Jumat, 28 November 2008

HASSAN HANAFI:Heurmeneutika al-Qur`an untuk Pembebasan

Hassan Hanafi, tokoh kita ini, bukanlah intellectual par exellence di bidang Tafsir maupun studi-studi Al-Quran. Banyak nama lain yang mestinya lebih layak dikemukakan menyangkut disiplin tersebut ketimbang membahas pemikirannya; katakanlah, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Esack, atau muridnya yang begitu brilian, Abû Zayd. Nama-nama belakangan ini bukan saja dikenal dengan concern-nya pada pengujian kembali khazanah pemikiran Islam (turâts) pada sang titik alpha, Al-Quran. Tapi juga karena masing-masing mereka telah mempublikasikan karya-karya yang hingga kini menjadi kajian wajib pemerhati tafsir di Timur dan Barat. [2] Sementara itu, Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneut, apalagi seorang mufassir. Namun demikian, jika merujuk pada karya akademisnya di La Sorbonne,[3] jelas bahwa semenjak awal, ia telah berminat besar pada perumusan metodologi penafsiran (cf. Ichwan 1999:33). [4] Pertanyaannya kemudian, what makes this guy special? Inilah yang ingin dijawab oleh keseluruhan isi “Hermeneutika Pembebasan” yang terbit akhir tahun lalu. Bukanlah hal yang mudah untuk menjawabnya, oleh karena diperlukan sejumlah kriteria yang bisa menunjukkan, secara asimptomatis, “hakikat” gagasannya tentang metodologi tafsir Al-Quran. Tulisan ini, demi menjawab pertanyaan sederhana di atas, akan membahas, pertama, latar belakang dan posisi intelektual Hanafi dalam peta hermeneutika Al-Quran kontemporer; kedua, inti gagasan hermeneutika pembebasan; dan ketiga, beberapa catatan. Konteks Intelektual Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan. Hanafi, bagaimanapun, adalah seorang pengamat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Membaca Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981, 8 jilid, (terbit 1989), atau Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib (1990) yang ditulis dan diedit bersama koleganya, al-Jâbirî, dalam rangka debat dengan sejumlah pemikir Muslim lain yang mengatasnamakan diri kaum Masyriq; dan Hiwâr al-Ajyâl (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi terhadap sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, kita akan menyaksikan bagaimana komentar-komentar Hanafî tersebut merefleksikan dirinya dan pergumulan intelektual Arabo-Islam kontemporer. Kita tidak mungkin mencabut Hanafi dari situasi sosio-politik dunia Arab, dan Mesir, khususnya, ketimbang dari konteks-konteks lain, seperti diskursus pemikiran Islam modern atau studi Al-Quran kontemporer. Mukhâtab-nya tetaplah dunia Arab dengan segala pertarungan ideologisnya. Gerakan pemikiran yang diusung Hanafi dimaksudkan sebagai usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama oleh kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologi-ideologi pembangunan yang berkembang di Mesir, seperti liberalisme Barat, sosialisme negara, Marxisme klasik, hingga ritualisme kesukuan/agama. Kritik Hanafi sangat mendasar, karena diarahkan pada substansi dan praktek pembangunan itu sekaligus. Secara teoretis, bentuk-bentuk ideologi tersebut sangat bias Barat, sama sekali “asing” bagi rakyat, atau mengabaikan tradisi, sehingga hilang dari kesadaran massa. Kalaupun ada ideologi pembangunan yang berbasis agama, alih-alih berfungsi sebagai kritik, justru menjadi alat kekuasaan yang juga mengabdi pada kepentingan sekular. Sementara, secara praktis, pembangunan di Mesir bukannya mendatangkan kemajuan yang sejati, tapi justru menyengsarakan rakyat, melebarkan kesenjangan, dan menyuburkan korupsi (Hanafi 1994:91-92). Tawaran Hanafi, dalam konteks ini, berbeda dengan ideologi yang mempromosikan pembangunan (developmentalism) yang lebih berkonotasi growth, tapi kritik pembangunan dalam pengertian populisme “transformasi”. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi yang mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat. Pada titik inilah “Kiri Islam”—sebagaimana diakui dalam manifestonya—merefleksikan tahapan tertentu dalam perkembangan intelektual Hanafi sebagai transformasi dari “dominannya kesadaran individual (al-wa`yu al-fardî) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran sosial (al-wa`yu al-ijtima`î) sejak dekade 1980-an (Hanafi 1991c:84). Sebagaimana digambarkan dalam salah satu bagian manifesto tersebut, Hassan Hanafi bermaksud menciptakan sebuah disiplin interpretasi dengan sensitivitas yang luarbiasa pada realitas dan kemanusiaan. Ia menginginkan agar Kiri Islam sanggup menghasilkan tafsir perseptif, yakni tafsir atas dasar kesadaran humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik (Hanafi 1994:104). Kiri Islam, hermeneutika pembebasan, dan tafsir revolusioner, kemudian masuk ke dalam suatu skema besar dari proyek paling ambisius, at-Turâts wa at-Tajdîd.[5] Dalam proyek tersebut, metodologi tafsir (al-Manâhij) mengandaikan suatu eksposisi sistematis mengenai penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran, atau semacam pandangan dunia Al-Quran mengenai kehidupan (lihat Hanafi 1991b:10-13). Inilah yang dikatakan Hanafi mengenai dirinya. Implisit di dalamnya obsesi-obsesi besar mengenai pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Jika yang pertama mengandaikan kapasitas intelektual yang memadai atas tradisi dan modernitas, Islam dan Barat (al-istibhâr fi at-turâts wa at-taqaddum al-gharbiyyah), yang kedua mengandaikan adanya concern kemanusiaan dan analisa sosial yang tajam, secara simultan pula. Lantas, apa yang tidak dikatakan Hanafi mengenai dirinya, tapi kental dalam segenap usaha intelektualnya? Kita berhutang pada kritik wacana dari sejumlah kritikus Arab kontemporer guna memahami, antara lain, penyataan-pernyataan Hanafi dalam banyak kesempatan, “Saya telah memulai proyek ini, mengingat usia saya yang telah lanjut” (lihat misalnya, Hanafi 1989b:256). `Alî Harb, salah seorang kritikus pemikiran Arab kontemporer (1995:27-69), menuding Hanafi, tidak lebih dari orang yang mengidap apa yang disebut “narsisisme intelektual” (narjisiyyah al-mutsaqqaf) yang menjadi ciri epistem Arab kontemporer. Sebagai anak zamannya, gejala semacam itu bukan khas milik Hanafi seorang. Ini semacam efek dari euforia pembaharuan di kalangan intelektual Arab. Mereka, termasuk Hanafi, selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap proses pembaharuan di dunia Islam. Padahal, menurut Harb, mereka hanya bekerja demi reputasi dan ego masing-masing. Sementara itu, Abû Zayd (1992:182), mempersoalkan prosedur ilmiah pemikiran hermeneutis Hanafi, terutama ketika menafsirkan tradisi pemikiran Islam. Hanafi dianggap memberi porsi yang berlebihan bagi penafsir dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri. Pola berpikir semacam ini memang begitu dominan dalam interaksi Hanafi dengan khazanah keilmuan Islam yang kaya. Seperti ditunjukkan lebih lanjut oleh Abû Zayd, Hanafi sering kali menerapkan eklektisisme terhadap teks-teks tradisional sepanjang mendukung proyek pemikirannya. Padahal, setiap konsep dalam tradisi tersebut senantiasa dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan konteksnya sendiri-sendiri yang bisa jadi kontradiktif dengan penafsiran yang dilakukan Hanafi. Latar belakang di atas merupakan clues (isyârât) mengenai orientasi paradigmatis dari hermeneutika pembebasan. Jauh dari ruang vakum, pemikiran Hanafi adalah produk nalar dalam ruang sosial-budaya yang di dalamnya berbagai kuasa beroperasi dan saling bertarung berebut posisi dan reputasi. Pertanyaannya, apakah itu mengurangi keistimewaan pemikiran hermeneutis Hanafi? Posisi Metodologis Hanafi, sebagaimana diperikan di atas, pada dasarnya, tidak berhadapan secara langsung dengan diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Namun demikian, ada satu common denominator di setiap negara Muslim mutakhir bahwa masing-masing menghadapi modernitas dan pembangunan. [6] Tantangan demikian juga berlaku bagi pemikir-pemikir Muslim, terutama yang bermaksud mencari pendasarannya dalam Al-Quran. Masalahnya, mengutip bahasa Arkoun dan Rahman, kita sedang berhadapan dengan teks yang berasal dari 14 abad lalu di mana berbagai metode ilmiah dan gagasan baru dalam wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut “dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Quran” (Fazlur Rahman 1995:2-3). Upaya yang terakhir ini, disinyalir sering kali bukan demi memahami makna Al-Quran, tapi justru untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani, bahkan yang paling `baik” sekalipun, demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat (W. Rahman 1991:93). Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, para pemikir Muslim modern terbelah ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu, beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Quran. Kategori yang pertama terutama diwakili oleh Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Abû Zayd. Sedang dalam kategori terakhir dapat dimasukkan para pemikir progresif, seperti Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin. Meminjam kerangka analitis Josef Bleicher (1980:1-3), dua tipologi di atas dapat kita anggap masing–masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Quran yang bersifat teoretik (metodis) dan yang bercorak filosofis. Hermeneutika Al-Quran yang bersifat metodis lebih banyak memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoretik di seputar penafsiran Al-Quran, yakni pada “bagaimana” menafsirkan teks Al-Quran secara benar dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang benar pula. Fazlur Rahman (1985:6-8) beranggapan bahwa tugas penafsiran adalah memperoleh ratio legis atau ideal moral dari teks-teks Al-Quran dengan cara mempertimbangkan situasi objektif di mana teks lahir. Lebih ekstrim lagi, hermeneut seperti Mohammed Arkoun (1997:35-37) telah menyediakan sebuah skema komprehensif tentang syarat-syarat teoretis dalam penafsiran untuk sampai pada “kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks” (Arkoun 1997:7). Belakangan, Abû Zayd dengan bertumpu pada logika validitas ala Hirsch Jr., mengusulkan bahwa hermeneutika harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna objektif teks (meaning, al-ma`nâ) dan pengertian atau interpretasi baru (significance, al-maghzâ) yang dapat ditarik dari makna objektif-orisinal tersebut.[7] Makna objektif inilah yang pertama-tama harus diusahakan oleh interpreter dengan melakukan “pembacaan” pada struktur internal teks dan pada situasi historis yang pernah diresponnya. Baru setelah itu, dilakukan “penafsiran” yang memungkinkan diperolehnya jawaban spesifik bagi problem eksistensial hidup kekinian (Abû Zayd 1992:114). Berdasarkan pertimbangan di atas, Arkoun, Rahman, dan Abû Zayd sangat mementingkan prosedur ilmiah yang dengannya objektivitas dapat dijaga. Sementara itu, hermeneutika Al-Quran yang bercorak filosofis berasumsi bahwa objektivitas semacam itu paling banter hanya bisa “diandaikan” secara teoretik, namun dalam kenyataannya, sangat sulit dipraktekkan. Ciri utama hermeneutika filosofis adalah pengakuan bahwa dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham (cf. Crasnow 1987:110). Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Menurut perspektif yang antara lain diusung oleh Farid Esack, [8] Asghar Ali Engineer, [9] dan Amina Wadud-Muhsin[10] ini, penafsiran objektif dalam pengertian memperoleh kembali atau mereproduksi makna sejati teks sebagaimana maksud pemikiran pengarangnya dulu sama sekali tidak mungkin tercapai. Dihadapkan pada dua kecenderungan teoretis di atas, hermeneutika pembebasan Al-Quran dari Hassan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoretik hermeneutika Al-Quran yang bercorak filosofis, maupun yang sifatnya metodis. Bahkan dalam kadar yang relatif minim, hermeneutika pembebasan dari Hanafi mencirikan pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis, varian lain dari mazhab pemikiran dalam hermeneutika. Terhadap hermeneutika metodis, Hassan Hanafi menginginkan hermeneutika pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, objektif, dan universal (Hanafi 1991a:1). Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang “memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain, selain analisa linguistiknya,” (Hanafi 1991a:16) sebuah pendirian yang mirip dengan analisa struktur internal menurut Abû Zayd. Di lain pihak, hermeneutika pembebasan Al-Quran tersebut sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika Al-Quran yang besifat filosofis sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Apalagi dalam tulisan-tulisannya yang mutakhir, Hanafi memang menganggap “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu bersifat praktis dan menjadi bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Dalam pengertian yang terakhir ini, ia menginginkan hermeneutika pembebasannya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir di hadapan teks sebelum persitiwa penafsiran dilakukan. Kecederungan ke arah praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutis Hanafi belakangan yang kemudian membedakannya dari rumusan hermeneutisnya pada tahap awal dan dari kecenderungan banyak hermeneut kontemporer lainnya. Dalam kaitannya dengan kritisisme hermenutis atau corak hermeneutika kritis (critical hermeneutics), pemikiran Hanafi memang jauh dari pengaruh mazhab Frankfrut yang kondang dengan teori kritik masyarakatnya. Akan tetapi, dengan menerapkan analisis Marxian yang senantiasa mencurigai tendensi kekuasan dan dominasi di balik teks dan penafsiran, tidak pelak lagi, Hanafi telah berada separuh jalan ke arah penafsiran kritis sebagaimana yang lazim dalam hermeneutika yang bercorak kritis.[11] Tiga pendekatan itulah yang kemudian diramu Hanafi bersama-sama dengan disiplin Ushûl al-Fiqh ke dalam kerangka hermeneutika pembebasan Al-Quran. Hal ini karena Hanafi melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum, di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini berusaha merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas ushûl al-fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka (Hanafi 1989c:78). Hassan Hanafi, dalam hal ini, mengajukan beragam problematika teoretis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushûl al-fiqh, seperti asbâb an-nuzûl, an-nâsikh wa al-mansûkh, dan mashlahah. Asbâb an-nuzûl dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nâsikh wa al-mansûkh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum (Hanafi 1994:103), eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah (Hanafi 1981:71; 1997:41). Adapun konsep mashlahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemasalahatan manusia (Hanafi 1981:72-3,75). Dapat dipahami dari maksud praksis hermeneutika pembebasan Al-Quran Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu fiqih dan ushûl al-fiqh perlu diterima. Hanafi dan gerakan pemikiran Kiri Islam-nya lebih cocok dengan paradigma ushûl al-fiqh dari al-fiqh al-Mâlikî yang berkembang dalam tradisi `Abdullah ibnu Mas`ud yang diderivasi dari Umar bin Khattab. Sebab paradigma Maliki lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum (mashlahah al-`âmm) (Hanafi 1994:97; Boom 1984:44). Keunikan model hermeneutika pembebasan Hanafi ini agaknya berangkat dari dasar-dasar metodologis pemikirannya yang bisa jadi tidak ia sadari. Hermeneutika pembebasan Al-Quran dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis. Eksperimentasi semacam ini memang harus diakui jenial mengingat ia harus mengatasi kontradiksi teoretis dalam pelbagai pemikiran yang ia pinjam dalam perumusan hermeneutika Al-Qurannya. Namun, tidak urung, ia juga menyisakan segepok masalah yang harus diselesaikan. Hermeneutika Pembebasan Jika tidak dianggap berlebihan, Hanafi dapat disebut sebagai salah seorang yang pertama mempromosikan hermeneutika dalam mempelajarai bahasa agama. Selain menulis dan mempublikasikan disertasi doktoralnya yang sarat eksperimentasi hermeneutika, Lés Metodes d`Exégese, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, `ilm Ushûl al-Fiqh (1965), ia juga telah meletakkan dasar-dasar apa yang ia sebut sebagai “Hermeneutics as Axiomatics” (1977). Pada perumusan awal tersebut, Hanafi masih berbicara dalam kerangka objektivisme dan berusaha sekomprehensif mungkin. Ia, antara lain, merekomendasikan perlunya hermeneutika menjadi sebuah aksiomatika, suatu pendasaran ilmiah yang dengannya teologi dan iman tidak dapat dibantah. Di samping itu, hermeneutika ia maksudkan untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang objektif, rigorus, dan universal. Seperti halnya fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl, pendekatan ini memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apodiktis, yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun (Bertens 1983:103). Belakangan, Hassan Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan bahwa “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika selalu merupakan “hermeneutika terapan” yang merupakan bagian dari perjuangan sosial” (Hanafi 1995b:184). Bagi Hanafi, pluralitas penafsiran itu sendiri merupakan mencerminkan konstruksi masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, Hanafi tidak lagi berbicara tentang hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tapi lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia dibangun. Hermeneutika yang cenderung bersifat historis dalam gagasan Hanafi tersebut hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dalam diskursus pemikiran Barat. Dalam hermeneutika jenis ini, utamanya yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu, bagi Gadamer, sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh “prapaham” tertentu yang mencerminkan historisitas yang melingkupi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian makna objektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu penafsiran merupakan “kegiatan produktif” dan bukanlah proses “reproduksi” makna untuk menghadirkan makna asali dalam kehidupan kekinian (Bleicher 1980:2-3). Pandangan semacam ini diterima sepenuhnya oleh Hanafi. Menurutnya, suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. “Setiap teks berangkat dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks” (Hanafi 1988:546). Penafsiran adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks eksistensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri (Hanafi 1988:537; 1983:185). Rekognisi atas hubungan interpretasi dengan realitas memang demikian signifikan dalam hermeneutika pembebasan Al-Quran, meskipun tidak pada hermeneutika sebagai aksiomatika. Hanafi senantiasa mengaitkan hermenutika pada “praksis”. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh Marxisme dalam pikirannya. Hanafi, misalnya, dapat melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika “progresif” dan “konservatif” (Hanafi 1995b:187-88, cf. Mayer 1991:102-3). Melalui Marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju pada praksis. Hanafi mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan “fenomenologi dinamis” yang dibedakan dari fenomenologi statis. Hanafi berharap dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi ke modernisasi. Menurut Hanafi, inilah metode transformasi sebagai tindakan “regresif-progresif” (Hanafi 1995b:182-3). Pada saat yang sama, penggunaan Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa (Hanafi 1995b:184). Hassan Hanafi mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qurannya berada pada tiga domain analisis: kritik sejarah, eidetik, dan praksis. Kritik historis berfungsi menjamin keaslian teks dalam sejarah, kritik eidetik menggambarkan kerja teori penafsiran, dan kritik praksis adalah penerapan hasil interpretasi tersebut dalam bentuk formulasi pemikiran tentang aksi: rencana, pembuatan hukum, penyusunan sistem, dan sebagainya (Hanafi 1991a:1 dst.). Pada tahap kritik sejarah, hermeneutika pembebasan dalam pengertian kegiatan interpretasi belum dilakukan kecuali sebagai sarana membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks. Interpretasi baru dimulai pada tahap eidetik di mana Hanafi merumuskan banyak teori penafsiran yang terangkum dalam apa yang lazim sebut sebagai “metode tafsir tematik”. Sejauh menyangkut kegiatan interpretasi teks, Hanafi menawarkan di dalamnya metode analisa pengalaman (manhaj tahlîl al-khubrât) dan metode interpretasi teks yang berhubungan secara kronologis dan dialektis sekaligus. Pertama-tama, penafsir menganalisa pengalamannya, yakni apa yang dipresentasikan oleh realitas sebagaimana yang dipahami oleh kesadaran penafsir. Fungsinya adalah untuk memastikan kebutuhan, problematika, kepentingan dan orientasi penafsir terhadap teks. Setelah itu penafsir baru beranjak pada interpretasi teks sebagaimana yang dituntut oleh kepentingan dan kebutuhannya. Proses ganda inilah yang dapat kita sebut sebagai kritik eidetik (Hanafi 1983a:179-180). Proses selanjutnya adalah interpretasi teks. Tahap ini, sejauh menelusuri pemikiran Hanafi, dilakukan melalui dua aspek tekstualitasnya, yakni bahasa dan konteks sejarahnya. Yang pertama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan, sedang yang kedua melalui penelitian dan pemahaman yang memadai atas asbâb an-nuzûl (Hanafi 1991a:21). Setelah makna-makna linguistik dan keadaan sejarah ditentukan, selanjutnya penafsiran dilakukan melalui generalisasi makna dari situasi saat dan situasi sejarah agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan interpretasi untuk menyikapi kasus-kasus tertentu dalam masyarakat kontemporer (Hanafi 1991a:21). Generalisasi yang merupakan langkah kedua dari kegiatan interpretasi pada akhirnya membuka peluang bagi munculnya kritik praksis. Sebagaimana disebutkan tadi, makna baru dapat diperoleh dari interpretasi dan berfungsi untuk memformulasi sikap seorang penafsir terhadap problem atau realitas tertentu. Secara teoretik, praksis dilakukan dengan membandingkan antara struktur ideal yang terefleksi dalam formulasi makna baru dari kegiatan interpretasi dan struktur sosial yang diperoleh dari analisa situasi faktual. Sekali kesenjangan ditemukan, hermeneutika pembebasan Al-Quran lantas bertugas model-model aksi yang dapat menfasilitasi transformasi Logos menuju teori, dan teori ke praksis (Hanafi 1995:420-21). Ruang terbatas ini tidak memungkinkan kita menyajikan metode sistematis—dalam pengertian teknik-teknik penafsiran--dari hermeneutika Al-Quran Hanafi. Kita dapat melihatnya, paling tidak, dalam Methode of Thematic Interpretation (Hanafi 1995a) dan Manâhij at-Tafsîr wa Mashâliĥ al-`Ummah (Hanafi 1989c), dan lebih baik kita memberi beberapa catatan ringkas berikut.

Problem Metodologis Ada beberapa hal yang mesti dikemukakan untuk gagasan hermeneutika Hanafi. Pertama, berbeda dari pengakuan Hanafi bahwa ushûl al-fiqh sebagai landasan menyusun hermeneutika Al-Qurannya, maupun hermeneutika eksistensial Bultmann, seperti analisa Boom (1989), hermeneutika pembebasan Al-Quran justru sangat dipengaruhi fenomenologi, Marxisme dan hermeneutika filosofis. Demikian kuatnya ketiga pendekatan tersebut sehingga dapat dikatakan di sini bahwa kerangka metodologis hermeneutika pembebasan Al-Quran sepenuhnya dibangun atas landasan ketiga pendekatan tersebut, sementara kerangka metodologis dari tradisi pemikiran Islam hanya merupakan selaput tipis di atasnya. Pertama-tama, fenomenologi digunakan Hanafi untuk menunjukkan bahwa kesadaran dan pengalaman merupakan sumber yang otentik dan absah bagi pemahaman teks, sekaligus berguna dalam mentransendensikan atau, dalam istilah teknisnya, melakukan àpoché, menunda segala persoalan metafisika—yang dipahami sebagai persoalan-persoalan teologis-metafisis serta segala pandangan klasik tentang—Al-Quran (Hanafi 1991a:16). Selanjutnya, hermeneutika filosofis memberi pengaruh besar pada konsepsi mengenai historisitas pemahaman, historisitas teks, relativitas dan produksi makna (Hanafi 1988:538). Sementara Marxisme digunakan Hanafi, secara teoretik, sebagai metode sintesa dan dialektika berbagai pendekatan dalam pemikirannya, dan secara praktis, untuk menyingkap struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan “struktur sosial” dalam teks. Yang terakhir ini tepatnya dimaksudkan untuk menyingkap pertarungan kekuasaan yang terrefleksi dalam teks-teks Al-Quran dan teks-teks penafsirannya (Hanafi 1991a:184-87). Ushûl al-fiqh memang sempat disinggung bahkan sempat diulas dalam beberapa tulisan Hanafi tentang problematika penafsiran. Namun demikian, menurut hemat penulis, hal ini tidak menunjukkan struktur dasar dari gagasan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Sebaliknya, gagasan Hanafi tentang hermeneutika bersifat final dalam fenomenologi, hermeneutika Gadamerian, dan Marxisme. Masalah-masalah seperti nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, maupun mashlahah al-ummah sebenarnya bukan landasan metodologis dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia hanya kumpulan problematika yang diperbincangkan secara spesifik dalam tradisi ushûl al-fiqh dan tradisi `ulûm al-Qur`ân. Oleh karena itu, dapat disebutkan di sini jika berbagai problematika dalam ushûl al-fiqh tersebut hanya dijadikan justifikasi bagi tradisi hermeneutika pembebasan Al-Quran. Hal ini terbukti terutama ketika dalam pemeriannya tentang prosedur penafsiran, asbâb an-nuzûl tidak mempunyai signifikansi apa pun dalam usaha memperoleh makna baru. Konteks sejarah, sebagaimana halnya nâsikh-mansûkh dan mashlahah al-ummah hanya bersifat inspiratif, yakni bahwa teks-teks Al-Quran selalu turun dengan kepentingan tertentu bagi kehidupan manusia (Hanafi 1988:537,539). Dalam pemikiran apa pun, sebagaimana diakui Hanafi dalam pandangannya mengenai kontinuitas pengetahuan sebagai pendasaran pemahaman yang produktif, memang tidak ada orsinalitas (Hanafi 1988:548-9). Namun masalahnya, Hanafi melakukan ekletisisme yang tidak seimbang. Ketika mensintesakan tradisi klasik dengan tradisi intelektual Barat, Hanafi sekedar meletakkan tradisi sebagai label dan pembenaran saja. Sementara substansi metodologisnya sepenuhnya merupakan elaborasi fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika sebagai bentuk pemaksaan ide-ide tertentu ke dalam tradisi pemikiran Islam. Lagi pula, Hanafi tidak menarik secara tegas dan eksplisit batas-batas dari berbagai metodologi tersebut: di mana digunakan analisis fenomenologis, kapan Marxisme, dan pada wilayah mana hermeneutika filosofis berperan. Kedua, batas penafsiran produktif dan ideologisasi. Pengakuan akan historisitas pemahaman manusia dalam pengertian keterlibatan kepentingan dan ideologi dalam pemikiran adalah poin yang sangat krusial dalam pemikiran Hanafi. Bahwa sebuah pemikiran atau pemahaman pada sebuah teks senantiasa melibatkan prapaham dan prasangka (Gadamer) atau kepentingan (Marxisme, Habermas) adalah konsep yang kuat dalam banyak filsafat pengetahuan kontemporer, seperti dianut oleh hermeneutika filosofis dan teori kritis. Akan tetapi, berbeda dengan tradisi pemikiran tersebut, Hassan Hanafi menggunakan argumen historisitas pemahaman sebagai pembenaran terhadap ideologisasi teks. Abû Zayd dalam hal ini menganggap pemikiran Hanafi telah jatuh dalam at-talwîn, yakni kegiatan menafsirkan teks secara ideologis dengan keluar dari batas-batas yang diizinkan bahasa. Di samping itu, at-talwîn mengaburkan perbedaan antara makna teks sebagaimana dimaksud pertama kali dengan arti (baru) yang dikonstruksi dalam situasi sosial yang baru (Abû Zayd 1992:113-115,182). Gagasan mengenai pertautan pemikiran dan kepentingan dalam pemikiran Hanafi telah digunakan sebagai alasan ditafsirkannya teks sesuai konstruk kesadarannya yang bersifat sosial. Padahal, sebagaimana dicurigai `Alî Harb (1995:27 dst.), jangan jangan bukan kepentingan sosial yang diperjuangkan, namun reputasinya sendiri. Bagi Harb, sikap seperti ini merefleksiklan kekalutan epistem para modernis Arab saat ini. Dengan kata lain, Hassan Hanafi boleh kritis terhadap hermeneutika klasik yang dianggap menyembunyikan kepentingan atas dalih objektivitas, tapi tidak kritis terhadap asumsi-asumsinya sendiri. Relevansi Pemikiran Terlepas dari berbagai problem metodologis di atas, hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi jika dihadapkan pada diskursus hermeneutika Al-Quran dapat merupakan kritik yang krusial. Corak metodologisnya yang unik dan berkarakter kuat, tentu merupakan fenomena tersendiri dalam diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Berikut ini akan kita bicarakan beberapa relevansi dari sumbangan metodologis hermeneutika Al-Quran Hanafi. Pertama, desenterialisasi teks dalam hermeneutika klasik Al-Quran. Menurut Hassan Hanafi, hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan hubungan antara subjek dengan objeknya. Subjek adalah penafsir dengan kegiatan penafsirannya, sementara objek adalah teks (Hanafi 1988:526). Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan dengan teks sakral, Hanafi menganggap bahwa hermeneutika tidak membuat preferensi apa pun terhadap salah satu di antara keduanya. Semua teks diperlakukan sama sebagai konsekuensi leburnya pemilahan antara hermeneutika sacra dan hermeneutika profana dalam diskursus hermeneutika kontemporer (Hanafi 1988:527; 1991a:3). Hanafi menganggap keistimewaan Al-Quran sebagai teks sebagai kategori dalam praktek keagamaan masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika (Hanafi 191995a:417;1997 23-30). Desakralisasi teks-teks suci, termasuk Al-Quran tersebut menciptakan hubungan-hubungan simetris antara Al-Quran, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesa hubungan-hubungan struktural dalam hermeneutika Al-Quran klasik. Dalam hermeneutika Al-Quran klasik, teks atau Al-Quran berada di puncak dan pusat, sementara realitas tidak dibicarakan secara eksplisit. Gagasan hermeneutika Hanafi meletakkan Al-Quran hanya sebagai salah satu sumber pemahaman terhadap teks, selain kesadaran dan realitas. Al-Quran dengan demikian bukan lagi pusat (center) atau inti (core) dari segala jenis pengetahuan sebagaimana diyakini secara tradisional, tapi hanya merupakan kutub pinggiran (periphery) dari kutub-kutub pemahaman yang lain, yakni kesadaran eksperimental dan realitas sejarah di mana manusia hidup dan berjuang. Kedua, kritik objektivisme. Hermeneutika pembebasan Al-Quran semenjak awal berkaitan metode penafsiran dengan tujuan praksis. Oleh karena itu, ia selalu memiliki kepentingan yang terarah pada transformasi sosial. Dengan maksud ini, penolakan terhadap eksistensi kepentingan dalam penafsiran tidak mungkin terelakkan. Hermeneutika Al-Quran yang bersifat sosial dari Hanafi memang tidak berpretensi objektivistik sebagaimana yang di temukan pada beberapa hermeneutika Al-Quran kontemporer seperti dalam pemikiran Fazlur Rahman, Abû Zayd, dan Arkoun. Dalam pemikiran beberapa teoretikus yang disebut belakangan, penafsiran dilakukan untuk memperoleh makna orsinal dari teks. Makna semacam itu ditelusuri melalui bahasa teks dan maknanya dalam sejarah (sabab an-nuzûl) (Rahman 1985:6-8; Adnan Amal 1994:189-220) atau melalui berbegai pendekatan lain agar teks-teks Al-Quran dapat berbicara sendiri secara jujur di hadapan penafsir (Arkoun 1997:35-36). Pendirian semacam ini tentu saja tidak dapat diterima Hanafi begitu saja, sebab pencarian makna sejati teks mustahil dilakukan. Tidak saja karena jarak waktu dan ruang telah demikian jauhnya, namun yang lebih penting lagi penafsiran selalu dipengaruhi oleh posisi penafsir, posisi teks, kondisi sosial, dan konteks kebudayaan di mana Al-Quran ditafsirkan (Hanafi 1988:536-9). Dalam bahasa Gadamer, manusia selalu dipengaruhi oleh prasangkanya tentang teks. Implikasi pendirian Hanafi tersebut tidak ada lagi obsolutitas dalam wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativisasi sesuai konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu sendiri. Kalaupun ada yang hal-hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Nilai-nilai tersebut merupakan prinisp-prinsip pradigmatis yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai “dimensi universal dari hermeneutika”. Hanafi menjabarkannya dalam empat kategori: intensionalitas, kontinuitas tradisi, logika bahasa, dan situasi awal (Hanafi 1988:540-43). Hassan Hanafi dalam hal ini bermaksud menghindari segala macam klaim objektivitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masyarakat antara kelas bawah, menengah, dan atas (Hanafi 1989c:117-9). Setiap penafsiran dianggap mengandung maksud dan kepentingannya sediri-sendiri, sehingga penafsiran yang mengklaim dirinya bebas nilai dan kepentingan, justru tidak signifikan sama sekali (cf. Wolff 1991:189). Bahkan klaim objektivitas justru dianggap menyembunyikan kepentingan-kepentingan yang disusupkan oleh tekanan “kekuasaan” realitas di mana ia berpijak. Alih-alih membela objektivitas, Hanafi justru bermaksud mengekplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Dalam hermeneutika Al-Quran, eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada benar-salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik. Sampai di sini, saya akan bertanya pada Saudara, “Apakah Hanafi belum istimewa juga?”* [Ilham B. Saenong adalah Mahasiswa Program Magister Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Sarjana Teologi Islam dengan spesialisasi Ilmu Tafsir dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000). Bukunya yang telah dipublikasikan adalah Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran menurut Hassan Hanafi (2002). Kini sedang meneliti Gerakan Buruh.] DAFTAR PUSTAKA Abû Zayd, Nashr Hâmid, Naqd Khitâb ad-Dîni. Kairo: Sinâ lî an-Nasyr, 1992. _____, Mafhûm an-Nashsh: Dirasah fî `Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1994. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas. Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1994. Arkoun, M, Berbagai Pembacaan Al-Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS, 1997. Bertens, K, Filasafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983. Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, 1980. Boom, Maren van den, “From Dogma to Revolution”, Exchange, vol. 18 no. 54, 1989. Crasnow, Ellman, “Hermeneutics” dalam Flower, Roger (ed.) A Dictionary of Modern Critical Terms. New York: Routledge and Paul Kegan, 1987. Engineer, Ali Asghar, Islam and Liberation Theology. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990. Esack, Farid, Qur`an, Liberation and Pluralisme: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneword, 1997. Grondin, Jean, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale University Press, 1994. Hanafi, Hassan, At-Turâts wa at-Tajdîd: Mauqifunâ min at-Turâts al-Qadîm. Kairo: al-Markaz al-`Arabî, 1980. _____, Dirâsât Islâmiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1981. _____, Qadâyâ Mu`âshirah: Fî Fikrinâ al-Mu`âsir, vol. 2. Beirut: Dâr at-Tanwîr, 1983. _____, Dirâsât Falsafiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1988. _____, Min al-`Aqîdah ilâ ats-Tsawrah: al-Muqaddimah an-Nazhariyyah, vol. 1. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989a. _____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah, vol. 6. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989b. _____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr Ad-Dînî, vol. 7. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989c. _____, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991a. _____, Muqaddimah fî `Ilm al-Istighrâb. Kairo: Dâr al-Fanniyyah, 1991b. _____, “Apa Arti Kiri Islam” dalam Kazuo Shimogaki (ed.) Kiri Islam, terj. M.I. Azis dan M.J. Maula. Yogyakarta: LKIS, 1994. _____, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. 1. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995a. _____, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution, and Culture, vol. 2. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995b. _____, Humûm al-Fikr wa al-Wathan: At-Turâts wa al-`Ashr wa al-Hadâtsah, vol. 2. Kairo: Dâr Qubâ`, 1997. _____, Hiwâr al-Ajyâl. Kairo: Dâr Qubâ`, 1998. Hanafi, Hassan dan M. Âbid al-Jâbirî, Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: Maktabah Madbûlî, 1990. Harb, `Alî, Naqd an-Nashsh. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1995. Harvey, Van. A., “Hermeneutics” dalam Mircea Eliade (ed.) Encyclopedia of Religions, vol. 6. New York: Macmillan Publishing Co., 1987. Ichwan, Moch Nur, A New Horizon in Quranic Hermeneutics: Nasr Hamid Abu Zaid Contribution to Critical Quranic Scholarship. Tesis Master tidak diterbitkan. Leiden: Leiden University, 1999. Mayer, Tom, “On Marxism”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renaissance of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991. Muhsin, Amina W., Perempuan dalam Al-Quran, terj. Y. Radianto. Bandung: Pustaka, 1994. Newton, K.M., Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra, terj. Soelistia. Semarang: IKIP Semarang, 1994. Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985. _____, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1996. Rahman, Wahidur, “Modernists` Aprroaches to the Quran”, dalam Islam and the Modern Age, Mei 1991. Rippin, A. Muslims: Their Religious Beliefs and Practices, Kontemporary Period, vol 2. New York: Routledge, 1993. Syahrûr, M. Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu`âshirah. Damaskus: Jâmi anhâ al-`Âlam, 1990. Wolff, Janet, “Hermeneutics and Sociology”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renascence of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991.[] Endnote: Disajikan dalam diskusi terbatas “Islam Pembebasan” di P3M Jakarta, Jakarta 20 Januari 2003. [1]Rahman, Major Themes of the Quran (1980), atau yang lebih dahulu ditulis, pengantar hermeneutika al-Quran dalam Islam and Modernity (ditulis 1977-1978 dan terbit 1982); Arkoun, Lecture du Coran (1982); Farid Esack, Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (1997), Abû Zayd, Mafhûm an-Nashsh: Dirâsah fî `Ulûm al-Qur`ân (1994), dan Muhammad Syahrûr al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ`ah Mu`âshirah, (1990). [2]Lés Metodes d`Exégèse, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, ilm Usul al-Fiqh (1965); L`Exégèse de la Phénomènologie L`etat actuel de la méthode phénomenologique et son application au ph`enomène religiux (1965); dan La Phénomènologie de L`Exégèse: essai d`une herméneutique existentielle à parti du Nouvea Testanment (1966). [3]Namun demikian, selain rancangan publikasi sebuah karya sistematis mengenai metode penafsiran (manâhij at-tafsîr) (lihat Hanafi: 1980:213-16), kebanyakan pemikirannya mengenai masalah ini merupakan artikel atau makalah yang kemudian ditebitkan dalam beberapa karya bunga rampai. Baru-baru ini (2002), Hanafi menerbitkan min an-Naql ilâ al-Ibdâ` (9 jilid) yang antara lain berisikan persoalan hermeneutika. [4]Hassan Hanafi merumuskan eksperimentasi at-Turâts wa at-Tajdîd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunâ min al-qadîm). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawqifunâ min al-gharb). Agenda terakhir, upaya membangun sebuah hermeneutika pembebasan Al-Quran yang baru yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” (mawqifunâ min al-waqi) (Hanafi 1980:203-206; Boulatta 1995:96). [5]Menurut Andrew Rippin (1993:86), kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Al-Quran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada, Al-Quran, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Quran. [6]Bandingkan teori validitas interpretasi dari Hirsch Jr. (dalam Newton 1994:59) yang membedakan antara meaning (makna teks yang tidak berubah-ubah) dan significance (arti teks bagi kita sekarang yang dapat berubah-ubah). [7]Menurut Esack (1997:76), “Setiap kegiatan penafsiran adalah suatu partisipasi dalam proses kebahasaan yang menyejarah, potongan tradisi, dan partisipasi ini terjadi dalam waktu dan tempat yang partikular. Keterlibatan kita dengan Al-Quran juga pasti terjadi dalam penjara ini, kita tidak dapat membebaskan diri dari, dan meletakkannya di luar, bahasa, kebudayaan, dan tradisi.” [8]Asghar Ali Engineer (1990:130) berpendapat bahwa penafsiran selalu merupakan refleksi keadaan sosial dan latar belakang individual penafsir. Suatu penafsiran, betapapun mengusahakan objektivitas, bisa saja terjebak dalam berbagai bentuk eksploitasi, seandainya ia muncul dalam masyarakat yang feodalistik, patriarkal, dan menindas. “Setiap orang memahami teks menurut latar belakang, posisi, a priori politik, sosial, dan ekonomi. Interpretasi teks berikutnya dilakukan demikian. Sangatlah susah menunjukkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang mencoba mendekati maksudnya menurut posisi a priori-nya sendiri. bukanlah tanpa arti (jika) para komentator klasik berkata Allâh a`lam bî ash-shawâb setiap selesai memberikan pendapatnya” (Ali Engineer 1990:130). [9]Menurut Amina Wadud Muhsin, “Setiap interpretasi berusaha menggambarkan maksud teks, namun serempak dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi” (Wadud Muhsin 1994:1). Prior text ini makin tidak dapat terhindarkan sebab ia tidak lain merupakan bahasa dan konteks budaya di mana teks tersebut ditafsirkan. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran Al-Quran yang sepenuhnya objektif, mengingat setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang subjektif sifatnya. Demikian pula, tidak ada penafsiran yang bersifat definitif, pasti, dan memutuskan (Wadud Muhsin 1994:1, 7, dan 125). [10]Lihat sarkasme Hanafi, “an-nashsh `amal aydyûlujî” (1988:530, 533). [11]Hanafi tidak menjelaskan apa yang ia maksud sebagai metode regresif-progresif kecuali di bagian akhir tulisannya dijelaskan bahwa “manafsirkan berarti melakukan gerak ganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip lingusitik, sementara yang kedua melalui sensitivitas Zeitgeist (semangat zaman) (Hanafi 1995b: 187)

MUHAMMAD SYAHRUR: METODOLOGI PEMBACAAN AL-QUR`AN

Metode ini pun sebetulnya memunculkan banyak kemasan yang tampil secara berbeda-beda. Hal ini karena kemajuan ilmu pengetahuan saat ini sudah tidak dapat dibendung lagi dan adanya kecenderungan di antara para ilmuan dari berbagai latar keilmuan untuk menerapkan metodologi baru dalam `membaca` al-Qur`an. Sehingga, tidak jarang hasil pembacaan yang didapatkan oleh penafsir-penafsir `baru` ini tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan penafsiran-penafsiran yang mu`tabar. gai isu yang paling hangat dan paling representatif dalam hal ini adalah buku Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah karya Muhammad Syahrur.[3] Buku ini adalah fenomenal sebab di satu sisi dinyatakan sebagai the bestseller book di Timur Tengah, dan di sisi lain, buku ini memiliki watak kontroversial, melahirkan sikap pro dan kontra. Nama-nama seperti Wahbah al-Zuhaili,[4] Salim al-Jabi,[5] Thahir al-Syawwaf,[6] dan Khalid al-`Akk[7] adalah di antara mereka yang kontra terhadap buku itu. Sebaliknya, Wael B. Hallaq,[8] Dale F. Eickelman, dan Halah al-Quri,[9] adalah di antara mereka yang pro dan menunjukkan kekaguman terhadapnya. Dualisme penilaian ini ternyata tidak hanya bergema di tingkat individual, tetapi juga membawa implikasi di tingkat kenegaraan. Pemerintah-pemerintah seperti Saudi Arabia, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab, secara keras melarang peredaran buku itu ke negaranya. Tetapi di fihak lain, Sultan Qaboos di Oman, malah memberikan penilaian yang positif, sampai ia membagi-bagikan buku itu kepada para menterinya, dan merekomendasikan mereka untuk membacanya.[10] Berangkat dari fenomena di atas, tulisan berikut ini hendak mengeksplorasi model pembacaan al-Qur`an Syahrur dimaksud. Persoalan yang ingin dielaborasi dalam tulisan ini adalah format metodologinya di samping juga coba memaparkan beberapa hasil pembacaannya, khususnya yang terangkum dalam buku itu. Setting Sosial, Biografi, dan Karya-karya Muhammad Syahrur Syria—tempat di mana Syahrur dilahirkan—adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah, Syria juga pernah menghadapi problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, hal mana Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyyah (di Turki).[11] Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Thahir al-Jaza`iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria.[12] Reformasi al-Qasimi—bekas murid Muhammad `Abduh (1849-1905; tokoh pembaharu di Mesir)—berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan Tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinal dalam al-Qur`an dan al-Sunnah sembari menekankan ijtihad.[13] Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza`iri beserta teman-temannya, dan kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan.[14] Dari situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang `liberal` seperti Syahrur dapat dengan leluasa `bernafas` di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya menjadi sangat forbidden, unlawful.[15] Muhammad Syahrur Daib lahir di Damaskus, Syria, pada 11 Maret 1938. Sekolah dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan `Abd al-Rahman al-Kawakibi, hingga tamat pada 1957. Pada 1957 itu juga ia memperoleh beasiswa pemerintah untuk studi ilmu teknik di Moskow, dan berhasil menyelesaikannya pada 1964. Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai dosen pada fakultas teknik Universitas Damaskus. Kemudian oleh fihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi `pascasarjana` dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Syahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.[16] Namun, Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun![17] Di bidang spesialisasinya sendiri, Syahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali fihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud Consult, Saudi Arabia.[18] Syahrur juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia. Namun, secara garis besar, karya-karya Syahrur dibagi ke dalam dua kategori: 1. Bidang teknik: Al-Handasah al-Asasiyyah (3 Volume) dan Al-Handasah al-Turabiyyah2. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990)[19], Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999). Di samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan buah-pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam, Muslim Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam, Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam, Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998). Kegelisahan (Sense of Crises) Akademik Muhammad Syahrur Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya.[20] Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat.[21] Syahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif,[22] Syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:[23] 1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. 2. Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya. 3. Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat. 4. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. 5. Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru. Di tempat lain, Syahrur mengatakan, kajian-kajian keislaman yang ada sering melupakan dimensi universalitasnya (shalih li kull zaman wa makan). Indikasinya, konstruksi fiqh selalu berada pada posisi keberpihakan; bahwa saya sajalah yang paling benar. Formulasi fiqh seperti ini menghalangi umat Islam sendiri dari prinsip dasar syariah, yaitu keberadaan Muhammad sebagai Rasul untuk semua manusia, dan risalahnya tetap layak dan relevan untuk segala zaman dan tempat.[24] Karakter fiqh yang sering dilupakan ini menurut Syahrur adalah hanifiyyah (elastisitas, perubahan). Celakanya, “kesalahan” ini dilegalkan dengan klaim “pintu ijtihad telah tertutup dalam teks yang qath`i dan sharih”. Bagi Syahrur: Andaikata Islam itu cocok dan relevan untuk segala tempat dan waktu, niscaya setiap orang harus mengakui bahwa al-Kitab (al-Qur`an dalam pengertian umum, pen.) itu diturunkan kepada kita yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 ini, dan seolah-olah Nabi saw baru saja meninggal dan telah menyampaikannya pada kita.[25] Karena itulah Syahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an konvensional sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.[26] Syahrur yakin bahwa Muslim modern, karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (al-Qur`an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya.[27] Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, Syahrur, ketika menerapkan model pembacaan al-Qur`annya, memilih kamus Maqayis al-Lughah-nya Ibn Faris—pakar ilmu modern (linguistik)—sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.[28] Metodologi Muhammad Syahrur Agar lebih jelas bagaimana peta pemikiran Syahrur, berikut ini akan coba ditampilkan sisi metodologinya, yang terdiri dari epistemologi pengetahuannya dan metodenya dalam mengkaji al-Qur`an. 1. Pengetahuan Manusia: Epistemologi Syahrur mengatakan: … sesungguhnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Artinya, pengetahuan yang sesungguhnya tidak bersifat khayalan, tidak merupakan abstraksi dari gambaran-gambaran purbasangka, tetapi hal-hal yang sesuai dengan realitas, sebab wujud segala sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia itu adalah kunci kebenarannya.[29] Karena kebenaran dalam pandangan Syahrur adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Menurut Syahrur, pemahaman seperti ini memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Nahl: 78.[30] Dengan landasan ini pula, maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi (empiris; pendengaran dan penglihatan) manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoretis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah). Syahrur tidak mengakui keunggulan pengetahuan intuitif (isyraqiyyah-ilhamiyyah) yang dianut oleh ahl al-kasyf atau ahl Allah,[31] sebab realitas obyektif bagi Syahrur, adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik. Dengan demikian, pengetahuan yang dihasilkan manusia, berawal dari proses berpikir yang dibatasi oleh cerapan inderawi, lalu meningkat pada pikiran yang abstrak. Titik pengetahuan manusia adalah alam inderawi yang tidak lain adalah alam material yang kemudian meluas hingga mencakup apa saja yang diketahui oleh manusia melalui akalnya. Konsepsi Syahrur tentang ini pada gilirannya berimplikasi pada keyakinan bahwa al-Qur`an tidak bertentangan dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan.[32] Allah sangat menjunjung kedudukan akal manusia, dan karenanya tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, serta tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Dari sini pun Syahrur meyakini bahwa semua yang terkandung dalam wahyu itu menerima pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan manusia.[33] Adapun terhadap alam syahadah atau alam ghaib, pada dasarnya adalah bersifat materi. Alam syahadah adalah materi yang mampu diketahui manusia melalui inderanya dan kemudian mentransformasikannya ke dalam nalar rasionalitasnya, sedang alam ghaib adalah alam materi yang belum mampu diketahui manusia karena tingkat perkembangan keilmuan yang belum mampu menggapainya.[34] Singkatnya, pengetahuan dalam pandangan Syahrur hanya dapat diperoleh jika didasarkan atas materialitas, realitas empirik, dan bukan melalui tradisi mistik. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa epistemologi pengetahuan Syahrur dapat digolongkan ke dalam materialisme-empiris. 2. Metode dan Pendekatan dalam “Membaca” al-Qur`an Sketsa epistemologis di atas mengesankan bahwa betapa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an.[35] Metode dan pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Tentu saja, ini berawal dari pertemuan Syahrur dengan Ja`far Dik al-Bab yang kemudian memperkenalkan formulasi lingusitik Abu `Ali al-Farisi.[36] Dalam formulasi ini, terangkum dua dasar teoretis dari dua soko-guru utama: 1. Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan 2. Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala`il al-I`jaz. Linguistik Ibn Jinni didasarkan atas teori-teori: a. Adanya struktur bahasa atau kalimat, termasuk suara sebagai sumber bahasa, b. Bahasa tidak tercipta dalam satu waktu melainkan berkembang secara evolutif, c. Bahasa senantiasa mengikuti sistematika atau aturan strukturnya, dan d. Perpautan antara bahasa, suara, dengan kondisi psikologis penggunanya.[37] Sedang teori-teori linguistik dari Imam Jurjani, antara lain: a. Struktur bahasa dan fungsi transmisinya, dan b. Keterkaitan antara bahasa dengan pemikiran.[38] Bila kedua akumulasi teori ini dikombinasikan, hasilnya adalah: a. Bahasa mempunyai struktur, b. Bahasa merupakan penampakan fenomena sosial, dan c. Keterkaitan antara bahasa dan pemikiran.[39] Tetapi, formulasi linguistik seperti ini semata belum cukup bagi Syahrur untuk menopang pemikirannya dalam mengkaji teks-teks al-Qur`an. Karena itu, sebagaimana juga memperoleh dukungan dari Mu`jam Maqayis al-Lughah-nya al-Farisi, yang notabene adalah teori yang berasal dari al-Farisi sendiri yang diajarkan oleh gurunya Tsa`lab,[40] Syahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif).[41] Dari situlah kemudian Syahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya, yaitu:[42] 1. Dalam bahasa tidak ada sinonim, bahkan boleh jadi dalam satu kata memiliki makna yang banyak. Apa yang yang selama ini diyakini sebagai sinonim tidak lebih dari sebuah kepalsuan atau muslihat (khud`ah).[43] 2. Kata adalah ekspresi dari makna3. Yang paling penting dari bahasa adalah makna. 4. Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif. Dengan dasar metodologis seperti ini, Syahrur lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur`an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil: 4 (…Dan bacalah al-Qur`an itu secara tartil).[44] Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah),[45] tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya “barisan pada urutan tertentu”, ditafsirkan Syahrur dengan “mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”.[46] Metode ini bagi Syahrur, perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur`an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan. Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu, dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Syahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis.[47] Semantik adalah “ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik”. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang.[48] Semantik Syahrur, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri. Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.[49] Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Syahrur kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.[50] Kerangka Teori Dengan kerangka metodologis Syahrur tersebut di atas, Syahrur memformulasikan teori baru dalam membaca al-Qur`an. Sebelumnya perlu dikemukakan dahulu konsepsinya tentang peristilahan di seputar al-Qur`an itu sendiri. Al-Qur`an, pada umumnya didefinisikan sebagai “Kalam Allah yang bermukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah”.[51] Al-Qur`an dipahami memiliki beberapa nama yang sesuai dengan `watak` yang dibawakannya. Umpamanya, disebut al-Qur`an lantaran ia adalah bacaan yang mulia; dinamakan al-Furqan karena fungsinya adalah sebagai pembeda (benar-salah, kafir-mukmin, dll.);[52] dan disebut al-Kitab karena merupakan kumpulan huruf-huruf yang memuat banyak hal (kisah, berita, hukum, dan lainnya).[53] Terhadap formulasi-formulasi seperti ini, Syahrur mempunyai konsepsi yang sama sekali berbeda. Bagi Syahrur, term al-Qur`an, al-Kitab, al-Furqan, al-Zikr, dan istilah lainnya memiliki arti sendiri-sendiri. Mushaf Usmani yang selama ini populer dengan sebutan al-Qur`an, oleh Syahrur disebut dengan al-Kitab. Term al-Kitab berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa hal satu sama lain dengan tujuan untuk memperoleh satu makna yang berfaedah atau untuk memperoleh satu topik tertentu guna mendapatkan satu pemahaman yang sempurna.[54] Bila muncul dalam bentuk ma`rifah (al-Kitab), berarti “kumpulan dari berbagai topik yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw dalam bentuk teks (nash), dan ayat-ayat mushaf yang tersusun dalam kumpulan itu dari awal surah al-Fatihah hingga akhir surah al-Nas.[55] Sedangkan al-Qur`an hanya merupakan bagian dari mushaf,[56] yang merupakan kumpulan sistem peraturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan.[57] Adapun al-Zikr adalah proses terjadinya al-Qur`an (dari Lauh Mahfudz) ke bentuk bahasa manusia yang diucapkan dalam bahasa Arab,[58] sedang al-Furqan adalah Sepuluh Perintah (The Ten Commandments).[59] Definisi-defenisi seperti ini diperoleh setelah Syahrur melakukan kajian semantik dengan analisa paradigmo-sintagmatisnya. Dalam membaca al-Qur`an (al-Qur`an dalam pengertian umum) tersebut, Syahrur membedakan antara realitas obyektif (al-haqiqah al-maudhu`i) dan realitas subyektif (al-haqiqah al-dzatiyyah). Realitas obyektif adalah hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia sehingga harus diterima begitu saja tanpa bisa dibantah dan dirubah, sedangkan realitas subyektif adalah hal-hal yang bersifat memberikan alternasi-alternasi. Dalam kaitan ini, Syahrur membedakan antara al-Qur`an dan umm al-Kitab. Al-Qur`an berusaha untuk membedakan yang haq dan bathil sedangkan umm al-Kitab berusaha untuk membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan demikian, al-Qur`an bersifat obyektif, sedangkan umm al-Kitab bersifat subyektif.[60] Al-Qur`an dalam pemahaman Syahrur direpresentasikan oleh al-nubuwwah, sementara umm al-Kitab direpresentasikan oleh al-risalah. Konsep al-nubuwwah, dengan demikian, berusaha untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, sedangkan al-risalah berupaya untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, sebab ia hanyalah merupakan norma-norma perilaku yang boleh dikerjakan atau juga ditinggalkan. Syahrur dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh epistemologi pengetahuannya yang realistik-empirik; bahwa realitas obyektif dan seluruh tatanannya merupakan realitas yang berada di luar kesadaran dan kemampuan manusia. Matahari adalah realitas, diterima atau pun tidak, diketahui atau pun tidak, sehingga dikatakan bahwa realitas matahari adalah sesuatu yang haq. Demikian pula halnya dengan kematian, hari kiamat, dan kebangkitan, dan hal-hal obyektif lainnya. Al-Qur`an juga adalah realitas obyektif yang berada di luar kesadaran manusia. Ada pun cara untuk mengetahui realitas obyektif ini menurut Syahrur, adalah dengan mengikuti kaidah-kaidah pembahasan ilmiah obyektif, terutama, filsafat, kosmologi, fisika, kimia, biologi, sejarah, dan ilmu-ilmu obyektif serta ilmu alam yang lain. Sementara al-risalah, bagi Syahrur, adalah bersifat subyektif, dalam arti bahwa manusia masih berhak dan mampu untuk melakukan pilihan. Umpamanya, perintah agar melakukan shalat, zakat, dan haji, masih memunculkan kemungkinan untuk memilihnya, bisa diterima atau malah dilanggar. Sehingga demikian ini tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang haq, yang berarti ia bersifat subyektif.[61] Dalam kerangka teoretik seperti itulah Syahrur lalu membedakan kedudukan antara Muhammad sebagai seorang nabi yang membawa konsep nubuwwah dan Muhammad sebagai musyarri` yang membawa konsep risalah. REALITAS OBYEKTIF Al-Qur`an Nubuwwah Muhammad ---------> Nabi REALITAS SUBYEKTIF Umm al-Kitab Risalah Muhammad ---------> Musyarri` Dalam kaitan kepatuhan kepada seorang Muhammad saw., Syahrur memisahkan perbuatan-perbuatan yang menjadi pembebanan dari yang bukan merupakan pembebanan terhadap manusia. Sehingga menurutnya, kita harus mengikuti Muhammad dalam kaitannya sebagai suri tauladan (`uswah`) dalam menerapkan doktrin-doktrin ketuhanan yang sesuai dengan kondisinya ketika itu (sunnah). Sebaliknya, kita tidak harus mengikuti tradisi oral maupun tindakan-tindakannya yang sosiologis yang terangkum dalam “hadis”, sebab Muhammad hanyalah varian sejarah pertama mengenai bagaimana aturan-aturan Tuhan dapat diterapkan dalam masyarakat Arab ketika itu, dan kita tidak harus membuat pilihan yang sama dengan pilihan yang dilakukan oleh Muhammad,[62] sebab kita adalah bagian dari varian sejarah tertentu yang secara kondisional berbeda.

Paradigma Islam Kiri

oleh: Hassan Hanafi
Al-Yasar al-Islami (”Islam Kiri”) adalah penerus al-’Urwah al-Wutsqa danal-Manar. Tujuan utamanya, menyajikan tulisan-tulisan keislaman seperti dipahami al-Afghani, tulisan-tulisan sekitar perjuangan menentang kolonialisme dan keterbelakangan, yang menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, penyatuan kaum Muslim dalam blok geografis Islam di mana pun.
Al-’Urwah al-Wutsqa diperuntukkan bagi kaum intelektual, bukan massa Muslim,dan menyerukan solidaritas keagamaan yang mendalam. Padahal,masyarakat kita terbagi ke dalam dua kelompok: penguasa dan yang dikuasai. Ini tragedi.
“Islam Kiri” diperuntukkan bagi kelompok yang dikuasai dan diharapkan akan menciptakan persamaan dengan merebut hak-hak mereka dari kelompok yang berkuasa. The New Minaret bisa juga dipilih sebagai nama jurnal ini.
Tapi hanya kelompok reformis yang akrab dengan nama ini. Semangat revolusioner yang dibawa al-Afgani hilang dalam Minaret (al-Manar) lama. Nama-nama lain juga dapat dipilih: Kemunculan Islam, Kebangkitan Islam, Persoalan-Persoalan Islam, Islam Kontemporer, Petunjuk, dan lain-lain. Tapi nama-nama itu tidak dapat menjelaskan apa yang hendak dilakaukan “Islam Kiri”. Nama Kemajuan Islam dan Gerakan Islam jelas mengandung dimensi revolusi, tapi hanya menekankan aspek ideologis. Walaupun revolusi keyakinan atau syari’ah tidak banyak mengandung konsep-konsep yang terkandung dalam ide revolusi Barat, dan walaupun ia sesuai dengan tujuan penyatuan bangsa dengan jalan Islam dan revolusi, ia tidak bicara tentang akal dan tidak dibatasi oleh intelek.
Nama “Islam Kiri” dipilih secara spontan. Kiri dalam ilmu politik berarti perlawanan dan kritisisme. Ia juga masuk ke dalam terminologi ilmu tentang manusia. Ia merupakan terminologi akademis. Juga, nama “Islam Kiri” sesuai dengan realitas kaum Muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok. Dan “Islam Kiri” memihak pada kelompok yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir. Maka “Islam Kiri” menyajikan “Kiri” dalam konotasinya yang akademis.
Argumen yang menentang ide “Islam Kiri” mungkin datang dari “Saudara-saudara se-iman” (Brothers in Goa) Mereka akan mengatakan: “Tidak ada Kanan atau pun Kiri dalam Islam.” Pandangan ini mengacu pada prinsip, bukan pada realitas kaum Muslim sebagai masyarakat, negara, dan kelas. Kita tidak bicara tentang Islam, tapi tentang kaum Muslim dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, kita ada dan terlibat dalam pertentangan antara kekuatan-kekuatan dan perbedaan-perbedaan kepentingan.
Kiri dan Kanan ada pada tingkat sosial dan historis itu. Dalam tradisi intelektual Islam, memilih mengikuti Kiri atau Kanan ditentukan oleh pengetahuan tentang ilmu pengetahuan (filsafat ilmu): Mu’tazilah adalah Kiri, Asy’ariyah adalah Kanan dalam teolog, Islam intelektual natural seperti yang dikemukakan Ibn Rusyd adalah Kiri, filsafat iluminasi seperti yang anut al-Farabi dan Ibn Sina adalah Kanan; mazhab hukum Islam Maliki yang bersandar pada kesejahteraan adalah Kiri, mazhab Hanafi adalah Kanan. Tafsir dengan ‘aql adalah Kiri, sedangkan dengan naql adalah Kanan. Dalam sejarah politik, Ali dan Husein adalah Kiri, keluarga Mu’awiyah dan Yazid adalah Kanan. Para propagandis yang ingin mempertahankan kelangsungan pengusa politik, ekonomi, dan realitas sistem kelas akan mengatakan bahwa “Islam Kiri” merupakan permainan yang akan memecah-belah umat dan mengarah pada pemihakan pada satu kelompok. Di sini Kiri dipandang sebagai pengingkaran terhadap agama, ateis, dan pemecah-belah.
Ini salah satu dari sisa-sisa budaya penguasa kolonial yang menjinakkan kaum Muslim agar mereka tidak mendekati liberalisme, demokrasi, dan perjuangan, termasuk ide-ide Kiri. Kiri di sini adalah keamanan yang membuat gerakan massa dan gerakan sosial aman, dan ia menyerukan dihentikannya eksploitasi massa oleh kekuatan dari luar, dan menyerukan pembebasan dari penguasa kolonial. Menjelaskan pengertian “Islam Kiri” ini penting untuk melindungi budaya nasional kita. Dalam sejarah, banyak gerakan pemikiran dikaitkan dengan nama tertentu, dan suatu pemikiran terkait erat dengan nama itu.
Kita membutuhkan slogan, dan dapat mengambilnya dari sebuah ayat al-Qur’an yang sangat memihak pada massa Muslim. Beberapa di antaranya menjadi slogan Revolusi Islam di Iran. Kita membutuhkan slogan yang mampu menggugah perasaan kita, bahwa masyarakat Islam kita telah bergeser dan berubah menjadi saudara kolonialisme dan keterbelakangan. Dulu kita pernah menjadi pencipta peradaban dan guru umat manusia. Tapi sekarang pikiran kita ditekan rata dengan bumi. Karena itu kita memilih ayat ini: “Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas di muka bumi, dan hendak menjadikan mereka pernimpin dan menjadikan mereka yang mewarisi bumi.” (QS. 28:5).
Penindasan di bumi adalah penggerak revolusi kita. Mewarisi bumi dan pemimpin umat manusia adalah harapan dan cita-cita kita.
Akal dan Waktu
“Islam Kiri” muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam masyarakat kita. Pertama, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan yang mentransformasikan Islam ke dalam ritus keagamaan yang menekankan akhirat, dan sebaliknya, realitas Islam bertentangan dengan sistem Islam. “Islam ritualistik” tidak lain daripada selubung yang menyatukan kaum Westernis, feodalis dan kapitalis kesukuan. Karena pandangan ilahiah dan konsep pusat-piramidal alam tunduk pada kecenderungan- kecenderungan ini, maka pandangan humanistik, konsep sejarah dan gerakan sosial hilang. Kedua, kecenderungan-kecenderungan liberal yang dominan sebelum revolusi Arab secara kultural berasal dari Barat, walaupun mereka menganggap imperialisme sebagai musuh.
Maka kita merasakan apa yang dikenal sebagai Westernisasi budaya, dan kita menjadi korban kepentingan dan monopoli ekonomi. Ketiga, kecenderungan-kecenderungan Marxis-Barat ingin membangun suatu kemapanan yang menentang imperialisme. Tapi mereka tidak bisa mengembangkan khazanah keislaman kita. Bahkan ada tanda-tanda yang menunjukkan, ia berlawanan dengan massa Muslim. Yang paling penting dari gejala- gejala ini adalah tetap berkuasanya status quo. Keempat, ada gejala-gejala revolusi-nasional yang menimbulkan perubahan mendasar dalam struktur sosial-budaya kita, namun tidak melibatkan kesadaran massa Muslim.
Munculnya “Islam Kiri” adalah untuk merealisasikan tujuan revolusi nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis yang bersandar pada kesadaran masyarakat Muslim dan khazanah komunitas Islam secara keseluruhan. “Islam Kiri” juga sangat dipengaruh Revolusi Islam Iran, yang mengejutkan seluruh dunia. Revolusi ini nampaknya menjadi model revolusi lain, selain revolusi Perancis dan revolusi kaum Bolshevik (Rusia). Ia menjadi model bagi revolusi orang-orang yang beriman. “Islam Kiri” juga mempunyai akar-akarnya dalam gerakan-gerakan Islam di Asia dan revolusi Aliazair, di mana Islam semakin kuat sebagai tradisi nasional untuk menggerakkan masyarakat Muslim. “Islam Kiri” adalah pejuang baru bagi Islam dan benteng yang kokoh bagi kaum Muslim.
Ia berjuang melawan serangan gencar kolonialisme, yang berusaha menghancurkan revolusi kaum Muslim. Tapi “Islam Kiri” menghancurkan mereka sebelum mereka melumpuhkan Islam. Sekarang, revolusi Islam hadir sebagai revolusi yang paling mengancam super power. Kaum Muslim di Rusia, Cina, dan Asia Tenggara sekarang bergerak. Ketika kolonialisme merasakan kekuatan revolusi Islam, ia berusaha mendekati revolusi ini. Tapi pemimpin gereja di Asia Tenggara menyerukan agar menghormati kaum Muslim dan mendukung revolusi. Revolusi ini akan menjadi kekuatan nyata yang melawan super power.
“Islam Kiri” adalah ideologi revolusi kaum Muslim.
“Islam Kiri” juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan kita yang telah kita mulai kira-kira 200 tahun lalu. Ini bukan hanya kekuatan pada tingkat konfrontasi melawan bahaya-bahaya abad ini, tapi juga pada tingkat rekonstruksi pemikiran keagamaan reformis. Di sini pemikiran keagamaan kembali dibentuk, sejak filsafat Ibn Rusyd, teologi Mu’tazilah, landasan hukum Islam Syathibi, sejarah Ibn Khaldun, dan hukum Islam Ibn Taymiyah. Kita telah mengambil jarak dari Asy’ariyah, yang bergandengan dengan sufisme, yang menjadi dasar pandangan dunia kita selama ini, basis kekuatan yang melestarikan penguasa, perilaku fatalistik pada sebagian kaum Muslim, yang hanya menunggu bantuan dan insiprasi dari langit, yang mengabaikan kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri.
Kita mendekati Mu’tazilah yang oleh Muhammad Abduh dihadirkan sebagai kekuatan akal untuk mengetahui dan bertindak. Manusia menjadi makhluk yang mampu berpikir dengan akalnya, dan mampu bertindak sesuai dengan kehendaknya. Kita mengikuti upaya-upaya al-Kawakibi yang merintis penyelidikan hakikat despotisme untuk membebaskan kaum Muslim. Kita juga mengikuti usaha Muhammad Iqbal yang mencoba menyelidik esensi agar setiap Muslim mampu menjadi manusia yang merdeka, mengeritik peradaban Barat, dan mencoba menanggulangi kehidupan dan aktivitas kaum Muslim demi tauhid. Iqbal mengatakan dalam syairnya:
Tauhid pernah menjadi kekuatan hidup di bumi
Ia kemudian menjadi teologi skolastik
Kebodohan kita sekarang, situasi kita Membuat tauhid bodoh dalam realitas
O, jendral! Kau lihat sarung pedang
Yang menjadi Tuhan pedang
Syeikh tidak tahu bahwa tauhid dipikirkan
Lalu pembicaraan bodoh tanpa tindakkan
O, Imam yang mengikat bagaimana kau mengetahui
Apa esensi pemimpin umat manusia
“Islam Kiri” juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali Syari’ati, dan pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini. Ia juga terkait dengan gerakan-gerakan yang bermacam-macam di Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dll. “Islam Kiri” menggalang revolusi melawan imperialisme dan keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner sekarang, dan merumuskan teorinya.
“Islam Kiri” terlibat di zaman ini, dan mengupayakan transformasi kaum Muslim dari keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke pembebasan, dari penyalahgunaan ke kekuasaan masyarakat Muslim yangs sejahtera, dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas menengah ke sosialisme masyarakat Muslim, ummah, dan dari penguasaan ke kebebasan dan demokrasi. Ini merupakan partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi Islam di Iran, dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya. Kalau kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan menguasai dunia. Pada waktu itu Tuhan akan menjadikan mereka pemimpin dan ahli waris dunia. Akan ada pembaru pada abad ke-15 H., seperti yang diungkapkan Hadits: “Tuhan mengutus seorang manusia yang memperbarui agama sebap awal abad.”
Menghidupkan Kembali Khazanah Klasik
Khazanah kita mengandung tiga macam ilmu: ilmu-ilmu rasional-tradisional seperti dasar-dasar agama, yakni ushul al-fiqh, filsafat dan sufisme; ilmu-ilmu rasional seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi; ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits, sirah (biografi nabi), fiqih, dan tafsir. “Islam Kiri” mengambil, menghidupkan dan mengembangkan kembali bagian yang revolusioner dari ilmu-ilmu ini. “Islam Kiri” sejalan dengan Mu’tazilah yang menghadirkan revolusi akal, dunia alam, dan kebebasan manusia. Ia menjelaskan bahwa tauhid lebih dekat ke prinsip-prinsip pemikiran murni ketimbang kehidupan yang terbatas; tanzih (transendensi) dipandang lebih mengungkapkan hakikat akal daripada tasybih (antropomorfisme); tauhid antara esensi dan sifat dipandang lebih dekat pada keadilan daripada perbedaan antara keduanya; individu dipandang punya kebebasan bertanggungjawab, pemilik tindakannya; akal diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dua sifat dalam perbuatan manusia; dunia dipandang bergerak menuju suatu tujuan sesuai dengan hukum dunia yang paling mungkin; iman dipandang terkait dengan tindakkan; pemimpin kaum Muslim harus dipilih; dan menyuruh pada kebaikan dan menjauhi kemungkaran adalah kewajiban kaum Muslim.
“Islam Kiri” menerima lima prinsip Mu’tazilah, dan berusaha menghidupkan kembali warisan Mu’tazilah. Dengan demikian “Islam Kiri” mengikuti Mu’tazilah sejak al-Ghazali menyerang ilmu-ilmu rasional dan mengunggulkan sufisme, serta mengaitkan Asy’ariyah dengan sufisme. Kita menerima Mu’tazilah yang menyerukan rasionalisme dan kebebasan, supermasi demokrasi dan alam. Kita juga menerima prinsip Khawarij, yang meyakini bahwa perbuatan merupakan cermin iman, dan karena itu menuntut agar kaum Muslim bertindak. Kita juga menerima Syi’ah, tapi dengan semangat baru, yang –setelah mewujudkan Revolusi Islam yang Agung di Iran– mengurangi jarak antara Sunni dan Syi’ah dengan mencampakkan kredo bid’ah lama dalam Syi’ah. Asy’ariah bertanggungjawab atas keadaan kita selama sembilan abad.
Ia membuat pemikiran keagamaan kita menjadi berat sebelah seperti ditunjukkan penguasa politik. Setiap upaya yang menyimpang dari pemikiran Asy’ariyah dianggap perlawanan terhadap kemapanan, murtad dan penghianatan. “Islam Kiri” juga punya hubungan dengan pengikut naturalisme seperti al-Jahiz, al-Nizham, dll. Mereka menyerukan agar kita kembali ke alam, mengakui hukum alam, dan memandang sifat-sifat alam sebagai tidak terpisah dari esensinya. Selama kita menolak alam, kita sebenarnya menunggu keajaiban atau mukjizat, kita mencari sesuatu yang luar biasa. “Islam Kiri” secara fundamental mengikuti Mu’tazilah, bukan campuran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Dalam filsafat hukum Islam, “Islam Kiri” bukanlah aliran baru. Ia tetap bersandar pada aliran pemikiran fiqh klasik, namun secara selektif. “Islam Kiri” tidak mengikuti mazhab Hanafi, Syafi’i, atau Hambali. Walaupun ia tidak mendeskriminasikan mazhab-mazhab fqih antara yang satu dengan yang lainnya, ia menyerukan agar kaum Muslim menghidupkan kembali landasan Islam klasik.
Karena pendahulu kita melakukan ijtihad, kita pun melakukannya. Mereka manusia, seperti kita. Apa yang kita pertahankan adalah prinsip kesejahteraan kaum Muslim sesuai dengan yang dianut mazhab Maliki. Kita menerima pentingnya peran akal seperti dalam fiqih yang dikembangkan Abu Hanifah. Kita menerima kesatuan akal dan realitas seperti dalam fiqih yang dikembangkan mazhab Syafi’i. Kita juga mengikuti prinsip perlunya kembali pada sumber pertama seperti ditekankan Ahmad ibn Hambal, di mana kita menemukan spontanitas akal dan suatu pandangan tentang realitas dalam teks.
Tugas “Islam Kiri” adalah merekonstruksi semua teori hukum tradisional itu. Ijma’ masing-masing zaman hanya berlaku bagi zaman itu. Ijtihad terbuka bagi setiap zaman. Kalau kita memandang hukum lebih penting dari realitas dalam memutuskan persoalan, itu berarti kita tidak menilai atas dasar kemaslahatan (kesejahteraan). Kemaslahatan adalah landasan ketiga hukum Islam. Kita melakukan ijtihad. Ini landasan keempat. Landasan pertamanya alQur’an:“Inilah Kitab Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar.” (QS. 45:29).
Sedangkan Sunnah adalah landasan kedua. Dalam filsafat, “Islam Kiri” mengikuti jalan Ibn Rusyd karena ia tidak menundukkan akal pada iluminasi, ian tidak menyerahkan kehendak hukum alam pada kekuatan-kekuatan dari luar alam. Filsafat klasik yang rasional ang mengabdi pada kesejahteraan manusia dimulai al-Kindi. Kemudian, kecenderungan -kecenederungan alamiah dan rasional muncul. Ini landasan rekonstruksi masyarakat. Sayangnya, filsafat ini telah menjadi iluminasi utopis, di mana akal dianggap perlu memperoleh bantuan dari langit untuk melahirkan pengetahuan praktis. Dunia xemudian dipandang terdiri dari dua bagian: dunia langit dan dunia yang berada di bawahnya. Yang pertama otoritatif terhadap yang kedua. Manusia juga dibagi dua: tubuh sementara yang terkait dengan alam, dan roh abadi yang terkait dengan hal yang Ilahi.
Penyatuan manusia dengan demikian kehilangan makrianya di dunia. Padahal, masalah kita adalah penyakit, perumahan, makanan, dll. Semua ini datang dari tubuh yang sementara. Di pihak lain, kemelempeman, kesenangan, dll., dipandang datang dari roh yang abadi. Kebajikan teoretis menjadi lebih tinggi nilainya dibandingkan kebajikan praktis, dan kontemplasi menjadi lebih bernilai dari pada aktivitas dan produksi. Karena sufisme Ibn Sina dan al-Farabi, filsafat kehilangan dirinya. Karena itu Ibn Rusyd muncul. Ia merestorasi posisi akal pada akal, dan independensi alam pada alam.
Ia menyerang ilmu-ilmu Asy’ariyah dan ilmu-ilmu sufi. Tapi kemunculan Ibn Rusyd hanya sebentar. Kesadaran peradaban kita tetap berat sebelah dan ditekan ke dalam satu pola. Kita masih menyerang ibn Rusyd sebagai orang yang tidak beriman. Di sini “Islam Kiri” menegaskan keterkaitannya dengan jalan rasional dalam filsafat Islam yang dimulai al-Kindi dan diikuti oleh Ibn Rusyd.
“Islam Kiri” menolak sufisme dan memandangnya sebagai musuh. Karena, salah satu penyebab Kemunduran kaum Muslim adalah pemujaan para sufi. Masalah ini telah ditelaah oleh Ibn Taimiyah, al-Kawakibi, dan Imam Khomeini. Sufisme lahir sebagai gerakan negatif menentang kemewahan, nafsu kekuasaan dan perjuangan dunia ini. Ketika dinasti Umayyah stabil, orang-orang saleh mengabaikan dunia ini. Mereka mencoba menyelamatkan roh, menjaga kcmurnian batin. Islam mereka ditransformasi dari gerakan horisontal dalam sejarah ke suatu gerakan vertikal di luar dunia, menjadi tujuan di luar sejarah, meskipun mereka berada dalam sejarah. Islam menjadi suatu kebenaran menurut pengikut kredo itu, walaupun syari’ah diimplementasikan oleh semua Muslim.
Jalan sufisme dibagi ke dalam tiga tahap: (1) memandang alam secara negatif dengan menahanan nafsu dan keinginan; (2) tahap di mana perjuangan lahir mentransformasi perjuangan batin, membuat individu berada di antara dua keadaan seperti kecemasan dan harapan, kesadaran dan ketidaksadaran, tiada dan ada; dan (3) peleburaan diri dan kesatuan dengan Tuhan melalui fantasi dan ilusi. Inilah titik puncak jalan sufisme. Sampai di sini, para sufi berperilaku seolah-olah kemenangan telah diraih, keadaan Islami telah terbentuk.
Padahal, dunia belum berubah. Keadaan kita sekarang sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan para sugi. Keselamatan roh tanpa keselamatan dunia adalah kegagalan dan pelarian. Karena itu kaum Muslim sekarang terlibat dalam gerakan sejarah bagi perjuangan rakyat. Kita menderita karena nafsu, takut dan kelaparan. Sabar menyebabkan kita diam dalam sega-galanya, dan keyakinan menyebabkan kita mengabaikan rencana-rencana dan persiapan-persiapan masa depan. Karena peleburan diri (fana) dan kesatuan dengan Tuhan, kita dibawa ke alam fantasi. Kita hidup dalam dunia harapan dan mimpi, dan mengkhayalkan seolah-olah kita semua sungguh-sungguh masyarakat terbaik di bumi. Padahal kenyataannya bertolak belakang. Kita tidak menyuruh mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk untuk menjadi masyarakat terbaik. Kita adalah masyarakat yang tanahnya dimiliki oleh orang-orang asing, dan kekayaan masyarakat kita dirampas raja-raja dan para pemimpin. Peleburan diri adalah pemusnahan ke titik pengorbanan diri, dan sekarang hampir merupakan tindakan sia-sia. Padahal, bersatu dengan Tuhan adalah menerima syari’ah Tuhan, hukum Tuhan, dan transformasi wahyu ke dalam sistem demi dunia dengan aksi dan usaha keras, dan dengan gerakan masyarakat Muslim dalam sejarah.
“Islam Kiri” juga menemukan sumbernya dalam ilmu-ilmu rasional murni dari khazanah klasik kita. Ilmu-ilmu ini lahir karena akal, transendensi mampu mendorong akal ke yang tidak terbatas. Pendahulu kita mampu menemukan banyak teori akademis dalam pisika, kimia, kedokteran, dll., berkat penghargaan terhadap alam dan kontinuitas hukum-hukumnya. “Islam Kiri” ingin mentransfernya ke suatu tahap agar kita tidak tetap budak penemuan-penemuan bangsa-bangsa lain. Ilmu harus bekerja atas dasar akal dan pengamatan terhadap alam, bukan mentransformasi hasil ilmu dan penerapan hukum-hukumnya dari situasi ke situasi yang lain. “Islam Kiri” berakar dalam keyakinan dan ide ilmu-ilmu manusia yang ditemukan pendahulu kita.
Tapi kita masih mengulang apa yang dikatakan para pendahulu kita, tanpa mengetahui landasan dan struktur teoretis ilmu-ilmu itu. Kalau kita mencoba mempelajari tahap-tahap sejarah, maka kita akan menciptakan suatu hukum sejarah baru yang berbeda dari yang dikemukakan Ibn Khaldun –yang menggambarkan empat tahap sejarah: lahir, berkembang, matang, dan runtuh. Ibn Khaldun hidup di penghujung revolusi pertama bangsa-bangsa Islam. Kita hidup di awal revolusi Islam kedua. Tugas kita adalah mentransformasikan reformasi keagamaan ke renaisans peradaban secara menyeluruh, dan mendorong bangsa-bangsa Islam agar menentukan nasib mereka sendiri dan mereka menjadi bagian gerakan sejarah.
“Islam Kiri” juga punya akar dalam ilmu-ilmu tradisional, dan menemukan makna kontemporer di dalamnya. Ia mampu mengembangkan ilmu sejarah, ideologi dan sistem ekonomi politik. Dalam hubungannya dengan ilmu Hadits, “Islam Kiri” lebih memberikan prioritas pada matan dari pada sanad. Kita mampu melampaui pendahulu kita dalam kritik matan, sehingga sesuai dengan akal, spontanitas, kemajuan adat dan pandangan kita. Para pendahulu kita menciptakan kribk lahir, kita mampu menciptakan kribik babn. Pentng bagi kita memberikan prioritas terhadap makna Hadits daripada pribadi rawi-nya; lebih penting bagi kita untuk memberikan prioritas pada sabda Rasul ketimbang pribadinya. Mengenai tafsir, “Islam Kiri” melampaui tafsir historis atas al-Qur’an.
Kita mengemukakan tafsir persepsional yang membuat al-Qur’an mendeskripsikan manusia. Hubungan antara manusia terkait dengan manusia lain, dan situasi manusia adalah di dunia. Tafsir persepsional meletakan masyarakat dalam tatanan dan mengkonsolidasi landasan negara. Kita mengikuti tafsir Imam Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an. Kita menggabungkan tafsir objektif dengan mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan satu tema; kemudian mengkonstruksi konsep manusia yang utuh, sistem sosial dan sifat dasar negara bagi dunia menurut Islam. Kita mendapatkan tafsir revolusioner dan mentransformasikan pengetahuan iman ke dalam ideologi revolusioner.
Kita menemukan hubungan antara Tuhan dan tanah dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti: “Dialah Tuhan di langit dan di bumi,” (OS. 43:84). Dengan landasan ini kita harus membebaskan tanah kaum Muslim atas nama Tuhan dari pendudukan Zionisme yang bersandar pada pandangan keagamaan (Yahudi), di mana manusia dan Tuhan menyatu dalam “tanah yang dijanjikan.” Kita menemukan hubungan antara tauhid, kesatuan ummah dan kenabian dalam gerakan sejarah, yakni hubungan antara manusia dan sejarah, revolusi dan tanah, gerakan dan nasib agar tidak ada orang yang menyalahkan kepasifan dan keterbelakangan kita, dan tak ada orang yang membawa peradabannya menjadi peradaban manusia satu-satunya.
Hakim kita bukan hakim tentang menstruasi seperti yang disindir Imam Khomeini. Tapi kita berkepentingan dengan regulasi perdagangan, jihad, perang dan sistem sosial-ekonomi-politik. Kita menginginkan tatanan Islam mengenai masalah itu. Kita ingin menyatakan posisi Islam dalam konfrontasinya dengan kolonialisme, Zionisme, kapitalisme dan keterbelakangan. Selama ini, kita memandang ritual seolah-olah ia tujuan. Maka, kita harus menafsirkan kembali ritus-ritus dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Ikrar bagi kita bukan hanya “tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah.” Ikrar adalah kesaksian atas kejadian zaman dan apa yang terjadi di sekitar kita. Ini mendorong ikrar yang aktif. Orang yang mempunyai ikrar yang aktif menjadi saksi mata atas ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas. Karena itu, pengakuan “kecuali Allah” dalam kesaksian kita berarti menghancurkan pendindas-penindas di dunia ini.
Ibadah harus membentuk persepsi. Zakat adalah kerjasama antara pemilik dan yang tidak memiliki kekayaan dalam tragedi minoritas yang kaya dan mayoritas yang miskin. Puasa harus menangkap penderitaan, rasa lapar dan haus orang lain. Haji adalah dialog mengenai masalah-masalah yang penting bagi kaum Muslim di seluruh dunia setahun sekali. Kaum Muslim adalah satu seperti halnya Tuhan.
“Islam Kiri” bukanlah manifestasi politik sebagaimana yang dikandung dalam arti kata Kiri. Ia merupakan manifestasi peradaban Islam. Ia menciptakan tempat bagi rasionalisme, alam, kebebasan dan demokrasi dalam khazanah kita, yang semua ini diperlukan bagi zaman kita. “Islam Kiri” menelaah dua dimensi yang hilang dalam khazanah klasik kita, yang menyebabkan krisis dalam kesadaran kontemporer kita, yakni manusia dan sejarah. Kita telah membungkus manusia dan menjauhkannya dalam wujud yang khusus dan hukum yang murni, yang hidup di akhirat, di luar dunia, yang hampa pikiran dan dunia yang kita alami.
Tantangan bagi Peradaban Barat
“Islam Kiri” tampil menentang peradaban Barat, dan berusaha untuk mengggantinya. Al-Afghani memusatkan perhatiannya pada imperialisme militer pada zaman penjajahan. “Islam Kiri” memusatkan perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni serangan terhadap kebudayaan kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga komunitas menjadi tidak berakar. “Islam Kiri” membela rakyat komunitas Islam, dan menentang westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat. Meskipun rakyat terbelakang dilihat dari standar Barat, mereka masih mempertahankan unsur-unsur kekuatannya dengan standar budaya mereka yang khusus.
Tugas “Islam Kiri” adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri.
Walaupun peradaban Barat mengembangkan kebudayaannya dengan mengambil dari kebudayaan bangsa-bangsa lain, ia telah mentransformasikannya ke dalam rasisme. Ini merupakan rasisme yang menjadikan satu-satunya model bagi peradaban. Model yang lain, dengan demikian, dicap terbelakang dan primitif, dan harws dihilangkan agar semua bangsa-bangsa mengikuti model peradaban satu-satunya ini (Barat). Barat mulai membangun peradabannya dari Yunani dengan mengenyampingkan semua peradaban Timur yang mendahului dan mempengaruhi peradaban Yunani. Zaman pertengahan Barat dianggap sebagai zaman kegelapan dan keterbelakangan, tapi merupakan zaman keemasan kita. Barat menyebut lima abad terakhir sebagai zaman modern, dan menganggapnya sebagai puncak peradaban. Zaman modern ini bagi kita merupakan periode stagnasi di mana pasangan Asy’ariyah dan sufisme menguasai kesadaran kita.
Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas “Islam Kiri” adalah mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan berviariasi.
Tugas “Islam Kiri” adalah mendorong peradaban Barat kembali ke Barat; menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh ia akan melahirkan suatu disiplin baru, “Orentalisme”, untuk menandingi “Oksidentalisme”. Orientalisme sendiri menghadirkan alam pikiran, pandangan dunia dan motivasi Barat yang terselubung ketimbang studi tentang objeknya.
Karena pengaruh para orientalis, kita telah mengabaikan pembela otentisitas kita. Tapi berkat akumulasi peradabannya, peradaban Islam kita dapat diklaim kembali. Ini dapat dipandang sebagai reformasi agama dan kebangkitan akal. Tapi apa yang mereka kaji dalam upaya-upaya humanistik mereka yang khusus bisa jadi Islam.
Studi peradaban Eropa sebagai objek khusus yang berdiri sendiri dapat dilakukan dari dua arah: perkembangannya dan strukturnya. Peradaban Islam adalah pusat melingkarnya ilmu-ilmu. Sementara peradaban Barat bersifat reaksioner dalam arti bahwa ia tertarik dengan ilmu-ilmu yang membentuk reaksi terhadap dan menolak pusatnya.
Kesadaran Barat dibentuk oleh dua sumber: Yunani-Romawi dan Yahudi-Kristen. Di samping itu ada sumber ketiga, yakni lingkungan Eropa yang geografis, manusiawi, dan beradab, yang mencakup kebiasaan, tradisi, hal-hal geografis dan yang secara keagamaan ada dalam bangsa dan tanah itu. Tugas kita adalah me!akukan studi atas sumber-sumber peradaban Timur seperti india, Cina, Persia, dan Mesir, subjek-subjek yang asal-usulnya disembunyikan Barat.
Memasuki perdebatan soal sumber-sumber atau asal-usul berarti menyajikan hakikat akumulasi peradaban pada kelahiran kesadaran Eropa di Romawi dan Yunani. Mengenai asal-usul Yahudi-Kristen, esensi agama Kristen dalam Injil dihapus, juga dalam Yahudi Ortodoks. Dengan demikian, karena sifat dasar bangsa-bangsa Eropa yang barbar, dan karena mereka lebih dekat dengan Romawi yang materialistik ketimbang Yunani yang rasional, maka asal-usul Yunani peradaban Eropa adalah Ortodoksi Romawi. Rasisme Yahudi secara historis telah merasuk ke dalam kesadaran Eropa. Dari sanalah rasisme peradaban dipersubur. Alkitab, dengan dua Perjanjiannya (Lama dan Baru), menjadi sumber kesadaran Eropa-Yahudi dan Kristen-Eropa. Unsur- unsur dari dua kesadaran itu telah menyatu pada pengorbanan bangsa-bangsa non-Eropa.
Dalam pemikiran Eropa-Kristen, kenabian disempurnakan dengan kedatangan Yesus Kristus. Sedang dalam kesadaran Eropa-Yahudi, kenabian disempurnakan dengan pendirian negara Zionis. Tugas kita adalah menyatakan adanya pengaruh dari kedua sumber ini terhadap peradaban Eropa. Kesadaran Eropa berusaha menguasai bangsa-bangsa dan merampas kekayaan umat Islam. Asal-usul Eropa yang ketiga mengandung sifat dasar yang barbar, berwatak materialistik dan sensasional, buas dan rasis. Konflik-konflik Eropa berubah menjadi peperangan kolonial. Kekuasaan dunia mencerminkan sumber yang ketiga. Ini menjadi sejarah agama dan esensinya terletak dalam peradaban
Barat. Ini adalah sejarah agama dan esensinya bagi semua peradaban yang lain. Peradaban Eropa berkembang dalam tiga tahap: zaman penolakan terhadap greja, zaman skolastik, dan zaman modern. Tahap yang pertama penting bagi kita karena teks-teks keagamaan, kredo agama Kristen, pemikiran tentang bangsa yang terpilih dalam Yudaisme, dll., dikritik. Tugas kita adalah melakukan studi atas periode ini untuk mengetahui kejadian-kejadian yang dibicarakan Islam. Studi mengenai hubungan antara agama baru dan filsafat Yunani- Romawi juga penting buat kita. Bagaimana peradaban kuno (filsafat Yunani-Romawi) menaklukan agama baru (Kristen)? Bagaimana ia memaksakan dirinya pada agama baru? Sebaliknya, Islam mengadopsi filsafat ini sebagai alat untuk reformasi yang tanpa wahyu kehilangan esensi dan kandungannya. Zaman skolastik di Barat merupakan zaman keemasan kita dalam revolusi peradaban kita yang pertama. (ni meliputi bagimana munculnya kesadaran Eropa lewat transfer filsafat dan ilmu-ilmu dari kita. Rasio Eropa dalam renaissans pada abad ke-14 diarahkan pada alam langsung, supaya ia bisa berdiri sendiri (lepas dari peradaban sebelumnya, peradaban Islam).
Kita masih mengikuti kecenderungan ini dalam dua abad terakhir. Pada abad ke-15 reformasi muncul. Ini merupakan zaman ketika kita mulai menemukan Islam kembali. Zaman kebangkitan terus berlalu sampai abad ke-17, dan para pemikir serta ilmuan mejadi martir ketika berjuang melawan dua otoritas: agama dan poliuik. Kesadaran Eropa berani mengarahkan dirinya pada manusia dan alam.
Kita belum memulainya secara terorganisir dan secara fundamental, walaupun kita punya keinginan menetapkan kebangkitan. Zaman modern mulai pada abad ke-17 di Barat. Ini merupakan zaman rasio. Rasio dan alam dapat menjadi sumber persepsi dalam kesadaran Eropa. Kesadaran Eropa menetapkan manusia sebagai pusat dunia. Ia mengikrarkan manusia murni, rasio, alam dan kebebasan. Manusia dipandang sebagai mahluk yang mempersepsi kebenaran, dan merealisasikan kebenaran dengan keinginannya sendiri. Maka, kesadaran Eropa secara otomatis mampu meneliti Islam. Pada abad ke-18, rasio ini berubah menjadi kekuatan bagi berlangsungnya revolusi sosial dan politik. Dengan demikian rasio mampu menguasai alam sampai pada abad ke-19, kemudian ilmu muncul. Dan akhirnya manusia muncul di abad ke-20, di mana krisis peradaban mulai teriadi. Kesadaran Eropa mulai menghancurkan apa yang dibangunnya, dan sekarang ia berada untuk menghancurkan dirinya.Walaupun rasionalisme Eropa menang, banyak celah yang memperlemah kemenangannya. Maka ia berubah menjadi objek-objek yang menentang dirinya dalam rasionalisme kontemporer. Pertama, rasionalisme mencurahkan perhatiannya pada bentuk tanpa isi. Akibatnya, muncul ekserimentalisme Eropa yang menentang rasionalisme tersebut, yang lebih menyukai isi daripada bentuk, materi daripada rasio. Kedua, rasionalisme berubah dari kritik fundamental ke penelokakan prinsip, kemudian ke pengancuran dirinya secara terus-menerus. Rasionalisme menjadi penghancur dirinya sendiri.
Ketiga, rasionalisme jatuh ke dalam transformasi yang rahasia dan iman ke tingkat rasio dan bukti. Kemudian, asosiasi ideal muncul atas nama gereja, dan keabsolutan atas nama Tuhan. Descartes dan Kant membawa Injil baru dengan agama Kristen yang rasional, ideal, dan etis. Keempat, rasionalisme memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, tubuh manusia Eropa. Ia mengikrarkan humanisme yang terbatas. Maka rasionalisme ini menolak rasio bangsa-bangsa non-Eropa. Kelima, rasionalisme Eropa belum menghasilkan jejak aktual apa pun, ia hanya mengubah politik secara formal. Pada hakikatnya bangsa-bangsa Eropa masih Romawi. Keenam, rasio berubah ke alam aktivitas bebas, kemudian ke datam kemapanan sistem liberal yang mendukung sistem kapitalis, yang pada gilirannya mengarah pada monopoli dan ublisasi.
Setelah proses ini, rasio menjadi hampa nilai. Eksperimentalisme Eropa tidak berlanjut, walau kemenangannya luar biasa besar. Ada beberapa alasan. Pertama, eksperimentalisme ini betul-betul menjadi eksperimentalisme yang sentmentil, di mana setiap yang terlihat adalah palsu. Kebenaran tidak terletak dalam rasio tapi dalam indera. Pengalaman bertentangan dengan rasio. Dengan demikian, walau kecenderungan komperhensif muncul, rasio Eropa mempunyai kecurigaan dan kedangkalan.
Kedua, eksperimentalisme mengubah teori murni dalam pengenalan ke dalam teori tentang watak nasional. Materi menjadi sumber nilai, dan kemudian hanya materi yang merupakan nilai. Ini materialisme Eropa. Ketiga, materialisme ini menyatakan watak natural bangsa-bangsa Eropa, akarnya terletak dalam sejarah suku Jerman dan Anglo-Saxon, yang tidak mempunyai lahan untuk tumbuhnya rasionalisme dan idealisme. Keempat, peperangan terjadi di antara bangsa-bangsa Eropa karena materi. Kelima, cinta pada materi berubah menjadi utilisasi yang dari luar, yang menyebabkan terjadinya kejahatan terbesar dalam sejarah manusia, yakni penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain. Keenam, rencana industri bangsa Eropa berakhir dengan kegagalan setelah krisis energi. Ini merupakan awal penguasaan mereka terhadap sumber-sumber alam dari bangsa-bangsa non-Eropa, dan awal terjadinya krisis nilai. Dan ini diakui dengan munculnya kelompok-kelompok penentang di masyarakat-masayarakat Eropa. Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, kisruh antara kecenderungan rasional dan eksperimental masih kacau. Juga ada krisis dalam perkembangan manusia Eropa yang membela kebebasan manusia dan manusia sebagai nilai dalam dirinya sendiri. Pertama, manusia Eropa adalah manusia intensional, bukan manusia rasional, dan ia rentan terhadap rangsangan dari luar, eksistensial dan dibentuk dari daging. Kedua, ia adalah manusia yang relatif dibatasi, yang berubah sesuai dengan perubahan lingkungannya. Ketiga, manusia Eropa adalah manusia individual dan egoistik, tidak sosial dan tidak altruistik.
Keempat, ideologi manusia Eropa tetap teoritis, tidak praktis. Ia menyatakan harapan kesadaran dan cita-cita Eropa yang mengagungkan kemanusiaan, tapi realitas Eropa didominasi sektarianisme dan tribilaisme. Kelima, manusia Eropa bersifat kebangsaan, dan masing-masing bangsa menyatakan dirinya mewakili manusia Eropa. Ada dua perang dunia dan dua perang Eropa. Keduanya berlangsung di antara bangsa-bangsa Eropa sendiri. Keenam, manusia, menurut pandangan Eropa, ternyata adalah ras pubh sesuai dengan bangsa-bangsa Eropa.
Bersamaan dengan itu, bangsa-bangsa non-Eropa menghadirkan model yang lain bagi humanisme yang mengarah pada pembebasan dan keadilan. Dengan demikian ia menghadirkan jenis humanitas menyeluruh yang baru. Kesadaran Eropa terletak pada cogito Descartes, dan ujungnya adalah pada cogito Husserl. Kedua, kesadaran Eropa mencoba segalanya, dan ia mencampakan setiap kewajiban. Situasinya tidak stabil. Ketiga, ia kehilangan pusat konsentrasinya, karena itu tidak mungkin mengarahkan dirinya ke pusat.
Keempat, ia menolak segala sesuatu setelah diuji dan dibantah. Akhirnya, nihilisme total. Kelima, kesadaran Eropa menangkap angin Timur, ia menyadari dan tergugah dengan Islam setelah Revolusi Islam yang Agung di Iran. Bangsa-bangsa non Barat menjadi pelahir kesadaran baru yang mewariskan sesuatu yang paling agung yang membosankan kesadaran Eropa, yakni “Filsafat Pencerahan”. Keenam, sebaliknya, kesadaran Eropa telah mencapai ujungnya, dan merasakan krisis nilai, krisis dalam sistem sosial dan ilmu-ilmu kemanusiannya. Filosof Barat mulai menyatakan kejatuhan Barat, pembalikan nilai-nilai, kehampaan pikiran, keilahan materi dan nihilisme absolut.
Kita mengawali hidup baru yang kita sebut reformasi, renaissans, pencerahan, perubahan sosial dan revolusi. Kita secara praktis mernpertahankan kemerdekaan nasional dan kebebasan bangsa-bangsa, dan kita membentuk ideologi-ideologi non-blok dan pembebasan. Jika ada penjelasan dalam kesadaran Eropa dalam lima abad terakhir, kita akan menggalinya. Peradaban akan kembali ke Timur, dan peradaban Islam akan menemukan tugasnyadiTimur. Karena kesadaran Eropa memulai revolusinya pada abad ke-15 dan sampai ke penghujung abad ke-20, kita akan memulai revolusi kita dari abad ke-15 H. sampai tujuh abad kemudian. Tugas kita adalah menyempurnakan reformasi keagamaan dan meneruskan renaissans bagi zaman baru kita yang akan datang. Generasi mendatang kita akan membentuk ilmu. Ini tidak berarti meniru Barat, namun kita mencoba merealisasikan tahap yang lainnya yang belum kita capai.
“Islam Kiri” bukan hanya pandangan politik tentang realitas, tapi juga pandangan budaya tentang sejarah bangsa-bangsa. “Islam Kiri” tidak bersandar pada cara-cara bicara atau pengungkapan, melainkan mencari metode analisis yang sangat akademik dan ilmiah.
Realitas Dunia Islam
“Islam Kiri” memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu metode bimbingan atau nasehat. Realitas menampakan dirinya, seperti statistik. Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas.
Pertama, teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik tentang realitas; maka ia tidak menjadi bukb tanpa kembali ke landasannya dalam realitas. Kedua, teks mensaratkan iman terhadapnya, masalahnya siapa yang beriman pada teks itu. Ketiga, teks terletak pada otoritas kitab, bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah bukti. Keempat, teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas. Kelima, teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang benar bagi suatu teks tanpa sauh ini. Keenam, teks bersifat sepihak (unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain. Ketujuh, teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan. Kedelapan, kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas teks. Kesembilan, teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan. Kesepuluh, metode teks lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai ummah. Akhirnya, metode teks memberikan pernyataan, tapi bukan kuantitas. Metode “Islam Kiri” mendefinisikan kuantitas dengan statistik sehingga realitas bicara sendiri.
Kita menggunakan angka-angka untuk menyebarkan kekayaan kaum Muslim kepada rakyat komunitas Muslim (ummah). Kita sarjana tentang masyarakat, ekonomi, sejarah, dan hukum, yang tidak hanya bersandar pada teks tradisional. Kita hakim dalam pengertian klasik; para hakim klasik mengetahui realitas dan menghukuminya. Kita tradisionalis tapi untuk zaman sekarang; apa yang kita asumsikan adalah tugas generasi ini, bukan seluruh generasi. Dengan demikian kita te tarik dengan semangat zaman, dan tertarik dengan ungkapan populer, biografi para pejuang, nyanyian rakyat, dll, karena semua itu merupakan bagian dari sumber nilai. Dari sini kita mendefinisikan pandangan dunia mereka dan melukiskan struktur-struktur pikiran mereka. Tujuan studi ini adalah mempertahankan kaum Muslim dan memurnikan Islam dalam pikiran mereka.
“Islam Kiri” mengarahkan energinya ke masalah-masalah fundamental zaman ini. Dari luar: imperialisme, Zionisme, dan kapitalisme. Dari dalam: kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan. Sejak zaman al-Afghani, dan tentunya sejak Perang Salib, imperialisme merupakan masalah yang membakar. Kemudian, imperialisme adalah Perang Salib baru. Imperialisme sekarang adalah cara petualangan ekonomi multinasional dan westernisasi kebudayaan. Dalam hal budaya, imperialisme mematikan semangat kreatif bangsa-bangsa, dan mencabutnya dari akar sejarah mereka.
Basis militer asing tersebar di mana-mana di dunia Arab sekarang, dari Maroko sampai Timur Arab. Juga sejumiah bangsa Muslim tetap berada di bawah pengaruh super power. kekayaaan dunia Islam masih di tangan perusahan-perusahaan monopolistik, dan kita mengimpor pengetahuan ilmiah dari Barat. Tapi yang paling berbahaya adalah imperialisme budaya. Barat menginginkan agar warisan bangsa- bangsa historis lemah, kemampuan kreatifnya dibelenggu, dan kebudayaan mereka diubah menjadi budaya musium, hanya untuk studi. Dengan berubahnya bangsa-bangsa Islam menjadi minoritas, mereka menjadi budak Barat. Tugas “Islam Kiri” adalah terus-menerus mengingatkan akan model kolonialisme baru, rasisme Barat yang tersembunyi dan Perang Salib historis.
Zionisme masih merupakan kekuatan yang kokoh yang menentang Islam dan kaum Muslim. Sasarannya bukan hanya menguasai tanah, tapi juga menyebarkan pemikirannya ke kalangan intelektual Islam- Arab, dan mengetahui pemikiran mereka untuk menghancurkannya. Zionisme menguasai semangat kita, dan Zionisasi dunia dilakukan di jantung dunia Islam. Islam melarang bersahabat dengan keturunan Israel: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walimu; sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. 5:51). “Islam Kiri” sejalan dengan Saudara-Saudara se-iman (Brothers in Goa) untuk menolak dan menentang Zionisme. Ini berarti bahwa perdamaian dengan anak-anak Israel dilarang. Kita mengatakan ini sebagai hakim Islam dengan tanggungjawab sebagai hakim.
Bahaya ketiga yang datang dari luar adalah kapitalisme. Bahaya ini tidak hanya bagi yang mengikutnya, tapi juga kita dalam masyarakat Islam. Kapitalisme terkait dengan masyarakat kelas, dan kekuasaan terletak pada orang yang menguasai modai. Ia tidak membatasi industri militer yang merusak, karena indusbri ini mendukung dan menguntungkan mereka yang mengabdi modal. Semua ini berarti kemiskinan bagi yang miskin, dan perlakukan istimewa bagi yang kaya. Islam menolak akumulasi kapital oleh sekelompok orang: “supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7). Islam menolak hak milik istimewa, masyarakat kelas, monopoli dan riba; ia bicara tentang kesamaan, kooperasi, dan solidaritas. Sayang kita menyebarkan kata “Sosialisme Islam”, padahal kita melihat dalam Islam perlawanan menentang kapitalisme lokal dan dunia. Kita memerlukan pembangunan sosial atas dasar kesamaan dan keadilan sosial, dan hak maksimum bagi yang miskin.
Bangsa-bangsa Muslim termasuk di antara bangsa-bangsa miskin di dunia. Walaupun al-Qur’an mengatakan: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta.” (QS. 70:24-25)Dan walaupun kita satu ummah, kita dalam kenyataannya dua ummah: yang miskin dan yang kaya. Tugas “Islam Kiri” adalah membagikan kekayaan di antara kaum Muslim. Pengurangan jumlah keturunan kita bukanlah penyelesaian masalah kemiskinan seperti yang dianjurkan para kolonialis dan Zionis. Yang terpenting adalah mengambil hak-hak kaum yang miskin dari kaum yang kaya, dan membagikan kekayaan negara-negara Islam dari mereka yang memiliki segala-galanya ke yang tak punya apa-apa.
Tidak ada bangsa yang menderita despotisme dan penindasan seperti kita. Kaum Muslim nampak seperti yang ditulis Barat mengenainya, yakni “despotisme Timur”. Kita tidak punya sistem demokrasi atau kebebasan. Komitmen pada hak asasi manusia didatangkan dari Barat sehingga Barat dapat menelib kondisi-kondisi orang yang kita penjara. Dalam masyarakat kita tidak ada ukuran bagi semangat dan kebebasan pabriotik. Kecuali, mereka yang berkuasalah yang menjadi patriot-patriot. Para pemimpin memanipulasi kesadaran nasional lewat media komunikasi. Akibatnya, bangsa-bangsa Islam tidak lagi mampu mengubah opini orang lain. Bahkan jika faksi oposisi muncul, ia dicurigai sebagai tidak setia, penghianat, murtad. Tugas “Islam Kiri” adalah mempertahankan kebebasan berbicara dan memperkuat demokrasi. Dengan begitu, Israel tidak akan lagi menjadi “oase demokrasi” satu-satunya, karena ia tersebar luas, dan komite “hak asasi manusia” tidak akan lagi dikirim ke kita. Ternyata “keterbelakangan” merupakan sifat umum masyarakat kita. Itu berarti keterbelakangan menyeluruh dalam struktur sosial dan dalam pandangan-pandangan masyarakat. Beberapa masyarakat Islam kita seperti di Sudan, India, Pakistan, Iran, Irak, dan Turki masih bersifat kesukuan. Buta huruf menyebar, epidemik juga meluas sebagai akibat dari lingkungan yang kotor. Yang justru ironis, agama mereka bersandar pada kesucian dan air wudhu. Ini keterbelakangan budaya dan peradaban yang terkait dengan pandangan dunia dan perilaku masyarakat serta kondisi sosial ekonomi.
Keterbelakangan dalam pemikiran menampakkan pandangan dunia kita yang mendua –kita berada dalam satu sisi yang kuat, kemudian kita merasa senang dengan kehancuran sisi yang lainnya. Semua krisis kita datang dari sisi ini. Apa yang menentukan pandangan kemenyatuan dan tauhid adalah mengambil kembali dunia dan pusat gravitasi dunia bagi dunia. Pandangan piramidal juga menunjukkan pandangan dunia kita. Ia merupakan basis birokrasi dan kelas dalam masyarakat kita. Juga keterbelakangan nampak dalam kemunduran akal di hadapan “tabu-tabu” seperti Tuhan, kekuasaan dan_seks. Kita membiarkan tabu-tabu ini hidup demi kepuasan sentimen kita. “Islam Kiri” berusaha menemukan tempat ummah dalam sejarah, dan mentransformasikan bangsa-bangsa Muslim dari kuantitas ke kualitas. Pekerjaan “Islam Kiri” di awal abad ke-15 H. adalah sebagai berikut.
Pertama, mewujudkan keadilan sosial dalam ummah melalui firman al-Our’an. Kedua, membangun masyarakat bebas dan demokratis. Ketiga, membebaskan Palestina dan mengusir kolonialisme dari dunia Islam. Keempat, membangun kesatuan Islam yang menyeluruh mulai dari Mesir, kemudian lembah sungai Nil, kemudian Mesir dan Syria, … dan akhirnya ummah. Kelima, merumuskan kebijakan nasional yang bebas dari pengaruh super power, yakni kebijakan “bukan Barat dan bukan Timur”. Keenam, mendukung revolusi kaum yang tertindas; revolusi mereka adalah revolusi Islam.
Agama dan Revolusi
Tugas “Islam Kiri” adalah meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah apa yang kita miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita. Dan dalam agama sendiri ada revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan sekaligus reformis. Revolusi tauhid menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim; revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi orang miskin, budak, dan orang-orang yang malang dibawa Nabi Muhammad.
Tauhid mempunyai fungsi praktis untuk menghasilkan perilaku dan iman yang diarahkan pada perubahan kehidupan masyarakat dan sistem sosialnya. Para nabi muncul dan melakukan revolusi untuk membuat reformasi ke arah kondisi-kondisi yang lebih baik. Para nabi adalah pendidik kemanusiaan untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan. Akhir kenabian adalah bahwa kemanusiaan menjadi kemerdekaan akal, dan ia mulai bergerak sendiri ke arah kemajuan.
Banyak revolusi dalam sejarah kita: revolusi al-Qaramithah, Mahdi di Sudan, Sanusiyah di Libya, Islam di Aljazair dan Jihad ikhwan al-Muslimin. Tugas “Islam Kiri” adalah membawa revolusi ini. Sayangnya pemikiran yang menyembunyikan ide-ide revolusioner itu justru telah menang. “Islam Kiri” menmpunyai akarnya dalam revolusi-revolusi agama dalam masyarakat manusia. Banyak revolusi dalam sejarah Yudaisme dan agama Ktisten. Revolusi agama tidak terbatas hanya pada tiga agama monoteis, juga dalam agama-agama lain: revolusi Budha di Vietnam, revolusi Konfusianis di Cina, dan revolusi-revolusi lain di Afrika Selatan. Gerakkan revolusioner agama-agama telah diklasifikasikan ke dalam messianisme, milleniarisme dan kharisma dalam sejarah agama dan sosiologi agama. Tapi analisis ini masih berputar di sekitar wilayah agama Kristen, belum mampu menyentuh bentuk revolusi Islam, yakni revolusi tawhid yang tidak membutuhkan gambaran Messiah bagi pembebasan. Inilah yang berusaha dikemukakan “Islam Kiri”.
Di Barat telah muncul kecenderungan baru dalam teologi yang mengambil “revolusi” sebagai suatu objek studi, dan disebut “Teologi Revolusi”. Ia telah menjadi salah satu aspek penting darf pemikiran keagamaan di zaman modern. Teologi menjadi pengetahuan rakyat, dan menjadi pengetahuan revolusi rakyat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Realitas revolusioner sendiri memasukan teolog-teolog bagi masyarakat-masyarakat bersagama. Beberapa dari mereka mengambil revolusi sebagai subjek studi, dan beberapa yang lain terlibat dalam revolusi itu sendiri. Agama adalah pengetahuan, tindakan, tauhid dan kesyahidan.
Kesatuan Nasional
“Islam Kiri” bermaksud mengajak dialog semua pihak dalam dunia Islam. Ia bukan sekte baru, tapi berusaha menciptakan kesatuan di antara kaum Muslim sesuai dengan tuntutan zaman, seperti kebebasan, keadilan, dan kemajuan. Kesatuan pemikiran adalah prasarat bagi kesatuan ummah. Pertama, “Islam Kiri” berseru kepada “Saudara-Saudara seiman” dalam jurnal al-Da’wah. Sejumlah penulis jurnal ini telah mengembangkan kesadaran akan dunia Islam, tapi kebanyakan tetap berada dalam tradisi. Kita menyerukan agar ada dialog antara mereka dengan kita. Kita boleh berbeda tapi saling menghormati dalam butir-butir pemikiran yang berbeda. Perbedaan kita mungkin formal, tidak esensial. “Saudara-Saudara Muslim” menyajikan kecenderungan-kecenderungan yang sesungguhnya di antara kita. Mereka melakukan jihad melawan kolonialisme di Palestina dan Suez. Terjadi konflik yang paling keras antara mereka dan revolusi Mesir. Apa yang mampu mereka lakukan adalah mendukung rakyat dalam revolusi, tapi mereka masih tidak mempunyai koordinasi politik untuk memobilisasi rakyat. Semangat revolusi ini mengulang penafsiran tradisional sehingga mereka mewujudkan objek-objek revolusi dalam kebebasan dan keadilan. Kita tak mengganti siapa pun dengan orang yang tidak beriman dan kita berharap tidak ada orang menggantikan kita dengan orang yang tidak beriman, tapi kita berseru demi kesatuan nasional minimum antar kita dan mereka. Nabi mampu melakukan dialog dengan rakyat dan mampu melakukan pendekatan. Ini hanyalah koalisi politik karena kepentingan yang mendesak, bukan kesatuan nasional bagi gerakan pembebasan nasional melawan imperilisme Barat. Kedua, kita menghimbau secara damai “Saudara-Saudara sebangsa” (kaum Marxis, Nasseris dan Liberalis) untuk berdialog. Kita bisa sepakat dalam cita-cita, yakni kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial. Kita semua terlibat dalam memperkuat kesadaran kelas para pekerja dan dalam pembentukan barisan depan revolusioner. Kaum Nasseris bisa mencapai implementasi sosial yang terbesar dalam sejarah modern kita. Nasserisme juga membangun basis gerakan revolusioner dan juga telah memberi sumbangan bagi gerakan-gerakan revolusioner di Dunia Ketiga. Kolonialisme Dunia menghubungkan Nasserisme dengan kekalahan tahun 1967. Nasserisme masih hidup dalam sentimen rakyat dan nampak dalam getaran revolusi Islam di Iran.
“Saudara-Saudara seiman” jangan menolak sisi progresif dalam khazanah kita. Kemajuan adalah tuntutan zaman kita karena masyarakat kita terbelakang. Banyak tulisan tentang kemiskinan, kekayaan, perbankan dan revolusi dalam Islam. Mengapa mereka yang mencurahkan perhatiannya pada yang miskin dan orang-orang yang tersingkir menjadi Marxis? Mengapa mereka yang menyerukan kebebasan dan demokrasi menjadi Komunis? Karena kita kehilangan substansi Islam. Kita hakim, mereka teolog, kita memusatkan perhatian pada syari’ah
Mereka memusatkan perhatian pada iman, kita tradisionalis dalam hukum Islam, mereka tradisionalis dalam agama. Mengenai “Saudara-Saudara sebangsa” (kaum Marxis), mereka tidak menolak “Islam Kiri”. Kita semua revolusioner-revolusioner nasional yang terkait dengan warisan ummah, maka kita tidak membutuhkan kata-kata filsafat Barat apa pun. Kita semua bersaing untuk membela yang tertindas. Revolusi sekular yang mereka tunjukkan adalah bagian dari revolusi Islam, karena Islam komprehensif, ummah, mencakup peradaban dan sejarah, dan identitas yang kuat.
“Saudara-Saudara serevolusi” (kaum Nasseris) tidak menolak “Islam Kiri” juga. Rencana revolusi-revolusi Islam dalam berjuang menentang kolonialisme dan Zionisme, akhir dari reaksionisme dan keterbelakangan, realisasi kebebasan, sosialisme dan kesatuan ternyata adalah rencana “Islam Kiri”.
Mereka berusaha mendukung tujuan Islam, tapi hubungan antara keduanya dangkal. Akibatnya Islam menjadi alat untuk membenarkan kemampanan yang ada. Tapi “Islam Kiri” didasarkan pada Islam itu sendiri. “Saudara-saudara sekebebasan” (kaum liberalis) sangat merasakan “Islam Kiri”, karena mereka menganggapnya sebagai bagian dari warisan ummah. Tapi al-Tahthawi, seorang sarjana yang religius, dan Islam adalah sumber pokok kaum liberalis (Thaha Husain, dll.). Mereka bicara tentang kaum yang tertindas, kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial dalam Islam.
Mereka menggunakan akal dalam tradisi, dan mengkritik peradaban Barat. Mereka mengupayakan pencerahan, tapi belum mentransformasinya ke dalam pencerahan menyeluruh. “Islam Kiri” bertujuan untuk menyempurnakan apa yang kaum liberalis awali dan mentransformasikan masyarakat dari liberalisme ke pencerahan. “Islam Kiri” tidak terkurung dalam ungkapan-ungkapan seperti Islami, Arab dan Dunia, agama dan negara. Ia tidak menyatakan revolusi hanya untuk kaum Muslim, tapi revolusi bagi “rakyat al-Kitabi” yang menyatakan bagian dari warisan ummah dan sejarah ummah. rldak ada perbedaan antara Islam dan gereja-gereja Timur dalam menghadapi imperialisme Barat. “Istam Kiri” melindungi kreativitas bangsa-bangsa historis, dan menolak pengawasan budaya oleh Barat.
Keraguan dan Bahaya
“Islam Kiri” sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru, liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Ia menghadirkan kecenderungan budaya ideologis yang berakar dari warisan klasik kita, al-Qurtan dan Sunnah. Ia muncul di Mesir, yakni pusat dunia Islam dan jantung Arabisme. Ia bukan partai politik, bukan oposisi menentang pemerintah atau kemapanan, dan juga tidak melakukan agitasi bagi pemberontakkan dalam negeri. “Islam Kiri” mempertimbangkan politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya adalah pada tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh. “Islam Kiri” bukan hanya “bekas” dengan semangat yang berapi-api dalam pikiran masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan bekas itu ke dalam akal, dialog dan pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam. Jurnal ini tidak hanya menghadirkan suatu kecenderungan, karena ia menghimpun esai-esai dan pendapat-pendapat yang bermacam-macam, yang punya keinginan untuk memunculkan sisi progresif dalam Islam dan unsur-unsur revolusioner dalam sejarah kita. Kita dapat berbeda, tapi perbedaan kita adalah seperti perbedaan antara para sahabat Nabi Muhammad. Semua kita mencari kebenaran, menjalankannya, dan berusaha membuktikannya. Kita mungkin diragukan, dipandang bid’ah dan kafir. Ini jelas pandangan yang jahat dan bernafsu untuk menjadi penguasa. Tapi kita bertumpu pada bukti –bukti dengan sumber yang otoritatif. Kita melakukan ijtihad seperti para pendahulu kita. Kita mengikuti jalan yang diambil para ulama besar dan ummah. “Islam Kiri” bukan Islam yang berbaju Marxis, dan bukan pula Marxisme yang berbaju Islam. Ia tidak terpengaruh oleh Marxisme dalam bentuk maupun isinya, tapi ia mempunyai ungkapan-ungkapan untuk membangun revolusi kaum Muslim. Ia tidak terpengaruh Barat. Ia pada dasarnya menantang Barat. Ia bukan pencerahan yang diartikan di Barat, tapi merupakan tahap yang dilalui oleh setiap peradaban. “Islam Kiri” mengungkapkan apa yang kaum Muslim sekarang perlukan: sistem dan pemikiran, gerakan atau reformasi, lama atau baru, tradisi atau kekinian. Ia memperbarui al-’Urwah al- Wutsqa. Kita akan mengembangkan rencana al-Afghani dan mengirimnya bagi revolusi pada generasi yang akan datang. Karena bagi kami, al-Afghani tetaplah masih hidup.***