Senin, 02 Januari 2012

MUSLIM PASCA HAJI


Muslim Pasca Haji

Oleh Sarmidi Husna

Lebih dari 200 ribu jamaah haji Indonesia yang berada di Makkah telah usai melaksanakan serangkaian manasik haji. Sesuai dengan tradisi Indonesia, mereka sudah berhak menyandang gelar haji/hajah sebagai panggilan atau disematkan di depan namanya. Selanjutnya, secara bergelombang mereka akan meninggalkan Makkah untuk kembali ke Tanah Air.

Dengan jumlah lebih dari 200 ribu pada musim haji tahun ini, berarti jumlah penduduk Indonesia yang telah berhaji otomatis tambah 200 ribu orang. Jumlah ini cukup besar, karena jika dirata-rata per tahun Indonesia memberangkatkan haji 200 ribu orang, maka pada 10 tahun terakhir Indonesia telah memiliki sekitar 2 juta orang haji, atau hampir setara dengan 1% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.

Dua juta orang merupakan jumlah dan sekaligus potensi yang sangat besar yang dapat dijadikan subyek (pelaku) perubahan baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan. Hal ini bukan hanya sekedar harapan, akan tetapi merupakan tuntutan bagi Muslim pasca haji untuk selalu konsisten (istiqamah) dalam beribadah, bertindak dan berperilaku lebih baik dari sebelum mereka berhaji. Dan ini bukan berlebihan bila mengharapkan mereka sebagai katalisator perbaikan moral bangsa yang sedang karut marut ini. Karena ibadah haji, demikian pula bentuk ibadah lain seperti, shalat dan puasa, yang amat urgen adalah ruh ibadah yang harus membekas dalam tingkah laku pelakunya. Selain itu, ibadah haji adalah sarana untuk mendidik pelakunya menjadi orang baik, rendah hati, disiplin, istiqamah, berjiwa sosial, dan peduli terhadap lingkungan. Apalagi menjadi haji mabrur tentu lebih nyata perilaku kebaikannya. Atas dasar itulah, ibadah itu bersangkutan kuat dengan keteguhan jiwa dan ketabahan hati menempuh hidup untuk meningkatkan keimanan yang dapat melahirkan kebaikan dan rasa aman (QS. Al-Anam: 82).

Menurut Nurcholish Madjid (1992), rasa aman itu akan menjadi bekal untuk mewujudkan cita-cita menempuh hidup bermoral, yaitu hidup yang disemangati oleh kesadaran sosial yang setinggi-tingginya. Kesadaran sosial itu misalnya dilambangkan oleh pakaian ihram yang serba egaliter dalam haji dan umrah, ucapan salam diakhir shalat dengan menengok kanan kiri, membayar zakat fitrah diakhir bulan Ramadhan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ibadah yang tidak melahirkan kesadaran sosial itu –suatu perwujudan nyata terpenting hidup bermoral– akan kehilangan maknanya yang hakiki, sehingga pelaku suatu bentuk ibadah formal tanpa kesadaran sosial itu justru terkutuk oleh Allah (QS. Al-Ma’un: 1-5). Dengan demikian ibadah sebagai pernyataan perjalanan seluruh hidup seseorang menuju Sang Khaliq, jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan istiqamah akan membuat hidup kerta raharja (QS. Al-Jin: 16).

Namun ironisnya, jumlah haji yang makin bertambah tiap tahun itu tidak sebanding dengan kondisi sosial bangsa yang tak kunjung membaik. Alih-alih membuat hidup kerta raharja atau meningkatkan kesejahteraan sosial dan meningkatkan kualitas moral bangsa, beberapa diantara mereka justru memperparah kondisi bangsa tersebut. Peningkatan jumlah haji tidak otomatis bisa dibaca sebagai penurunan jumlah kasus korupsi. Justru para koruptor makin lama makin nampak bertambah populasinya. Lebih miris lagi ketika banyak nama-nama orang yang sudah berhaji berurusan dengan KPK atau penegak hukum lainnya.

Kenapa hal itu bisa terjadi pada Muslim pasca haji? Apa yang menyebabkan bangsa ini masih saja terpuruk, walau sudah banyak Muslim yang berhaji dan juga rajin melaksanakan bentuk-bentuk ibadah yang lain? Dan bahkan kenapa banyak orang yang menyandang predikat haji masih saja berbuat dan berakhlak buruk, seperti tersandung kasus korupsi?

Setidaknya ada dua penyebab mengapa Muslim pasca haji berbuat yang demikian itu. Pertama, ibadah haji memiliki nilai prestise yang tidak hanya secara transental –memenuhi perintah Allah–, tapi juga secara sosial-kultural. Orang yang telah berhaji biasanya dianggap alim atau shaleh, karena telah dapat menyempurnakan keislamannya, sehingga mereka mendapat julukan haji/hajah, yang diikuti dengan perubahan lahiriyah, seperti gaya berpakaian yang lebih islami. Rupanya nilai prestise itulah yang menarik minat masyarakat untuk berlomba-lomba menunaikan ibadah yang menelan dana puluhan juta rupiah itu. Pasalnya, ibadah haji dianggap cara moncer untuk membangun brand image citra politik maupun sosial di masyarakat. Dengan niat seperti itu bukan saja akan berdampak pada keabsahan/kemabruran haji, tetapi juga kualitas hajinya yang tidak akan memiliki pengaruh (atsar) terhadap peningkatan keimanannya. Sehingga mereka mudah terjerumus dalam perbuatan maksiat, seperti korupsi.

Kedua, Muslim pasca haji banyak yang tidak istiqamah dengan kehajiannya. Islam meletakkan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima ini mengandung makna bahwa orang berangkat menunaikan ibadah haji sudah melaksanakan rukun-rukun Islam yang mendahuluinya secara konsisten. Dengan demikian, apabila orang sudah haji tidak melaksanakan rukum-rukun Islam empat lainnya, itu pertanda haji yang tidak mabrur.

Perlu diingat bahwa haji mabrur itu berbeda dengan haji makbul (diterima). Haji makbul cukup diperoleh dengan penyempurnaan syarat, rukun, wajib, dan sunnah haji. Berbeda dengan haji makbul, selain melaksanakan syarat, rukun, wajib dan sunah haji secara sempurna, haji mabrur membutuhkan waktu untuk menyadarinya. Artinya, ia membutuhkan watak dan karakter individu yang andal dan istiqamah dalam beribadah. Ini menunjukkan bahwa haji mabrur tidak dapat diukur pada saat proses pelaksanaan haji saja, tetapi terutama seusai pelaksanaan haji itu sendiri. Selain itu, haji mabrur tidak hanya dituntut istiqamah dalam beribadah mahdhah (formal) saja, tetapi juga ibadah-ibadah sosial seperti, tidak rafats (berkata-kata kotor dan sembrono), tidak fasik (berbuat keonaran), tidak jidal (berbantah-bantahan), dan harus mengerjakan kebaikan (QS. Al-Baqarah: 197). Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan), yang tidak cukup dengan zikir, tapi diperlukan transformasi spiritual.

Berangkat dari dua hal di atas, paling tidak ada tiga pertanyaan penting yang harus direnungkan oleh Muslim pasca haji: (1) Apakah haji yang dilaksanakan itu diterima oleh Allah? Ini dapat dirunut antara lain dari mana diperoleh ongkos perjalanan haji, bagaimana proses pelaksanaan manasik haji, dan perbuatannya sudah lebih baikkah ketimbang sebelum berhaji?; (2) Apakah semua ibadah telah dilaksanakan dengan hanya mengharap ridha Allah atau ada motifasi lainnya?; (3) Sepulang haji apakah sanggup mengemban/memelihara predikat haji, yaitu secara konsekwen dan konsisten menjalani semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Jika ongkos berangkat haji bukan dari harta yang halal, seperti dari hasil korupsi, maka banyak ulama mengibaratkan seperti mandi dengan air kotor, berwudhu dengan najis, mengepel dengan kain pel yang kotor. Jika Muslim pasca haji tidak konsisten menjalankan rukun Islam lainnya, maka jawaban pertanyaan ketiga pasti negatif, yaitu tidak sanggup mengemban/memelihara predikat haji. Jika hal ini terjadi pada seorang pejabat yang punya peluang korupsi, maka korupsinya makin menjadi-jadi. Jika terjadi pada seorang pedagang yang selama ini ia selalu berbohong untuk memperoleh untung, maka ia akan bernaung pada predikat hajinya untuk lebih leluasa berbohong, dan seterusnya.

Untuk itu, Muslim pasca haji harus bisa istiqamah melakukan amalan-amalan yang biasa dilakukan ketika menunaikan haji di Tanah Suci. Misal saja, ketika mereka berada di Makkah dan Madinah rajin mengikuti shalat berjamaah di masjid, mudah tergugah untuk membantu orang lain dengan bersedekah, tidak rafast, tidak fasik, dan tidak jidal, maka hendaknya kebiasaan itu dengan konsisten tetap dilaksanakan di Tanah Air. Istiqamah melaksanakan semua rukun Islam itu yang harus selalu dilakukan oleh Muslim pasca haji yang sudah lebih lengkap keislamannya ketimbang orang yang belum melaksanakan haji.

Jika semua Muslim pasca haji yang saat ini jumlahnya lebih dari 1 juta orang dapat istiqamah dalam beribadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah sosial, maka insya Allah akan sangat membantu bangsa ini untuk mewujudkan bangsa yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi tata tenteram karta raharja). Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar