Jumat, 14 Desember 2007

Ancaman Ideologi Transnasional

Oleh:
Sarmidi Kusno

Tulisan Irfan S Awwas (ISA) di Harian Republika (9 Mei 2007) yang berjudul “Kritik atas Penolakan Ideologi Transnasional” menarik saya untuk menanggapi. Dalam tulisan tersebut, ISA mengkritik pernyataan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, yang sering dikemukakannya baru-baru ini.
Ditulisnya, pernyataan Hasyim Muzadi perihal sikap Nahdlatul Ulama (NU) dalam hubungan dengan negara yang tidak memaksakan syari’at Islam sangat bertentangan dengan AD/ART NU Pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan “Menegakkan Syariat Islam menurut haluan Aswaja (Ahlus sunnah wal jamaah).
Kritik ISA tersebut menunjukkan pemahamannya tentang Aswaja sangat cetek dan dangkal. Selain pemahamannya tentang Aswaja yang jauh dari memadai, ia juga tidak memahami keputusan-keputusan NU yang berkaitan dengan negara Islam. Sehingga kritik ISA terkesan serampangan dan bondo nekat (bonek).
Paham Aswaja, bagi NU, tidak cukup hanya menyebutkan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa, secara kongkrit, Aswaja adalah mengamalkan syariat Islam dalam pengelolaan pemeintahan dan pengadilan. Tetapi, Aswaja, harus dipahami secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong seperti itu.
Bagi NU, Aswaja adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
Dalam masalah dasar-dasar amal keagamaan, NU mengambil dari sumber ajaran Islam – Al-Quran dan Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Untuk memahami dan menafsirkan sumber-sumber tersebut, NU menggunakan pendekatan madzhab – Asy’ariyah dan Maturidiyyah (Aqidah); Hanafiyyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah (fiqih); dan Junaid A-Bagdadi dan Imam Ghazali (akhlak/tasawuf).
Dengan demikian, Aswaja dapat dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah SAW. para sahabatnya dan para ulama mazhab. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam.
Oleh karena itu, penyebutan beberapa aliran/madzhab tidak secara otomatis menunjukkan paham-paham yang paling benar atau yang paling identik dengan Aswaja. Justru di sini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dari pemikiran keagamaan Aswaja adalah konsistensinnya dengan tradisi keagamaan yang dipraktekkan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.
Selain itu, dalam kaitannya dengan negara Islam, pertemuan ulama NU tanggal 22 Oktober 1945 dan Muktamar ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984 telah memutuskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah negara yang secara fikih masuk dalam kategori darul Islam.
Dengan cara seperti ini, sangatlah wajar kalau NU menolak perjuangan formalisasi syariat Islam. Ulama NU hanya mendukung tegaknya maqashid asy-syariah (tujuan hukum). Dengan pandangan seperti ini, ulama NU senantiasa selamat dari jebakan skripturalisme dan fundamentalisme Islam yang sering dipraktekkan oleh kelompok ideologi Islam Timur Tengah, seperti Majelis Mujahidin.

Ideologi Transnasional Suatu Ancaman
Selanjutnya, ISA juga mengkritik dan bahkan menyamakan Hasyim Muzadi dengan Snouck Hurgronje dalam hal menolak ideologi Islam made in Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Alqaida, Hisbut Tahrir dan Majlis Mujahidin.
Saya kira sangatlah naïf menyamakan upaya Hasyim Muzadi menolak ideologi Islam dari Timur Tengah dengan langkah Snouck Hurgronje, karena berangkat dari dua tujuan yang berbeda.
Peringatan Snouck Hurgronje kepada Kolonial Belanda yang ada di Batavia agar mewaspadai gerakan para ulama yang belajar di Timur Tengah bertujuan untuk mencegah upaya persatuan penduduk Bumi Putra (Indonesia). Persatuan rakyat Bumi Putra yang digalang oleh para ulama tersebut tentu akan mengancam keberadaan penjajah Belanda di Bumi Pertiwi.
Perlu diketahui bahwa pada saat itu para ulama Bumi Putra yang belajar di Timur Tengah tidak mengusung ideologi macam-macam. Mereka hanya mengobarkan semangat nasionalisme untuk mengusir penjajahan Belanda. Dan inilah yang membuat gerah Snouck Hurgronje sehingga dia menasehati pemerintah Hindia Belanda agar mewaspadai ulama Bumi Putra yang belajar di Timur Tengah tersebut.
Hal itu sangat jauh berbeda dengan upaya Hasyim Muzadi menolak ideologi Islam dari Timur Tengah. Penolakan Hasyim tersebut justru demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mengapa demikian? Karena realitas yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa gerakan ideologi Islam Timur Tengah dapat menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia.
Suatu missal, semua ideologi Islam Timur Tengah, termasuk Majelis Mujahidin, selalu berkoar untuk merancang ulang Indonesia menjadi negara Islam, khilafah Islamiyah, dan penerapan syariat Islam yang mereka agap sebagai solusi alternatif mengatasi problem bangsa Indonesia. Alih-alih menjadi solusi, negara Islam justru akan mengancam keutuhan bangsa. Para founding father Indonesia, pada masa itu, tidak menerima negera Islam karena ancaman disintegrasi tersebut.
Maka dari itu, keberadaan ideology Islam harus dicegah. Selain karena tidak sesuai dengan akar budaya Indonesia, mereka juga berbahaya bagi keutuhan bangsa. Yang jelas, bukanlah formalisasi syariat Islam yang kita butuhkan, tetapi membangun hukum negara yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Ideologi transnasional, baik ideologi liberalisme Barat maupun ideologi Islam Timur Tengah, merupakan ancaman bagi keutuhan bangsa. Ideologi liberalisme bidang ekonomi, misalnya, menganjurkan pembatasan peran negara. Ideologi ini mempunyai program liberalisasi, privatisasi dan deregulasi serta mengembangkan adanya praktek mekanisme pasar pada seluruh ragam relasi manusia – bidang sosial, politik, ekonomi, spiritual dan lain sebagainya.
Ideologi juga menempatkan para eksekutif perusahaan berada pada posisi tertinggi dalam komunitas masyarakat. Mereka bersaing bebas tanpa ada yang bisa mengontrol, selain kemampuan modalnya sendiri. Sehingga, bagi yang tidak punya modal akan terlempar dari pasar karena tidak mampu bersaing. Sebagai akibatnya, yang miskin akan bertambah miskin dan yang kaya akan bertambah kaya. Kondisi ini akan menimbulkan gejala sosial, seperti kriminalitas dan bahkan pemberontakan, karena kesenjangan ekonomi.
Liberalisme Barat juga masuk pada wilayah agama. Liberalisme dalam bidang agama menawarkan perlunya sekularisasi, pemisahan antara agama dan negara. Nilai-nilia agama menjadi tak bisa berbuat apa-apa di hadapan negara. Dan akibatnya, peraturan negara tidak lagi mendengar suara etis dari tuntunan agama. Inilah yang merupakan ancaman liberalisme Barat.
Sementara di Timur Tengah muncul Islam ideologis. Islam ideologis ini merupakan reaksi dari liberalisme Barat yang bersifat kolonialistik. Artinya, Islam ideologis ini datang bukan sebagai agama, akan tetapi merupakan bagian dari international political movement (gerakan politik internasional). Mereka menggunakan agama (Islam) sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (pandangan hidup).
Mengapa gerakan Islam ideologis perlu diwaspadai? Karena mereka kerap kali memicu radikalisme dan kekerasan atas nama agama. Padahal, Islam sama sekali tidak meligitimasi aksi radikalisme dan kekerasan. Mereka sengaja melakukan aksi pengrusakan terhadap tempat yang dinilai berbau maksiat, penutupan rumah ibadah umat agama lain, dan bahkan aksi bom bunuh diri atas nama jihad fi sabilillah.
Menghadapi dua model ideologi transnasional tersebut – liberalisme Barat dan Islam ideologis Timur Tengah – NU berihktiar untuk menjadikan model tawassuth dan i’tidal (pola pikir moderat). Artinya, NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi bebagai pesoalan, termasuk ideologi transnasional.
Dengan tawasuth dan I’tidal, NU senantiasa bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersfat tatharruf (ekstrim), baik itu ekstim kiri (liberalisme) maupun ekstim kanan (fundamentalisme). Karena didasarkan pada fakta dan pengalaman dalam konteks Indonesia, baik dalam proses kemerdekaan maupun dalam proses mengisi kemerdekaan, dan bahkan dalam proses mewujudkan perdamaian dunia, model Islam moderat inilah yang mudah diterima.
Oleh karena itu, NU meyakini bahwa model Islam moderat yang bisa menjadi alternatif Islam internasional, karena landasannya sangat qurani, yaitu membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin/menjadi rahmat bagi semesta alam (QS. 21:107). Sebagai ormas Islam terbesar di dunia, NU mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan wajah Islam yang damai dan ramah, serta menentang Islam ideologis yang selalu menggunakan pendekatan radikalisme dan kekerasan, seperti Majelis Mujahidin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar