Jumat, 14 Desember 2007

Membumikan Dakwah Rahmatan Lil Alamin

Oleh:
Sarmidi Kusno

Patut disambut hangat terselenggaranya workshop tentang revitalisasi peran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai gerakan dakwah Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang baru saja dilaksanakan oleh Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) di Jakarta (12 Februari 2007). Ini merupakan rangkaian kerja panjang yang digencarkan oleh NU dalam membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin yang didasarkan pada basis pemikiran Aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah).
Hal ini penting dilakukan, karena, akhir-akhir ini, banyak kegiatan dakwah Islam yang disampaikan secara tidak tepat. Banyak da’i/da’iyah yang tidak memahami situasi dan kondisi umat yang mereka hadapi, sehingga dakwah tidak mengena dan terkesan sia-sia. Selain itu, dakwah juga sering disampaikan dengan nada tidak santun, provokatif, dan bahkan ditempuh dengan menggunakan cara-cara kekerasan; perusakan terhadap tempat yang dinilai berbau maksiat, penutupan rumah ibadah yang diangap sesat, dan lain sebagainya.
Di saat seperti ini, kehadiran dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin menemukan momentumnya untuk mengejawantahkan dan menyebarkan Islam dengan cara santun dan damai. Dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin diyakini mampu mengangkat kembali citra Islam yang, akhir-akhir ini, mengalami kemrosotan disebabkan oleh dakwah yang kurang tepat tersebut. selain itu, ia juga dapat dijadikan sebagai landasan ‘agen perubahan sosial’ melalui dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan nyata).

Dakwah Islam Rahmatan lil ‘Alamin
Dakwah – yang berasal dari kata da’a - yad’u – da’wan yang berarti menyeru/mengajak – merupakan kegiatan mengajak manusia ke jalan Allah SWT untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan buruk agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dari definisi ini, memang dakwah mempunyai potensi untuk dilakukan dengan cara kekerasan, khusunya, dalam kaitan dengan dakwah untuk mencegah perbuatan buruk atau kemunkaran.
Dakwah mencegah kemunkaran yang ditempuh dengan cara kekerasan juga sering didasarkan pada sebuah hadits : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan tangan, apa bila tidak mampu cegahlah dengan lisan, dan apa bila tidak mampu cegahlah dengan hati, dan ini (dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman”. Dalam kaitan mencegah kemunkaran, mereka yang sering berdakwah dengan kekerasan dan pengrusakan merasa mampu melakukannya dengan menggunakan tangan atau kekuatan, dan mereka juga tidak ingin dianggap sebagai orang yang lemah imannya, sehingga jalan merubah kemungkaran dengan kekuatan tangan tidak dapat mereka redam. Dan seakan-akan, dakwah dengan cara kekerasan mendapatkan legitimasi dari hadist tersebut.
Namun dalam sejarah dakwah Islam di Indonesia, dakwah dengan kekerasan tersebut hampir tidak ada rujukannya. Keberhasilan dakwah Islam di Jawa, misalnya, hampir tidak ditemukan adanya pertumpahan darah. Islam yang disebarkan oleh Wali Songo dapat diterima dengan suka rela oleh masyarakat Jawa karena metode dakwah yang mereka gunakan bukan dengan cara angkat pedang atau kekerasan, melainkan dengan cara lembut dan penuh kedamaian.
Metode ini merupakan metode yang diambil dari al-Quran Surat an-Nahl ayat 125 : “Hendaklah engkau ajak orang ke jalan Tuhanmu dengan Hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya”.
Dengan berdasarkan ayat di atas, Wali Songo tidak langsung menentang kepercayaan masyarakat Jawa yang salah melainkan melakukan pendekatan dengan penuh hikmah dan menunjukan keindahan serta ketinggian akhlak Islami.
Ketinggian akhlak Islami yang mereka tonjolkan di antaranya adalah kesamaan derajat manusia dihadapan Allah swt. Karena pada masa Hindu-Budha dikenal dengan kasta – kasta Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut, kasta Sudra adalah kasta yang paling rendah dan sering dijadikan objek penindasan oleh kasta-kasta yang lebih tinggi.
Maka, ketika Wali Songo menjelaskan kedudukan manusia dalam Islam, para kaum Sudra banyak yang tertarik, karena Islam mengajarkan bahwa manusia itu sama (sederajat) dan tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama dan yang paling mulia di antara mereka adalah mereka yang paling takwa kepada-Nya. Orang yang bertakwa sekalipun dari kasta Sudra, bisa jadi lebih mulia dibandingkan mereka yang berkasta Kesatria.
Mendengar keterangan tersebut, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh, sehingga wajar kalau mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan suka cita tanpa adanya paksaan.
Kisah dakwah Wali Songo di atas adalah salah satu contoh dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin. Karena sesuai dengan arti etimologisnya, Islam berarti “damai” dan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”, maka dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin yang berarti dakwah dengan menghadirkan Islam yang mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi semua umat manusia di muka bumi, implementasi yang tepat adalah seperti apa yang dilakukan oleh Wali Songo tersebut. Yakni berdakwah dengan kedamaiaan, bukan dengan kekerasan dan pengrusakan.
Kemudian, dakwah Islam rahmatan rahmatan lil ‘alamin ala Wali Songo ini diadopsi oleh para kiai yang berada di bawah naungan NU. Mereka mengimplementasikan dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin berdasarkan pada basis pemikiran Aswaja (ahluussunnah waljama’ah). Pemikiran ini diterjemahkan lewat pendekatan tawassuth dan i’tidal dan dikongkritkan ke dalam sikap warga NU. Tawassuth (garis tengah) adalah cara menampilkan agama yang kontekstual. Sedang i’tidal (lurus) adalah bentuk kognitifnya. Jadi, tawassuth menjelaskan posisi, sedang i’tidal adalah akurasi dan konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian Islam yang tepat, yaitu mengambil posisi di tengah tetapi jalannya lurus. Sehingga tidak heran kalau cara dakwah ala NU selalu mengedepankan aspek rahmatan lil ‘alamin dengan menggunakan cara santun dan damai.
Oleh karena itu, membumikan dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin menjadi sebuah keharusan, sehingga Islam yang identik dengan kekerasan dan pengrusakan dapat segera dihapuskan, dan sembari memulihkan kembali wajah Islam yang ramah dan penuh kedamaian.


Dakwah Bil Hal
Dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin selain berarti menyebarkan Islam dengan penuh kedamaian secara lesan (dakwah bil qaul), ia juga berarti dakwah yang mencakup segala bentuk usaha membantu manusia melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup dengan sebaik-baiknya (dakwah bil hal). Ia harus mencakup dakwah dengan amal perbuatan nyata. Dalam hal ini, para da’i berperan sebagai “agen perubahan sosial”.
Seperti apa yang dilakukan Wali Songo di atas, yaitu membela kasta Sudra yang selalu menjadi obyek penindasan oleh kasta-kasta yang lebih tinggi, maka dakwah, saat ini, harus mengambil spirit dari Wali Songo tersebut. Kalau dulu Wali Songo membela kaum Sudra yang tertindas, maka para da’i sekarang harus membela rakyat kecil (wong cilik) yang tertindas dan dikebiri hak-haknya.
Dalam hal ini, para da’i selain harus dapat menjadi suri tauladan bagi umatnya, mereka juga diharapkan mampu melakukan langkah-langkah nyata atau aksi-aksi praksis yang dapat merubah tatanan sosial menuju perbaikan. Di sini, peran da’i selain memberikan wawasan keagamaan, mereka juga harus melakukan aksi-aksi sosial untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan; kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan sebagainya.
Untuk melakukan aksi perubahan tersebut, para da’i harus mampu memahami langkah-langkah perubahan yang harus mereka tempuh; Pertama, membangun kesadaran kritis terhadap kejadian-kejadian sosial untuk melakukaan aksi-aksi perubahan. Kedua, memahami problem-problem sosial dan strategi-strategi perubahannya. Ketiga, melakukan pendampingan untuk membangun sinergi sosial di kalangan masyarakat bawah dalam memecahkan problem mereka. Dengan menggunakan langkah langkah tersebut program-program perubahan sosial akan berjalan dengan baik.
Dakwah bil hal, saat ini, harus lebih mendapatkan perhatian. Apa lagi di saat kondisi masyarakat dirundung bencana, yang akhir-akhir ini terjadi, para da’i diharapkan peran aktifnya untuk mengimplementasikan dakwah bil hal dengan melakukan pendampingan terhadap para korban bencana dan melakukan perubahan terhadap kondisi sosial mereka. Karena dakwah itu tidak hanya secara verbal, namun justru yang lebih penting lagi adalah dakwah yang berdimensi aktual dengan memberikan contoh-contoh nyata dan melakukan pendampingan kepada masyarakat lemah.
Oleh sebab itu, sudah saatnya para juru dakwah dituntut untuk tidak hanya pandai beretorika, bepidato, atau memberikan tausiyah (wejangan) saja, tetapi mereka diharapkan juga dapat memberikan tauladan dalam bertindak, bertingkah laku, dan berbuat. Tindakan nyata untuk melakukan perubahan sosial juga harus mulai digerakkan demi terciptanya masyarakat Islam yang damai dan sejahtera. Inilah wujud dari dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin. (Pelita, 3 Maret 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar