Hassan Hanafi, tokoh kita ini, bukanlah intellectual par exellence di bidang Tafsir maupun studi-studi Al-Quran. Banyak nama lain yang mestinya lebih layak dikemukakan menyangkut disiplin tersebut ketimbang membahas pemikirannya; katakanlah, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Esack, atau muridnya yang begitu brilian, Abû Zayd. Nama-nama belakangan ini bukan saja dikenal dengan concern-nya pada pengujian kembali khazanah pemikiran Islam (turâts) pada sang titik alpha, Al-Quran. Tapi juga karena masing-masing mereka telah mempublikasikan karya-karya yang hingga kini menjadi kajian wajib pemerhati tafsir di Timur dan Barat. [2] Sementara itu, Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneut, apalagi seorang mufassir. Namun demikian, jika merujuk pada karya akademisnya di La Sorbonne,[3] jelas bahwa semenjak awal, ia telah berminat besar pada perumusan metodologi penafsiran (cf. Ichwan 1999:33). [4] Pertanyaannya kemudian, what makes this guy special? Inilah yang ingin dijawab oleh keseluruhan isi “Hermeneutika Pembebasan” yang terbit akhir tahun lalu. Bukanlah hal yang mudah untuk menjawabnya, oleh karena diperlukan sejumlah kriteria yang bisa menunjukkan, secara asimptomatis, “hakikat” gagasannya tentang metodologi tafsir Al-Quran. Tulisan ini, demi menjawab pertanyaan sederhana di atas, akan membahas, pertama, latar belakang dan posisi intelektual Hanafi dalam peta hermeneutika Al-Quran kontemporer; kedua, inti gagasan hermeneutika pembebasan; dan ketiga, beberapa catatan. Konteks Intelektual Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan. Hanafi, bagaimanapun, adalah seorang pengamat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Membaca Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981, 8 jilid, (terbit 1989), atau Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib (1990) yang ditulis dan diedit bersama koleganya, al-Jâbirî, dalam rangka debat dengan sejumlah pemikir Muslim lain yang mengatasnamakan diri kaum Masyriq; dan Hiwâr al-Ajyâl (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi terhadap sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, kita akan menyaksikan bagaimana komentar-komentar Hanafî tersebut merefleksikan dirinya dan pergumulan intelektual Arabo-Islam kontemporer. Kita tidak mungkin mencabut Hanafi dari situasi sosio-politik dunia Arab, dan Mesir, khususnya, ketimbang dari konteks-konteks lain, seperti diskursus pemikiran Islam modern atau studi Al-Quran kontemporer. Mukhâtab-nya tetaplah dunia Arab dengan segala pertarungan ideologisnya. Gerakan pemikiran yang diusung Hanafi dimaksudkan sebagai usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama oleh kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologi-ideologi pembangunan yang berkembang di Mesir, seperti liberalisme Barat, sosialisme negara, Marxisme klasik, hingga ritualisme kesukuan/agama. Kritik Hanafi sangat mendasar, karena diarahkan pada substansi dan praktek pembangunan itu sekaligus. Secara teoretis, bentuk-bentuk ideologi tersebut sangat bias Barat, sama sekali “asing” bagi rakyat, atau mengabaikan tradisi, sehingga hilang dari kesadaran massa. Kalaupun ada ideologi pembangunan yang berbasis agama, alih-alih berfungsi sebagai kritik, justru menjadi alat kekuasaan yang juga mengabdi pada kepentingan sekular. Sementara, secara praktis, pembangunan di Mesir bukannya mendatangkan kemajuan yang sejati, tapi justru menyengsarakan rakyat, melebarkan kesenjangan, dan menyuburkan korupsi (Hanafi 1994:91-92). Tawaran Hanafi, dalam konteks ini, berbeda dengan ideologi yang mempromosikan pembangunan (developmentalism) yang lebih berkonotasi growth, tapi kritik pembangunan dalam pengertian populisme “transformasi”. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi yang mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat. Pada titik inilah “Kiri Islam”—sebagaimana diakui dalam manifestonya—merefleksikan tahapan tertentu dalam perkembangan intelektual Hanafi sebagai transformasi dari “dominannya kesadaran individual (al-wa`yu al-fardî) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran sosial (al-wa`yu al-ijtima`î) sejak dekade 1980-an (Hanafi 1991c:84). Sebagaimana digambarkan dalam salah satu bagian manifesto tersebut, Hassan Hanafi bermaksud menciptakan sebuah disiplin interpretasi dengan sensitivitas yang luarbiasa pada realitas dan kemanusiaan. Ia menginginkan agar Kiri Islam sanggup menghasilkan tafsir perseptif, yakni tafsir atas dasar kesadaran humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik (Hanafi 1994:104). Kiri Islam, hermeneutika pembebasan, dan tafsir revolusioner, kemudian masuk ke dalam suatu skema besar dari proyek paling ambisius, at-Turâts wa at-Tajdîd.[5] Dalam proyek tersebut, metodologi tafsir (al-Manâhij) mengandaikan suatu eksposisi sistematis mengenai penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran, atau semacam pandangan dunia Al-Quran mengenai kehidupan (lihat Hanafi 1991b:10-13). Inilah yang dikatakan Hanafi mengenai dirinya. Implisit di dalamnya obsesi-obsesi besar mengenai pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Jika yang pertama mengandaikan kapasitas intelektual yang memadai atas tradisi dan modernitas, Islam dan Barat (al-istibhâr fi at-turâts wa at-taqaddum al-gharbiyyah), yang kedua mengandaikan adanya concern kemanusiaan dan analisa sosial yang tajam, secara simultan pula. Lantas, apa yang tidak dikatakan Hanafi mengenai dirinya, tapi kental dalam segenap usaha intelektualnya? Kita berhutang pada kritik wacana dari sejumlah kritikus Arab kontemporer guna memahami, antara lain, penyataan-pernyataan Hanafi dalam banyak kesempatan, “Saya telah memulai proyek ini, mengingat usia saya yang telah lanjut” (lihat misalnya, Hanafi 1989b:256). `Alî Harb, salah seorang kritikus pemikiran Arab kontemporer (1995:27-69), menuding Hanafi, tidak lebih dari orang yang mengidap apa yang disebut “narsisisme intelektual” (narjisiyyah al-mutsaqqaf) yang menjadi ciri epistem Arab kontemporer. Sebagai anak zamannya, gejala semacam itu bukan khas milik Hanafi seorang. Ini semacam efek dari euforia pembaharuan di kalangan intelektual Arab. Mereka, termasuk Hanafi, selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap proses pembaharuan di dunia Islam. Padahal, menurut Harb, mereka hanya bekerja demi reputasi dan ego masing-masing. Sementara itu, Abû Zayd (1992:182), mempersoalkan prosedur ilmiah pemikiran hermeneutis Hanafi, terutama ketika menafsirkan tradisi pemikiran Islam. Hanafi dianggap memberi porsi yang berlebihan bagi penafsir dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri. Pola berpikir semacam ini memang begitu dominan dalam interaksi Hanafi dengan khazanah keilmuan Islam yang kaya. Seperti ditunjukkan lebih lanjut oleh Abû Zayd, Hanafi sering kali menerapkan eklektisisme terhadap teks-teks tradisional sepanjang mendukung proyek pemikirannya. Padahal, setiap konsep dalam tradisi tersebut senantiasa dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan konteksnya sendiri-sendiri yang bisa jadi kontradiktif dengan penafsiran yang dilakukan Hanafi. Latar belakang di atas merupakan clues (isyârât) mengenai orientasi paradigmatis dari hermeneutika pembebasan. Jauh dari ruang vakum, pemikiran Hanafi adalah produk nalar dalam ruang sosial-budaya yang di dalamnya berbagai kuasa beroperasi dan saling bertarung berebut posisi dan reputasi. Pertanyaannya, apakah itu mengurangi keistimewaan pemikiran hermeneutis Hanafi? Posisi Metodologis Hanafi, sebagaimana diperikan di atas, pada dasarnya, tidak berhadapan secara langsung dengan diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Namun demikian, ada satu common denominator di setiap negara Muslim mutakhir bahwa masing-masing menghadapi modernitas dan pembangunan. [6] Tantangan demikian juga berlaku bagi pemikir-pemikir Muslim, terutama yang bermaksud mencari pendasarannya dalam Al-Quran. Masalahnya, mengutip bahasa Arkoun dan Rahman, kita sedang berhadapan dengan teks yang berasal dari 14 abad lalu di mana berbagai metode ilmiah dan gagasan baru dalam wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut “dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Quran” (Fazlur Rahman 1995:2-3). Upaya yang terakhir ini, disinyalir sering kali bukan demi memahami makna Al-Quran, tapi justru untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani, bahkan yang paling `baik” sekalipun, demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat (W. Rahman 1991:93). Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, para pemikir Muslim modern terbelah ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu, beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Quran. Kategori yang pertama terutama diwakili oleh Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Abû Zayd. Sedang dalam kategori terakhir dapat dimasukkan para pemikir progresif, seperti Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin. Meminjam kerangka analitis Josef Bleicher (1980:1-3), dua tipologi di atas dapat kita anggap masing–masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Quran yang bersifat teoretik (metodis) dan yang bercorak filosofis. Hermeneutika Al-Quran yang bersifat metodis lebih banyak memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoretik di seputar penafsiran Al-Quran, yakni pada “bagaimana” menafsirkan teks Al-Quran secara benar dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang benar pula. Fazlur Rahman (1985:6-8) beranggapan bahwa tugas penafsiran adalah memperoleh ratio legis atau ideal moral dari teks-teks Al-Quran dengan cara mempertimbangkan situasi objektif di mana teks lahir. Lebih ekstrim lagi, hermeneut seperti Mohammed Arkoun (1997:35-37) telah menyediakan sebuah skema komprehensif tentang syarat-syarat teoretis dalam penafsiran untuk sampai pada “kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks” (Arkoun 1997:7). Belakangan, Abû Zayd dengan bertumpu pada logika validitas ala Hirsch Jr., mengusulkan bahwa hermeneutika harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna objektif teks (meaning, al-ma`nâ) dan pengertian atau interpretasi baru (significance, al-maghzâ) yang dapat ditarik dari makna objektif-orisinal tersebut.[7] Makna objektif inilah yang pertama-tama harus diusahakan oleh interpreter dengan melakukan “pembacaan” pada struktur internal teks dan pada situasi historis yang pernah diresponnya. Baru setelah itu, dilakukan “penafsiran” yang memungkinkan diperolehnya jawaban spesifik bagi problem eksistensial hidup kekinian (Abû Zayd 1992:114). Berdasarkan pertimbangan di atas, Arkoun, Rahman, dan Abû Zayd sangat mementingkan prosedur ilmiah yang dengannya objektivitas dapat dijaga. Sementara itu, hermeneutika Al-Quran yang bercorak filosofis berasumsi bahwa objektivitas semacam itu paling banter hanya bisa “diandaikan” secara teoretik, namun dalam kenyataannya, sangat sulit dipraktekkan. Ciri utama hermeneutika filosofis adalah pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham (cf. Crasnow 1987:110). Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Menurut perspektif yang antara lain diusung oleh Farid Esack, [8] Asghar Ali Engineer, [9] dan Amina Wadud-Muhsin[10] ini, penafsiran objektif dalam pengertian memperoleh kembali atau mereproduksi makna sejati teks sebagaimana maksud pemikiran pengarangnya dulu sama sekali tidak mungkin tercapai. Dihadapkan pada dua kecenderungan teoretis di atas, hermeneutika pembebasan Al-Quran dari Hassan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoretik hermeneutika Al-Quran yang bercorak filosofis, maupun yang sifatnya metodis. Bahkan dalam kadar yang relatif minim, hermeneutika pembebasan dari Hanafi mencirikan pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis, varian lain dari mazhab pemikiran dalam hermeneutika. Terhadap hermeneutika metodis, Hassan Hanafi menginginkan hermeneutika pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif, dan universal (Hanafi 1991a:1). Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, selain analisa linguistiknya,” (Hanafi 1991a:16) sebuah pendirian yang mirip dengan analisa struktur internal menurut Abû Zayd. Di lain pihak, hermeneutika pembebasan Al-Quran tersebut sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika Al-Quran yang besifat filosofis sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Apalagi dalam tulisan-tulisannya yang mutakhir, Hanafi memang menganggap “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu bersifat praktis dan menjadi bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Dalam pengertian yang terakhir ini, ia menginginkan hermeneutika pembebasannya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir di hadapan teks sebelum persitiwa penafsiran dilakukan. Kecederungan ke arah praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutis Hanafi belakangan yang kemudian membedakannya dari rumusan hermeneutisnya pada tahap awal dan dari kecenderungan banyak hermeneut kontemporer lainnya. Dalam kaitannya dengan kritisisme hermenutis atau corak hermeneutika kritis (critical hermeneutics), pemikiran Hanafi memang jauh dari pengaruh mazhab Frankfrut yang kondang dengan teori kritik masyarakatnya. Akan tetapi, dengan menerapkan analisis Marxian yang senantiasa mencurigai tendensi kekuasan dan dominasi di balik teks dan penafsiran, tidak pelak lagi, Hanafi telah berada separuh jalan ke arah penafsiran kritis sebagaimana yang lazim dalam hermeneutika yang bercorak kritis.[11] Tiga pendekatan itulah yang kemudian diramu Hanafi bersama-sama dengan disiplin Ushûl al-Fiqh ke dalam kerangka hermeneutika pembebasan Al-Quran. Hal ini karena Hanafi melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum, di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini berusaha merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas ushûl al-fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka (Hanafi 1989c:78). Hassan Hanafi, dalam hal ini, mengajukan beragam problematika teoretis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushûl al-fiqh, seperti asbâb an-nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, dan mashlahah. Asbâb an-nuzûl dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nâsikh wa al-mansûkh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum (Hanafi 1994:103), eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah (Hanafi 1981:71; 1997:41). Adapun konsep mashlahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemasalahatan manusia (Hanafi 1981:72-3,75). Dapat dipahami dari maksud praksis hermeneutika pembebasan Al-Quran Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu fiqih dan ushûl al-fiqh perlu diterima. Hanafi dan gerakan pemikiran Kiri Islam-nya lebih cocok dengan paradigma ushûl al-fiqh dari al-fiqh al-Mâlikî yang berkembang dalam tradisi `Abdullah ibnu Mas`ud yang diderivasi dari Umar bin Khattab. Sebab paradigma Maliki lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum (mashlahah al-`âmm) (Hanafi 1994:97; Boom 1984:44). Keunikan model hermeneutika pembebasan Hanafi ini agaknya berangkat dari dasar-dasar metodologis pemikirannya yang bisa jadi tidak ia sadari. Hermeneutika pembebasan Al-Quran dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis. Eksperimentasi semacam ini memang harus diakui jenial mengingat ia harus mengatasi kontradiksi teoretis dalam pelbagai pemikiran yang ia pinjam dalam perumusan hermeneutika Al-Qurannya. Namun, tidak urung, ia juga menyisakan segepok masalah yang harus diselesaikan. Hermeneutika Pembebasan Jika tidak dianggap berlebihan, Hanafi dapat disebut sebagai salah seorang yang pertama mempromosikan hermeneutika dalam mempelajarai bahasa agama. Selain menulis dan mempublikasikan disertasi doktoralnya yang sarat eksperimentasi hermeneutika, Lés Metodes d`Exégese, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, `ilm Ushûl al-Fiqh (1965), ia juga telah meletakkan dasar-dasar apa yang ia sebut sebagai “Hermeneutics as Axiomatics” (1977). Pada perumusan awal tersebut, Hanafi masih berbicara dalam kerangka objektivisme dan berusaha sekomprehensif mungkin. Ia, antara lain, merekomendasikan perlunya hermeneutika menjadi sebuah aksiomatika, suatu pendasaran ilmiah yang dengannya teologi dan iman tidak dapat dibantah. Di samping itu, hermeneutika ia maksudkan untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang objektif, rigorus, dan universal. Seperti halnya fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl, pendekatan ini memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apodiktis, yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun (Bertens 1983:103). Belakangan, Hassan Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan bahwa “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu merupakan “hermeneutika terapan” yang merupakan bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Bagi Hanafi, pluralitas penafsiran itu sendiri merupakan mencerminkan konstruksi masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, Hanafi tidak lagi berbicara tentang hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tapi lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia dibangun. Hermeneutika yang cenderung bersifat historis dalam gagasan Hanafi tersebut hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dalam diskursus pemikiran Barat. Dalam hermeneutika jenis ini, utamanya yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu, bagi Gadamer, sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh “prapaham” tertentu yang mencerminkan historisitas yang melingkupi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian makna objektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu penafsiran merupakan “kegiatan produktif” dan bukanlah proses “reproduksi” makna untuk menghadirkan makna asali dalam kehidupan kekinian (Bleicher 1980:2-3). Pandangan semacam ini diterima sepenuhnya oleh Hanafi. Menurutnya, suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. “Setiap teks berangkat dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks” (Hanafi 1988:546). Penafsiran adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri (Hanafi 1988:537; 1983:185). Rekognisi atas hubungan interpretasi dengan realitas memang demikian signifikan dalam hermeneutika pembebasan Al-Quran, meskipun tidak pada hermeneutika sebagai aksiomatika. Hanafi senantiasa mengaitkan hermenutika pada “praksis”. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh Marxisme dalam pikirannya. Hanafi, misalnya, dapat melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika “progresif” dan “konservatif” (Hanafi 1995b:187-88, cf. Mayer 1991:102-3). Melalui Marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju pada praksis. Hanafi mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan “fenomenologi dinamis” yang dibedakan dari fenomenologi statis. Hanafi berharap dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi ke modernisasi. Menurut Hanafi, inilah metode transformasi sebagai tindakan “regresif-progresif” (Hanafi 1995b:182-3). Pada saat yang sama, penggunaan Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa (Hanafi 1995b:184). Hassan Hanafi mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qurannya berada pada tiga domain analisis: kritik sejarah, eidetik, dan praksis. Kritik historis berfungsi menjamin keaslian teks dalam sejarah, kritik eidetik menggambarkan kerja teori penafsiran, dan kritik praksis adalah penerapan hasil interpretasi tersebut dalam bentuk formulasi pemikiran tentang aksi: rencana, pembuatan hukum, penyusunan sistem, dan sebagainya (Hanafi 1991a:1 dst.). Pada tahap kritik sejarah, hermeneutika pembebasan dalam pengertian kegiatan interpretasi belum dilakukan kecuali sebagai sarana membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks. Interpretasi baru dimulai pada tahap eidetik di mana Hanafi merumuskan banyak teori penafsiran yang terangkum dalam apa yang lazim sebut sebagai “metode tafsir tematik”. Sejauh menyangkut kegiatan interpretasi teks, Hanafi menawarkan di dalamnya metode analisa pengalaman (manhaj tahlîl al-khubrât) dan metode interpretasi teks yang berhubungan secara kronologis dan dialektis sekaligus. Pertama-tama, penafsir menganalisa pengalamannya, yakni apa yang dipresentasikan oleh realitas sebagaimana yang dipahami oleh kesadaran penafsir. Fungsinya adalah untuk memastikan kebutuhan, problematika, kepentingan dan orientasi penafsir terhadap teks. Setelah itu penafsir baru beranjak pada interpretasi teks sebagaimana yang dituntut oleh kepentingan dan kebutuhannya. Proses ganda inilah yang dapat kita sebut sebagai kritik eidetik (Hanafi 1983a:179-180). Proses selanjutnya adalah interpretasi teks. Tahap ini, sejauh menelusuri pemikiran Hanafi, dilakukan melalui dua aspek tekstualitasnya, yakni bahasa dan konteks sejarahnya. Yang pertama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan, sedang yang kedua melalui penelitian dan pemahaman yang memadai atas asbâb an-nuzûl (Hanafi 1991a:21). Setelah makna-makna linguistik dan keadaan sejarah ditentukan, selanjutnya penafsiran dilakukan melalui generalisasi makna dari situasi saat dan situasi sejarah agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan interpretasi untuk menyikapi kasus-kasus tertentu dalam masyarakat kontemporer (Hanafi 1991a:21). Generalisasi yang merupakan langkah kedua dari kegiatan interpretasi pada akhirnya membuka peluang bagi munculnya kritik praksis. Sebagaimana disebutkan tadi, makna baru dapat diperoleh dari interpretasi dan berfungsi untuk memformulasi sikap seorang penafsir terhadap problem atau realitas tertentu. Secara teoretik, praksis dilakukan dengan membandingkan antara struktur ideal yang terefleksi dalam formulasi makna baru dari kegiatan interpretasi dan struktur sosial yang diperoleh dari analisa situasi faktual. Sekali kesenjangan ditemukan, hermeneutika pembebasan Al-Quran lantas bertugas model-model aksi yang dapat menfasilitasi transformasi Logos menuju teori, dan teori ke praksis (Hanafi 1995:420-21). Ruang terbatas ini tidak memungkinkan kita menyajikan metode sistematis—dalam pengertian teknik-teknik penafsiran--dari hermeneutika Al-Quran Hanafi. Kita dapat melihatnya, paling tidak, dalam Methode of Thematic Interpretation (Hanafi 1995a) dan Manâhij at-Tafsîr wa Mashâliĥ al-`Ummah (Hanafi 1989c), dan lebih baik kita memberi beberapa catatan ringkas berikut.
Problem Metodologis Ada beberapa hal yang mesti dikemukakan untuk gagasan hermeneutika Hanafi. Pertama, berbeda dari pengakuan Hanafi bahwa ushûl al-fiqh sebagai landasan menyusun hermeneutika Al-Qurannya, maupun hermeneutika eksistensial Bultmann, seperti analisa Boom (1989), hermeneutika pembebasan Al-Quran justru sangat dipengaruhi fenomenologi, Marxisme dan hermeneutika filosofis. Demikian kuatnya ketiga pendekatan tersebut sehingga dapat dikatakan di sini bahwa kerangka metodologis hermeneutika pembebasan Al-Quran sepenuhnya dibangun atas landasan ketiga pendekatan tersebut, sementara kerangka metodologis dari tradisi pemikiran Islam hanya merupakan selaput tipis di atasnya. Pertama-tama, fenomenologi digunakan Hanafi untuk menunjukkan bahwa kesadaran dan pengalaman merupakan sumber yang otentik dan absah bagi pemahaman teks, sekaligus berguna dalam mentransendensikan atau, dalam istilah teknisnya, melakukan àpoché, menunda segala persoalan metafisika—yang dipahami sebagai persoalan-persoalan teologis-metafisis serta segala pandangan klasik tentang—Al-Quran (Hanafi 1991a:16). Selanjutnya, hermeneutika filosofis memberi pengaruh besar pada konsepsi mengenai historisitas pemahaman, historisitas teks, relativitas dan produksi makna (Hanafi 1988:538). Sementara Marxisme digunakan Hanafi, secara teoretik, sebagai metode sintesa dan dialektika berbagai pendekatan dalam pemikirannya, dan secara praktis, untuk menyingkap struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan “struktur sosial” dalam teks. Yang terakhir ini tepatnya dimaksudkan untuk menyingkap pertarungan kekuasaan yang terrefleksi dalam teks-teks Al-Quran dan teks-teks penafsirannya (Hanafi 1991a:184-87). Ushûl al-fiqh memang sempat disinggung bahkan sempat diulas dalam beberapa tulisan Hanafi tentang problematika penafsiran. Namun demikian, menurut hemat penulis, hal ini tidak menunjukkan struktur dasar dari gagasan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Sebaliknya, gagasan Hanafi tentang hermeneutika bersifat final dalam fenomenologi, hermeneutika Gadamerian, dan Marxisme. Masalah-masalah seperti nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, maupun mashlahah al-ummah sebenarnya bukan landasan metodologis dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia hanya kumpulan problematika yang diperbincangkan secara spesifik dalam tradisi ushûl al-fiqh dan tradisi `ulûm al-Qur`ân. Oleh karena itu, dapat disebutkan di sini jika berbagai problematika dalam ushûl al-fiqh tersebut hanya dijadikan justifikasi bagi tradisi hermeneutika pembebasan Al-Quran. Hal ini terbukti terutama ketika dalam pemeriannya tentang prosedur penafsiran, asbâb an-nuzûl tidak mempunyai signifikansi apa pun dalam usaha memperoleh makna baru. Konteks sejarah, sebagaimana halnya nâsikh-mansûkh dan mashlahah al-ummah hanya bersifat inspiratif, yakni bahwa teks-teks Al-Quran selalu turun dengan kepentingan tertentu bagi kehidupan manusia (Hanafi 1988:537,539). Dalam pemikiran apa pun, sebagaimana diakui Hanafi dalam pandangannya mengenai kontinuitas pengetahuan sebagai pendasaran pemahaman yang produktif, memang tidak ada orsinalitas (Hanafi 1988:548-9). Namun masalahnya, Hanafi melakukan ekletisisme yang tidak seimbang. Ketika mensintesakan tradisi klasik dengan tradisi intelektual Barat, Hanafi sekedar meletakkan tradisi sebagai label dan pembenaran saja. Sementara substansi metodologisnya sepenuhnya merupakan elaborasi fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika sebagai bentuk pemaksaan ide-ide tertentu ke dalam tradisi pemikiran Islam. Lagi pula, Hanafi tidak menarik secara tegas dan eksplisit batas-batas dari berbagai metodologi tersebut: di mana digunakan analisis fenomenologis, kapan Marxisme, dan pada wilayah mana hermeneutika filosofis berperan. Kedua, batas penafsiran produktif dan ideologisasi. Pengakuan akan historisitas pemahaman manusia dalam pengertian keterlibatan kepentingan dan ideologi dalam pemikiran adalah poin yang sangat krusial dalam pemikiran Hanafi. Bahwa sebuah pemikiran atau pemahaman pada sebuah teks senantiasa melibatkan prapaham dan prasangka (Gadamer) atau kepentingan (Marxisme, Habermas) adalah konsep yang kuat dalam banyak filsafat pengetahuan kontemporer, seperti dianut oleh hermeneutika filosofis dan teori kritis. Akan tetapi, berbeda dengan tradisi pemikiran tersebut, Hassan Hanafi menggunakan argumen historisitas pemahaman sebagai pembenaran terhadap ideologisasi teks. Abû Zayd dalam hal ini menganggap pemikiran Hanafi telah jatuh dalam at-talwîn, yakni kegiatan menafsirkan teks secara ideologis dengan keluar dari batas-batas yang diizinkan bahasa. Di samping itu, at-talwîn mengaburkan perbedaan antara makna teks sebagaimana dimaksud pertama kali dengan arti (baru) yang dikonstruksi dalam situasi sosial yang baru (Abû Zayd 1992:113-115,182). Gagasan mengenai pertautan pemikiran dan kepentingan dalam pemikiran Hanafi telah digunakan sebagai alasan ditafsirkannya teks sesuai konstruk kesadarannya yang bersifat sosial. Padahal, sebagaimana dicurigai `Alî Harb (1995:27 dst.), jangan jangan bukan kepentingan sosial yang diperjuangkan, namun reputasinya sendiri. Bagi Harb, sikap seperti ini merefleksiklan kekalutan epistem para modernis Arab saat ini. Dengan kata lain, Hassan Hanafi boleh kritis terhadap hermeneutika klasik yang dianggap menyembunyikan kepentingan atas dalih objektivitas, tapi tidak kritis terhadap asumsi-asumsinya sendiri. Relevansi Pemikiran Terlepas dari berbagai problem metodologis di atas, hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi jika dihadapkan pada diskursus hermeneutika Al-Quran dapat merupakan kritik yang krusial. Corak metodologisnya yang unik dan berkarakter kuat, tentu merupakan fenomena tersendiri dalam diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Berikut ini akan kita bicarakan beberapa relevansi dari sumbangan metodologis hermeneutika Al-Quran Hanafi. Pertama, desenterialisasi teks dalam hermeneutika klasik Al-Quran. Menurut Hassan Hanafi, hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan hubungan antara subjek dengan objeknya. Subjek adalah penafsir dengan kegiatan penafsirannya, sementara objek adalah teks (Hanafi 1988:526). Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan dengan teks sakral, Hanafi menganggap bahwa hermeneutika tidak membuat preferensi apa pun terhadap salah satu di antara keduanya. Semua teks diperlakukan sama sebagai konsekuensi leburnya pemilahan antara hermeneutika sacra dan hermeneutika profana dalam diskursus hermeneutika kontemporer (Hanafi 1988:527; 1991a:3). Hanafi menganggap keistimewaan Al-Quran sebagai teks sebagai kategori dalam praktek keagamaan masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika (Hanafi 191995a:417;1997 23-30). Desakralisasi teks-teks suci, termasuk Al-Quran tersebut menciptakan hubungan-hubungan simetris antara Al-Quran, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesa hubungan-hubungan struktural dalam hermeneutika Al-Quran klasik. Dalam hermeneutika Al-Quran klasik, teks atau Al-Quran berada di puncak dan pusat, sementara realitas tidak dibicarakan secara eksplisit. Gagasan hermeneutika Hanafi meletakkan Al-Quran hanya sebagai salah satu sumber pemahaman terhadap teks, selain kesadaran dan realitas. Al-Quran dengan demikian bukan lagi pusat (center) atau inti (core) dari segala jenis pengetahuan sebagaimana diyakini secara tradisional, tapi hanya merupakan kutub pinggiran (periphery) dari kutub-kutub pemahaman yang lain, yakni kesadaran eksperimental dan realitas sejarah di mana manusia hidup dan berjuang. Kedua, kritik objektivisme. Hermeneutika pembebasan Al-Quran semenjak awal berkaitan metode penafsiran dengan tujuan praksis. Oleh karena itu, ia selalu memiliki kepentingan yang terarah pada transformasi sosial. Dengan maksud ini, penolakan terhadap eksistensi kepentingan dalam penafsiran tidak mungkin terelakkan. Hermeneutika Al-Quran yang bersifat sosial dari Hanafi memang tidak berpretensi objektivistik sebagaimana yang di temukan pada beberapa hermeneutika Al-Quran kontemporer seperti dalam pemikiran Fazlur Rahman, Abû Zayd, dan Arkoun. Dalam pemikiran beberapa teoretikus yang disebut belakangan, penafsiran dilakukan untuk memperoleh makna orsinal dari teks. Makna semacam itu ditelusuri melalui bahasa teks dan maknanya dalam sejarah (sabab an-nuzûl) (Rahman 1985:6-8; Adnan Amal 1994:189-220) atau melalui berbegai pendekatan lain agar teks-teks Al-Quran dapat berbicara sendiri secara jujur di hadapan penafsir (Arkoun 1997:35-36). Pendirian semacam ini tentu saja tidak dapat diterima Hanafi begitu saja, sebab pencarian makna sejati teks mustahil dilakukan. Tidak saja karena jarak waktu dan ruang telah demikian jauhnya, namun yang lebih penting lagi penafsiran selalu dipengaruhi oleh posisi penafsir, posisi teks, kondisi sosial, dan konteks kebudayaan di mana Al-Quran ditafsirkan (Hanafi 1988:536-9). Dalam bahasa Gadamer, manusia selalu dipengaruhi oleh prasangkanya tentang teks. Implikasi pendirian Hanafi tersebut tidak ada lagi obsolutitas dalam wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativisasi sesuai konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu sendiri. Kalaupun ada yang hal-hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Nilai-nilai tersebut merupakan prinisp-prinsip pradigmatis yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai “dimensi universal dari hermeneutika”. Hanafi menjabarkannya dalam empat kategori: intensionalitas, kontinuitas tradisi, logika bahasa, dan situasi awal (Hanafi 1988:540-43). Hassan Hanafi dalam hal ini bermaksud menghindari segala macam klaim objektivitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masyarakat antara kelas bawah, menengah, dan atas (Hanafi 1989c:117-9). Setiap penafsiran dianggap mengandung maksud dan kepentingannya sediri-sendiri, sehingga penafsiran yang mengklaim dirinya bebas nilai dan kepentingan, justru tidak signifikan sama sekali (cf. Wolff 1991:189). Bahkan klaim objektivitas justru dianggap menyembunyikan kepentingan-kepentingan yang disusupkan oleh tekanan “kekuasaan” realitas di mana ia berpijak. Alih-alih membela objektivitas, Hanafi justru bermaksud mengekplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Dalam hermeneutika Al-Quran, eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada benar-salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik. Sampai di sini, saya akan bertanya pada Saudara, “Apakah Hanafi belum istimewa juga?”* [Ilham B. Saenong adalah Mahasiswa Program Magister Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Sarjana Teologi Islam dengan spesialisasi Ilmu Tafsir dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000). Bukunya yang telah dipublikasikan adalah Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran menurut Hassan Hanafi (2002). Kini sedang meneliti Gerakan Buruh.] DAFTAR PUSTAKA Abû Zayd, Nashr Hâmid, Naqd Khitâb ad-Dîni. Kairo: Sinâ lî an-Nasyr, 1992. _____, Mafhûm an-Nashsh: Dirasah fî `Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1994. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas. Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1994. Arkoun, M, Berbagai Pembacaan Al-Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS, 1997. Bertens, K, Filasafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983. Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Boom, Maren van den, “From Dogma to Revolution”, Exchange, vol. 18 no. 54, 1989. Crasnow, Ellman, “Hermeneutics” dalam Flower, Roger (ed.) A Dictionary of Modern Critical Terms. New York: Routledge and Paul Kegan, 1987. Engineer, Ali Asghar, Islam and Liberation Theology. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990. Esack, Farid, Qur`an, Liberation and Pluralisme: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneword, 1997. Grondin, Jean, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale University Press, 1994. Hanafi, Hassan, At-Turâts wa at-Tajdîd: Mauqifunâ min at-Turâts al-Qadîm. Kairo: al-Markaz al-`Arabî, 1980. _____, Dirâsât Islâmiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1981. _____, Qadâyâ Mu`âshirah: Fî Fikrinâ al-Mu`âsir, vol. 2. Beirut: Dâr at-Tanwîr, 1983. _____, Dirâsât Falsafiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1988. _____, Min al-`Aqîdah ilâ ats-Tsawrah: al-Muqaddimah an-Nazhariyyah, vol. 1. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989a. _____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah, vol. 6. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989b. _____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr Ad-Dînî, vol. 7. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989c. _____, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991a. _____, Muqaddimah fî `Ilm al-Istighrâb. Kairo: Dâr al-Fanniyyah, 1991b. _____, “Apa Arti Kiri Islam” dalam Kazuo Shimogaki (ed.) Kiri Islam, terj. M.I. Azis dan M.J. Maula. Yogyakarta: LKIS, 1994. _____, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. 1. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995a. _____, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution, and Culture, vol. 2. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995b. _____, Humûm al-Fikr wa al-Wathan: At-Turâts wa al-`Ashr wa al-Hadâtsah, vol. 2. Kairo: Dâr Qubâ`, 1997. _____, Hiwâr al-Ajyâl. Kairo: Dâr Qubâ`, 1998. Hanafi, Hassan dan M. Âbid al-Jâbirî, Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: Maktabah Madbûlî, 1990. Harb, `Alî, Naqd an-Nashsh. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1995. Harvey, Van. A., “Hermeneutics” dalam Mircea Eliade (ed.) Encyclopedia of Religions, vol. 6. New York: Macmillan Publishing Co., 1987. Ichwan, Moch Nur, A New Horizon in Quranic Hermeneutics: Nasr Hamid Abu Zaid Contribution to Critical Quranic Scholarship. Tesis Master tidak diterbitkan. Leiden: Leiden University, 1999. Mayer, Tom, “On Marxism”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renaissance of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991. Muhsin, Amina W., Perempuan dalam Al-Quran, terj. Y. Radianto. Bandung: Pustaka, 1994. Newton, K.M., Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra, terj. Soelistia. Semarang: IKIP Semarang, 1994. Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985. _____, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1996. Rahman, Wahidur, “Modernists` Aprroaches to the Quran”, dalam Islam and the Modern Age, Mei 1991. Rippin, A. Muslims: Their Religious Beliefs and Practices, Kontemporary Period, vol 2. New York: Routledge, 1993. Syahrûr, M. Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu`âshirah. Damaskus: Jâmi anhâ al-`Âlam, 1990. Wolff, Janet, “Hermeneutics and Sociology”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renascence of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991.[] Endnote: Disajikan dalam diskusi terbatas “Islam Pembebasan” di P3M Jakarta, Jakarta 20 Januari 2003. [1]Rahman, Major Themes of the Quran (1980), atau yang lebih dahulu ditulis, pengantar hermeneutika al-Quran dalam Islam and Modernity (ditulis 1977-1978 dan terbit 1982); Arkoun, Lecture du Coran (1982); Farid Esack, Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (1997), Abû Zayd, Mafhûm an-Nashsh: Dirâsah fî `Ulûm al-Qur`ân (1994), dan Muhammad Syahrûr al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ`ah Mu`âshirah, (1990). [2]Lés Metodes d`Exégèse, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, ilm Usul al-Fiqh (1965); L`Exégèse de la Phénomènologie L`etat actuel de la méthode phénomenologique et son application au ph`enomène religiux (1965); dan La Phénomènologie de L`Exégèse: essai d`une herméneutique existentielle à parti du Nouvea Testanment (1966). [3]Namun demikian, selain rancangan publikasi sebuah karya sistematis mengenai metode penafsiran (manâhij at-tafsîr) (lihat Hanafi: 1980:213-16), kebanyakan pemikirannya mengenai masalah ini merupakan artikel atau makalah yang kemudian ditebitkan dalam beberapa karya bunga rampai. Baru-baru ini (2002), Hanafi menerbitkan min an-Naql ilâ al-Ibdâ` (9 jilid) yang antara lain berisikan persoalan hermeneutika. [4]Hassan Hanafi merumuskan eksperimentasi at-Turâts wa at-Tajdîd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunâ min al-qadîm). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawqifunâ min al-gharb). Agenda terakhir, upaya membangun sebuah hermeneutika pembebasan Al-Quran yang baru yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” (mawqifunâ min al-waqi) (Hanafi 1980:203-206; Boulatta 1995:96). [5]Menurut Andrew Rippin (1993:86), kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Al-Quran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada, Al-Quran, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Quran. [6]Bandingkan teori validitas interpretasi dari Hirsch Jr. (dalam Newton 1994:59) yang membedakan antara meaning (makna teks yang tidak berubah-ubah) dan significance (arti teks bagi kita sekarang yang dapat berubah-ubah). [7]Menurut Esack (1997:76), “Setiap kegiatan penafsiran adalah suatu partisipasi dalam proses kebahasaan yang menyejarah, potongan tradisi, dan partisipasi ini terjadi dalam waktu dan tempat yang partikular. Keterlibatan kita dengan Al-Quran juga pasti terjadi dalam penjara ini, kita tidak dapat membebaskan diri dari, dan meletakkannya di luar, bahasa, kebudayaan, dan tradisi.” [8]Asghar Ali Engineer (1990:130) berpendapat bahwa penafsiran selalu merupakan refleksi keadaan sosial dan latar belakang individual penafsir. Suatu penafsiran, betapapun mengusahakan objektivitas, bisa saja terjebak dalam berbagai bentuk eksploitasi, seandainya ia muncul dalam masyarakat yang feodalistik, patriarkal, dan menindas. “Setiap orang memahami teks menurut latar belakang, posisi, a priori politik, sosial, dan ekonomi. Interpretasi teks berikutnya dilakukan demikian. Sangatlah susah menunjukkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang mencoba mendekati maksudnya menurut posisi a priori-nya sendiri. bukanlah tanpa arti (jika) para komentator klasik berkata Allâh a`lam bî ash-shawâb setiap selesai memberikan pendapatnya” (Ali Engineer 1990:130). [9]Menurut Amina Wadud Muhsin, “Setiap interpretasi berusaha menggambarkan maksud teks, namun serempak dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi” (Wadud Muhsin 1994:1). Prior text ini makin tidak dapat terhindarkan sebab ia tidak lain merupakan bahasa dan konteks budaya di mana teks tersebut ditafsirkan. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran Al-Quran yang sepenuhnya objektif, mengingat setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang subjektif sifatnya. Demikian pula, tidak ada penafsiran yang bersifat definitif, pasti, dan memutuskan (Wadud Muhsin 1994:1, 7, dan 125). [10]Lihat sarkasme Hanafi, “an-nashsh `amal aydyûlujî” (1988:530, 533). [11]Hanafi tidak menjelaskan apa yang ia maksud sebagai metode regresif-progresif kecuali di bagian akhir tulisannya dijelaskan bahwa “manafsirkan berarti melakukan gerak ganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip lingusitik, sementara yang kedua melalui sensitivitas Zeitgeist (semangat zaman) (Hanafi 1995b: 187)
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar