PENGEMBANGAN POTENSI WAKAF
DALAM UPAYA MENINGKATKAN EKONOMI UMAT
PROF. DR. KH. THOLHAH HASAN
Perintah-perintah ibadah dalam Islam selalu mengarah pada tujuan yang mencakup beberapa dimensi, paling tidak mencakup: (1) meningkatkan ketakwaan, dan (2) meningkatkan kesejahteraan umat. Untuk memahami dimensi-dimensi tujuan ibadah tersebut, kadang-kadang dapat ditangkap dengan jelas, dan seringkali hanya dapat ditangkap dengan samar-samar. Di antara yang dapat ditangkap dengan jelas, adalah ibadah maliyah, seperti zakat, wakaf, hibah dan lain sebagainya. Pengertian ini tidak berarti bahwa ibadah-ibadah yang lain tidak mencakup dimensi ketakwaan dan dimensi kesejahteraan. Lihat saja seperti ibadah puasa, haji, sholat, korban dan lain-lain, apabila dicermati selalu ditemukan tujuan-tujuan tersebut. Al-Qur’an sendiri seringkali menyebut ketakwaan itu dibarengi dengan kesejahteraan, seperti firman Allah SWT:
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, dan mengamankan mereka dari rasa takut“. (QS. Quraisy : 3-4)
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa , pastilah Kami akan me-limpahkan berkah kepada mereka dari langit dan bumi .... “ . (QS. al-A’raf : 96)
Perintah wakaf itu sendiri terjadi pada saat Nabi Muhammad saw. dan masyarakat Islam sudah berada di Madinah, dan sedang giat-giatnya menata dan membangun kehidupan masyarakat, dalam bidang politik, keamanan, ekonomi dan sosial, dalam rangka mewujudkan “baldatun thoyyibah wa rabbun ghafur“. Tapi Nabi saw. dan para elite sahabat juga menyadari masih banyak masalah sosial yang harus dibenahi, termasuk kesenjangan dalam kehidupan masyarakat, antara yang mampu dan yang tidak mampu, antara yang mempunyai akses ekonomi yang luas dan yang aksesnya terbatas.
Sejarah tasyri’ wakaf menurut sebagian besar ulama, dimulai pada tahun ke-7 H, setelah pembebasan Khaibar dari komunitas Yahudi yang menguasainya. Waktu itu banyak kekayaan Yahudi yang berpindah ke tangan orang-orang Islam, salah seorang sahabat yang mendapatkan tanah perkebunan korma di Khaibar adalah sahabat Umar bin Khathhab. Sepulang dari Khaibar Umar menghadap kepada Nabi Muhammad saw. dan melaporkan kalau dia memperoleh sebidang tanah perkebunan yang dinilai sangat baik dan berharga, dia bertanya kepada Nabi saw.: Untuk apa kiranya tanah tersebut agar memberi manfaat dan maslahah yang lebih luas dan pahalanya lebih besar ? Nabi menjawab : “Tahanlah aset pokoknya, dan bagikan hasilnya (Ahbis ashlahu wa Sabbil tsamratahu)“. Hasil dari kebun wakaf yang diberikan oleh Umar bin Khattab ini di berikan kepada keluarga Umar yang tidak mampu, kepada kaum fakir miskin, ibnu sabil dan lain-lain. Setelah itu banyak sekali sahabat-sahabat lain yang mewakafkan tanah-tanahnya atau rumah-rumahnya (yang hasilnya dinafkahkan kepada orang-orang lain yang memerlukan), seperti Usman bin Affan, Abu Tholhah dan lain-lain.
Menurut Imam as-Syafi’i, dalam masyarakat Arab sebelum Islam, tradisi wakaf belum ada, jadi umat Islamlah yang memulai gerakan wakaf. Namun ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa pemberian tanah atau rumah untuk keperluan rumah-rumah ibadah sudah banyak dilakukan sebelum Islam, meskipun tidak disebut wakaf. Demikian juga terjadi di Mesir, Irak Romawi, dan di beberapa negara di Barat. Dari kasus wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab dan perintah pendayagunaan hasil wakaf tersebut, dapat difahami sebetulnya wakaf merupakan ibadah yang sarat dengan nilai-nilai kesejahteraan umat, bukan hanya sebatas pemberian kekayaan yang diharapkan pahalanya bagi si wakif . Dalam istilah sekarang disebut sebagai “wakaf produktif”.
Wakaf ini mengalami perkembangan yang dinamis, bukan hanya pada tataran teoritis tapi juga pada tataran praktisnya. Kalau dulu dalam karya-karya fikih klasik, umumnya kajian tentang wakaf hanya difokuskan pada barang-barang tidak bergerak (ghair manqulah), kemudian selanjutnya dimasukkan juga barang-barang yang bergerak (manqulah), bahkan pada wakaf tunai (waqfu an-nuqud), yang sekarang digalakkan di negara-negara Islam, bahkan di negara bukan muslim, seperti Singapore, India, Jerman dan lain sebagainya, karena wakaf memang boleh diberikan oleh orang non-muslim menurut hukum fikih.
Hasil dari wakaf dengan pengelolaan yang baik telah memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan masyarakat luas, baik dalam sektor pendidikan maupun sektor pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang lain. Sebagai contoh dapat disebut Universitas Azhar di Kairo, Universitas Qairuwan di Maroko, rumah-rumah sakit di Turki, Pondok Pesantren Gontor, Universitas Islam Indonesia di Yogjakarta, Pondok Pesantren Ibrahimi di Situbondo, dan lain-lain.
Bagaimana Wakaf di Indonesia ?
Sebenarnya, masyarakat muslim di Indonesia sudah cukup lama melakukan wakaf, terutama dalam wujud wakaf tanah atau rumah. Masjid-masjid, madrasah dan pondok pesantren serta tanah-tanah untuk kuburan, sebagian besar merupakan tanah-tanah wakaf, dan hal itu sudah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan negara Indonesia, hingga sekarang. Menurut Dirjen Bimas Islam Depag, sampai dengan tahun 2007 jumlah tanah wakaf tercatat sebanyak 404.676 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas mencapai 1.849.771.348,42 m2. Dari jumlah lokasi tersebut 304.662 lokasi sudah mempunyai sertifikat, sedangkan yang 40.024 baru terdaftar di BPN, sementara 32.759 lokasi belum terdaftar di BPN.
Dari luas seluruh tanah wakaf tersebut sebagian besar dipergunakan untuk masjid (40,42 %) untuk langgar (26,61 %), untuk mushalla (10,18 %), untuk sarana pendidikan sekolah (12,09 %), untuk pondok pesantren (1,72 %), untuk pemakaman (1,34 %), untuk pertanian produktif ( 2, 80 %), sisanya untuk sarana dan prasarana sosial. Dari paparan singkat tersebut dapat di lihat terbatasnya upaya pengembangan wakaf secara produktif (dalam arti tanaf-tanah tersebut dapat menghasilkan sesuatu produk yang mempunyai nilai ekonomis) yang dapat berperan sebagai kekuatan strategis dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat muslim di Indonesia, kecuali beberapa wakaf seperti yang disebut di muka, yang sudah dikelola dengan baik dan profesional.
Di antara titik lemah yang menyebabkan fungsi wakaf di Indonesia belum dapat mengembangkan perannya yang strategis dalam pemberdayaan umat, adalah :
1. Pemahaman sebagian besar masyarakat Islam masih sangat tradisional dan terbatas (menganggap wakaf sebatas ibadah makhdloh) saja.
2. Lemahnya peran nazhir, antara lain karena :
a- keterbatasannya dalam pemahaman tentang wakaf,
b- tidak memiliki kemampuan managerial dalam mengelola wakaf, dan
c- tidak mendapatkan imbalan yang layak dari tugas pengurusan wakaf.
Semangat baru dalam pemberdayaan wakaf di Indonesia .
Sejak di selenggarakannya Kongres Menteri Wakaf /Agama Negara-negara Islam, di Jakarta pada bulan Oktober 1997, masalaf wakaf mencuat menjadi agenda besar yang mendapat perhatian di dunia Islam, termasuk Indonesia yang merasakan ketertinggalannya dalam memberdayakan wakaf, dibanding dengan negara-negara lain, seperti Mesir, Maroko, Yordan, Turki, Kuwait , Qatar, Iran, dan lain-lain . yang telah mengelola wakaf secara profesional, efektif dan produktif dan telah berhasil menghimpun dan mengembangkan dana wakaf ( istitsmar amwal al-auqaf ) dalam jumlah besar, dan mendayagunakannya untuk kemaslahatan Umat Islam dalam skala internasional. Gerakan wakaf menggelinding dalam berbagai macam kegiatan, seperti kongres, seminar, lokakarya, kajian-kajian ilmiah, proyek-proyek kerjasama wakaf, pemberian beasiswa pendidikan, pendirian pusat-pusat pelayanan kesehatan, program dakwah internasional, pembukaan pusat-pusat informasi wakaf, dan lain sebagainya.
Dengan terbitnya UU. Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan PP. Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengembangkan dan memberdayakan wakaf dengan paradigma baru, seperti wakaf produktif, wakaf uang, serta melibatkan beberapa lembaga keuangan syari’ah dalam menangani masalah perwakafan ini, juga membentuk lembaga independen yang menangani wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI), disamping Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI. Tujuan utamanya adalah : Bagaimana wakaf dapat berperan sebagai lembaga keagamaan yang juga berfungsi dalam peran penanggulangan ketertinggalan umat. Bagaimana wakaf dapat berkembang sebagai lembaga keuangan dan ekonomi syari’ah yang dikelola dengan profesional dan akuntabel. Bagaimana wakaf dapat ikut berperan menjadi penunjang rekonstruksi peradaban Islam di tengah-tengah arus globalisasi sekarang dan di masa depan? Masih banyak dibutuhkan pikiran-pikiran kreatif dan keahlian serta jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga dalam skala nasional maupun internasional.
Disampaikan dalam pengajian bulanan di Masjid Istiqlal 24 Desember 2008
MUHAMMAD THOLHAH HASAN
If you're trying to lose pounds then you certainly have to try this totally brand new custom keto diet.
BalasHapusTo create this keto diet service, certified nutritionists, fitness trainers, and cooks joined together to develop keto meal plans that are efficient, suitable, money-efficient, and delicious.
Since their grand opening in 2019, thousands of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a good keto diet can give.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones provided by the keto diet.