Oleh:
Sarmidi Kusno
Saat kita mengamati perkembangan negara-negara yang ada di muka bumi ini, kita tidak kesulitan menyaksikan negara-negara yang maju, kaya dan makmur. Menurut laporan Word Development Repot (Word Bank, 2004), rata-rata pendapatan 20 negara terkaya di dunia sebesar 38 kali rata-rata pendapatan 20 negara temiskin. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan 40 tahun lalu.
Pada saat bersamaan, Congo, Angola, Tanzania, termasuk juga Indonesia adalah negara yang dalam kondisi “hidup segan mati pun tak mau”, yakni terbelakang, miskin dan tampak terengah-engah berupaya pulih dari impitan ekonomi. Tercatat sekitar seperempat penduduk di negara tersebut dan penduduk di dunia yang tercecer di negara-negara miskin masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan jumlah pendapatan yang kurang dari $ 1 (Rp 10.000) perhari.
Sementara Afganistan terpaksa harus memperjuangkan perdamaian yang berkepanjangan akibat konflik dengan negara tetangga, Israel, maupun konflik antar sesama warga sendiri, ia hampir tidak sempat memikirkan kemiskinan yang menerpa rakyatnya. Begitu juga Iraq, pasca tumbangnya rezim dictator, Sadam Husen, rakyatnya disibukkan dengan konflik antar kelompok Sunni dengan Syi’ah ketimbang memikirkan kondisi ekonomi mereka yang memperihatinkan.
Fenomena di atas menunjukkan gap antara negara kaya dan negara miskin semakin menganga. Nampaknya negara yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Mengapa fenomena ini terjadi ?
Budi Setiyono, penulis buku Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik (2007) yang baru saja diterbitkan, telah menjawab pertanyaan tersebut.
Budi, mahasiswa Ph.D pada bidang political science di Curtin University of Technology, Perth, Australia, yang telah meneliti beberapa model manajemen publik yang diimplementasikan oleh, baik negara maju maupun negara berkembang. Ia mencatat bahwa ada beberapa fakta yang berkaitan dengan maju-mundurnya suatu negara.
Pertama, sumber daya alam yang melimpah yang dimiliki suatu negara belum tentu menjadikan negara itu maju. Republuk Congo dan Angola, misalnya, memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi rakyatnya tetap bergelimang kemiskinan, sementara Jepang yang tidak cukup kaya sumber daya alam tetapi rakyatnya makmur.
Kedua, bantuan luar negeri ternyata tidak sepenuhnya dapat menolong negara miskin. Mesir dan Tanzania, misalnya, adalah negara yang menerima jumlah bantuan luar negeri paling banyak di antara negara berkembang dari tahun 1970 samapai dengan 2000, tetapi angka buta huruf, kemiskinan, dan infant morality rate di dua negara tersebut masih mencapai dua kali lipat dari negara miskin lain.
Ketiga, lama berdirinya negara juga tidak menjadi determinant factor maju-tidaknya suatu negara. Turki dan Yunani adalah contoh negara tua yang berumur ratusan tahun akan tetapi tingkat kemakmurannya jauh lebih rendah dari Singapura yang baru berdiri kurang dari 70 tahun.
Keempat, dan yang paling menyedihkan adalah jumlah aliran uang dari negara miskin ke negara-negara maju jauh lebih besar dari pada aliran uang dari negara maju ke negara miskin. Karena ketidak percayaan kepada kredibilitas lembaga keuangan sendiri, banyak pemimpin (baik pemerintah maupun swasta) di negara-negara miskin yang melakukan ”capital flight” ke luar negeri, baik secara legal maupun illegal (money laundering). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung : menurut The Economist (14 April 2001) aliran dana negara miskin ke negara kaya setiap tahun mencapai tidak kurang dari $ 1 trilliun.
Keempat fakta tersebut menunjukkan bahwa faktor yang jauh lebih penting dalam mempengaruhi kemajuan suatu negara adalah kepiawaian suatu negara dalam mengelola penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, negara tersebut memiliki model public management yang baik, yang mampu mengatur seluruh kebijakan yang sesuai dengan misi pemerintah.
Lebih lanjut, Budi menyebutkan beberapa faktor bagi kemajuan suatu negara, yaitu; Pertama, adanya pemerintah yang dipercaya dan dihargai rakyatnya. Hal ini disebabkan pemerintah merekrut pegawai pemerintahan hanya dari mereka yang terbaik dan pandai, melakukan perbaikan iklim kerja di sector public, mengurangi pegawai, dan membuat organisasi publik yang efesien.
Kedua, digalakkannya pemberantasan korupsi secara konsisten. Negara-negara industri baru tersebut memiliki tingkat indeks korupsi yang rendah. Bandingkan, Indonesia pada tahun 2005 memiliki indeks 2,2 (terkorup ke-6 dari 158 negara), Singapura (9,3), Hongkong (8,0), Korea Selatan (4,5), hailand (3,6), dan Malaysia (5,0).
Ketiga, diterapkannya kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang yang berdasarkan pada penelitian yang dapat diandalkan.
Keempat, adanya kepemimpinan yang kuat dan berwibawa. Kepemimpinan seperti itu lahir karena penguasa pada maisng-masing negara memiliki visi yang jelas bagi kemajuan negaranya, dan mereka bersedia bekerja keras bersama rakyat untuk mencapai visi itu.
Kelima, adanya rakyat yang disiplin dan taat. Kedisiplinan dan ketaatan rakyat ini utamanya disebabkan karena mereka percaya kepada kebijakan para pemimpinnya, dan terlihatnya kesungguhan pemerintah untuk menunjukan kesejahteraan rakyat.
Keenam, dikuranginya pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja mandiri. Masing-masing negara itu memiliki program yang membuat pengangguran dapat membuat lapangan kerja sendiri tanpa harus mencari pekerjaan pada peusahaan besar atau pemerintah. Mereka diberi pelatihan, bimbingan dan modal secara sistematis, serta dimonitor terus menerus oleh departemen tenaga kerja masing-masing.
Ketujuh, dilakukannya distribusi kekayaan secara merata. Negara melakukan berbagai macam peraturan yang ketat agar kesenjangan tidak terjadi terlalu tinggi antara yang kaya dan miskin. Semua orang harus menjadi pembayar pajak dan harus memiliki nomer wajib pajak, kemudian diterapkan pajak progresif dimana pada prinsipnya semakin kaya seseorang akan dikenakan pajak yang semakin besar.
Kedelapan, dipraktekkannya demokrasi subtantif. Dalam masalah demokrasi formal, Negara-negara sepeti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand sesungguhnya jauh berada di bawah Indonesia yang gegap gempita oleh pelaksanaan prosesi demokrasi. Akan tetapi, bukan berarti negara-negara tersebut tidak memiliki prinsip demokrasi. Justru pelaksanaan pemerintahan mereka didasari oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperi diperhatikannya partisipasi rakyat, adanya transparansi, adanya pemerintahan yang bersih, adanya kesamaan hak dan sebagainya. (hal. 8)
Kemudian, bagaimana dengan bangsa Indonesia ? Sebuah survey terhadap kapasitas pejabat publik (baik eksekutif maupun legislative) hasil pemilu 2004 di beberapa kabupaten yang dibiayai oleh Bank Dunia pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa sebagian pejabat public kita tidak mengetahui persis apa tugas dan tanggungjawab mereka sebagai seorang pejabat.
Sebagai akibatnya, pemerintahan berjalan tanpa arah. Para pemimpin tidak dapat mengatasi persoalan rakyat. Tak heran, semakin hari masalah dan beban hidup yang dihadapi oleh rakyat Indonesia semakin bertambah berat dan ruwet. Fakta yang terjadi berkali-kali; lalu lintas semakin macet, kenakaran hutan semakin menggila, penggundulan hutan semakin merajalela, banjir dan tanah longsor menjadi langganan tiap tahun, kemiskinan dan pengangguran semakin bertambah banyak, kriminalitas dan perdagangan obat-obat terlarang semakin menjadi-jadi, dan korupsi bertambah menggurita.
Kita tentu tidak ingin hal seperti ini kita biarkan terus. Sudah saatnya Negara dikelola dengan menejemen yang professional. Setiap pejabat harus memiliki, paling tidak, dasar ilmu pengetahuan untuk mengelola negara ini dengan baik.
Untuk itu, kiranya para pejabat publik kita perlu membaca buku ini. Karena buku ini cukup repesentatif mendiskripsikan jawaban dari pertanyaan penting tentang isu-isu pengelolaan Negara yang baik. Dengan buku ini, kita akan mendapatkan konsepsi dasar yang mengantarkan teori dan prinsip-prinsip public sector management (menejemen sekto publik), serta bagaimana aplikasinya di berbagai negara terpilih. Harapan ke depan, para pejabat betul-betul memahami menejemen sektor publik tesebut dan sudi menerapkannya dalam pemerintahan, sehingga harapan untuk memiliki pemerintahan yang bersih dari korupsi dan kebijakan yang memihak pada rakyat lemah akan terrealisasi. Dan mimpi untuk memiliki negara adil, makmur, dan sejahtera akan menjadi sebuah kenyataan.
Judul : Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik
Penulis : Budi Setiyono
Penerbit : Kalam Nusantara, Jakarta, Cetakan Pertama, 2007
Tebal : (x + 214) halaman
Peresensi : Sarmidi Husna, Pemerhati Buku
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar