Senin, 02 Januari 2012

INVESTASI WAKAF

INVESTASI WAKAF

Sesuatu yang sangat urgen dan menjadi asas, agar peran wakaf menjadi lebih optimal terhadap masyarakat, yaitu memberikan modal terhadap harta-harta wakaf, yang mana mayoritas harta wakaf adalah benda-benda yang tidak bergerak (permanen) misalnya tanah, sehingga untuk mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat harta wakaf membutuhkan modal, sehingga hasilnya dapat dirasakan manfaatnya. Begutu juga halnya ketika menginvestasikan harta wakaf ataupun perusahaan yang mampu memperoleh output (pendapatan), tidak terlepas dari berbagai faktor-faktor produksi (input) yaitu tenaga , modal, dan beberapa materi lain yang dibutuhkannya.

Berapa langkah untuk menginvestasikan harta wakaf, diantaranya:

- Penelitian keuntungan yang sesuai dengan standar pasar, serta mengutamakan perkembangan bagi perusahaan.

- Memberikan prioritas terhadap perusahaan mana yang akan mendatangkan penghasilan yang bergantian, begitu juga terhadap pihak penanam modal.

Adapun langkah-langkah kontomporer untuk pendanaan dan investasi usaha wakaf:

A. Dari sektor karakteristik terpenting dalam hal wakaf, serta manajemen wakaf yang sesuai dengan perusahaan, perekonomian dan sosial.

1) Wakaf mempunyai karakteristik penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam investasi harta wakaf untuk memperoleh hasil yang maksimal. Dan karakteristik yang pertama, bahwasannya harta wakaf mempunyai sifat ta’bid (keabadian), dengan begitu operasional untuk memperoleh penghasilan wakaf adalah pengeluaran untuk pembangunan serta pejagaannya sehingga bisa dalam pelayanan masyarakat, serta perolehan hasil untuk masa selanjutnya.

2) Karakteristik dari sektor ekonomi, bahwasannya kebanyakan harta wakaf selalu diibaratkan dengan harta – harta tidak bergerak (permanen), sedangkan kalau dilihat dalam investasi suatu perusahaan yang berkembang, kita melihat bahwasannya perusahaan tersebut me,butuhkan cabang dari faktor-faktor produksi mulai dati modal, tenaga (profesionalisme), materi-materi yang di butuhkan, dan biaya operasional.Disini umumnya, harta wakaf dari unsur tertentu, yaitu harta tidak bergerak (permanen) dan mempunyai sedukit faktor-faktor produksi yang lain, seperti uang begitu juga tenaga kerja.

3) Dari segi sosial bahwasannya asal harata wakaf ditujukan untuk pelayanan masyarakat umum, sebagaimana dengan tempat-tempat khusus ibadah-misalnya-masjid,dan pelayanan pendidikan.

B. Bagian dari standar utama perekonomian dan standar Islam dalam memilih usaha-usaha untuk wakaf.

Dalam berinvestasi, para ahli okonomi selalu memilih unit-unit perusahaan yang menghasilkan profit lebih besar bagi investor. Kemudian timbul pertanyaan, apakah standar umum ini sesuai dengan pandangan Islam untuk memilih usaha-usaha wakaf?, menurut pandangan Dr. Anas al-Zarqa, bahwasannya dalam menginvestasikan harta wakaf haruslah memilih unit usaha yang memberikan profit tertinggi, selama usaha tersebut dalam koridor halal.

C. Studi kelayakan operasional dalam usaha.

Secara umum studi kelayakan tersebut, merupakan sebuah penelitian untuk menjawab beberapa soal berikut: apakah tujuan yabg lebih utama bagi kita untuk mendirikan usaha atau tidak ?, kalau iya, bentuk usaha apakah yang lebih baik untuk dijalankan ?. Dari sini akan nampak, bahwa jumlah pemgeluaran untuk usaha dapat diketahui secara pasti, akan tetapi pemasukan (profit) adalah dhan (perkiraan), secara umum kita bisa berpendapat, bahwasannya semua usaha ekonomi diibaratkan rugi apabila belum ada penelitian yang memastikan usaha tersebut akan mengalami untung, kaidah dalam perekonomian”segala usaha ekonomi harus diibaratkan rugi, sehingga dipastikan oleh risetbahwa usaha tersebut untung”.

2. BENTUK-BENTUK KLASIK DALAM INVESTASI WAKAF:

A. Istibdal (penggantian) harta wakaf.

A.1. Pengertian Istibdal

Secara terminologi menurut para fuqaha adalah mengeluarkan barang wakaf dari perwakafan dengan membeli barang lain (yang sama macam dan penggunaannya) untuk dijidikan wakaf sebagai pengganti barang yang dijual. Ada perbedaan pendapat para ulama, boleh tidaknya menjualnya, kemudian dalam masalah ini. Menurut Syafi’iyyah (pengikut madzhab syafi’i) tidak memperbolehkan untuk menjualnya, sama saja dalam harta wakaf permanen maupun non permanent. Menurut Hanafiyah (pengikut madzhab Hanafi) membolehkannya, sama saja dalam harta wakaf permanent maupun non permanent. Menurut Malikiyyah (pengikut madzhab Maliki) membolehkannya dalam harta wakaf non permanent, karena kalau tidak boleh, bisa merusaknya dengan sia-sia (tabdzir), akan tetapi dalam harta wakaf permanent tidak membolehkannya, kecuali pada satu keadaan saja, yaitu apabila dengan menjualnya akan terpenuhi kemaslahatan umum. Sedangkan menurut Hambaliyyah (pengikut madzhab Hambali) sama dengan Hanafiyyah, akan tetapi perbedaannya, hukum asalnya haram, adapun dibolehkannya ketika dlorurah (terpaksa). Dan pendapat yang paling rajin adalah pendapat yang membolehkannya.

A.2. Syarat-syarat istibdal (penggantian) harta wakaf:

1. Tidak berbuat dholim dalam penjualan, begitu juga tidak boleh memberikan atau menyumbangkan bagian dari harta wakaf.

2. Tidak menjual kepada yang syahadahnya (persaksiannya) tidak diterima, begitu juga tidak boleh kepada orang-orang yang berhutang.

3. Barang yang dibelinya –sebagai pengganti barang yang dijual- harus lebih baik dan lebih bermanfaat dari pada barang sebelumnya.

4. Harus memenuhi tujuan dari istibdal (penggantian), diantaranya barang yang dijual dan yang dibeli sama dalam manfaatnya.

A.3. Cara-cara istibdal (penggantian) antara lain:

1. Menjual sebagian wakaf untuk membangun sebagian yang lain dari wakaf itu sendiri.

2. Menjual harta wakaf untuk membangun harta wakaf lain, yang serupa dalam pemanfaatanya.

3. Menjual beberapa harta milik wakaf, dan membeli barang yang baru yang lebih produktif, dan hasilnya untuk pembelanjaan harta yang terjual.

B. IJarah (Penyewaan) Wakaf .

Hukum fikih yang berlaku pada penyewaan wakaf, tidak berbeda dengan hukum yang berlaku pada penyewaan biasa –sewa kepemilikan – yang mana disyaratkan dalam kesempurnaannya, sahnya, pelaksanaan dari dua pihak yang bertransaksi, dan barang yang menjadi obyek transaksi, begitu juga shighah (lafaz ijab dan qabul).

Sesuai dengan realita akan dibolehkannya penyewaan harta wakaf menurut fikih Islam, ketika dalam keadaan yang terpaksa, ataupun kebutuhan yang sangat mendesak. Dalam hal ini terdapat dua topic;

A. Hukum-hukum khusus yang berlaku pada penyewaan harta wakaf ada lima cabang:

1) Orang yang memiliki akad wakaf . Adapun orang yang memiliki akad dalam menginvestasikan harta wakaf dengan ijarah (penyewaan) atau dengan lainnya adalah nadzir (pengelola), tanpa yang lain . Dengan begitu seorang hakim tidak boleh menyewakan harta wakaf dengan adanya nadzir (pengelola), karena pengelola memiliki kekuasaan khusus pada harta wakaf, akan tetapi diperbolehkan bagi hakim (qadli) ketika tidak adanya nadhir (pengelola).

2) Kepada siapa harta wakaf disewakan. Tidak diperbolehkan bagi pengelola untuk menjadi penyewa harta wakaf, atau kepada orang dibawah perwaliannya-misalnya-anaknya sendiri yang masih kecil , karena sama saja bahwa penyewa dan yang menyewakan adalah orang itu sendiri, begitu juga tidak boleh bagi pengelola untuk menyewakan kepada orang yang tidak diterima syahadahnya (persaksiannya)

3) Standar ukuran biatya (tarip) harta wakaf. Tidak dibolehkan bagi pengelola untuk menyewakan harta wakaf dengan mengecilkan (mangurangui) dari biaya mitsli.

4) Lama penyewaan harta wakaf. Yang ditentukan dalam fikih islam,tidak diperbolehkan bagi pengelola untuk menyewakan harta wakaf apabila dalam akad tersabut belum ditentukan batasnya, maka sesuai dengan pendapat yang rajin dari fuquaha, untuk harta non permanen dan hewan selama satu tahn ,sedangkan untuk harta permanent selama tiga tahun

5) Selesai masa penyewaan wakaf. Habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi, setelah itu wajib bagi penyewa untuk menyerahkan kembali kepada pengelola.

B. Hukum-hukum khusus hakr (pemaanfaatan tanah).

Al-hark berasal dari bahasa arab, secara etimologi bararti al-man’u (larangan), sehingga orang yang mempunyai hak hark, berhak untuk melarang yang lain untuk memanfaatkannya. Sedangkan secara teminolagi yaitu, akad sewa dangan tujuan pemanfaatan tanah ditentukan untuk dibangun sebuah bangunan, ataupun untuk ditanami.

- syarat sahnya hark:

a. Diharuskan dalam akad sewa memenuhi akad yang sah, yaitu diketahuinya masa dan upah (tarip),yang tidak dari upah mitsli

b. Senpurnanya akad hark ketika sangat terdesak dan terpenuhinya maslahet bagi harta wakaf.

c. Harus seizin mahkamah khusus, dan harus didaftarkannya.

- Hak-hak bagi muhtakir (pemakaian tanah)

a. Berhak untuk memanfaatkan tanah wakaf untuk mendirikn gedung, ataupun untuk bercocok tanam, yaitu sesuai dangan akad.

b. Mempunyai hak milik, sehingga boleh menjualnya, menggadaikannya, mewakafkannya, memberikannya, mewasiatkannya, dan mawariskannya.

c. Mempunyai hak untuk menentukan sesuatu atas tanah, mendirikan (pondasi), menanam pohon, atau yang lainnya. Dan tidak boleh dianbil setelah habisnay waktu, selama kawajiban untuk membayar sewa (ujaran mitsli) dipenuhi

- Hak-hak yangharus dilakukan muktakir (pamakai tanah):

a. Membayar uang sewa (ulroh mitsli)

b. Bagi penyewa harus memperhatikan faktor-faktor untuk menjaga tanah agar tetap produktif, sesuai dengan syarat-syart yang disepakati.

3. BENTUK BANTUK KONTEMPORER DALAM INVESTASI WAKAF.

A. Mudharabah (spekulasi) dan syirkah (persekutuan).

Memperoleh sebuah kesepakatan dari dua modalitas (pihak) untuk mangadakan persekutuan diantara keduanya,yang mana pihak pertama (syarik) memberikan uang yang dibutuhkan, sedangkan pihak yang kadua mangeluarkan factor produksi lain yang di butuhkan,dan keuntungan dibagi sesuai dengan prosentase bagiannya, yang telah disepakati dalam akad.

A. Promes / surat pengakuan atas hutang (sanadat muqaradlah).

- tujuannya adalah, sebagai sarana bagi bank tamwil (pendanaan) untuk memberikan saham dalam unit perusahaan. Begitu juga sebagai pengganti islami dari pinjaman yang mengandung ribawi, yang berdasarkan bunga. Sanadat jmak dari kata sanad, secara bahasa bararti peyangga dan penopang, ada yang menyatakan surat/ kartu obligasi.Adapun muqradlah adalah mudlarabah, diambil dari kata al-qath’u (memotong), karena orang penanam saham (pemodal) memotong sebagai hartanya untuk biaya operasional dan mendapatn bagian dari keuntungan.

- Beberapa dampak positif dalam memenuhi perkembangan ekonomi.

1. Sanada muqaradlah (saham) merupakan salah satu saran untuk mendanai dengan jumlah yang cukup besar dalam waktu relativ lama, yang berbentuk faktor-faktor prodoksi,yaitu modal dan tenaga (profesionalisme), dengan cara kerja sama antara pihak yang mempunyai modal dengan yang mempunyai profesionalisme dalam mengatur perusahaan.

2. Bentuk ini merupakan solusi yang islami, dari bentuk pinjaman yang diberikan oleh bank konvesional dalam system bunga. Dengan begitu terhindarlah masyarakat solusi dari riba.

3. Beroperasi dangen berbagai tempat yang ada untuk menjadikan harta-harta yang tidakj produktif manyjadi produktif, yaitu dengan adanya investasi.

4. Bentuk ini bisa diibaratkan sebagai inti titik permulaan pangendalian modal islami,yang mana modal islami,dan memberikan investasi untuk manumbuhkan kesejatraan masyarakat sosial.

5. Formula ini –salah satu mode investasi wakaf –akan memberikan tambahan modal bagi wakaf islam, dengan mananamkan modal kepada perusahaan-perusahaan perekonomian yang mana – secara umum- suatu usaha yang memberikan maanfaat kapada masyarakat islami. Secara tidak langsung peran wakaf untuk memenuhi kebutuhan masyarat akan terealisasi.

6. Yang berhubungan dengan harta wakaf,mode ini membolehkan bagi penanam modal untuk menarik modalnya secara berangsur dari suatu unit usaha, dengan masa yang diketahui, yaitu setelah kembalinya modal yang diberikan untuk memenuhi segala kebutuhan untuk pembentukannya.

- Syarat –syarat dari pandangan fiqih;

1. Bentuk-bentuk promes (surat pangakuan atas hutang) yang diterima syar’i adalah umum,harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Surat(promes) merupakan pemilikan dari bagian bersama suatu unit usaha dari pihak yang mengeluarkannya untuk pengembangannya (pendanaannya). Berlangsungnya kepemilikannya ini dimulai dari permulaan berdirinya suatu usaha sampai berakhirnya suatu usaha. Sehingga mempunyai hak untuk menjual,memberiakn, mengadaikan, dan mewariskan akta (promes) tersebut.

b) Akad harus berdiri pada asa, bahwa syarat-syarat akad harus membatasi prosentasenya, dan melaporkan pengeluarannya . Sedangkan ijib dengan menyetorkan uang dengan akta (promes). Qobul diibaratkan dengan adanya kesepakatan dari pihak yang mengeluarkan modal untuk memperoleh akta (promes). Laporan yangf dikeluarkan harus mancakup seluruh keterangan yang ada dalam akad,sebagaimana katerangan tentang modal, konstribusi keuntungan dan syarat-syarat khusus pengeluaran sesuai dengan hukum syar’i.

2. Diperolehkannya akta (promes) dalam perputaran pasal modal (suk aurak maliyah) dan tetap tunduk dengan akad yang semula.

3. Laporkan pengeluaran akta (promes) tidak boleh mencakup pada ketetapan jaminan amil mudlaribah (palaku bisnis) dengan modal.atau jaminan ketentuan pasti yang dihubunngkan dengan modal,jika terjadi ketetapan secara terang atauoun bagian dalamnya, maka syarat jaminan tersebut batal.

4. Tidak diperbolehkan dalam mengeluarkan brosur , begitu juga akta (promes) dilandasi ketetapan diharuskannya untuk menjual.

5. Tidak diperbolehkan dalam brosur yang dikeluarkan, suatu ketetapan yang menyebabkan kemungkinan terputusnya perusahaan dari keuntungan.

6. Memperoleh keuntungan dengan jelas, dan memiliki dangan tunai atau penaksiran harga. Sesuai dengan prosentase untuk perusahaan yang dihasilkan.

7. Tidak adanya larangan secara syar’i untuk menetapkan prosentase tertentu di akhir periode (fase).

8. Tidak adanya larangan syar’i , untuk menetapkan pengeluran brosur atau muqaridhah (pinjaman) untuk mengadakan dengan pihak ketiga.

B. Mudlarabah (spekulasi) dan perusahaan (perusahaan)

Bagi pengelola harta wakaf sangat memungkinkan untuk bekerja sama dengan perusahaan dan spekulan (orang berbisnis). Untuk memenuhi pendanaan yang sudah menjadi keharusan dalam berinvestasi, yang tidak memerlukan dikeluarkan promes (akta), yaitu dengan adanya kesepakatan dari pengelola kawaf dengan pihak penanaman modal untuk membangun perusahaan. Dengan begitu pihak wakaf memperoleh bagian dari harga barang wakaf yang dieksploitasi untuk usaha, dan pihak penanam modal mendapat bagian sebagaimana yang dikeluarkannya untuk membangun perusahaan. Sehingga keuntungan dari keduanya sesuai dengan bagian (saham) yang dikeluarkannya, dan juga memperhatikan usaha (energi) yang telah dilakukan untuk pengembangan perusahaan.

Dari sini nampak beberapa point diantaranya:

1. Memungkinkan bagi penanam modal untuk ikut berinvestaasi dengan modal yangh lebih sedikit, dibanding kalau berinvestasi sendiri, sehingga memudahkan baginya untuk memenuhi kebutuhan lain, tau untuk diinvestasikan dilain perusahaan.

2. Harta wakaf berperan dalam membantu pelaksanaan perusahaan, sehingga mendorong bagi penanam modal untuk berinvestasi.

3. Diperolehkan bagi penanam modal untuk menarik secara berangsur dari masa yang diketahui setelah kambalinyua modal yang dikeluarkan dalam pembangunan perusahaan, dengan tambahan bagian dari keutungan.

C. Al-istishna’ (minat pesanan)

1) Kata istishana secara etimologi berarti minat dibutuhkan. Adapun secara terminology terdapat perbedaan dari para fuqaha.

Yang pertama : Menjual barang yang disifati dalam tanggungan, bukan menjual pekerjaan(perbuatan).

Yang kedua : Akad atas penjualan barang dalam tanggungan sebagai syarat adanya pekerjaan (perbuatan).

2) Syarat-syarat dibolehkannya istishna’:

a. Keterangan jenis, macam, ukuran, dan sifat suatu barang yang dibuatnya dengan jelas dan sempurna, sehingga terhindar dari ketidak tahuan (gharar) yang bisa mengakibatkan perselisihan.

b. Disyaratkannyab tempo dalam istishnha’.

c. Akad istishna’ harus sesuai dengan mu’amalah yang berlaku.

3) Luzumnya (ketetapan) akad ishtishna’.

Untuk mangetahui luzuim dan tidaknya akad istishna ’ kita harus mangetahui fase-fase dalam penyerapan akad.

Fase pertama: fase sebelum perbuatan.

Fase kedua: fase setelah perbuatan, dan setelah melihat barang hasil pembuatan setelah permintaan.

Fase katiga:fase setelah pembutan, dan setelah melihat barang hasil pembuatan, setwelah permintaan.

Dari beberapa fase ini ada 2 hal (keadaan):

Hal pertama: Tadak adanya kecocokan barang yang disyaratkan, serta sifat-sifat yang diminta.

Hal kedua: adanya kecocokan barang terhadap yang disyaratkan,serta sifat-sifat yang diminta.

Sesuai dengan realita, bahwa akad istishna’ tidak lazim pada fase pertama dan kedua bagi dua pihak, begitu juga tidak lazim pada hal (keadaan) pertama dari fase yang ketiga. Disini tidak ada perbedaan dari para fuqaha madzhab.

Adapun pada hal (keadaan) kedua dari fase ketiga yaitu: ketika seorangf pembutan membawa barang yang dibuat sesuai dengan sifat-sifat serta ukuran yang diminta, maka dalam luzumnya bagi pemesan barang terjadi perbedaan pendapat,adanya yang berpendapat khiyar, yaitu jika berkehendak boleh mebngambilnya dan juga boleh meninggalkannya, ini pendapat Imam Abu Yusuf yaitu : lazim bagi pemesan pada keadaabn seperti ini.

Dan pendapat yang dirajihkan oleh Dr. Yasin diradahkan merajihkan pendapat Abu Yusuf, dengan alasan: karena apabila seorang pembuatan barang dating dengan barang sebagimana yang disifatinyam, kemudian pemesanan tidak manerimanya(tidak mau mengambilnya) maka akan mengakibatkan bahaya, yaitu bisa terjadi pertikaiaan, dan ini merupakan bahaya yang nyata.

Penerapan kontemporer untuk akad isthsna’dalam bidang wakaf.

Problematika yang dihadapi oleh harta wakaf, yaitu dengan tidak adanya harta non permanent (uang) bisa dicarikan solusi dengan bersandar dengan badan tamwil (pendanaan) yang bermacam-macam- misalnya bank Islam-, untuk mendanai biaya operasional (menginvestasikan modalnya) pada tanah wakaf dengan akad istishna’ yaitu adanya kesepakatan dari pihak wakaf dengan salah satu pihak tamwil (permodal), yang mana cara mengerjakannya dengan memilih seorang wakil, yaitu orang yang profesional untuk mengerjakannya.

Setelah sempurnanya usaha, pihak wakaf menerimanya sesuai dengan sifat-sifat, ukuran dan syarat yang diminta, kemudian membayar harga dari usaha, kepada badan tamwil (pendanaan) dengan bentuk kredit, dan dibatasinya (ditentukan) harga serta waktunya, bersandar pada penghasilan yang diperoleh dalam usaha itu. Sehingga pihak wakaf akan mampu memenuhi kredit pada waktu yang telah dibatasi.

Dan lebih pantas seandainya ada pihak ketiga –miaslnya- Negara yang menanggung harga kredit secara penuh,dan menutupinya pada waktu yang telah ditentukan, bisa dalam bentuk pemberian mampu pinjaman. Dengan akad seperti ini, serts jaminan yang diberikan Negara, akan memberi motivasi kepada investor untuk memutar uangnya dalam bidang investasi wakaf.

D. Muasyarakah dengan berangsur yang berakhir dengan kepemilikan.

Mode ini merupakan macam-macam dari bentuk musyarakah yang memberikan pendorong bagi penanaman modal dalam bersekutu (bekerja sama). Serta adanya hak untuk tetap pada posisinyua, yaitu memiliki perusahaan, ataupun menarik modal secara berangsur ataupun langsung, sesuai dengan syarat yang menjadi kesepakatan.

Disini pihak wakaf memungkinkan untuk berinvestasi sesuai dengan mode bentuk ini, yaitu mendirikan perusahaan dengan badan tamwil (pendanaan) yang mana, pihak wakaf memproleh bagian seharga barang wakaf, yang dieksploitasinya untuk didirikan sebuah perusahaan, adapun bagian dari pihak tamwil (pemodal) memperoleh bagian dari harta yang dikeluarkannya untuk perusahan dan pembagian profit (keuntungan ) sesuai denagn prosentase bagian yang telah disepakati. Akan tetapi keuntungan pihak wakaf dibagi manjadi dua, yang setengahnya digunakan biaya operasional dan setengahnya lagi untuk menutupi apa yang telah diberikan telah diberikan untuk biaya operasional dan setengahnya lagi untuk menutupi apa yang telah diberikan pihak tamwil dalam perusahaan.

E. Muzara’ah (pertanian), musaqoh (pengairan) dan mugharasah (perkebunan).

1) Muzara’ah, yaitu pihak yang memiliki tanah pertanian (tanpa ada tanaman) -disini pihak pengelola wakaf -, menyerahkan kepada pihak kedua berinvestasi, dengan cara menananminya. Dan keuntungan dibagi sesuai dengan prosentase yang disepakati.

2) Mode dari Musaqah (pengairan), yang dilakukan oleh pihak pemilik tanah pertaniann ataupun perkebunan yang ada tanamanya (pohonnya) -disini pihak pengelola wakaf , kemudian menyerahkannya kepada puhak kedua untuk berinvestasi , yaitu dengan cara memelihara dan menjaganya yaitu mengairinya sampai berbuah, dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.

3) Bentuk dari mugharasah (perkebunan), yang dilakukan oleh pemilik tanah perkebunan- kosong tanpa ada tanaman- (pihak pangelola wakaf) menyerahkannya kepada pihak kedua untuk berinvestasi, dengan cara menanam pohon , menjaga serta memeliharanya, dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.

1 komentar: