Jumat, 14 Desember 2007

Kebajikan

Oleh :
Sarmidi Kusno

Islam mengajarkan kebaikan tidak hanya berdasarkan tingginya ritualitas semata, melainkan harus diimbangi dengan kebaikan yang berupa solidaritas sosial antar sesama (ibadah sosial). Dan justru ibadah sosial ini lebih mendapatkan prioritas ketimbang ibadah ritual.
Dalam sebuah ayat, Allah SWT. berfirman : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim. Orang-orang miskin, musaffir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan solat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. 2 : 177)
Ayat di atas, setidaknya, menjelaskan 5 (lima) tingkatan kebajikan yang diajarkan oleh Allah swt. kepada umat Islam. Pertama, beriman kepada Tuhan. Iman adalah penentu diterima tidaknya perbuatan, juga penentu penilaian baik dan buruk. Dalam perspektif agama, perbuatan manusia tidak hanya berdimensi duniawi tetapi juga ukhrawi, tidak hanya material tetapi juga spiritual. Dan amal berbuatan yang tidak berdasarkan keimanan bagaikan abu yang ditiup angin dengan keras. Artinya, amal tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali (Q.S. 14:18)
Kedua, mendermakan harta kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, fakir miskin, para peminta, dan lain-lain, atau yang dikenal dengan istilah pengentasan kemiskinan. Dalam sebuah Hadits juga diceritakan bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi SAW. : “ Islam yang baik itu bagaimana ?” Nabi menjawab : “Memberi makan (fakir miskindan anak yaim) dan menguncapkan salam kepada orang yang dikenal dan orang yang belum dikenal” (HR. Bukhori). Ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap mereka yang tidak mampu merupakan cara keberislaman yang bernilai luhur menurut Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, mendirikan shalat, puasa, haji, dan lain-lain dari bentuk-bentuk ibadah ritual. Dalam melaksanakan ibadah ritual, walaupun bersifat individu, seharusnya mempunyai dampak terhadap ibadah sosial. Orang yang mengerjakan sholat, misalnya, harus bisa meninggalkan perbuatan keji dan munkar (QS. 29 : 45). Artinya, orang yang rajin mengerjakan sholat atau ibadah ritual yang lain, tetapi ia masih melakukan tindak kejahatan, seperti korupsi, penindasan, ketidakadilan, dan sebagainya, maka sholatnya masih perlu dipertanyakan.
Keempat, menepati janji ketika melakukan akad perjanjian. Orang menepati janji adalah orang yang dapat dipercaya. Ini adalah sifat yang dilekatkan pada seseorang yang dapat melaksanakan tugas (amanah) yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyyah (individu) maupun ijtimaiyyah (kemasyaraktan). Sifat-sifat ini menghindarkan seseorang dari bentuk kelalaian dan manipulasi tugas dan jabatan(QS. 4 : 58). Selain itu, menepati janji yang paling utama dan berat adalah menepati janji pada diri sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa seseorang mesti melakukan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Tidak memaksakan kehendak atau bahkan menghalalkan segala cara atas segala sesuatu di luar profesinya.
Kelima, bersabar ketika dalam kesempitan dan kesusahan. Bersabar bukan berarti diam pasrah tanpa melakukan perlawanan. Sabar adalah melakukan tindakan dengan penuh perhitungan, strategi, dan taktik yang jelas agar tujuan akhir bisa tercapai sesuai dengan kemampuan. Sabar berarti tidak melakukan perbuatan secara gegabah, sembrono, dan tanpa perhitungan
Menurut ayat di atas bahwa yang dinilai sebagai amal kebajikan bukan hanya haji, shalat, puasa, atau yang lain dari bentuk-bentuk kegiatan ritual (ibadah mahdloh), tetapi mencakup juga sikap dermawan, tindakan yang profesional, perencanaan atau strategi kegiatan yang jitu, kegiatan-kegiatan sosial, perbaikan ekonomi, dan lain-lain (ibadah ghairu mahdloh/sosial).
Bahkan, secara prosentase, amal kebaikan yang berhubungan dengan masalah sosial justru lebih banyak jumlahnya ketimbang ibadah ritual. Dari lima macam bentuk kebajikan yang disebut, tiga di antaranya berhubungan dengan dimensi-dimensi sosial. Apalagi jika dilihat berdasarkan urutan penyebutan dalam ayat.
Membantu fakir miskin dan anak-anak yatim disebutkan lebih dahulu dibandingkan dengan ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan haji. Artinya bahwa Islam memberikan perhatian yang sangat tinggi pada masalah sosial ekonomi, sekaligus menunjukkan bahwa masalah tersebut adalah lebih -minimal tidak kalah- penting dibanding dengan ibadah-ibadah ritual lain. Wallahu a’lamu bi ash-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar