Jumat, 28 November 2008

HUKUM KELUARGA DI TUNISIA

TUNISIA: Sosio-Historis
Tunisia adalah sebuah negara Arab yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus mensyaratkan bahwa seorang calon presiden harus beragama Islam. Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa (sensus tahun 2000). Dari jumlah tersebut, 98% beragama Islam, sisanya Kristen 1% dan Yahudi 1%. Sejak kemerdekaannya tahun 1956, Presiden Habib Bourgiba yang memerintah selama 31 tahun, memberikan hak-hak lebih banyak kepada perempuan dibanding negara-negara Arab lain. Beberapa bulan setelah kemerdekaannya, pemerintah Tunisia langsung memberlakukan hukum keluarga, yang oleh banyak pengamat dianggap cukup maju dalam menginterpretasikan syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak perempuan. Namun, bagi kalangan tertentu, hukum keluarga itu dianggap menyalahi bahkan menentang syariat.
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574). Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia (1881), mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasuskasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah.
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga out put sistem hukum yang dihasilkan merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsipprinsip hukum sipil Prancis (French civil law).
Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu, pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Undang-undang tersebut bernama Majallah al-Ahwal Al-Syakhsiyah No. 66 tahun 1956. Majallah itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam Klasik.
Pada perkembangan selanjutnya, Majallah (Status Personal) tahun 1956 mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi yaitu pada tahun 1959, 1964, 1981, dan 19936. Dari sekian banyak pembaharuan terhadap UU 1959 ini, ada dua hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.

Reformasi Hukum Keluarga
Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Tunisia antara lain terkait dengan syarat usia menikah, poligami, perceraian (talaq), anak angkat, warisan, dan pengasuhan anak (hadlonah). Mengenai syarat usia menikah diatur dalam pasal 5 dan 6 hukum status personal 1956. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa seorang laki-laki yang belum berusia 20 tahun dan perempuan yang belum berusia 17 tahun tidak diperbolehkan melakukan kontrak pernikahan. Dan bagi orang yang melakukan pernikahan di bawah umur tersebut harus mendapatkan izin dari wali. Jika wali tidak mengizinkan, maka masalah tersebut diputuskan oleh pengadilan.
Dalam hal poligami, undang-undang Tunisia secara resmi melarangnya. Dalam pasal 18 ditegaskan bahwa beristeri lebih dari satu dilarang. Siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau penjara dan denda sekaligus. Mengenai perceraian diatur dalam pasal 30-32. Pasal-pasal ini menyatakan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan dan dianggap sah di depan dan dengan keputusan pengadilan. Baik suami maupun isteri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan cerai. Putusan perceraian bisa diberikan dengan syarat adanya kesepakatan kedua belah pihak, adanya kesalahan salah satu pihak, dan suami bersikeras untuk menceraikan isteri atau sebaliknya. Di samping itu, pengadilan mewajibkan pada suami untuk memberikan sejumlah uang pada isteri yang diceraikannya.
Sementara itu, anak angkat atau adopsi diatur dalam undangundang perwalian dan adopsi tahun 1958. Undang-undang ini terdiri dari 60 pasal yang dibagi ke dalam 3 bab yaitu mengenai perwalian umum, kafalah, dan anak angkat. Tata cara, ketentuan, dan syarat pengangkatan anak secara detail dijelaskan di dalam pasal 9-16. Dalam pasal-pasal ini disebutkan bahwa pihak yang akan mengadopsi disyaratkan sudah dewasa, menikah, memiliki hak-hak sipil secara penuh, bermoral baik, sehat jasmani dan rohani, dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan anak yang diadopsi. Selain itu, selisih umur antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan pihak yang diadopsi minimal 15 tahun.
Dengan demikian, pihak yang akan diadopsi haruslah seorang anak yang belum dewasa. Di dalam keluarga angkatnya, anak angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana anak kandung.
Sedangkan persoalan warisan diatur dalam pasal 191 hukum status personal 1956. Pasal ini menyatakan kebolehan anak-anak dari anak laki-laki atau perempuan yang meninggal terlebih dahulu untuk menerima bagian orang tuanya jika ia masih hidup dengan maksimum sepertiga harta kewarisan. Dalam kompilasi hukum Islam Indonesia, pasal ini terkait dengan aturan terhadap ahli waris pengganti. Masih terkait dengan warisan, dalam pasal 143 a undangundang 1956 ditemukan aturan mengenai peluang suami dan isteri untuk mendapatkan sisa harta warisan (radd). Secara eksplisit pasal tersebut menjelaskan bahwa seluruh ahli waris dzaw al-furu’ termasuk suami isteri mempunyai peluang untuk mendapatkan radd dengan syarat tidak ada ashobah yang berhak menerima sisa harta.
Selanjutnya tentang pengasuhan anak (ha«±nah) diatur dalam 5 pasal yaitu pasal 56-60. Pasal-pasal tersebut menjelaskan antara lain bahwa jika anak memiliki harta kekayaan, maka biaya pemeliharaannya diambil dari harta tersebut. Namun jika ia tidak memiliki harta, maka biaya pemeliharaannya diambil dari harta ayahnya (pasal 56). Selama perkawinan berlangsung, pemeliharaan anak menjadi tanggungjawab kedua orang tua (pasal 57). Seseorang yang berhak memelihara anak harus sudah dewasa, layak dan mampu untuk mengurus tugas pemeliharaan anak. Disamping itu, ia juga harus bebas dari penyakit menular. Jika seorang laki-laki mengasuh anak perempuan, maka anak itu masuk status mahram. Jika sang pengasuh itu wanita, maka tidak boleh tinggal bersama suaminya yang bukan ayah kandung anak itu kecuali jika ia bersedia menjadi walinya (pasal 58). Jika seorang wanita pengasuh menganut agama lain dari agama ayah anak tersebut, ia hanya diperbolehkan mengasuh sampai usia anak mencapai lima tahun. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari resiko kalau anak itu cenderung mengikuti agama pengasuhnya (pasal 59). Ayah dan para wali lainnya harus memelihara dan memberikan pendidikan kepada anak (pasal 60).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar