Jumat, 14 Desember 2007

Dilema Pendidikan Pesantren

Oleh: Sarmidi Kusno

Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam. Ia termasuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri khas. Karena, ia memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi lembaga-lembaga pendidikan lainnya.[1] Salah satu ciri khas pesantren sebagai pembeda dari lembaga lainnya adalah pengajaran kitab-kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, baik ditulis oleh ulama-ulama Arab maupun ulama-ulama Indonesia sendiri.
Karena tradisi tersebut, Banyak kalangan yang mengakui bahwa tradisi pengajaran di pesantren merupakan tradisi agung (great tradition) yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang dikenal dengan “tradisi pesantren”.[2] Pentransmisian ajaran Islam tradisional yang tertuang dalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) itulah yang menjadi ciri khas tradisionalisme sistem pendidikan di pesantren.
Selain bentuk pengajarannya yang tradisional, pesantren juga mempunyai pola kehidupan yang yang unik. Hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam komplek itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh/kiai; sebuah surau atau masjid; tempat pengajaran diberikan; dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri).[3] Dari keunikan kehidupan tesebut, pesantren dirasa cukup pantas untuk mengenakan predikat subkultur.[4] Pola kehidupan semacam itu terhitung sudah berlangsung selama berabad-abad, seiring dengan sejarah munculnya pesantren.
Dalam sejarah, munculnya pesantren sering kali dilihat sebagai buah dari perkawinan konspiratif antara teologi skolatisisme Asy’aiyah dan Mauridiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisime Islam) yang telah lama mewarnai corak keislaman di Indonesia.[5] Selain itu, sejarah pesantren juga bisa dilacak berawal dari hasil asimilasi budaya. Pada abad ke-11, Dharmawangsa dari Kerajaan Dhoha, Kediri, mendirikan padepokan yang menghimpun para cantrik untuk mendalami kitab-kitab Hindu. Kata cantrik merupakan akar kata santri,[6] yang berkonotasi pada seseorang yang belajar dan mendalami ajaran Islam. Setelah Islam masuk, model pendidikan padepokan ini berubah menjadi institusi pendidikan yang terkenal dengan pesantren.[7] Dalam hal ini, Syekh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419, Gresik Jawa Timur) adalah peletak batu pertama dari proses asimilasi budaya tersebut. Spiritual Father Walisongo tersebut dalam pandangan masyarakat santri Jawa merupakan gurunya guru (master of master) tradisi pesantren-pesantren di Tanah Jawa.[8]
Menurut oral history yang berkembang juga memberikan indikasi bahwa pondok-pondok tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari Walisongo. Figur Maulana Malik Ibrahim memang sangat popular di luar Jawa. Misalnya, pesantren Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1934 di Pancor Lombok Timur NTB yang dewasa ini memiliki lebih dari sepuluh ribu santri, juga memperoleh inspirasi dari ajaran dakwah islamiyah Maulana Malik Ibrahim.[9] Tokoh ini memang sangat akrab di lingkungan pesantren tersebut.
Keunggulan Pendidikan Pesantren
Walaupun bersifat tradisional, dalam perjalanannya, pesantren telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan muslim di Indonesia. Artinya, pesantren merupakan agen pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika. Ia mampu meningkatkan peran kelembagaannya sebagai pusat penggemblengan generasi muda Islam dalam menimba ilmu agama dan menanamkan budi pekerti pada mereka.
Selama berabad-abad, pendidikan pesantren dikenal sebagai sistem pendidikan yang paling tangguh dan memiliki kemampuan bertahan serta memperbaiki dirinya (revival ability). Diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk dan variasi proses pembelajarannya, merupakan buah dari peradaban bangsa yang telah melekat ke dalam sejarah bangsa.
Secara historis, peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah diketahui sejak era Walisongo, sejak masa awal penyebaran Islam, perang melawan penjajah di era kolonialisme, hingga era gobalisasi. Pesantren dikenal telah menyumbangkan pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip “memanuisakan manusia” dalam proses pembelajaran. Kesan ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa, saat ini, proses pembelajaran di sekolah dan satuan pendidikan formal lainnya sudah banyak bergeser dari tujuan awal. Proses pendidikan formal dianggap cenderung lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi dan pencapaian nilai akademik semata, serta kurangnya unsur keteladanan guru.[10] Lebih dari itu, pembelajaan di sekolah dan pendidikan formal telah “gagal” menanamkan pendidikan moral, sehingga banyak anak didik yang mengalami dekadensi moral.
Berbeda dengan pendidikan formal, di tengah pergulatan modernitas, pesantren yang lebih dikenal karena tradisionalisme dan klasiknya dipercaya menjadi pusat keteladanan oleh seorang kiai kepada santrinya yang saling berinteraksi 24 jam. Di samping itu, pendidikan pesantren tetap mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan dan imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual.
Keunggulan lainnya adalah adanya perasaan kebersamaan, yang meliputi sikap tolong menolong-menolong, kesetiakawanan, dan persaudaraan sesama santri. Dari sisi pembinaan karakter individual pesantren mengajarkan sikap hemat dan hidup sederhana yang jauh dari sifat konsumtif masyarakat perkotaan.[11] Dengan demikian, pesantren sebagai institusi pendidikan milik masyarakat sangat potensial menjadi pusat pengembangan sumber daya manusia (SDM) menuju terwujudnya kecerdasan dan kesejahteraan bangsa.

Dilema Pendidikan Pesantren: Antara Salaf dan Khalaf
Dalam peranannya sebagai benteng imperialisme budaya, memang pesantren sampai saat ini telah membuktikan keberhasilannya. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.[12] Di sinilah tantangan yang cukup berat yang dihadapi oeh pesantren, yakni masalah pokok yang menjadi delima: di satu pihak pesantren perlu menjalankan fungsi tradisionalnya, yaitu pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu Islam konvensional yang khusus untuk pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) guna mencetak kiai, guru agama, muballigh, dan ahli agama, tetapi di pihak lain dituntut juga untuk mengembangkan kurikulum baru (di luar kajian Islam/penguasaan sains) untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang lebih luas, dengan konsekuensi pengurangan pengajaran agama konvensional.[13]
Dalam artian, pesantren harus memilih untuk masuk menjadi kategori, meminjam istilah Zamakhsyari Dhofir, pesantren salaf atau kategori pesantren khalaf [14]. Pesantren salaf artinya adalah pesantren yang masih mempertahankan kajian-kajian kitab klasik (kitab kuning), baik dilakukan secara sorogan [15] maupun wetonan/bandongan.[16]
Sedangkan pesantren yang dikategorikan khalaf adalah pesantren yang menambahkan materi-materi pelajaran umum (di luar kajian Islam) pada madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membangun sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMA).
Padahal dalam prakteknya, mayoritas pesantren yang memasukkan kurikulum baru (di luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama Islam justru mengakibatkan penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama (tafaqquh fi al-din). Inilah dilema pendidikan pesantren: antara memilih pendalaman ilmu agama atau menerima materi-materi umum di luar kajian agama dengan konskuensi merosotnya tingkat tafaqquh fi al-din.

Problem Pendidikan Pesantren
Untuk menilai secara kritis atas berbagai hal di seputar pendidikan pesantren, kategorisasi pesantren di atas cukup untuk melihat diversifikasi pesantren di Indonesia. Selain itu kategorisasi pesantren di atas dapat menghindarkan munculnya generalisasi yang seakan-akan melihat bahwa semua pesanten itu sama. Dengan ini, diharapkan bisa melihat problem-problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan di pesantren yang berbeda-beda tersebut dengan jelas dan rinci.
Secara kuantitatif, pesantren di Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 14.000 pesantren. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen, pesantren berada dalam afiliasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mayoritas masih berupa pesantren tradisional, yaitu pesantren dengan karakternya yang mandiri, otonom, sederhana dan penuh keihlasan. Pesantren tradisional yang jumlahnya sangat besar itu, sudah barang tentu, telah mendidik jutaan anak bangsa. Sebagian dari alumni pesantren bahkan telah berhasil menjadi pemimpin bangsa. Peran pesantren telah melengkapi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam mencerdaskan kehidupan warganya.
Akan tetapi, dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren sebagaimana institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di segera atasi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus mampu mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan kurikulum, metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[17] Dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar mengajar, visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang, mengingat modernisasi menawarkan metode pengajaran berbeda dengan output yang berbeda pula. Tidak hanya itu, yang perlu mendapat perhatian juga adalah masa belajar di pesantren yang memakan waktu yang relatif lama. Padahal pinsip masyarakat modern kini cenderung praktis-pragmatis.

Kurikulum Pesantren
Dalam kaitannya dengan kurikulum, masih banyak pesantren yang mempertahankan pola shalafiyah secara kaku (rigid). Para pemimpin pesantren menganggap pola ini masih canggih (sophisticated) dalam menghadapi berbagai persoalan.[18] Padahal, kurikulum tersebut lebih bersifat parsial, subject matters oriented, dan teacher oriented, tidak child oriented dan integral. Ditambah lagi, proses penyususnan kurikulum di pesantren, biasanya, sangat sarat dengan subyektifitas kiai/pengasuh. Implikasinya, kurikulum pesantren menjadi terparsialisasi oleh sempitnya aliran dan wawasan pemahaman sang kiai. Materi-materi keilmuan di pesantren cenderung berafiliasi hanya pada satu madzhab atau aliran pemikiran.[19] Sehingga atmosfir ilmiah di dalamnya berlangsung sangat monoton.
Lebih dari itu, dominasi mereka yang cukup luas berorientasi pada terorientasikannya kurikulum pada apa yang diinginkan kiai, pengasuh, dan guru, bukan untuk menfasilitasi segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi dan kompetensi santri.[20] Keinginan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicernakan dan dikuasai oleh anak didik masih belum mendapatkan perhatian.

Metode Pengajaran Pesantren
Hingga saat ini, doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk al-Quran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama, merupakan salah satu ruh yang menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami dinamika dan tidak memperhatikan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman.[21] Selama ini, metode pengajaran pesantren masih menekankan pada what to learn melalui hafalan, bukan how to learn sebagaimana dituntut oleh masyarakat modern.
Metodologi hafalan memang merupakan metode utama dalam penyelenggaraan pendidikan pesantren. Bahkan, hafalan dijadikan sebagai standar kualitas keilmuan seorang santri. Semakin hebat hafalan santri, maka semakin tinggi tingkat status sosialnya di lingkungn pesantren. Sekalipun cukup ampuh dalam melatih kedisipinan dan daya hafalan santri, metode ini justru akan mengkebiri kreatifitas dan daya kritis mereka. Sebab keterfokusan mereka pada hafalan menjadikan mereka belajar secara tekstual dan menerima segala apa yang dikemukakan sang kiai/pengasuh secara taken for granted, tanpa ada proses filterasi yang didasarkan pada semangat kritis dan kreatif. Oleh karena itu, di samping karena minimnya media dan wawasan pembelajaran, hal ini juga disebabkan karena besarnya dominasi guru, kiai atau pengasuh dalam kegiatan belajar-mengajar. Berkembangnya paradigma ini juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi turun menurun yang selama ini dikembangkan oleh para kiai/pengasuh pesantren. Sebuah tradisi yang lebih berorientasi pada hasil sehingga seringkali menganggap bahwa apa yang telah tertulis merupakan sesuatu yang sudah final, tingal dihafal. Akibatnya, proses sebagai orientasi pokok tergeser dan bahkan terlupakan.[22]
Selain itu, sistem pengajaran di pesantren juga bersifat monologis, bukannya dialogis-emansipatoris. Sistem monologis ini merupakan sistem doktrinasi sang kiai kepada santrinya. Metodologi pengajaran di pesantren juga masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan, dan sejenisnya. Di mana seorang santri diajari membaca kitab (teks) kata demi kata dan memahami kalimat yang tersusun secara harfiyah. Pesantren ternyata tidak mampu meninjau apakah seorang santri tidak membutuhkan pendekatan lain. Pokoknya kitab wajib ditelaah, dibacakan, dan diterangkan sesuai dengan kemampuan guru/kiai dan terserah kepada santi untuk menguasainya atau tidak.[23] Evaluasi atas kemampuan anak didik dengan demikian tidak memperoleh tempat yang sesuai dengan kepentingannya dalam sistem pendidikan tradisional.
Sistem pendidikan yang tidak dinamis dan sulit melakukan perubahan, serta hanya mengandalkan tradisi “hafalan” dan “membaca”, tanpa mengiringinya dengan budaya menulis tersebut, berakibat pesantren jarang menghasilkan penulis-penulis yang handal, kendati jumlah lulusannya besar.[24] Walaupun, saat ini, sudah ada beberapa lulusan pesantren yang menulis, akan tetapi prosentasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah lulusan yang ada.

Manajemen dan Pola Kepemimpinan
Permasalahan lain yang secara spesifik dihadapi pesantren berkaitan dengan manajemen dan pola kepemimpinannya. Dalam penyelenggaraan manajemen pendidikan pesantren sarat dengan dominasi otoritas administrasi birokrasi kekuasan, yakni bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai. Hal ini menjadi pas dengan pendapat Zamakhsyari Dhofir bahwa pesantren ibarat suatu kerajaan kecil yang bertradisi unik, di mana kiai merupakan pemimpin mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di dalamnya.[25]
Pola kepemimpinan seperti ini menyebabkan sirkulasi keilmuan di pesantren cederung berjalan sepihak. Kiai yang memiliki otoritas mutlak mempunyai wewenang penuh untuk menentukan corak keilmuan di pesantren yang dipimpinnya. Panorama ini tentu tidak terlepas dari kekuatan sistem pengajaran, maupun pola pergaulan yang patronal di pesantren tesebut.[26] Selain itu, budaya keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren lebih menitik beratkan pada ruhul inqiyad, yakni semangat untuk patuh atau menurut (sam’an wa tha’tan). Implikasinya semangat atau tingkat kekritisan (ruhul intiqad) santri menjadi lemah. Lebih dari itu, menurut dan ta’dzim yang mewarnai kehidupan kalangan santri juga berdampak pada penghormatan yang “membabi buta”.[27] Akibatnya, santri atau komunitas pesantren yang notabinenya menjadi pengagum berat Khulafa’ur Rasyidin tidak mampu mewarisi budaya kritis yang diterapkan oleh sahabat Umar bin Khatab ra. setiap kali berdikusi dengan Rasulullah saw.

Membenahi Sistem Pendidikan Pesantren
Memandang masalah-masalah berat yang dihadapi dunia pendidikan pesantren, maka membenahi sistem pendidikan pesantren jelas tidak bisa lagi dilakukan secara parsial. Artinya, pembenahan pendidikan harus bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan.
Dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, setidaknya dapat menjadi pijakan untuk melakukan pembenahan sistem pendidikan pesantren yang di antaranya adalah:

Membenahi Kurikulum
Dalam upaya membenahi kurikulum pendidikannya, seperti yang telah dijelaskan di atas, pesantren menghadapi ujian yang sangat dilematis. Dialektika yang serius antara mempertahankan watak tradisionalisme dan “rayuan” modernisme sungguh dialami oleh banyak pesantren.
Dari dialektika tersebut telah menyebabkan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pesantren yang menerima sepenuhnya sistem pendidikan formal (memasukkan kurikulum non-agama) dan pondok pesantren yang menolak sepenuhnya pendidikan formal. Pesantren tipe pertama pesantren berkeinginan menjadi institusi pendidikan yang bisa menyusuaikan diri dengan perubahan zaman. Pesantren juga menginginkan agar lulusannya, selain menguasai ilmu agama (Islam) juga mampu bersaing di masyarakat dalam memperebutkan peluang-peluang yang diberikan oleh perubahan yang terjadi, seperti lapangan kerja dan posisi-posisi sosial politik.
Sementara tipe kedua berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan formal di Indonesia yang dianggap tidak mendorong pada penguasaan terhadap ajaran Islam.[28] Berdasarkan analisa almarhum Nur Kholis Majid (Cak Nur), pesantren telah mengalami anacaman ditinggalkan umat Islam. Karena pesantren di Indonesia saat ini sedang mengalami krisis dalam menghasilkan ulama-ulama yang berkualitas.[29] Krisis ulama merupakan akibat dari menurutnya tingkat pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) yang biasa diperankan oleh pesantren. Jadi, praktis pesantren harus menanggung dua beban berat ini.
Merespon beban berat tersebut, belakangan ini, muncul beberapa pesantren yang mencoba menerima sebagian sistem pendidikan formal dan menolak sebagian yang lain. Artinya, ia menerima system pendidikan formal berikut tawaran legalitasnya, tetapi menolak sebagian kurikulum dan berbagai atribut yang menempel padanya.[30] Tipe pesantren melihat perlunya penambahan dan pengembangan ilmu terapan di samping ilmu agama. Di tengah tantangan globalisasi, pendidikan pesantren tidak cukup hanya mendalami ilmu agama dan bersikap eksklusif terhadap ilmu-ilmu terapan demi tuntutan pekembangan zaman.
Untuk itu, kurikulum pesantren harus tetap melakukan penekanan pada tafaqquh fi al-din guna menjaga keberlangsungan estafet keulamaan. Pengajaran kitab-kiab klasik (kitab kuning) harus tetap diutamakan. Sementara pesantren juga harus menerima kurikulum ilmu-ilmu terapan yang menjadi tuntutan di era modern, dengan tidak mengurangi tingkat tafaqquh fi al-din. Perubahan kurikulum seperti inilah yang akan membangun orientasi perkembangan pesantren ke depan.

Membenahi Metode Pengajaran
Tak dapat dipungkiri bahwa pengembangan pesantren tidak cukup dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Artinya, pembenahan kurikulum harus disertai dengan pembenahan metode pengajaran.
Metode-metode klasik seperti hafalan harus dibatasi sesuai dengan porsinya. Metode hafalan memang masih perlu dipakai untuk bidang studi tertentu yang memang perlu untuk dihafal. Tetapi, saat ini, pesantren harus lebih menekankan pada pendalaman pemahaman materi yang dikajinya, bukan hafalan.
Sementara itu, metode bandongan, pasaran, sorogan, dan sebagainya adalah metode pengajaran yang bersifat monologis. Tidak ada tradisi berdiskusi atau menyanggah terhadap guru/kiai, komunikasi berjalan searah, tidak ada materi tambahan selain materi dari kitab-kitab yang dikaji.
Untuk itu, metode semacam itu harus dirombak dan metodologi pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan kepada literatur (literature as central of science). Personifikasi keilmuan pada kiai harus dikurangi.[31] Pesantren harus muai mengadopsi metodologi ilmiah modern yang bersifat dialogis-emansipatoris. Sistem pengajaran yang terbuka untuk melakukan dialog, diskusi, dan bahkan dialog-kritis (menyanggah) akan lebih memperkaya khazanah keilmuan yang dipelajari di pesantren. Justru metode seperti inilah yang harus diterapkan di pesantren.

Membenahi Manajemen dan Pola Kepemimpinan
Upaya untuk membenahi manajemen dan pola kepemimpinan pesantren memang terasa sulit. Karena penyelenggaraan manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai sebagai pemiliknya. Manajemen seperti ini tentu tidak memiliki jaminan kelangsungan dan mutu. Karena sudah menjadi kebiasaan dunia pesantren, setalah ditinggal oleh kiainya banyak yang mengalami penurunan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, secara psikologis, kiai merasa sebagai pemilik dan pengelola sejak awal, maka tidak mudah menerima perubahan dari luar, termasuk dari pemerintah.
Untuk itu, sudah saatnya pesantren harus melepaskan diri dari citra kerajaan kecil agar tumbuh nilai-nilai keterbukaaan, kebebasan berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektifitas dan menerima secara opensif.[32] Karena hambatan untuk menciptakan nilai-nilai ini biasanya bersumber dari kepemimpinan pesantren yang sentralistik dan terpusat pada seorang kiai.
Perubahan penyelenggaraan pendidikan pesanten dapat dilakukan dengan merubah otorita kekuasaan menuju otorita akademik, dari sisem pendidikan sentralistik menuju paradigma pendidikan otonom, di mana masyarakat mempunyai peran evaluatif dan kontroling yang signifikan. Artinya, sudah saatnya kiai/pengasuh pesantren untuk melaksanakan program pendidikannya secara profesional dengan senantiasa membuka kran musyawarah egaliter yang demokratis.[33]
Demikianlah beberapa usulan perubahan untuk membenahi system pendidikan pesantren dalam rangka mengahadapi tantangan modernisasi. Dalam hal ini, harus kita sadari bersama bahwa ada baiknya pesantren tetap mempertahankan tradisionalisme dan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pendalaman ilmu agama (tafaqquh fi al-din).
Disamping itu, pesantren juga wajib memenuhi tuntutan hidup santrinya dalam kaitannya dengan perkembangan zaman, yaitu membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata melalui pendidikan ilmu terapan secara memadahi. Sehingga, pesantren diharapkan dapat melahirkan ulama yang tidak saja menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan.

Daftar Pustaka
[1] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001) hlm. 157.
[2] Istilah “Tradisi Pesantren” telah digunakan oleh Zamakhsyari Dhofir untuk judul sebuah bukunya yang diterbitkan LP3ES, Maret 1982. dalam buku tersebut, Dhofir meneliti pandangan hidup dan peranan kiai dalam memelihara dan mengembangkan paham Islam tradisional. Pandangan hidup dan peran tersebut secara sistematis membentuk apa yang disebut “tradisi pesantren” sebagai suatu kerangka system pendidikan tradisional yang pada umumnya berkembang di Jawa dan Madura. Selanjutnya baca Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982)
[3] Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. 3.
[4] Dalam uraian sosiologis, sebuah subkultur minimal harus memiliki keunikannya sendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarkhi kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Ketiga persyaratan minimal ini terdapat dalam kehidupan pesantren, sehingga dirasa cukup untuk mengenakan predikat subkultur pada kehidupan pesantren. Lihat Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal 7.
[5] Adurahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Darma Bakti, 1997) hal. 9
[6] Mengenai asal usul kata santri, para peneliti berbeda pendapat. Menurut A.H. John, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji” (A.H. John, Islam In Southeast Asia; Indonesia, C.M.I.P. hal. 40). Sementara CC Berg berpendapat lain, istilah santri berasal dari kata shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu (CC. Berg, Indonesia dalam HR. Gibb, Where Islam? A Suvey Of Modern Movenment in The Muslim Word, London 1932, hal. 257).
[7] Said Aqil Siradj, Pesantren dan Civic Values, Republika, 15 Maret 2007.
[8] KH. Saefudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1979) hal. 263
[9] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara:Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 56.
[10] S. Yunanto, et.al, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, (Jakarta: The RIDEP Institut, 2005), hal. 2.
[11] S. Yunanto, et.al, Ibid.
[12] AM. Fatwa, Masa Depan Pesanten, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.
[13] Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. xiii-xiv.
[14] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, hal. 41.
[15] Suatu pola pembelajaran individual dalam system pendidikan Islam tradisional, di mana seorang santri sambil membawa kitab kuning yang hendak dikajinya, mendatangi seoang guru/kiai. Kemudian, sang guru/kiai membacakan beberapa baris dari kittab kuning itu dan menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa di hadapan santri. Setelah itu, sang santri di hadapan guru dalam majlis tersebut mengulangi bacaan dan menterjemahkannya kata demi kata seperti yang dilakukan guru/kiai.
[16] Pola ini bersifat kolektif, di mana sekelompok santri mendengarkan seorang guru/kiai yang membaca, menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa, menerangkan dan seringkali menguas isi kitab kuning. Sementara para santri memperhatikan apa yang dibaca guru/kiai melalui kitab yang dibawa seraya membuat catatan-catatan tentang kata-kata aau buah pikiran yang keluar dari sang guru/kiai.
[17] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 15.
[18] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 113
[19] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 213
[20] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 21
[21] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 7
[22] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 22
[23] Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. 58
[24] Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 217
[25] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, hal. 56
[26] Muhali Hisyam, Hermeneutika Dalam Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtos, 2003), hal. 157
[27] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002, hal. 22
[28] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 3
[29] Nur Kholis Majid, Pesantren Alami Krisis Ulama, Kompas, Ju’mat, 14 November 2003.
[30] Marzuki Wahid, Ma’had Aly: Nesapa Tradisionalisme dan Tradisi Akademik yang Hilang, dalam Jurnal ISTIQRA, Voume 04, Nomor 01, 2005, hal. 95-96
[31] Saeful Huda, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtas, 20003), hal. 67.
[32] S. Yunanto, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan, hal. 6
[33] Khoiron Abhasi, Globalisasi dan Pendidikan Pesantren, dalam Majalah Pesantren, Edisi VIII/th.1/2002. hal. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar