Oleh Sarmidi Husna
Pada pertengahan September lalu, Menteri Agama RI, melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Agama RI Nomor 92-96 Tahun 2008, telah menunjuk 5 (lima) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Kelima LKS tersebut ialah BNI Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank DKI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank Mega Syariah. Dengan terbitnya Kepmen tersebut, lima LKS-PWU di atas sudah dapat menerima wakaf uang dan –sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku– pelaksanaan wakaf uang sudah dapat dilaksanakan.
Kepmen tersebut menjadi penting bagi LKS-PWU karena, berdasarkan UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, praktik wakaf uang hanya dapat dilaksanakan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU.
Dengan demikian, ini merupakan momentum untuk menggali potensi wakaf uang dengan visi mewujudkan kesejahteraan umat.
Landasan Hukum Wakaf Uang
Secara etimologi, wakaf uang (cash waqf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Berdasarkan fiqih, hukum wakaf uang mengacu pada pendapat Imam al-Zuhri (wafat 124 H) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alaih, yaitu orang yang berhak memperoleh manfaat wakaf (Abu Su’ud: 1997).
Selain itu, dalam kitab al-Hawi al-Kabir menyebutkan bahwa Abu Tsaur, seorang ulama mazhab al-Syafi’i, juga berpendapat membolehkan wakaf dinar dan dirham (al-Mawardi: 1994). Dua pendapat ulama tersebut di atas juga menjadi dasar bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menetapkan fatwa hukum wakaf uang adalah boleh.
Secara legal formal, wakaf uang juga sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Pasal 16 ayat (3) UU Wakaf menjelaskan harta benda wakaf bergerak yang meliputi; uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, pada Bagian Kesepuluh UU Wakaf yang berjudul “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang” mengatur secara jelas tentang wakaf uang.
Dengan landasan hukum yang kuat, baik menurut fiqih maupun legal formalnya, maka hukum wakaf uang sudah tidak dapat diragukan lagi. Wakaf uang sudah sah untuk diimplementasikan.
Potensi Wakaf Uang
Potensi wakaf uang sangat menjanjikan. Hal itu lebih disebabkan karena wakaf dalam bentuk uang tidak terikat oleh kepemilikan kekayaan dalam jumlah besar. Siapa saja yang berkeinginan untuk mendermakan sebagian hartanya dapat berwakaf dengan uang. Meski uang mempunyai sifat yang dapat berkurang nilainya setiap waktu, tetapi karena sifatnya yang fleksibel dan adanya dukungan payung hukum yang memadai, maka wakaf uang dapat dijadikan instrument pengembangan wakaf produktif di masa yang akan datang. Sebagaimana dilakukan di berbagai negara Islam yang telah mengimplementasikan wakaf uang secara lebih luas.
Potensi tersebut juga dapat dilihat dari jumlah umat Islam di Indonesia yang sangat besar. Ini merupakan merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Dengan diimplementasikan wakaf uang maka nantinya akan terkumpul dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Pengelolaan Wakaf Uang
Pengelolaan wakaf uang harus dilakukan dengan baik. Dalam hal ini, pengelola (nazhir) wakaf uang harus profesional dalam masalah keuangan. Karena dana wakaf uang, jika tidak dikelola oleh nazhir yang profesional, bisa jadi akan hilang pokoknya. Padahal, subtansi perintah Nabi Muhammad SAW: Ihbis ashlaha wa sabbil tsamrataha (tahanlah pokoknya dan disedekahkan hasilnya) ialah menekankan pentingnya menahan eksistensi harta benda wakaf dengan cara mengelola secara profesional. Sedangkan perintah untuk menyedekahkan hasilnya menyiratkan sebuah tindakan pengelolaan agar harta benda wakaf menjadi produktif. Bagaimana pengelolaan wakaf uang?
Mengoptimalkan Wakaf Uang
Dengan segala potensi dan peluang wakaf, sebagaimana disebutkan di atas, kiranya dapat menjadikan wakaf sebagai model pengembangan ekonomi alternatif di tengah kondisi ekonomi umat yang masih memperihatinkan ini. Masyarakat kita, saat ini, membutuhkan pencerahan dan pemecahan kongkrit di tengah derasnya tekanan ekonomi global. Kita perlu kerjasama dan bahu membahu untuk memberdayakan wakaf secara produktif. Potensi kekayaan wakaf dalam jumlah besar yang kita miliki memungkinkan untuk berbuat lebih kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya untuk melakukan aksi-aksi yang menyentuh langsung terhadap kebutuhan masyarakat secara terencana dan akuntable melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti wakaf. Dengan demikian, kita dapat ikut andil dalam upaya menuntaskan pengangguran, kebodohan dan kemiskinan.
Bukan waktunya lagi kita terpaku pada wacana yang kurang bermanfaat. Karena upaya pemberdayaan dan pengembangan umat menjadi kurang bermakna tanpa dibarengi dengan aksi-aksi kongkrit secara optimal. Apalagi perangkat hukum telah diterbitkan, dengan adanya perundang-undangan wakaf, kebijakan strategis berupa proyek-proyek percontohan wakaf produktif di berbagai wilayah di Indonesia serta kebijakan makro berupa political will yang dapat dijadikan semacam darah segar bagi pihak-pihak yang terkait dengan wakaf.
Namun, selama ini potensi tersebut belum digali dan dimanfaatkan dengan optimal. Wakaf masih ditangani secara konvensional, terutama oleh para pengelola (nazhir), yang rekrutmennya semata-semata berdasarkan kepercayaan individual. Sedangkan aspek manajerial dan profesionalisme belum mendapatkan perhatian khusus.
Alhasil, wakaf merupakan potensi kekuatan umat yang masih terpendam yang perlu kita bersama-sama untuk menggalinya sehingga kita dapat mewujudkan satu kekuatan dana umat yang dapat memecahkan berbagai kesulitan yang selama ini kita rasakan sebagaimana yang telah terjadi berbagai negara islam yang sudah dapat dengan baik mengelola wakaf ini untuk kepentingan umat di masing-masing negaranya.
Pada pertengahan September lalu, Menteri Agama RI, melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Agama RI Nomor 92-96 Tahun 2008, telah menunjuk 5 (lima) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Kelima LKS tersebut ialah BNI Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank DKI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank Mega Syariah. Dengan terbitnya Kepmen tersebut, lima LKS-PWU di atas sudah dapat menerima wakaf uang dan –sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku– pelaksanaan wakaf uang sudah dapat dilaksanakan.
Kepmen tersebut menjadi penting bagi LKS-PWU karena, berdasarkan UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, praktik wakaf uang hanya dapat dilaksanakan melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU.
Dengan demikian, ini merupakan momentum untuk menggali potensi wakaf uang dengan visi mewujudkan kesejahteraan umat.
Landasan Hukum Wakaf Uang
Secara etimologi, wakaf uang (cash waqf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Berdasarkan fiqih, hukum wakaf uang mengacu pada pendapat Imam al-Zuhri (wafat 124 H) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alaih, yaitu orang yang berhak memperoleh manfaat wakaf (Abu Su’ud: 1997).
Selain itu, dalam kitab al-Hawi al-Kabir menyebutkan bahwa Abu Tsaur, seorang ulama mazhab al-Syafi’i, juga berpendapat membolehkan wakaf dinar dan dirham (al-Mawardi: 1994). Dua pendapat ulama tersebut di atas juga menjadi dasar bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menetapkan fatwa hukum wakaf uang adalah boleh.
Secara legal formal, wakaf uang juga sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Pasal 16 ayat (3) UU Wakaf menjelaskan harta benda wakaf bergerak yang meliputi; uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, pada Bagian Kesepuluh UU Wakaf yang berjudul “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang” mengatur secara jelas tentang wakaf uang.
Dengan landasan hukum yang kuat, baik menurut fiqih maupun legal formalnya, maka hukum wakaf uang sudah tidak dapat diragukan lagi. Wakaf uang sudah sah untuk diimplementasikan.
Potensi Wakaf Uang
Potensi wakaf uang sangat menjanjikan. Hal itu lebih disebabkan karena wakaf dalam bentuk uang tidak terikat oleh kepemilikan kekayaan dalam jumlah besar. Siapa saja yang berkeinginan untuk mendermakan sebagian hartanya dapat berwakaf dengan uang. Meski uang mempunyai sifat yang dapat berkurang nilainya setiap waktu, tetapi karena sifatnya yang fleksibel dan adanya dukungan payung hukum yang memadai, maka wakaf uang dapat dijadikan instrument pengembangan wakaf produktif di masa yang akan datang. Sebagaimana dilakukan di berbagai negara Islam yang telah mengimplementasikan wakaf uang secara lebih luas.
Potensi tersebut juga dapat dilihat dari jumlah umat Islam di Indonesia yang sangat besar. Ini merupakan merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Dengan diimplementasikan wakaf uang maka nantinya akan terkumpul dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Pengelolaan Wakaf Uang
Pengelolaan wakaf uang harus dilakukan dengan baik. Dalam hal ini, pengelola (nazhir) wakaf uang harus profesional dalam masalah keuangan. Karena dana wakaf uang, jika tidak dikelola oleh nazhir yang profesional, bisa jadi akan hilang pokoknya. Padahal, subtansi perintah Nabi Muhammad SAW: Ihbis ashlaha wa sabbil tsamrataha (tahanlah pokoknya dan disedekahkan hasilnya) ialah menekankan pentingnya menahan eksistensi harta benda wakaf dengan cara mengelola secara profesional. Sedangkan perintah untuk menyedekahkan hasilnya menyiratkan sebuah tindakan pengelolaan agar harta benda wakaf menjadi produktif. Bagaimana pengelolaan wakaf uang?
Mengoptimalkan Wakaf Uang
Dengan segala potensi dan peluang wakaf, sebagaimana disebutkan di atas, kiranya dapat menjadikan wakaf sebagai model pengembangan ekonomi alternatif di tengah kondisi ekonomi umat yang masih memperihatinkan ini. Masyarakat kita, saat ini, membutuhkan pencerahan dan pemecahan kongkrit di tengah derasnya tekanan ekonomi global. Kita perlu kerjasama dan bahu membahu untuk memberdayakan wakaf secara produktif. Potensi kekayaan wakaf dalam jumlah besar yang kita miliki memungkinkan untuk berbuat lebih kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat. Sudah saatnya untuk melakukan aksi-aksi yang menyentuh langsung terhadap kebutuhan masyarakat secara terencana dan akuntable melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti wakaf. Dengan demikian, kita dapat ikut andil dalam upaya menuntaskan pengangguran, kebodohan dan kemiskinan.
Bukan waktunya lagi kita terpaku pada wacana yang kurang bermanfaat. Karena upaya pemberdayaan dan pengembangan umat menjadi kurang bermakna tanpa dibarengi dengan aksi-aksi kongkrit secara optimal. Apalagi perangkat hukum telah diterbitkan, dengan adanya perundang-undangan wakaf, kebijakan strategis berupa proyek-proyek percontohan wakaf produktif di berbagai wilayah di Indonesia serta kebijakan makro berupa political will yang dapat dijadikan semacam darah segar bagi pihak-pihak yang terkait dengan wakaf.
Namun, selama ini potensi tersebut belum digali dan dimanfaatkan dengan optimal. Wakaf masih ditangani secara konvensional, terutama oleh para pengelola (nazhir), yang rekrutmennya semata-semata berdasarkan kepercayaan individual. Sedangkan aspek manajerial dan profesionalisme belum mendapatkan perhatian khusus.
Alhasil, wakaf merupakan potensi kekuatan umat yang masih terpendam yang perlu kita bersama-sama untuk menggalinya sehingga kita dapat mewujudkan satu kekuatan dana umat yang dapat memecahkan berbagai kesulitan yang selama ini kita rasakan sebagaimana yang telah terjadi berbagai negara islam yang sudah dapat dengan baik mengelola wakaf ini untuk kepentingan umat di masing-masing negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar