Senin, 02 Januari 2012

Miqat dalam Haji dan Umrah

1. Pengertian Miqat

Miqat menurut bahasa adalah berasal dari kata (الحد ( yang berarti batas. Menurut istilah haji dan umrah, miqat adalah batas waktu atau tempat untuk memulai ihram haji atau umrah.[1]

2. Macam-Macam Miqat.

Miqat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Miqat Zamani adalah batas waktu untuk berihram haji/umrah.

b. Miqat Makani adalah batas tempat untuk memenuhi ihram haji atau umrah.[2]

3. Dasar Hukum

a. Miqat Zamani

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَٰاأُولِي اْلأَلْبَابِ (البقرة: ١۹۷)

Artinya:

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. (Q.S. al-Baqarah: 197).

b. Miqat Makani

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: وَقَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَهْلِ المَدِيْنَةِ ذَا اْلخُلَيْفَةِ وَلأَهْلِ الشَّامِ الجُعْفَةَ وَلأَهْلِ نَجْدٍ قرْنَ المَنَازِلِ وَلأَهْلِ اليَمَنِ يَلَمْلَمَ قَالَ: (فِهِنَّ لَهُنَّ) وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ غَيْرَ أَهْلِهِنَّ فَمَنْ يُرِيْدُ الحَجَّ وَالعُمْرَةَ مِمَنْ كَانَ دونَهُنَّ فَمَهِلْهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَالِكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْهَا (متفق عليه).

Artinya:

Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah adalah Zulhulaifah dan bagi penduduk Syam adalah Ju’fah dan bagi penduduk Najd adalah Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam", nabi bersabda : "Itulah miqat bagi mereka dan bagi siapa saja yang datang di sana yang bukan penduduknya yang ingin haji dan umrah, bagi yang lebih dekat dari itu (dalam garis miqat) maka dia (melaksanakan) ihram dari kampungnya, sehingga penduduk Makkah ihramnya dari Makkah (H.R. Muttafaq Alaih).

4. Miqat Zamani Haji dan Umrah

a. Miqat Zamani Umrah

Miqat zamani umrah adalah sepanjang tahun kecuali pada waktu makruh, yaitu hari Arafah, hari-hari Nahr dan hari-hari Tasyriq.

b. Miqat Zamani Haji

Miqat Zamani ihram haji menurut para fuqaha terdapat beberapa pendapat:

1) Menurut ulama Syafi'iah adalah mulai 1 Syawal sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah.[3]

2) Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, ihram haji adalah sepanjang tahun, akan tetapi makruh sebelum Syawal,[4] dengan dalil:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ (البقرة: ۱٨٩)

Artinya:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah; bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji (Q.S. al-Baqarah: 189).

c. Ulama Hambaliyah berpendapat waktu ihram haji adalah tanggal 1 Syawal sampai dengan dekatnya fajar tanggal 10 Dzulhijjah kira-kira masih ada waktu cukup untuk ihram dan wukuf.[5]

5. Miqat Makani Haji dan Umrah

a. Miqat Makani Haji

1) Miqat makani haji bagi penduduk Makkah adalah rumah tempat tinggalnya. Lebih utama ihram dari masjid di sekitar rumahnya, kalau tempat tinggalnya antara Makkah dan Miqat, maka Miqatnya adalah dari daerah yang bersangkutan, seperti penduduk Jeddah.

2) Miqat Makani Haji bagi bukan penduduk Makkah, adalah Miqat sebagaimana telah ditetapkan dalam Hadits Nabi (Miqat Manshush) adalah sebagai berikut:

a) Jamaah haji yang datang ke Makkah melalui Madinah, maka Miqat makaninya Zulhulaifah/Bir Ali.

b) Jamaah haji yang datang ke Makkah dari Syam, Mesir dan Maroko maka Miqat makaninya Juhfah

c) Jamaah haji yang datang ke Makkah dari arah Tihamatil Yaman, maka Miqat makaninya Yalamlam

d) Jamaah haji yang datang ke Makkah dari arah Najdil Yaman dan Hijaz maka Miqat makaninya Qorn al-Manazil.

e) Jamaah haji yang datang ke Makkah tidak melalui arah yang disebut pada huruf a, b, c dan d. Akan tetapi mendekati salah satunya, maka Miqat makaninya adalah Miqat yang dekat atau yang sejajar, baik yang melalui udara, darat maupun laut maka sah ihramnya dari atas udara di saat melintasi arah sejajar dari tempat-tempat tersebut.

f) Jamaah haji yang datang ke Makkah dari arah masyriq (arah timur) termasuk dari Iraq. Maka Miqat makaninya Zatu Irqin. Miqat ini berdasarkan penetapan Umar radliallahu ‘anhu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ (رواه البخاري).

Artinya:

Dari Abdullah bin Umar berkata: "Setelah dua negeri ini dibuka (Basrah dan Kufah) mereka (penduduk negeri tersebut) mendatangi Umar" dan berkata: "Wahai Raja orang-orang Mu'min sesungguhnya Rasulullah telah memberi batas (miqat) bagi penduduk Najd yaitu Qarn al-Manazil dan itu bersampingan (bukan) dari jalan kami, apabila kami ingin melalui Qarnul Manazil menyulitkan kami". Umar berkata: "Lihatlah (ambillah) garis sejajar dari jalanmu, maka Umarpun menetapkan bagi mereka Zatu Irqin (sebagai miqat) (H.R. al-Bukhari)

g) Bagi yang datang ke Mekkah melalui udara, sebagian ulama berpendapat bahwa Bandara Udara King Abdul Aziz Internasional (Jeddah) dapat dijadikan sebagai miqat makani berdasarkan pendapat Imam Ishak dalam kitab Muhaddzzab dan Syarahnya oleh Imam Nawawi yang menjelaskan bolehnya mengambil miqat dari mana saja asal mencukupi 2 (dua) marhalah dari Makkah.

(وَأَمَّا) إِذَا أَتَى مِنْ نَاحِيَّةٍ وَلَمْ يَمُرُّ بِمِيْقَاتِ وَلاَ حَاذَاهُ فَقَالَ أَصْحَابُنَا لَزِمَهُ أَنْ يَحْرُمَ عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ مِنْ مَكَّةَ اِعْتِبَارًا بِفِعْلِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فِي تَوْقِيْتِهِ ذَاتَ عِرْقٍ. [6]

Artinya:

Adapun jika seorang jamaah haji datang ke Makkah dari arah lain, dan tidak melewati miqat-miqat, dan tidak berdampingan dengan miqat, maka madzhab kita berpendapat, wajib baginya melakukan ihram dengan jarak dua marhalah dari Makah berdasarkan apa yang telah dilakukan Umra ra dalam menetapan miqat Dzatu Irqin.

Selain itu, berdasarkan Fatwa Syekh Mahmud bin Zaid, Ketua Mahkamah Syari'ah Negara Qatar dan Fatwa Imam Mustafa al-Zarqa juga membolehkan Jeddah sebagai miqat makani. Akan tetapi, pendapat ini dilemahkan oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.[7]

h) Jamaah haji yang melewati dua miqat dapat memulai ihramnya dari miqat keduanya (miqat terdekat dari Makkah).

قَالَ أَصْحَابُنَا: اِنْ سَلَكَ طَرِيْقًا لاَ مِيْقَاتَ فِيْهِ لَكِنْ حَاذَى مِيْقَاتَيْنِ طَرِيْقُهُ بَيْنَهُمَا فَاِنْ تَسَاوَيَا فِي اْلمَسَافَةِ إِلىَ مَكَّةَ فَمِيْقَاتُهُ مَا يُحَاذِيْهِمَا وَإِنْ تَفَاوَتَا فِيْهَا وَتَسَاوَيَا فِي اْلمَسَافَةِ إِلىَ طَرِيْقِهِ فَوَجْهَانِ (أَحَدُهُمَا) يَتَخَيَّرُ إِنْ شَاءَ أَحْرَمَ مِنَ اْلمَحَاذِي ِلأَبْعَدِ اْلمِيْقَاتَيْنِ وَإِنْ شَاءَ لأَقْرَبِهِمَا (وَأَصَحُّهُمَا) يَتَعَيَّنُ مُحَاذَاةَ أَبْعَدِهُمَا. [8]

Artinya:

Kalangan Syafi’iyah (ashhab) berpendapat, jika seorang jamaah melalui jalan yang tidak ada miqatnya, namun jalannya setentang (sejajar) dengan dua miqat dan berada di antara keduanya. Jika jaraknya ke Makkah sama, maka miqatnya adalah tempat yang setentang dengan keduanya. Namun jika berbeda jaraknya ke Makkah, tapi jarak antara dia dengan dua miqat itu sama, maka terdapat dua pendapat; 1) Jika dia mau, dia berihram dari tempat yang setentang dari miqat yang lebih jauh dan jika mau berihram dari tempat yang lebih dekat; 2) Dan yang ashah (lebih tepat), ia harus mengambil jarak yang lebih jauh dari keduanya.

i) Jamaah yang tidak melalui salah satu miqat yang ada dapat mengambil miqat dari arah sejajarnya, sebagaimana Umar bin al-Khattab menetapkan Zatu Irqin sebagai miqat bagi jamaah haji dari arah Iraq karena Zatu Irqin adalah satu tempat yang sejajar dengan qarn al-manazil. Berdasarkan Muhazah (garis sejajar) dari miqat al-mansus, Nuruddin Etar menetapkan Jeddah sebagai miqat, karena Jeddah berada dalam had al-miqat antara Rabigh dan Yalamlam.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.[9]

Artinya:

Dari Ibnu Umar ra. Berkata: ketika terbuka dua mishrani (al-Basrah dan al-Kufah), datanglah Umar, kemudian mereka berkata: hai amirul muminin, sesungguhnya Rasulullah saw. membatasi miqat kepada warga Najd adalah Qarn, dan itu jalan yang menyimpa dari jalan kita, dan sesungguhnya kita apabila berkehendak melewati Qarn maka itu merupakan hal sulit bagi kita. Kemudian Umar berkata: Kalian lihatlah batasnya (Qarn) dari jalan kalian, maka batas miqat alian adalah Dzatu Irqin.

b. Miqat Makani Umrah bagi penduduk Makkah dan bukan penduduk Makkah.

1) Miqat Makani Umrah bagi penduduk Tanah Haram termasuk yang telah berada di Makkah seperti jamaah haji adalah Tanah Halal dan yang paling utama adalah Ji'ranah, Tan'im dan Hudaibiyah.

2) Miqat Makani Umrah pendatang sama dengan miqat haji (sebagaimana yang telah disebutkan terlebih dahulu).[10]

c. Hukum Ihram sebelum sampai Miqat Makani

Hukum ihram sebelum sampai di Miqat Makani terdapat beberapa pendapat:[11]

Menurut jumhur ulama, berihram sebelum Miqat Mansus (yang ditentukan) adalah sah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Umi Salamah:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ المَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَرَ وَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ (رواه أبو داود وابن ماجة)

Artinya:

Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa saja yang ihram haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, maka diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan pasti mendapat surga (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Akan tetapi Imam Ahmad Ibnu Hambal mengutamakan tidak berihram sebelum sampai di Miqat.[12]

6. Ketentuan Pelaksanaan Ihram Bagi Yang Melewati Miqat Tanpa Ihram

Jamaah haji yang karena lupa atau tidak tahu melewati miqat tanpa ihram, maka diharuskan menempuh cara sebagai berikut:

a. Kembali ke miqat semula yang telah dilaluinya. Apabila ia kembali ke miqat semula sebelum dia ihram dan ia ihram di tempat tersebut, maka dia tidak kena dam.[13]

Apabila ia kembali ke miqat setelah ia ihram, maka ada dua pendapat:

1) Menurut Imam Malik, sah ihramnya dan tidak kena dam kecuali jika ia telah melaksanakan salah satu amalan haji seperti thawaf qudum/umrah, maka dikenakan dam.

2) Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali dikenakan dam baik ia kembali atau tidak. Akan tetapi apabila ia kembali maka lepas dari dosa.[14]

b. Tidak kembali lagi ke miqat yang dilaluinya akan tetapi berihram di tempat ia teringat atau sadar, tetapi dia harus membayar dam.[15]

c. Kembali ke miqat yang lebih dekat, pendapat ini dilemahkan oleh jumhur sebagaimana pendapat berikut;

وَقَوْلُ صَاحِبِ اْلبَيَانِ...يُجْزِئُهُ العَوْدُ إِلَى الأَقْرَبِ لأَنَّهُ حُكْمٌ لإرَادَةِ النُّسُكِ. [16]

Artinya:

Pengarang Adlwa’ul Bayan, Muhammad Amin al-Sinqiti berkata: Dibolehkan kembali ke miqat lebih dekat karena untuk kepentingan ibadah (haji atau umrah).

Hal ini dapat terjadi seperti miqat antara Dzulhulaifah dan Juhfah/Rabigh, bagi orang yang datang dari daerah yang melewatinya seperti dari Madinah.

d. Apabila ia sengaja tidak berihram dari miqat tanpa alasan syar'i, maka ia kena dam dan diharuskan kembali ke miqat semula, baik ia telah ihram dan melaksanakan salah satu amalan haji atau tidak. Apabila tidak dilaksanakan maka dikenakan dam dan ia berdosa, apabila karena alasan syar'i hanya dikenakan dam dan tidak berdosa.[17]



[1] Ibnu Manzhur al-Mishri, Lisan al-Arab, Juz 2, hal. 107.

[2] Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah wa al-Ziyarah, (Jeddah: Dar al-Mathba’ah al-Haditsah, t. th.), hal. 58.

[3] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. 1, hal. 632.

[4] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. 1, hal. 632.

[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. 1, hal. 632.

[6] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, (Madinah: Maktabah Salafiyah, t. th), Juz. 7, hal. 199.

[7] Fatwa Majelis Ulama Besar Saudi Arabia No. 5730 tertanggal 21 Rajab 1399 H.

[8] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, Juz. 7, hal. 199.

[9] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Cet. I, Jilid 5, hal. 171.

[10] Said bin abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah, Cet. 10, hal. 69.

[11] Nuruddin Etar, al-Haj wa al-Umrah, hal. 48-49.

[12] Nuruddin Etar, al-Haj wa al-Umrah, hal. 49.

[13] Taqyuddin Ibnu Taimiyah al-Harani, Syarh al-Umdah fi Bayani Manasik al-Haj wa al-Umrah, (Riyadh: Maktabah al-Haramain, 1409 H/1988 M), Cet. 1, Juz 1, hal. 357.

[14] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, (Madinah: Maktabah Salafiyah, t. th), Juz. 7, hal. 68-69.

[15] Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Hajar al-Thiba’ah, 1998 M), Juz 8, hal. 68-70.

[16] Said bin Abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah, hal. 63.

[17] Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzadzab, Juz. 7, hal. 69-70.

1 komentar: