Oleh
Sarmidi Kusno
Awal Ramadan 1428 H tahun ini, bangsa Indonesia kembali dilanda bencana. Gempa bumi berkekuatan 7,9 skala richter telah mengguncang tanah Bengkulu pada hari Rabu, 12 September, sekitar pukul 18.10 WIB. Akibat gempa bumi tersebut tentu akan menambah deretan jumlah masyarakat yang menderita akibat bencana-bencana sebelumnya.
Belum pulih rasanya penderitaan ribuan masyarakat Aceh dan Jogyakarta akibat tsunami dan gempa bumi, serta ribuan masyarakat Sidoarjo akibat semburan lumpur panas, kini bencana gempa bumi kembali lagi mengguncang wilayah Bengkulu dan sekitarnya.
Selain itu, sampai saat ini, kondisi kesejahteraan sosial bangsa Indonesia juga masih diwarnai oleh tinginya angka kemiskinan dan angka pengangguran yang menyebabkan taraf hidup masyarakat sulit melakukan perbaikan. Sehingga, dapat dikatakan, kondisi bangsa ini sangat memperihatinkan.
Di tengah-tengah kondisi bangsa seperti ini, seharusnya bulan Ramadan hadir sebagai wahana membantu meringankan penderitaan masyarakat dan penyelesaian persoalan kesejahteraan sosial tersebut. Melalui puasa, harus ditanamkan kesadaran bahwa puasa tidak sekedar menahan diri dari kebutuhan jasmani, seperti makan dan minum, serta perkara yang membatalkannya an sich, melainkan harus juga dapat menumbuhkan kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan.
Untuk itu, kiranya kita perlu menghadirkan makna baru ibadah puasa di tengah jumlah masyarakat miskin dan menderita yang terus meningkat. Bagaimana puasa dapat menumbuhkan solidaritas dan rasa kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa?
Makna Baru Puasa
Dalam bahasa Arab, puasa disebut sebagai shaum atau shiyam. Kata terbut secara harfiah berarti mengendalikan/menahan diri (imsak). Secara fisik dan lahiriah, pengendalian/menahan diri itu, oleh para ulama fiqih, diterjemahkan sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut serta faraj (kemaluan) dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, obat dan semacamnya, pada waktu tertentu – mulai dari fajar shadiq (sinar putih yang terbentang di ufuk timur) hingga magrib (terbenam matahari).
Tetapi, secara sosial, menurut Hasan Hanafi dalam kitab al-Din wa al-Tsaurah (1990: 63, VII), puasa adalah sarana latihan bagi umat Islam untuk menumbuhkan kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dengan berpuasa, kita menyadari akan rasa lapar dan dahaga yang setiap hari dialami oleh masyarakat miskin. Selanjutnya, kita akan bertambah peka terhadap derita yang mereka rasakan. Lalu, dalam diri kita akan lahir sebuah sikap empatik dan simpatik pada penderitaan mereka. Sehingga kita akan terpanggil untuk membantu meringankan penderitaan mereka tersebut. Nah, dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan serta perintah sedekah-sedekah sunah yang pahalanya dilipatgandakan.
Ibadah Sebagai Syariah Bukan Tujuan
Ibadah puasa bukanlah sebuah tujuan, melainkan merupakan manifestasi pada Tuhan, yang perintah dan aturan-Nya dikenal dengan istilah syariah (jalan). Dari sini dapat dipahami, bahwa fungsi jalan adalah untuk dilalui agar mencapai sebuah tujuan. Sebagai syariah agama, puasa juga memiliki sasaran di luar dirinya. Dalam hal ini, Muhammad Ali as-Sabuni dalam kitabnya “Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an” menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 hikmah yang terkandung dalam puasa.
Pertama, puasa merupakan sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertaqwa kepada Allah, membiasakan diri untuk patuh terhadap perintah-perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-larangan-Nya. Dengan bertaqwa, kita akan menghayati Kemahahadiran Tuhan. Betapa kita merasakan kedekatan Tuhan, sehingga di mana pun, kapan pun kita berada, sanggup menahan diri untuk tidak makan dan minum, meskipun lapar dan dahaga. Walaupun sebenarnya kita bisa menipu orang berpura-pura puasa, akan tetapi kita yakin bahwa tuhan tidak bisa dikelabuhi.
Kedua, puasa merupakan sarana pendidikan bagi jiwa dan membiasakannya untuk tetap sabar dan tahan terhadap segala penderitaan dalam menempuh atau menjalankan perintah-perintah Allah. Puasa menjadikan orang dapat menahan diri atau tidak menuruti segala keinginan hawa nafsunya. Dengan kesanggupan menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat, sesungguhnya kita tengah melakukan investasi kenikmatan yang lebih agung dan sejati di hari depan. Hal itu dapat kita rasakan dalam bentuknya yang amat sederhana yaitu kenikmatan di waktu berbuka puasa.
Ketiga, puasa merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap orang lain, sehingga terdorong untuk membantu dan menyantuni orang-orang yang tidak mampu dan tidak berkecukupan. Dengan demikian, puasa mengajarkan kita untuk menumbuhkan dan mempertajam kepekaan sosial, yaitu berbagi rasa dan beempati terhadap derita orang lain. Perintah mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan secara fungsional dan simbolik mencerminkan adanya sasaran sosial yang hendak diraih dengan melakukan ibadah puasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keperihatinan sosial untuk mempersempit jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Akan tetapi, ketika ibadah puasa sudah dijadikan sebagai kegiatan rutin dan sebagai tujuan akhir, maka pelaksanaannya menjadi berhenti pada dirinya sendiri, yang sama sekali tidak membekas pada yang lain. Padahal, ibadah ritual apa pun, tak terkecuali ibadah puasa, dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai kalau tidak mempunyai dampak positif, secara internal pada dirinya dan secara eksternal kepada orang lain sekaligus.
Oleh sebab itu, perlu sebuah upaya di mana dimensi habl min al-nas dari ibadah puasa bisa langsung dirasakan manfaatnya dalam kehidupan bersama. Tanpa itu, ibadah puasa mempunyai potensi tidak berdampak apa pun kecuali hanya lapar dan dahaga.
Inilah barangkali yang dimaksud oleh Umar Ibn Khattab tatkala mengatakan, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”
Mereka itu adalah orang yang telah menjadikan puasa sebagai sebuah rutinitas, tanpa ruh spirit. Termasuk juga, mereka yangmelakukan ritual puasa pribadi, tetapi melupakan pesan untuk melakukan puasa social. Puasa yang demikian adalah puasa yang tidak singkron dengan janji-janji ideal islam.
Di bulan Ramadan ini kita dituntut untuk mampu menunjukkan nilai kemanusiaan kita masing-masing, in optima forma, dalam bentuk yang setinggi-tingginya. Seperti disebutkan dalam al-Qur’an (QS, 3:134) tentang kaum beriman, “Mereka yang tetap berderma baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan mereka yang mampu menekan amarah,lagi pula bersifat pemaaf kepada sesame manusia.
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar