Jumat, 28 November 2008

HUKUM KELUARGA DI YORDANIA

YORDANIA: Sosio-Historis
Yordania merupakan salah satu kerajaan yang terletak di Asia Barat. Penduduknya mayoritas beragama Islam. Sebanyak 95% di antaranya beraliran Sunni dan bermazhab Hanafi. Selainnya, 4% Kristen dan 1% lagi adalah gabungan Druze dan Baha’i. Negara Modern Yordania pertama kali muncul pada tahun 1921 sebagai Emiran Transyordan. Semenjak runtuhnya dinasti Utsmani, Yordania berada di bawah kekuasaan Inggris dan memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1946 yang selanjutnya menjadi kerajaan Hasyimiyah Yordania. Mayoritas penduduk Yordania pada permulaan abad 20 adalah petani dan pedagang yang tinggal di pedesaan. Umumnya mereka adalah penganut mazhab Hanafi.
Sampai tahun 1951, Yordania masih memberlakukan hukum keluarga Turki Usmani sampai diundangkannya undang-undang hak-hak keluarga no. 92 tahun 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perkawinan, perceraian, mahar, pemenuhan nafkah bagi isteri dan keluarga, dan tentang pemeliharaan anak. Undang-undang ini sekaligus mencabut ketentuan-ketentuan yang terdapat pada hukum keluarga Turki Usmani.
Pada perkembangan selanjutnya, undang-undang hak-hak keluarga tahun 1951 diganti dengan undang-undang status personal Yordan 1976 (undang-undang No. 61 tahun 1976) yang disebut dengan qanun al-ahkhwal al-syakhsiyah. Undang-undang ini didominasi oleh paham mazhab Hanafi sebagai hukum tidak tertulis yang masih tetap berlaku. Amandemen berikutnya dilakukan pada tahun 1977 yang menghasilkan undang-undang no. 25 tahun 1977.

Reformasi Hukum Keluarga
Reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara lain terkait dengan masalah usia menikah, janji pernikahan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah.
Mengenai usia pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 17 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Apabila perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-prinsip kafaah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. Demikian juga apabila laki-laki telah mencapai umur 18 tahun dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin pernikahan.
Sementara itu, janji untuk mengadakan pernikahan diatur pada pasal dua dan tiga undang-undang tahun 1951. Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa janji menikah tidak akan membawa akibat pada adanya pernikahan. Namun setelah adanya perjanjian, kemudian salah satunya meninggal atau perjanjian itu batal, maka beberapa hadiah pemberian sebelumnya dapat diambil kembali oleh pihak laki-laki.
Mengenai pernikahan beda agama diatur dalam pasal 32 undang-undang 1976. Menurut pasal ini, perkawinan akan menjadi batal jika seorang wanita muslimah kawin dengan pria non-muslim. Begitu juga sebaliknya, perkawinan akan batal jika seorang pria muslim menikah dengan seorang wanita nonkitabiyah.
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qadli atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana yang ditunjuk oleh qadli mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksisaksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar.
Sedangkan mengenai perceraian (talaq) diatur dalam pasal 101 dan 134 undang-undang no. 25 tahun 1977. Dalam pasal 101 diatur bahwa suami harus mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak isterinya di luar pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa 15 hari, ia harus datang ke pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana Yordania. Kemudian dalam Pasal 134 diatur, jika seorang suami telah mentalak isterinya secara sepihak tanpa ada alasan yang layak dibenarkan, maka isteri dapat mengajukan permohonan ganti rugi ke pengadilan. Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah iddah. Untuk pembayarannya suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur.
Selain itu, undang-udang No. 25 tahun 1977 juga mengatur kewenangan isteri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa isteri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain; 1) apabila suami menderita impotensi dan sakit yang dapat membahayakan isteri apabila mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang diderita suami (selain impotensi) sudah diketahui isteri sebelum perkawinan, maka isteri tidak punya hak meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan. 2) suami meninggalkan isteri dalam jangka waktu satu tahun atau lebih tanpa alasan yang jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya. 3) Suami divonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi isterinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan setahun setelah vonis dijatuhkan.
Khusus mengenai wasiat wajibah dijelaskan pada pasal 182. Secara eksplisit pasal ini menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan ; 1) wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan, 2) cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika pewaris telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi, 3) wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki, dan 4) wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.

1 komentar:

  1. Bisa minta lengkapi lagi tulisannya ya, atau jawab komentar saya, sekitar Undang-undang Perkawinan di Yordania, kalau bisa sampai menyentuh kekerasan dalam rumah tangga. Anggap saja ini sharing ... thank

    BalasHapus