[1]:

فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إِنَّ اللّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ إلخ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالحَدِيْثِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ.

Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu Khutbah) di depan khatib: Inna Allaha wa malaikatahu (dst), lalu ia membaca hadits adalah termasuk bid’ah hasanah.

2. Al-Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal[2]:

(قَوْلُهُ الوَلاَءُ) الَّذِي يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَ مَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ.

(Yang dimaksud dengan al-wala’/menyambung) ialah p erbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat yang cepat maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu maka tidak merusak kesinambungan khutbah itu.

3. Fath al-Mu’in[3]

وَ وَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهَمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهَذَا هُنَا وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.

Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua Khutbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua Khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf).

[1] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, (Singapura-Jeddah: Matba’ah al-Haramain), Juz II, h. 65.
[2] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, ibid, h. 64.
[3] Zain al-Din al-Malaibari, Fath al-Mu’in, op. cit, Juz II, h. 70-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar