Selasa, 18 Desember 2007

Yang Heroik dari Jejak Kartini

Oleh:
Sarmidi Kusno

Sangat wajar, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang berisi kumpulan surat-surat Kartini membuat orang berdecak kagum. Namun, tak kalah penting dari karya tulisnya yang dipublikasikan pada tahun 1911 tesebut adalah warisannya yang heroik, yaitu semangatnya yang pantang menyerah dalam usaha memperjuangkan ‘nasib’ perempuan dari ‘belenggu’ budaya yang diskriminatif.
Semangat seperti itulah yang kini perlu dimunculkan kembali ketika semua aspek kehidupan bangsa ini sedang terpuruk sedalam-dalamnya.
Surat-surat Kartini yag tersusun secara berurutan sejak 25 Mei 1899 sampai 7 September 1904 dalam Door Duisternis tot Licht, secara keseluruhan memuat gagasan dan cita-cita Kartini yang setidaknya, menurut penulis, dapat disebut sebagai berikut; (1) gagasan-gagasan dan semangat Kartini yang hidup sepanjang masa dan masih relevan sampai saat ini, (2) perjuangan Kartini untuk membebaskan perempuan dari ‘belenggu’ baik secara individu maupun secara sosial, agar perempuan yang berada di dalam ‘sangkar’ dapat menikmati kebebasan dalam arti fisik dan psikis, (3) Kartini melalui tulisannya mengajarkan dan membuka pintu perjuangannya dalam mengajar para gadis-gadis yang semasa itu tidak mendapat kesempatan belajar, (4) kebesaran Kartini ialah bahwa ia bukan hanya penulis belaka, melainkan seorang pejuang dan pendekar bagi kaum wanita Indonesia.

Meneladani
Melihat semangat Kartini di atas, penulis menangkap bahwa figur Kartini sudah seyogyanya diteladani. Lebih dari satu abad Kartini istirahat panjang dari keletihan perjuangan, yang bahkan tak akan bangkit lagi dari pekuburan sepinya, ada bintik bening air matanya yang masih tertinggal yang perlu kita contoh. Gagasan-gagasan besar dan perjuangan suci Kartini yang harus kita bangkitkan kembali demi kemajuan bangsa.
Hal itu terbukti dari komentar Dr. Huroestiati, penulis Kartini Wanita Indonesia, terhadap karya Kartini bahwa “Bahasanya itu sangat menarik hati, dan punya kekuatan untuk mengajak si pembaca ke arah alam pikirannya dan cita-citanya. Tidaklah mengherankan bahwa cita-cita yang disajikan dengan kata-kata halus, yang terkadang menggelora, sering kali merayu sayup sebagai nyanyian itu, mudah mendapatkan jawaban dalam si pembacanya, dan tertariklah orang ke sana”. Komentar tersebut selain menunjukkan daya pikat karya Kartini, tetapi secara tidak langsung juga mengajak untuk meneladani jejak-jejak Kartini.
Dan tak kalah pentingnya, keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati sebagai hari besar yang kemudian dikenal dengan Hari Kartini.
Keputusan Presiden tersebut membuktikan bahwa begitu besarnya sumbangsih Kartini terhadap bangsa ini dan besarnya harapan untuk mengingat dan sekaligus meneladani perjuangan Kartini.
Meneladani Kartini bisa dalam hal berkarya dan dalam cara hidup serta bersikap. Door Duisternis tot Licht tentu bisa menjadi cermin bagi kalangan muda dan mudi Indonesia untuk menciptakan karya tulis yang lebih monumental, sedangkan cara hidup dan bersikap Kartini bisa diambil sebagai inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup maju, berfikir progresif, ramah, dan penuh keprihatinan atas persoalan yang dihadapi rakyatnya.

Membuka Cakrawala
Door Duisternis tot Licht yang berisi 105 pucuk surat Kartini mungkin membuat anak-anak muda terkesima. Namun, prestasi cemerlang Kartini sebagai pejuang wanita adalah sosok yang mampu “membuka cakrawala” kemajuan bagi kaum hawa.
Sebagai pembuka, sudah barang tentu ia berdiri di ambang pintu, masih terdapat banyak hal yang belum bisa ia lakukan untuk mewujudkan cita-citanya untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Namun, setidaknya, ia sudah membuka jalan bagaimana cara untuk merubah nasib perempuan yang, saat itu, termarjinalkan.
Ada bekal yang harus dimiliki oleh seorang pembuka seperti Kartini, yaitu bekal kunci sebagai alat untuk membuka, cara menggunakan kunci agar dapat membuka dengan baik, dan tentunya memahami apa yang ada dibalik pintu serta langkah apa yang harus dilakukan.
Dalam proses membuka cakrawala tersebut, Kartini –setelah menelaah pustaka yang banyak dibaca pada masa dipingit– memahami kegetiran demi kegetiran sosial yang menimpa dirinya sendiri dan gadis-gadis kecil yang lemah dan harus tunduk pada tradisi yang tidak tertulis tetapi bersifat mengikat dan harus dilaksanakan; tradisi gadis harus dipingit dan setelah itu dia wajib menerima dan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.
Melihat tradisi tersebut, muncul suara Kartini yang menggaungkan rasa jijiknya terhadap adat feodalisme yang tidak bersahabat sama sekali terhadap kehidupan kaum perempuan. Sikap kritis dan jiwa yang selalu memberontak terhadap tradisi yang tidak adil selalu nampak dalam diri Kartini.
Sejak kecil Kartini sudah nampak kekritisanya. Ia sering menuntut keadilan dan kebenaran. Suatu ketika terjadilah peristiwa yang sangat menarik. Saat itu Kartini sedang memberi minum adik kecilnya, Roekmini. Namun tak ia sangka botol minumannya tetendang oleh Roekmini sehingga jatuh dan pecah. Melihat hal ini, kedua orang tuanya memarahinya. Karena ia merasa tidak besalah, maka ia langsung protes: Wong bik Mi tak mikna (khan dik Mi tak beri minum). Dalam hal ini memang seharusnya ia potes, karena memang dirinya tidak besalah dan juga tidak harus disalahkan. Oleh sebab itu, ia tidak terima bila ia mesti dimarahi, karena maksudnya baik, yaitu memberi minum adiknya agar tidak menangis dan mau tidur lagi.
Sikap kritis juga dilakukan Kartini ketika ia mendapatkan pengajaran al-Quran dari seorang guru privat yang dipanggil oleh ayahnya. Ia merasa bosan dengan pelajaran tersebut karena pertanyaan-pertanyaan tentang arti ayat al-Quran yang ia lontarkan kepada sang guru tidak terjawab, sehingga ia merasa percuma belajar baca al-Quran kalau tidak tahu artinya. Melihat sikap protes Kartini tersebut, kemudian sang ayah mencarikan ganti guru al-Quran yang betul-betul memahami arti dan makna al-Quran.
Puncak kekritisan Kartini dan sikapnya yang selalu memberontak terhadap ketidakadilan sosial nampak setelah ia keluar dari pingitan. Dalam bukunya ia mengungkapkan dunia perjuangan yang akbar telah menantinya, “Akhirnya waktu saya berumur 16 tahun, maka saya baru mendengar dunia luar itu kembali. Syukur! Syukur! Sebagaimana seoang yang merdeka bolehlah saya tinggalkan terungku saya. Akan tetapi hati saya belum puas, sekali-kali belum lagi. Jauh, tetapi lenih jauh lagi dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan keramaian, bukan bersuka-suka hati yang saya inginkan, tiada pernah yang demikian itu terkandung dalam cita-cita hati saya akan kebebasan. Saya berkehendak bebas, supaya saya boleh, dapat berdiri sendiri, jangan begantung kepada orang lain” (Jepara, 25 Mei 1899).
Perjuangan akbar yang dihadapi Kartini pada saat itu tiada lain adalah membebaskan derita kaum perempuan yang tertindas hak-haknya. Tiada langkah lain bagi Kartini untuk membebaskan kaum perempuan kecuali dengan belajar dan mencerdaskan mereka. Hanya dengan cara inilah, maka nasib perempuan bisa berubah baik dan tidak diremehkan oleh kaum pria. Selain itu, dengan pendidikan cakrawala berfikir kaum perempuan akan terbuka lebar sehingga mereka dapat merebut kehidupan yang bebas. Dan membuka sekolah bagi kaum perempuan merupakan langkah kongkrit Kartini untuk mencerdaskan mereka.
Mengabdi Kepada Kebajikan
Di antara komentar tentang Kartini, yang paling mengesankan penulis adalah komentar Carel Balsem (1923), seorang kapten kapal yang pernah mengenal Kartini saat singgah di Jepara. Ia menulis “…waktu aku mendengar kabar sedih tentang wafatnya, datanglah dalam bayanganku, lebih nyata dari sebelumnya, Jepara dan Kartini, yang terenggut dari tumpah darah dan rakyatnya, yang kulihat untuk penghabisan kali, ia duduk di dalam perahu putih, yang meluncur melalui jalan yang terang, menyerbu kegelapan”.
Tentu yang dimaksud Carel Balsem dari kalimat “Kartini duduk di dalam perahu putih, yang melunncur melalui jalan yang terang, menyerbu kegelapan” bukanlah makna tekstualnya, akan tetapi makna kiasan yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni kepribadian Kartini yang tulus dan penuh dengan keikhlasan, berjuang untuk membela kebenaran dan mengabdi kepada kebajikan, berjuang melawan kezaliman dan ketidakadilan.
Dengan membela kebenaran dan mengabdi kepada kebajikan membuat hidup seseorang tidak akan sia-sia. dan mengabdi kepeda kebajikan merupakan pilihan hidup Kartini. Sebagaimana ia kemukakan kepada Nyonya Abendanon 13 Januari 1901: …karena bagaimana pun hidupku tiadalah akan sia-sia; masih ada hal-hal indah yang bisa diperbuat olehku – aku mau – aku menghendakinya! Barang siapa mengabdi kepada kebajikan, hidupnya tiada sia-sia, dan barang siapa mencari kebajikan, dia menemukan kebahagian sejati: kedamaian jiwa” .
Pengabdian Kartini kepada kebajikan merupakan perjuangan suci yang mengungkapkan apa yang heroik dari jejaknya. Sudah saatnya kita bercermin kepada sosok Kartini dalam berbuat dan bertindak hanya untuk mengabdi kepada kebajikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar