Zakat dan Kesenjangan Ekonomi
Oleh
Sarmidi Husna
“Seorang pria meninggal di tempat kejadian karena terinjak-injak warga lain saat berebut pembagian zakat mal berupa uang Rp 50 ribu. Dan puluhan warga lain mengalami luka-luka sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.”
Penggalan berita sebuah media cetak di atas menunjukkan tragedi kemanuaisan yang memilukan yang baru-baru ini terjadi di kota Gresik, Jawa Timur. Hanya untuk mendapatkan uang Rp 50 ribu, yang barangkali bagi sejumlah kaum muslimin di Tanah Air tak lebih dari uang jajan mereka sehari-hari, seorang pria kehilangan nyawa.
Peristiwa-peristiwa serupa, tentu, akan dengan mudah kita temukan dalam berita di berbagai media massa atau sekitar tempat tinggal kita. Berita lain, misalnya, belasan perempuan yang rata-rata berusia lanjut jatuh pingsan karena terlalu lama antre sambil berdesak-desakan di bawah terik matahari ketika menunggu pembagian zakat di Pasuruan.
Dua kisah pilu tersebut menandakan betapa lebarnya kesenjangan ekonomi di antara masyarakat. Di satu sisi ada warga yang untuk makan saja harus menyambung nyawa. Namun, di sisi lain tidak sedikit yang justru hidup bergelimangan harta. Inilah protret kesenjangan ekonomi bangsa Indonesia yang membutuhkan perhatian serius.
Negara Yang Hina
Benar, bahwa kesenjangan ekonomi, dalam hal ini kemiskinan, pada mulanya adalah tanggungjawab pribadi. Setiap orang bertanggungjawab pada dirinya sendiri untuk dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi jika kemiskinan seseorang yang sifatnya personal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pribadi atau pihak yang memikulnya, maka negaralah tumpuhan terakhir. Jadi jelas, bahwa kesenjangan ekonomi merupakan mandate utama yang harus dipikul oleh negara.
Namun demikian, dengan nilai-nilai moral dan sosialnya, agama tidak boleh cuci tangan dalam menghadapi persoalan kemiskinan tersebut. Sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, Islam mencanangkan ajaran zakat. Orang yang memiliki harta wajib mengeluarkan zakat yang bertujuan untuk menjamin keadilan dan pemenuhan hak-hak kemanusiaan demi terciptanya perbaikan sosial. Dengan zakat tersebut diharapkan dapat mengatasi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup rakyat miskin menjadi lebih baik.
sayangnya, umat muslim Indonesia yang berkecukupan harta belum banyak yang menyadari tentang kewajiban mengeluarkan zakat. Mereka lebih gemar menumpuk-numpuk harta. Praktek penimbunan harta hingga pada taraf dirinya menjadi budak harta, lupa pada Allah SWT, dan bahkan percaya bahwa harta dapat mengabadikan hidupnya. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa Allah akan melaknat perbuatan hamba-Nya yang demikian, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur…”(Q.S. 102:1-2).
Sebenarnya, Islam tidak melarang umatnya bekerja keras untuk mengumpulkan harta. Banyak dari kalangan sahabat Rasulullah SAW., seperti Utsman dan Abu Bakar, yang kaya raya. Artinya, Islam bukan agama yang memandang harta sebagai hal yang harus dijauhi.
Akan tetapi, Islam mengajarkan bahwa dalam harta kita terdapat hak-hak dan kewajiban atas harta. Di dalam harta orang kaya terdapat hak-hak fakir miskin yang wajib dikeluarkan. Kewajiban itu berupa perintah mengeluarkan zakat yang harus ditasarufkan (didistribusikan) kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Para mustahiq tersebut terdiri dari delapan golongan seperti yang telah ditegaskan dalam al-Quran, “Sesungguhnya zakat-zakat itu harus didistribusikan untuk rakyat fakir, rakyat miskin, pengurus zakat (amilin), para mu’alaf yang dibujuk hatinya, para budak dan orang-orang tertindas (riqab), mereka yang terlilit utang (gharimin), untuk kepentingan bersama (fisabilillah) dan anak jalanan dan para pengungsi (ibnu sabil). Itulah kewajiban dari Allah, dan Allah maha mulia lagi maha bijaksana” (Q.S. 9: 60).
Sementara itu, bagi umat muslim yang menyadari akan ajaran zakat, mereka belum dapat mendistribusikan zakatnya dengan pelayanan mudah. Yang sering terjadi adalah para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) masih bersusah payah antre, rebutan dan berdesak-desakan. Sehingga tak heran dalam praktek pembagian zakat tidak jarang menimbul jatuh korban, seperti yang baru-baru ini terjadi di Gresik.
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa predikat negara yang hina memang pantas disandang oleh negara ini. Karena negara ini belum dapat memberikan hak-hak rakyat yang lemah dengan mudah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: Allah tidak akan memulyakan umat(negara) di mana warganya yang lemah tidak bisa mendapatkan hak-haknya kecuali dengan susah payah dan terhina (HR. Baihaqiy). Artinya, dalam sebuah negara, hak-hak warga yang lemah – termasuk zakat – belum didistribusikan dengan baik, apalagi dengan susah payah dan hina, maka Allah tidak akan memulyakan negara tersebut. Dengan kata lain, negara tersebut akan tetap hina (negara yang tidak beranjak dari penyakit kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan), selama belum dapat memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang lemah dengan cara memberikan hak-hak mereka dengan mudah.
Jika demikian halnya, perbaikan sosial umat muslim masih jauh dari harapan, karena kesadaran untuk mengeluarkan hak-hak rakyat yang lemah (zakat) dan memberikannya dengan mudah belum dapat terrealisasikan.
Menegakkan Rasa Keadilan
Ajaran zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang, nampak secara eksplisit, berdimensi sosial. Artinya, berzakat adalah amalan ibadah yang bermuara pada perbaikan sosial. Upaya perbaikan sosial mencerminkan ikhtiar umat untuk ikut menjaga keseimbangan atau keadilan di masyarakat.
Apakah keadilan itu? Dalam al-Quran keadilan dinyatakan dalam istilah ‘adl dan qisth. Hal ini terkait erat dengan sikap seimbang dan menengahi, dalam semangat moderasi dan toleransi, yang seringkali dinyatakan dalam istilah wasath (pertengahan). Al-Quran mengajarkan bahwa menegakkan keadilan merupakan berbuatan yang paling mendekati takwa atau keinsafan ketuhanan dalam diri manusia (Q.S. al-Maidah 5: 8). Jadi, keadilan yang dituntut dalam Islam berakar pada takwa dan rasa ketuhanan: keadilan yang berlandaskan iman.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW mendefinisikan keadilan sebagai “Iita-u kulli dzi haqqin haqqahu” (keadilan adalah dimana setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya). Keadilan ini lebih berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak kemanusiaan. Hak-hak kemanusiaan bukan sekedar perkara yang secara sepihak boleh diklaim dari orang lain. Akan tetapi, hak-hak kemanusian adalah segala sesuatu perlu bagi integritas dirinya dan martabatnya sebagai manusia.
Dalam pandangan Islam terdapat 5 (lima) hak yang harus dilindungi, yaitu; 1) Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan fisik (hfdz al-nafs); 2) Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan akal budi dan mental (hifdz al-aql); 3) Hak yang berhubungan dengan integritas dan keyakinan agama (hifdz al-din); 4) Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan kesejahteraan ekonomi (hifdz al-mal); dan 5) Hak yang berhubungan dengan integritas keluarga (hifdz al-‘irdl wa al-nasl). Segala sesuatu yang berguna bagi kelima bidang hak tersebut adalah hak-hak kemanusiaan yang perlu pemenuhan dan perlindungan sesuai dengan tingkat urgensinya.
Dalam hal ini, bangsa yang baik adalah bangsa yang dapat melindungi hak-hak rakyat yang lemah. Jika suatu bangsa tidak dapat menunjukkan komitmen pada keadilan dan melindungi hak-hak rakyat yang lemah, maka bangsa tersebut adalah tergolong bangsa yang sakit (tidak adil). Karena parameter bangsa yang adil cukup dengan dilihat dari terlindungi atau tidaknya hak-hak warga yang lemah.
Oleh karena itu, dalam konteks pemberian zakat, maka tindakan pendistribusian hak-hak rakyat yang lemah ini lebih mengacu pada upaya untuk menegakkan rasa keadilan di sebuah bangsa. Tindakan mulia ini jika berlangsung secara kolektif akan bermuara pada gerakan bersama umat muslim untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Jumat, 14 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar