Hukum Mabit di Mina
Oleh Sarmidi Husna
Dalam rangka menyambut dan melayani jamaah haji, pemerintah Arab Saudi telah berupaya memperhatikan keselamatan, kenyamaanan, dan estetika jamaah haji. Masalah jumlah jamaah yang tidak sebanding dengan tempat-tempat tertentu di Makkah yang digunakan untuk ibadah telah mengakibatkan penuh sesak dan desak-desakan para jamaah.
Kondisi ini sudah tentu berpotensi menimbulkan kecelakaan yang tidak perlu. Dan bahkan menimbulkan korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit, seperti yang terjadi di terowongan Mina (Muaisiin) sekitar dua puluh tahun lalu.
Untuk menghindari jatuhnya korban lebih lanjut, dan untuk meningkatkan kenyamanan para jamaah haji maka pemerintah Arab Saudi yang menguasai tanah hijaz (Mekkah, Madinah, dan Ta’if) mengambil sejumlah langkah seperti perluasan Masjidil Haram, pelebaran jamarat bahkan membuatnya bertingkat empat, perluasan tempat Sa’i dan membuatnya bersusun tiga tingkat, dan pembangunan kemah jamaah haji di luar Mina untuk ibadah mabit di Mina.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut tidak sedikit para jamaah haji bingung dan ragu untuk melaksanakan ibadah haji di tempat-tempat tersebut. Tak pelak, timbulah pertanyaan-pertanyaan hukum apakah ibadah di tempat-tempat perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh syara’ dan tidak mengakibatkan tidak sahnya haji seseorang?
Dari beberapa perubahan tersebut, perubahan kawasan Mina menjadi banyak perhatian tidak hanya para ulama dan praktisi haji, akan tetapi juga para jamaah haji. Hal ini bukan hanya disebabkan mabit di Mina itu merupakan salah satu dari wajib haji (menurut sebagian ulama), akan tetapi juga disebabkan Mina itu memilki tanda khusus (Nihayatu Mina). Sehingga tak heran jika jamaah ragu apabila mereka mendapatkan tempat mabit di luar Mina; bagaimanakah hukum mabit pada dua atau tiga hari tasyriq yang dilaksanakan di luar batas-batas Mina yang semestinya? Ini tentu pertanyaan penting yang harus dijawab. Sehingga para jamaah haji yang kebetulan mendapatkan kemah mabit di luar Mina tidak merasa bingung dan ragu dalam melaksanakannya.
Pengertian dan Hukum Dasar Mabit di Mina
1. Pengertian
Kata mabit secara etimologi (bahasa) berarti bermalam. Sedangkan secara terminologi (istilah), Mabit di Mina adalah bermalam di Mina pada hari-hari tasyriq (10,11,12, dan 13 Dzulhijjah) demi untuk memenuhi ketentuan manasik haji.
2. Hukum Mabit di Mina
Hukum mabit di Mina terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab, yaitu;
a. Menurut Imam Abu Hanifah dan qaul jadid Imam Syafi'i, mabit di Mina hukumnya sunat. Jamaah haji yang tidak mabit di Mina tidak diwajibkan membayar dam.
b. Menurut Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad Ibnu Hambal, mabit di Mina hukumnya wajib. Jika jamaah haji tidak mabit satu malam maka wajib membayar satu mud; jika dua malam wajib membayar dua mud; dan jika selama tiga malam maka wajib membayar dam.
c. Jamaah haji yang tidak dapat melaksanakan mabit di Mina terdapat beberapa pendapat:
1) Jika jamaah haji meninggalkan mabit di Mina tiga malam berturut-turut tanpa uzur, menurut Imam Maliki, Syafi’i, dan Hanbali ia wajib membayar dam. Sedangkan menurut Hanafiyah tidak wajib membayar dam, karena menurut Hanafiyah bahwa mabit di Mina hukumnya sunat bukan wajib.
2) Jika meninggalkan mabit di Mina karena uzur, menurut Ibnu Abbas tidak apa-apa bagi orang yang menjaga harta/barangnya di Makkah yang dikhawatirkan keamanannya. Selain itu, al-Nawawi juga berpendapat bahwa orang yang meninggalkan mabit di Mina karena uzur tidak dikenakan bayar dam. Misalnya orang-orang yang; harus menjaga hartanya; khawatir atas keselamatan jiwanya; sangat susah melakukan mabit di Mina; padanya ada orang yang sakit yang membutuhkan perawatannya; atau lainnya maka ia boleh meninggalkan mabit di Mina dan tidak ada sesuatu (sanksi).
Hukum Mabit di Luar Mina
Mengenai mabit di luar Mina terdapat beberapa pendapat dan alasan yang dapat dijadikan dasar :
1. Sebagian ulama berpendapat dan membolehkan mabit di Mina Jadid, serta sah mabit di sana, dengan syarat perkemahan tersebut bersambung (ittishal) dengan perkemahan yang ada di Mina Qadim. Pendapat ini di-qias-kan/di-ilhaq-kan dengan sahnya salat jum’at di Masjid. Jika masjid sudah penuh maka jamaah bisa dan sah shalat di luar masjid asalkan shafnya bersambung. Dengan pula mabit di luar Mina (Wadi al-Muhassir) adalah sah menurut syara’, karena kemah-kemah tersebut dianggap masih bersambung (ittishal) dengan kemah-kemah yang ada di Mina.
Kebolehan ini sejalan dengan kaidah-kaidah syar`i sebagai berikut:
a. Al-Dharuratu Yuzalu (Sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan). Karena lokasi Mina sangat terbatas dan jumlah jamaah yang sangat banyak, jika dipaksakan akan menimbulkan berbagai masalah, seperti berdesak-desakan dalam kemah dan menggunakan fasilitas-fasilitasnya.
b. Al-Masyaqqah tajlibu al-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan). Jumlah jamaah haji yang terus meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan kesulitan bagi pemerintah Arab Saudi dalam menyediakan kemah dan fasilitasnya yang layak untuk mabit, antara lain karena keterbatasan lokasi. Karena itu, diperbolehkan mabit di sekitarnya dengan ketentuan kemah-kemah tersebut saling bersambungan, sebagai bentuk kemudahan (taysîr).
c. Al-Amru idza dhaqa ittasa’a (jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka perlu diperluas dan dipermudah). Jumlah jamaah haji yang banyak yang melakukan mabit di Mina jika tidak diantisipasi akan menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu kekhusyukan beribadah. Karena itu, perluasan area mabit di luar Mina menjadi sebuah keniscayaan selama tidak tersedianya tempat yang layak di Mina.
d. Hukm al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (kebijakan penguasa mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat). Sebagai pelayan dan penanggung jawab pelaksanaan haji Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan perluasan area mabit sampai ke Muzdalifah. Keputusan tersebut telah mendapat pertimbangan para ahli termasuk Mufti Kerajaan dan para ulama yang tergabung dalam Hay`at Kibâr al-`Ulamâ (Majelis Ulama Besar). Oleh sebab itu, jamaah haji harus mematuhi ketetapan pemerintah Saudi sebagai penguasa dalam urusan haji.
Kaidah-kaidah di atas menunjukkan bahwa syari`at Islam menganut prinsip kemudahan dan berupaya menghilangkan segala bentuk kesulitan. Keringanan dan kemudahan termasuk salah satu karakteristik dari risalah Islam. Allah SWT berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran (QS. Al-Baqarah/ 2:185).
2. Para ahli hukum (fuqaha) dari kalangan sahabat berpendapat bahwa kewajiban mabit di Mina pada malam-malam tasyriq hanya bagi orang yang mampu melakukannya, dan mendapatkan tempat yang layak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur). Beberapa dalil menunjukkan gugurnya kewajiban bermalam di Mina bagi orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas, dan ia boleh bermalam di mana saja, baik di Makkah, Muzdalifah,’Aziziyah, atau selainnya. Ia tidak harus bermalam di ujung perkemahan di Mina, jalanan, gang-gang di antara tenda-tenda, tempat di depan pancuran air, lantai, dan puncak-puncak gunung itu bukan tempat yang layak bagi bermalamnya anak Adam (dhuyuf al-Rahman), yaitu bermalam yang selaras dengan ruh ibadah yang agung ini. Salah satu dalil tersebut adalah hadits dari Ibnu ra., ia berkata: Al-Abbas meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk bermalam di Makkah pada malam-malam mabit di Mina’ untuk mengurusi air minum, lalu beliau mengijinkannya.
Bila memang ada keringanan untuk tidak bermalam di Mina bagi orang yang bertugas mengurusi minuman, sedangkan mereka itu mendapatkan satu tempat untuk bermalam di Mina, maka apalagi bagi orang yang tidak mendapatkan satu tempat yang layak di Mina karena telah penuh, tentu lebih boleh.
Selain itu, ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa bahwa mabit di perkemahan perluasan Mina hukumnya sah, sebagaimana pendapat Syekh Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan;
a. Jamaah haji yang mabit di Wadi al-Muhassir (Muzdalifah) tidak dikenakan bayar dam, jika Mina tidak bisa lagi dijadikan tempat mabit karena tidak bisa menampung jamaah haji.
b. Mabit di perluasan Mina sah menurut syara’, karena yang menetapkan perluasan batas Mina ke Muzdalifah itu adalah pemerintah Saudi sebagai pelayan dan penanggung jawab pelaksanaan haji. Dan dalam penetapan tersebut, pemerintah Arab Saudi telah memperbincangkannya dengan para ulama ahli yang ada di Arab Saudi dan sudah mendapatkan restu dari muftinya.
Dengan demikian, jamaah haji yang kebetulan ditempatkan di perluasan Mina tersebut, hajinya sah dan tidak harus bayar dam, walaupun mabitnya di luar Mina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar