Oleh:
Samidi Husna
Kesan pertama saat menjejakkan kaki di kompleks makam Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) adalah ramainya para peziarah. Kompleks makam yang terletak di pusat kota Gresik, tepatnya di Jalan Malik Ibrahim, kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur, 500 meter sebelah selatan alun-alun kota Gresik, cukup mempermudah para peziarah untuk mengunjungi makam tersebut.
Kota Gresik adalah sebuah kabupaten di Jawa timur. Ia berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kotamadya Surabaya di selatan, Selat Madura di timur, dan Kabupaten Lamongan di sebelah barat.
Untuk mencapai ke kompleks makam Maulan Malik Ibrahim, para peziarah dari berbagai penjuru hanya bisa menempuh dengan jalan darat. Walaupun demikian, perjalanan menuju ke sana sangatlah mudah, dari kota Surabaya hanya berjarak 25 kilometer, sehingga perjalanan hanya membutuhkan waktu 30 menit dengan mengendara mobil atau bus. Lokasi seperti ini cukup mempermudah para peziarah menuju tempat peristirahatan terakhir Syekh Maulana Malik Ibrahim, sehingga kompleks makam selalu ramai oleh para peziarah.
Selain karena lokasi yang mudah dijangkau, besarnya minat para peziarah ingin berkunjung ke makam tersebut juga dikarenakan oleh ketertarikan mereka untuk melihat bangunan makam yang memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan makam wali-wali yang lain. Kekhasan bangunan makam tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi peziarah dan wisatawan.
Kekhasan itu dapat dilihat dari bahan batu nisan dan gaya tulisan Arab yang ada di makam. Batu nisan yang cenderung bergaya nisan Gujarat yang terbuat dari batu marmer berbentuk kapal khas Gujarat tersebut, cukup memikat para wisatawan untuk mengunjunginya.
Selain makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, kompleks makam Syekh Maulana Malik Ibrahim juga dikelilingi oleh pemakaman keluarga dan pemakaman umum. Di sebalah barat kompleks makam terdapat makam bupati Gresik yang pertama, Raden Pusponegoro, beserta makam keluarganya.
Hingga saat ini, keadaan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim terawat dengan baik. Sarana penunjang, seperti tempat parkir kendaraan bagi peziarah telah dibangun dan dilengkapi dengan fasilitas lainnya.
Biasanya, para peziarah datang bersama rombongannya, seperti rombongan warga dari kampung tertentu, anggota jama’ah pengajian, komunitas tertentu dan lain sebagainya. Mereka membayar iuran, yang mana hasilnya dikumpulkan untuk menyewa bus. Mereka biasanya tidak hanya berziarah di makam Maulana Malik Ibrahim saja, tetapi juga para Walisongo yang lainnya.
Di makam Maulana Malik Ibrahim, setiap harinya rata-rata kedatangan 25 rombongan bus peziarah. Apa lagi pada hari-hari tertentu, seperti ketika memasuki bulan Maulud (Rabiul Awal), peziarah di kompleks makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim meningkat hingga 100 persen. Menurut catatan Yayasan Makam Malik Ibrahim, kalau pada bulan-bulan biasa jumlah rombongan hanya mencapai sekitar 25 bus per hari, sementara di saat bulan Maulid yang berketepatan dengan peringatan Haul Syekh Maulana Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 Rabi’ul Awal, rombongan peziarah mencapai 60 bus per hari.
Para peziarah tidak hanya berasal dari Jawa Timur atau Pulau Jawa saja, akan tetapi juga dari Kalimatan, Sulawesi, Lombok, Maluku, dan bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, dan lain-lainnya.
Mereka yang datang biasanya melakukan dzikir dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran dan setelah itu membaca do’a, memohon kepada Allah SWT. dengan wasilah (perantara) kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim. Mereka meyakini bahwa dengan berdzikir di makam tersebut, mereka mengharapkan akan mendapatkan berkah dan syafaat dari Maulana Malik Ibrahim.
Dengan melakukan dzikir di makam, biasanya para peziarah akan memperoleh ketenangan batin. Selain itu, mereka juga akan selalu ingat bahwa suatu saat nanti dirinya akan mati dan dikubur seperti yang ada di makam itu. Ada juga peziarah yang berdo’a agar mereka meminta kemudahan hidup di dunia, seperti masalah rumah tangga, atau berdo’a supaya diberi petunjuk untuk kemajuan usahanya.
Namun pada dasarnya, ziarah mereka dalam rangka memberikan rasa hormat kepada Syekh Maulana Malik Ibahim, baik karena kasalehan dan kedekatan tokoh ini kepada Allah SWT maupun karena jasanya terhadap eksistensi Islam di Nusantara ini.
Meskipun beliau bukan orang Jawa asli, namun jasanya kepada masyarakat pribumi tidak diragukan lagi. Berkat jerih payah beliulah Islam berhasil diterima oleh masyrakat Jawa yang sebelumnya menganut ajaran agama Hindu dan Budha.
Alhasil, ziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim menjadi sangat berarti jika para ziarah tidak hanya datang ke makam tokoh yang mempunyai dedikasi yang tinggi, tetapi juga memahami maksud dan tujuan ziarah ke makam tersebut, mengenang perjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.< >
Mengenal Maulana Malik Ibrahim
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu dari walisongo yang terkenal di Jawa. Beliau dikenal dengan sebutan Syekh Maghribi. Sebagian literature menyebutkan bahwa beliau berasal dari Gujarat, India. Literature lain menjelaskan bahwa beliau berasal dari Turki, pada waktu itu Turki dipimpin oleh Sultan Muhammad I. Namun, Maulana Malik Ibrahim juga dikenal dengan sebutan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Kebanyakan orrang Jawa, pada saat itu, menyebutnya Asmarakandi, karena mengukuti pengucapan lidah orang Jawa yang belum terbiasa, untuk tidak mengatakan sulit, terhadap kata As-Samarqandy.
Mengenai tanggal lahirnya Malik Ibrahim, sampai saat ini, belum ditemukan literature yang dapat memastikannya. Para sejarawan menduga bahwa beliau berasal dan lahir di Samarkand, Asia Tengah. Dugaan ini diambil karena beliau mendapat julukan As-Samarqandy yang, dalam tradisi Islam, berarti berkebangsaan Samarkand. Dan diperkirakan beliau lahir pada paruh awal abad ke 14 M.
Maulana Malik Ibrahim adalah putera dari seorang ulama yang bernama Maulana Jumadil Kubro atau Syekh Jumadil Qubro. Beliau (Jumadil Kubro) diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayidina Husaen, cucu Nabi Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim mempunyai saudara kandung yang bernama Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, yaitu ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Syekh Jumadil Kubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, bersama-sama bermaksud datang ke Pulau Jawa. Namun di tengah perjalanan mereka berpisah. Syekh Jumadil Kubro tetap ke Pulau Jawa, sedangkan Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, sementara adiknya Maulana Ishak menyebarkan Islam di Samudra Pasai, Sumatera.
Maulana Malik Ibrahim bermukim di Champa selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Selama di Champa, beliau telah berhasil menyebarkan agama Islam di sana. Keberhasilannya tesebut telah menarik simpati Raja Champa sehingga beliau diambil menantu. Pernikahannya dengan Putri Champa tersebut dikarunia dua putera. Mereka adalah Raden Rahmad (sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadla alias Raden Santri.
Setelah merasa cukup menjalankan misi dakwahnya di negeri Champa, Maulana Malik Ibrahim kemudian hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya di Champa. Konon cerita, kedatangannya ke Pulau Jawa disertai beberapa orang. Dan rombongan Maulana Malik Ibrahim tersebut melabuh di Sembalo, daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah desa Leran kecamatan Manyar, sembilan kilometer sebelah uara kota Gresik.
Setibanya di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim mengawali aktivitasnya dengan berdagang. Beliau membuka warung yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang relative murah. Selain itu, Maulana Malik Ibrahim juga bersedia untuk mengobati masyarakat yang sakit secara gratis. Pada saat itu, rakyat Majapahit mayoritas beragama Hindu dan Budha. Walaupun konon ceritanya, sudah ada sebagian rakyat Gresik yang sudah memeluk agama Islam. Hal itu menjadi lahan dakwah yang pas bagi Maulana Malik Ibrahim.
Metode Dakwah Maulana Malik Ibrahim
Dalam berdakwah, Syekh Maulana Malik Ibrahim faham betul mengenai perlunya keseimbangan antara dakwah bil lisan (verbal/dengan kata) dan dakwah bil hal ( dengan perbuatan nyata). Beliau menyadari bahwa untuk mengajak orang masuk Islam tidak cukup dengan menyampaikan dalil agama, tetapi harus dibarengi dengan aksi kongkrit untuk membenahi dan meningkatkan taraf hidup umatnya, yang saat itu ditimpa kesulitan ekonomi, agar mereka mudah untuk diajak beribadah dengan baik dan tenang. Bagaimana mungkin dapat beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan sesuap nasi.
Dakwah bil lisan beliau tempuh dengan menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan al-Quran yaitu:
“Hendaklah engkau ajak orang ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nahl:125).
Diriwayatkan bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah mengembara di Gujarat, maka tidak heran kalau beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah wiliyah Negeri India yang mayoritas pendudukanya beragama Hindu.
Dalam berdakwah di Jawa, Maulana Malik Ibrahim bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tidak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang dengan kegiatan syirik.
Caranya, beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Keindahan akhlak islami yang beliu tunjukkan di antaranya adalah kesetaraan manusia di hadapan Tuhan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam agama Hindu satatus sosial masyarakat dibagi menjadi empat kasta: kasta Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut, kasta Sudra adalah kasta yang paling rendah dan sering menjadi objek penindasan oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka, ketika Maulana Malik Ibrahim menjelaskan kedudukan manusia dalam Islam, para kaum Sudra banyak yang tertarik, karena Islam mengajarkan bahwa manusia itu sama (sederajat) dan tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah SWT. semua manusia sama dan yang paling mulia di antara mereka adalah mereka yang paling takwa kepada-Nya (QS. Al-Hujurat: 13). Orang yang bertakwa sekalipun dari kasta Sudra, bisa jadi lebih mulia dibandingkan mereka yang berkasta Kesatria.
Mendengar keterangan tersebut, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh, sehingga wajar kalau mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan suka cita tanpa adanya paksaan.
Sementara dakwah bil hal beliau lakukan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan mengembangkan bidang pertaniaan dan membuka layanan pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik, pertaniaan rakyat Gresik meningkat tajam. Gagasan beliau mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk telah mempermudah petani dalam bercocok tanam. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertaniaan menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Sementara, dakwah bil hal juga dilakukan dengan cara mengobati orang-orang yang sakit. Banyak orang yang disembuhkan dengan ramuan hasil racikan beliau. Cara dakwah seperti itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat kecil (wong cilik).
Besarnya kepedulian Maulana Malik Ibrahim kepada masalah-masalah sosial membuat beliau dijuluki si keke bantal. Julukan tersebut disematkan, karena beliau suka menolong fakir miskin; beliau adalah tokoh yang dihormati para pangeran dan para sultan; dan beliau juga ahli dalam tata negara.
Selain itu, sifat beliau yang lemah lembut, welas asih, dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka dengan sukarela masuk Islam dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama (sholat jama’ah) dan mengaji. Selain masjid, beliau juga mendirikan pondok pesantren untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara. Di pondok pesantren inilah, para para santri, calon mubaligh, dididik dan digembleng ilmu agama Islam.
Selama berdakwah, Maulana Malik Ibrahim tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik.
Selesai membangun dan menata pondokan pesantren, tempat belajar agama di Leran, tepatnya pada tahun 1419 M. Maulana Malik Ibrahim wafat. Jasad beliau dimakamkan di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar