Senin, 02 Januari 2012

Pola penularan korupsi

Oleh Haryatmoko

Rekening gendut PNS muda membuat terkesima masyarakat. Banalitas korupsi (korupsi sudah jadi hal yang biasa) menjelaskan mengapa masih muda sudah korup.

Banalitas itu adalah indikator korupsi sudah jadi kejahatan struktural. Ciri struktural kejahatan korupsi ini memudahkan penularannya ke generasi muda. Korupsi telah begitu mengakar sampai membentuk struktur kejahatan, yaitu ”faktor negatif yang terpatri dalam institusi-institusi masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama” (Sesboüé, 1988).

Akibatnya, orang muda yang meniti karier dalam organisasi pelayanan publik mudah terjebak masuk ke jalur rentan korupsi tanpa perlawanan nurani. Struktur dasar masyarakat sudah dibusukkan. Pembusukan lembaga sosial, padahal berperan mendefinisikan hak dan kewajiban warga negara, jadi sumber kepincangan dan ketidakadilan. Jadi, korupsi kian memperparah kemiskinan, bahkan—karena sistematis—sudah seperti mafia.

Mafia dan komunikasi kekuasaan

Munculnya organisasi mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan; korupsi merajalela sampai mengaburkan batas yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma (Ayissi, 2008). Korupsi kartel- elite merupakan korupsi berbentuk mafia. Banyak tokoh muda sudah terlibat dan berperan dalam korupsi ini. Pendorong utama korupsi jenis ini: pendanaan parpol!

Korupsi ini melibatkan jaringan parpol, pengusaha, penegak hukum, dan birokrat karena parpol tidak mengakar, tapi lebih mewakili kepentingan elite; sistem peradilan korup; birokrasi rentan korupsi. Situasi ini membuat politik penuh risiko dan ketidakpastian (Johnston, 2005: 89-90). Korupsi jenis ini adalah cara elite menggalang dukungan politik dari masyarakat, lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (Lordon, 2008: 10). Jadi, korupsi telah menjadi kejahatan yang mengakar dan habitus buruk bangsa.

Habitus dipahami sebagai hasil keterampilan yang jadi tindakan praktis yang tak selalu harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: 16-17). Habitus korupsi ditularkan tanpa harus melalui bahasa langsung atau disadari, tapi melalui ajakan yang terpatri pada praktik yang biasa sekali.

Modalitas praktiknya tampak dalam (i) cara membuat laporan; (ii) cara berinteraksi dengan atasan atau dengan instansi lain; (iii) dalam kontrak/tender; (iv) cara membuat anggaran; (v) cara mendapat jabatan, penempatan anak buah, penerimaan anggota baru; (vi) syarat urusan bisa beres. Suap ke birokrat tak memecahkan masalah kemacetan administrasi, tetapi justru memberitahukan kepada pejabat lain mereka bisa memperoleh uang dengan memperlambat prosedur administrasi. Korupsi mengomunikasikan praktik pelaksanaan kekuasaan.

Modalitas itu sulit ditolak karena cukup tersembunyi dan sengaja dibuat untuk tak meninggalkan jejak (tak ada kuitansi, menghindari transaksi lewat bank, tak ada perjanjian tertulis), tapi bisa dirasakan ada yang tak beres. Di balik praktik korupsi tersembunyi kode rahasia. Kerahasiaan ini hanya akan tersingkap apabila terjadi krisis hubungan di antara yang terlibat.

Ketika Nazaruddin merasa dikorbankan, ia membuka rahasia jaringan, tetapi rantai terputus. Yang terjadi justru desolidarisasi terhadap kambing hitam dan penggalangan solidaritas untuk melindungi tokoh-tokoh kunci karena merupakan simbol kohesi sosial partai. Korupsi sudah jadi tindakan praktis yang tak menumbuhkan rasa salah. Maka, setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan cenderung korupsi. Tak aneh apabila orang muda PNS sudah mempunyai rekening gendut.

”Agentic shift” dan meniru

Banalitas korupsi membuat koruptor mencari alibi tanggung jawab. Bentuk alibi tanggung jawab disebut S Milgram sebagai agentic shift. Hal ini terjadi ketika orang menimpakan tanggung jawab kepada pihak lain yang dianggap lebih penting, seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Dobel, 1999: 30). Bersembunyi di balik perintah atasan atau kepentingan organisasi/kelompok jadi pola pengalihan tanggung jawab. Kelompok sering makin memperparah kecenderungan alibi tanggung jawab ini karena kelompok melebih-lebihkan distorsi informasi, sekaligus memberikan sumber rasa nyaman atau simpati sehingga semakin meneguhkan pejabat publik seakan korupsi bisa dibenarkan.

Upaya mengelak dari tanggung jawab membungkam kemampuan pertimbangan moral. Akibatnya, koruptor tidak merasa bersalah karena biasanya korbannya. Mekanisme silih sering dipakai untuk mengurangi rasa salah. Sebagian uang disumbangkan untuk rumah ibadah, lembaga agama, atau bentuk kesalehan lain. Upaya ini untuk menghindari rasa salah moral, setelah secara hukum bisa lepas dari sanksi berkat impunitas.

Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola sistem isolasi sesuai model pembagian kerja. Maka, koordinasi tetap efektif dan kerahasiaan terjaga. Strategi ini memungkinkan memutus rantai sehingga jaringan tak mudah terbongkar. Hanya oknum yang terkena. Kasus Nazaruddin contoh nyata bagaimana penegak hukum tak mampu membongkar jaringan korupsi. Negara yang secara institusional sarat korupsi mengondisikan munculnya bentuk-bentuk kriminalitas lain dan membangun pola reproduksi kejahatan korupsi. Efek peniruan korupsi merasuk ke generasi muda. PNS muda sudah biasa membuat proposal dengan penggelembungan angka atau menerima gratifikasi tanpa rasa salah. Semua seakan sah.

Pengakuan legitimitas itu terpatri pada praktik sosial sehingga membentuk kecenderungan yang sama pada hampir setiap warga negara. Kejahatan korupsi biasanya ditanamkan lewat proses mimesis (meniru). Apabila ada upaya melawan atau bersikap jujur, lingkungan memberi sanksi. Akhirnya, kepatuhan tanpa tekanan akan mengikuti karena menyesuaikan diri menjanjikan keuntungan materi dan simbolis atau promosi jabatan.

Haryatmoko Dosen di Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma

SUMBER: http://regional.kompas.com/read/2011/12/27/03100067/Pola.Penularan.Korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar