1. Pengertian Istitha' ah
Menurut bahasa adalah (طاقة أو قوة) yang berarti kemampuan (kuat/sanggup).[1] Isthitha'ah haji atau umrah artinya adalah kemampuan (kuasa) melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Menurut istilah adalah kemampuan fisik, kemampuan harta, dan kemampuan pada waktu seseorang hendak mengerjakan haji atau umrah.[2]
2. Dasar Hukum
a. Firman Allah Subhaanahu wa ta’ala::
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (آل عمران: ٩٧)
Artinya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (QS. Ali Imran: 97)
b. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ يُوْنُسَ عَنِ الحَسَنِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ (وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاَ) قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ؟ قَالَ الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ (رواه الدارقطني)
Artinya:
Dari Yunus dari al- Hasan, berkata: Ketika turun ayat: وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا ada seorang laki-Iaki bertanya: Ya Rasulullah, apakah yang disebut sabil (jalan) itu? Rasulullah menjawab: bekal dan kendaraan (HR. al-Daruquthni).
Dengan dasar al-Qur'an dan hadits tersebut di atas secara umum kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha'ah seseorang baik dalam haji maupun umrah.
Sedangkan al-raahilah dalam hadits tersebut dijelaskan oleh Ala’uddin al-Kasani yang mengatakan bahwa alokasi bekal dan kendaraan bukan untuk membatasi syarat atas keduanya, akan tetapi untuk memperhatikan alasan yang memungkinkan, karena semua hal itu memiliki sebab yang mungkin masuk dalam tafsir istitha’ah secara makna. Oleh karena itu, dalam kewajib haji atas orang yang buta, penderita penyakit kronis, orang lumpuh, orang yang sakit, dan orang tua yang tidak dapat duduk di atas kendaraan dan terdapat kesulitan yang luar biasa. [3]
Sedangkan makna al-zadu pada hadits terdahulu meliputi seluruh perbekalan untuk dirinya dan keluarga yang ditinggalkannya. Yang menjadi masalah bagaimana kedudukan berhaji dengan biaya pinjaman.
Semua ulama menyatakan bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan finansial, maka berhutang bukanlah cara yang dibenarkan oleh syara' agar dia menjadi orang yang mampu untuk melakukan haji atau umrah. Di bawah ini ada beberapa pernyataan fuqaha tentang hal itu:
1. Imam al-Syaukani berpendapat:
Dan terhadap orang yang mempunyai tanggungan hutang dimakrukan menunaikan ibadah haji dan ikut berperang jika ia tidak memiliki harta untuk membayarnya, kecuali mendapatkan izin dari orang yang memberi hutang. Jika hutangnya ada yang menanggung, maka ia tidak boleh bepergian (berangkat haji dan ikut berperang) kecuali dengan izin keduanya (pemberi hutang dan penangungnya), dan jika tanpa izinnya, maka cukup dengan izin dari thalib(pihak yang berhak menuntut) saja. [4]
2. Imam Maliki berpendapat:
Seseorang tidak diwajibkan haji dengan biaya berhutang walaupun hutang tersebut dari anaknya, jika tidak memungkinkan untuk melunasinya. [5]
3. Imam Ibnu Taimiyah berpendapat:
Dan seseorang yang tidak memiliki bekal tidak dianggap istitha’ah (berangkat haji atau umrah), sedangkan kebutuhan haji dan umrahnya berasal dari pemberian orang lain, walaupun dia itu bapa ataupun anaknya. [6]
Karena itu berhutang untuk pelaksanaan ibadah haji bukanlah sesuatu yang masyru' dalam syari'at Islam kecuali bagi mereka yang mempunyai kemampuan untuk melunasinya di saat akan menunaikan (أداء) karena pada waktu itu dituntut dia memiliki istitha'ah atau qudrah yang di dalamnya adalah terkait dengan finansial.
Dalam hadits riwayat al-Thabarani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyatakan sebagai berikut:
إِذَا خَرَجَ الرَجُلُ حَاجًا بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي اْلغَرْزِ فَنَادَى لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ نَادَهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ زَادُكَ حَلاَلٌ وَرَاحِلَتُكَ حَلاَلٌ وَحَجُّكَ مَبْرُوْرٌ غَيْرُ مَأْزُوْرٍ. وَإِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ بِالنَّفَقَةِ الخَبِيْثَةِ فَوَضَعَ رِجْلُهُ فِي الغَرْزِ فَنَادَى لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ نَادَاهُ مُنَادِ مِنَ السَّمَاءِ لاَ لَبَّيْكَ وَلاَ سَعْدَيْكَ زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُوْرٍ.(رواه الطبراني عن أبي هريرة)[7]
Artinya:
Ketika seorang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan nafakah (ongkos haji) yang baik (halal) kemudian dia meletakkan kakinya di atas kendaraan lalu mengucapkan "Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu", tiba-tiba terdengar suara dari langit, "Aku sambut panggilanmu dan dua kebahagiaanmu, bekalmu dari yang halal dan kendaraanmu halal, hajimu mabrur tidak tercampur dengan dosa". Dan apabila seorang yang akan berhaji keluar dari rumah dengan bekal yang haram maka ketika dia naik kendaraan lalu mengucapkan "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah" tiba-tiba terdengar suara dari langit "tidak, aku tidak menyambut panggilanmu dan engkau tidak mendapatkan dua kebahagiaan, bekalmu dari harta yang haram dan nafkahmu haram, hajimu tidak mabrur". (HR al-Thabarani dari Abu Hurairah).
3. Pendapat ulama tentang istitha' ah
a. Imam Malik berpendapat bagi yang sanggup jalan kaki, maka tidak perlu kendaraan dan sudah termasuk mampu, apabila dapat mencari nafkahnya selama dalam perjalanan dan pelaksanaan hajinya, dengan berusaha bekerja walaupun dengan bantuan orang lain serta tanpa meninggalkan biaya yang cukup bagi keluarga yang ditinggalkan.[8] Keamanan yang dimaksud di sini adalah aman untuk dirinya pada saat melaksanakan haji dan bagi orang yang ditinggalkan selama kepergiannya, sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ (رواه أبو داود)
Artinya:
Diriwayatkan dari Abdillah Ibn Amr berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Cukup dosa seseorang yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya. (H.R. Abu Daud).
b. Menurut Imam Syafi'i Istitha'ah dibagi menjadi dua yaitu:
1) Kemampuan pribadinya langsung, (مباشرة) yaitu kemampuan untuk melaksanakan haji oleh dirinya sendiri.
2) Kemampuan dengan bantuan dari orang lain (tidak langsung (غير مباشرة).
Yaitu kemampuan untuk melaksanakan haji dengan bantuan orang lain seperti orang tua yang dihajikan oleh anaknya atau orang yang sudah tidak mampu fisik akan tetapi mampu hartanya untuk membiayai orang lain menghajikannya, atau menyertainya berhaji seperti orang buta dengan membiayai seseorang yang akan menuntunnya.[9]
Seseorang orang yang melaksanakan haji dengan biaya orang lain karena mengharapkan jasanya seperti penuntun orang buta. Petugas haji dapat dikatakan (مستطيع) orang yang mampu melaksanakan haji, apabila dianggap cakap dan mampu melaksanakan tugas tersebut. Istitha'ah sebagai salah satu syarat wajib haji memberikan konsekwensi seseorang yang sudah wajib melaksanakan haji sehingga apabila ia tidak melaksanakan haji, maka ia berdosa. Dengan demikian istitha'ah bukanlah dasar ukuran sah atau tidaknya haji seseorang, contoh: seorang yang belum istitha'ah karena dalam perjalanannya tidak aman ternyata dapat sampai ke Tanah Suci dan melaksanakan hajinya dengan sempurna, maka hajinya sah walaupun dia tidak termasuk orang yang sudah wajib haji.
Istitha'ah dalam pengertian di atas adalah umum, untuk laki-laki dan perempuan. Sementara istitha'ah untuk perempuan yang akan melaksanakan haji atau umrah akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri.
c. Sebagian ulama mutaakhirin (kontemporer) memandang perlu memasukkan unsur kesehatan, kesempatan, dan keamanan sebagai salah satu unsur yang memungkinkan sampainya seseorang di tempat pelaksanaan haji itu (Imkan al-Wusul) serta segala yang terkait dengan kebijakan pemerintah setempat atau pemerintah Arab Saudi langsung dengan ketentuan perhajian dari negara yang bersangkutan, menjadi salah satu dari unsur kajian istitha’ah.[10]
[1] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes Krapyak, 1984 M), hal. 935.
[2] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, (Madinah: Maktabah Salafiyah, t. th), Juz. 7, hal. 632-635.
[3] Alauddin al-Kasani, Badai’u al-Shanai’, (
[4] Al-Saukani, Fath al-Qadir, (tp: al-Maktabah al-Syamilah, th), Jilid 5, hal. 1.
[5] Maliki, Fiqh al-Ibadah, (t.p: al-Maktabah al-Syamilah, t.th), Juz 1, hal. 334.
[6] Taqyuddin Muhammad bin Ahmad, Muntaha al-Iradah, (
[7] Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hukm, (Kairo: Dar al-Salam, 1424 H/2004 M), Jilid 1, hal. 278.
[8] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. 1, hal. 635.
[9] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. 1, hal. 639.
[10] Said bin Abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah (
Isthithoah diartikan sebagai upaya untuk mampu, artinya seseorang itu harus berusaha dan beramal agar punya kemampuan, sebagaimana bayi yang berusaha untuk bisa berjalan, dalam kata lain, janganlah terburu-buru mengklaim diri "tidak mampu" (untuk berhaji/umrah), sedangkan ia tidak /belum pernah berupaya untuk menjadi mampu, baik dengan jalan menabung sekeping demi sekeping ataupun dengan cara lain (muamalah) yang dihalalkan seperti qard maupun qiradh, ( dalam guyonannya, misalnya kita hitung bahwa ongkos haji itu sekitar Rp 35 juta, jika saja ia berusaha untuk menabung , maka sungguh ia akan mampu ( contoh hitungannya) 35 juta/35 tahun = 1jt pertahun = 85 rb/ bulan = 2.780 perhari ( ko ga bisa, padahal ngerokoknya habis 1 bungkus sehari / jajan ke warung nya kadang 10 rb/hari ) ?????....www.mampuberhaji.com
BalasHapus