Jumat, 28 November 2008

Wakaf Produktif Sebagai Sistem Kesejahteraan Sosial

Oleh Sarmidi Husna
Peneliti Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Wakaf merupakan ibadah yang memadukan dimensi keagamaan dan dimensi kesejahteraan yang erat kaitannya dengan pembangunan kesejahteraan umat. Ia merupakan ibadah yang sarat apresisiasi untuk pemberdayaan ekonomi umat. Karena itu, wakaf menduduki posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Dasar perintah wakaf secara tegas termaktub dalam hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad pernah memerintahkan Umar bin Khatab agar mewakafkan sebidang tanah kesayangannya di Khaibar untuk kesejahteraan masyarakat di sana, dengan sabdanya: Ihbis ashlaha wa sabbil tsamrataha (tahanlah pokok (tanah)-nya dan disedekahkan hasilnya).

Subtansi perintah Nabi tersebut adalah menekankan pentingnya menahan eksistensi harta benda wakaf dengan cara mengelola secara profesional. Sedangkan perintah untuk menyedekahkan hasilnya menyiratkan sebuah tindakan pengelolaan agar harta benda wakaf menjadi produktif. Sebab, harta benda wakaf tidak mungkin membuahkan hasil jika harta benda wakaf tersebut tidak dikelola dengan baik. Upaya tersebut tentu membutuhkan sebuah kerja profesional karena berkaitan dengan pengelolaan harta benda umat. Itulah sebabnya para nazhir (pengelola wakaf), baik nazhir perorangan maupun nazhir badan hukum, menjadi sangat berperan. Idealnya, wakaf harus mampu menjadi solusi bagi masalah umat, khususnya masalah ekonomi.

Wakaf memiliki potensi untuk itu. Dalam sejarah peradaban Islam, sejak awal di-tasyri’-kannya, wakaf telah memiliki peran yang sangat penting dalam langkah-langkah meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada masa itu dan masa-masa selanjutnya. Hal ini dikarenakan bahwa prinsip wakaf adalah memadukan dimensi keagamaan dan kesejahteraan. Terbukti bahwa sebab manfaat hasil wakaf, pada masa keemasan Islam, telah melahirkan ilmuan-ilmuan tersohor dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.

Potensi wakaf di Indonesia sangat besar. Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi (dua milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh enam ribu enam ratus lima puluh enam koma enam puluh delapan meter persegi) atau 268.653,67 hektar (dua ratus enam puluh delapan ribu enam ratus lima puluh tiga koma enam tujuh hektar) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.
Dari luas tanah wakaf tersebut, 40 persennya merupakan wakaf yang diperuntukkan sebagai sarana tempat ibadah. Menurut data tersebut, tanah wakaf yang paling luas berada di propinsi Gorontalo, Jambi dan Sulawesi Selatan.

Namun dari sekian jumlah tanah wakaf tersebut belum dikelola secara optimal. Pengelolaan harta benda wakaf, sebagian besar, masih bersifat tradisional. Tanah-tanah wakaf belum dikelola secara profesional karena kebanyakan nazhir belum mengerti apa yang harus dilakukan terhadap tanah-tanah tersebut. Jelas bahwa data tersebut menggambarkan betapa besarnya potensi wakaf. Kendati demikian, realitasnya masih jauh dari yang diharapkan.

Gerakan Wakaf Produktif
Secara umum, ada dua alasan mengapa potensi wakaf yang sangat besar itu belum optimal. Pertama, pemahaman masyarakat seputar wakaf belum lengkap, baik mengenai harta benda yang diwakafkan maupun peruntukannya. Sebagian besar masyarakat memahami wakaf hanya benda tidak bergerak (tanah) dan kecenderungan masyarakat yang berwakaf itu lebih banyak diperuntukan pada sarana dan kegiatan ibadah mahdlah, seperti masjid, mushalla, madrasah, dan pekuburan.

Pemahaman seperti itu jelas mengakibatkan potensi wakaf tidak dapat berperan secara optimal. Bila hanya wakaf benda tidak bergerak (tanah), bagaimana wakaf dapat berkembang? Sedangkan pengelolaan tanah wakaf membutuhkan biaya. Padahal, harta benda wakaf tidak hanya harta benda tidak bergerak (tanah) saja. Akan tetapi, sesuai dengan pasal 16 poin (1) UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, harta benda wakaf meliputi harta benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan benda bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Begitu juga jika peruntukan wakaf hanya terbatas pada sarana dan kegiatan ibadah mahdlah saja tentu akan membatasi nazhir dalam mengelolanya. Sementara itu, peruntukan wakaf, seperti apa yang dilakukan Umar bin Khattab, dapat berupa pemberdayaan umat, seperti untuk bantuan fakir miskin (fuqara), orang-orang tertindas (riqab), atau yang lain yang lebih membutuhkan.

Pasal 22 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga menjelaskan bahwa peruntukan wakaf tidak hanya untuk sarana dan kegiatan ibadah saja, akan tetapi meliputi; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, dan beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Peruntukan wakaf yang tidak untuk sarana dan kegiatan ibadah justru akan lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat, karena nazhir dapat menggali potensi ekonominya secara optimal sehingga harta benda wakaf itu menjadi produktif. Sayangnya, pemahaman wakaf produktif seperti ini masih belum banyak diterima sebagai yang inheren dalam wakaf.

Kedua, sebagian besar nazhir tidak profesional. Artinya, sebagian besar sumberdaya manusia nazhir masih rendah. Mereka tidak dapat mengelola harta benda wakaf dengan baik agar menjadi wakaf produktif yang dapat menghasilkan keuntungan. Yang lebih parah lagi, sebagian besar nazhir merupakan tenaga-tenaga ”buangan” yang sudah tidak produktif, sehingga mereka tidak dapat berkreasi dan berinovasi bagaimana mengembangkan harta benda wakaf yang diterimanya. Rekrutmen nazhir semata-semata berdasarkan kepercayaan individual. Sedangkan aspek manajerial dan profesionalisme belum mendapatkan perhatian khusus.

Padahal, sebagai pemegang amanah untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang diterima, nazhir memiliki peran yang sangat penting. Artinya, berhasil dan tidaknya pengembangan wakaf itu sangat tergantung pada peran nazhir.

Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan potensi wakaf di atas, maka gerakan wakaf produktif menjadi sebuah keniscayaan. Gerakan wakaf produktif berarti gerakan wakaf yang memprioritaskan pada upaya menggali potensi ekonomi harta benda wakaf agar wakaf dapat menghasilkan (produktif).

Sementara itu, gerakan wakaf produktif tidak dapat berjalan tanpa ditunjang oleh pemahaman masyarakat yang komprehensif tentang wakaf dan adanya nazhir-nazhir yang profesional yang mampu menggali potensi ekonomi dan mengelola wakaf secara produktif.


Selain itu, gerakan wakaf produktif ini dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan sosial bangsa yang masih memperihatinkan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa, hingga saat ini, kondisi kesejahteraan sosial bangsa Indonesia masih diwarnai oleh tingginya angka kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, dan lain-lainnya. Wakaf dapat menjadi solusi alternatif karena pada prinsipnya wakaf adalah ibadah yang berdimensi keagamaan sekaligus berdimensi sosial.

Alhasil, wakaf merupakan potensi kekuatan umat yang masih terpendam yang perlu kita gali, sehingga kita dapat mewujudkan sebuah kekuatan dana umat yang dapat memecahkan berbagai kesulitan yang menerpa bangsa ini. Sepertinya tidak ada salahnya kita meniru apa yang telah terjadi di berbagai negara yang sudah dapat dengan baik mengelola wakaf secara produktif yang hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan sosial di masing-masing negaranya.

Dengan demikian, manfaat wakaf perlu digali terus menerus agar wakaf dapat memberikan manfaat sosial lebih banyak lagi.


Mengoptimalkan Wakaf Uang
Selain itu, potensi wakaf uang juga sangat menjanjikan. Karena wakaf dalam bentuk ini tidak terikat dalam kepemilikan kekayaan dalam jumlah besar. Siapa pun yang berkeinginan untuk mendermakan sebagian hartanya dapat berwakaf dengan uang. Meski uang mempunyai sifat yang dapat berkurang nilainya setiap waktu, tetapi karena sifatnya yang fleksible dan adanya dukungan payung hukum yang memadai, maka wakaf uang dapat dijadikan instrument pengembangan wakaf produktif di masa yang akan datang. Sebagaimana dilakukan di berbagai negara Islam yang lain, wakaf uang telah diberdayakan secara lebih luas.

Dengan segala potensi dan peluang wakaf, sebagaimana disebutkan di atas, kiranya dapat menjadikan wakaf sebagai model pengembangan ekonomi alternatif di tengah kondisi ekonomi umat yang masih memperihatinkan ini. Masyarakat kita, saat ini, membutuhkan pencerahan dan pemecahan kongkrit di tengah derasnya tekanan ekonomi global. Kita perlu kerjasama dan bahu membahu untuk memberdayakan wakaf secara produktif. Potensi kekayaan wakaf dalam jumlah besar yang kita miliki memungkinkan kita untuk berbuat lebih kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat. Saatnya kita melakukan aksi-aksi yang menyentuh langsung terhadap kebutuhan masyarakat secara terencana dan akuntable melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti wakaf. Dengan demikian, kita dapat mendukung upaya-upaya pemerintah menuntaskan pengangguran, kebodohan dan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar