Oleh:
Sarmidi Husna
Istilah “Republik Mimpi” memang cukup tepat disematkan pada republik ini. Karena, ia hanya pandai bermimpi dan membuat target yang tinggi, namun tak kunjung menjadi kenyataan dan terpenuhi.
Hal itu menjadi pas jika dikaitkan dengan target pasangan Presiden Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kala (SBY-JK) dalam dokumen “Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera” yang disampaikan menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2004 lalu. Pada saat itu, SBY-JK menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sebesar 76%; pengangguran terbuka turun dari 10,1 (2003) menjadi 5,1% (2009); penduduk miskin pun ditargetkan tinggal 8,2% di banding 17,4% (2003); pendapatan per kapita naik dari UU$ 968 (2003)) menjadi UU$ 1731 (2009)).
Ironisnya, semua itu hanya sekedar target, hanya cuma mimpi yang susah dicapai. Hampir tiga tahun pemerintahan SBY-JK berjalan, tetapi belum juga ada tanda-tanda untuk merubah mimpi tersebut menjadi kenyataan. Jangankan memenuhi target atau mewujudkan mimpi, justru kondisi bertambah puruk.
Sebagai misal, pertumbuhan ekonomi pada 2005 ditarget sebesar 6%, ternyata target itu pun tak tercapai, pertumbuhan hanya mencapai 5,6%. Dan pertumbuhan ekonomi pada 2006 yang ditargetkan sebesar 6,2% pun sulit tecapai.
Selain itu, target menurunkan angka kemiskinan menui kendala. Bukan penurunan yang diraih, akan tetapi peningkatan yang diperoleh. Angka kemiskinan pada tahun 2005 sebesar 16% meningkat menjadi 17,8% pada tahun 2006, naik 1,8%. Dan pada tahun 2007 angka kemeskinan diperkirakan juga akan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga beras, pencabutan bantuan tunai langsung (BLT)), dan berbagai bencana yang menerpa negeri ini (Koran SINDO, 15/02/2007).
Tak mau ketinggalan, angka pengangguran, pada tahun ini, diperkirakan juga akan mengalami kenaikan. Adanya angkatan kerja baru, musibah banjir di Jakarta dan sekitarnya, gempa yang melanda wilayah Yogyakarta, semburan lumpur Lapindo yang menimpa warga Sidoarjo, dan gempa di Sumatra Barat menjadi sebab naiknya angka pengangguran yang diperkirakan mencapai 2,5 juta orang (Republika, 16/03/2007). Hal ini mengindikasikan republik ini hanya bisa melihat jauh ke depan dan mampu merumuskannya dengan baik, tetapi hanya terus beputar pada tataran yang sama.
Ibarat Cebol Gayuh Lintang
Masih segar dibenak kita mimpi SBY-JK di atas, kini muncul kembali mimpi baru yang menjulang tinggi. SBY, baru-baru ini, berharap Indonesia masuk lima negera dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia pada 2030. Indonesia akan mempunyai pendapatan per kapita UU$ 18 ribu per tahun (Koran SINDO, 23/03/07). Ibarat cebol gayuh lintang (cebol ingin menggapai bintang yang tinggi), mimpi tersebut sulit untuk direalisasikan. Hanya mukjizat dari Tuhan yang dapat merealisasikan keinginan si cebol tersebut.
Cobalah diredam dulu mimpi yang terlalu tinggi tersebut. Dan mari kita simak prediksi Bank Dunia yang telah mengumumkan bahwa presentasi usia produktif (15-64 tahun) terhadap total populasi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Pada saat bersamaan, presentase usia produktif di China sudah mengalami penurunan, yang dimulai tahun 2015. Dan raksasa ekonom Asia lainnya, Korea Selatan juga akan mengalami penurunan tahun 2020. Sementara Jepang sudah lebih dulu mengalami penurunan sejak tahun 1990 (Philip S, 2006).
Dapat diperkirakan, pada tahun 2025 nanti akan terjadi persaingan yang sengit antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam di bidang perekonomian dan perdagangan. Artinya, untuk mampu bersaing dengan negara tetangga saja masih perlu disangsikan, apa lagi masuk lima negara terbesar di dunia. Ini benar-benar mimpi yang susah dikejar.
Bukannya salah bermimpi setinggi langit, namun alangkah baiknya kita tahu diri, agar tidak menjadi bahan pergunjingan. Lebih baik kita memikirkan, bagaimana caranya mempersiapkan generasi bangsa yang mampu bersaing dengan negara-negara tetangga tersebut?.
Kegagalan: Buah Kebijakan?
Beberapa pakar sepakat bahwa sukses dan tidaknya pembangunan suatu negara disebabkan oleh gagal dan tidaknya membangun tiga bidang –ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Pertanyaannya, bagaimana hasil pembangunan Indonesia pada tiga bidang tersebut?
Pertama, pembangunan di bidang pendidikan. Data terbaru menyebutkan, dari sekitar 34 juta lebih anak Indonesia usia sekolah yang mengikuti pendidikan dasar mencapai 97%, dan rasio untuk pendidikan menengah lebih rendah, yaitu 62%. Meski demikian, hanya setengah dari anak sekolah Indonesia yang menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Sekitar 18% anak putus sekolah dasar, selebihnya tidak melanjutkan atau tidak menyelesaikan sekolah menengah (Philip S, 2006). Artinya, lebih dari 17 juta anak Indonesia yang tidak menyelesaikan sekolah menengah.
Memang ada beberapa generasi bangsa yang menikmati proses belajar dengan sarana dan prasarana kelas dunia. Prestasi kelas dunia seperti kemenangan dalam Olimpiade Fisika menjadi yang terbaik kedua, di bawah China, pun dapat diraih oleh Tim Fisika asuhan Yohanes Surya (Kompas, 03/05/2006). Namun jumlah mereka tidak lebih dari 10%. Lebih dari 90% generasi bangsa yang tidak mengenyam pendidikan berkualitas dan terancam menjadi generasi yang berkualitas rendah. Dapat disimpulkan pembangunan di bidang pendidikan telah gagal.
kedua, pembangunan di bidang kesehatan. Fakta kualitas hidup sebagian rakyat Indonesia masih buruk: sekitar 22% dari total penduduk Indonesia ternyata tidak punya akses terhadap air bersih; sekitar 48% tidak punya akses kesehatan yang baik; ancaman firus flu burung, penyakit demam bedarah, penyakit jantung, HIV/AIDS dan sebagainya; dan ribuan balita menderita gizi buruk. Semua itu merupakan bukti gagalnya pembangunan di bidang kesehatan.
Ketiga, pembangunan di bidang ekonomi. Berdasarkan Microeconomics Competitiveness Index (MCI), daya saing Indonesia berada pada posisi yang lemah, yaitu diurutan ke 74 dari 117 negara pada 2005, mengalami penurunan di banding pada 2004 berada pada posisi ke-69. Peringkat MCI Indonesia, saat ini, jauh di bawah negara tetangga Singapore (6), Malaysia (24), dan Thailand (36). Perbaikan ekonomi di level makro masih nampak semu, belum menunjukkan perbaikan di level mikro, perbaikan di sektor riil.
Apa yang Harus dilakukan?
Kendati rasa skeptis dalam mensikapi situasi saat ini dan ke depan, namun bukan berarti kita berhenti berfikir dan berusaha mencari jalan alternatif dan berusaha meluruskan arah pembangunan. Melihat kondisi tersebut, kebijakan negara harus mengutamakan pembangunan dengan memprioritaskan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Pertama, dalam bidang kesehatan, kebijakan harus difokuskan pada usaha-usaha: menyediakan asuransi kesehatan, melaksanakan program sisitem jaminan sosial nasional, melakukan penggalangan dana sehat dari dan untuk masyarakat, memberikan gizi tambahan kepada anak-anak tidak mampu, dan lain sebagainya.
Kedua, dalam bidang pendidikan, kebijakan harus mulai difokuskan pada usaha-usaha: memberikan jaminan kesempatan yang adil dan merata bagi setiap anak bangsa memperoleh pendidikan berkualitas, menyelengarakan pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyaakat Indonesia kini dan mendatang dalam menghadapi tantangan masa depan, dan memprioritaskan alokasi anggaran pendidikan yang memadahi untuk mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas agar mampu bersaing di masa depan.
Ketiga, dalam pembangunan di bidang ekonomi, tantangan utamanya adalah mengentaskan kemiskinan. Untuk mengurangi angka kemiskinan, negara harus meraih pertumbuhan ekonomi minimal 7% agar tercipta kesempatan kerja sebesar 1% ((Kompas, 18/12/2006). Hal itu dapat dilakukan dengan usaha-usaha: meningkatkan kredit di level mikro, memberdayakan bisnis sektor informal, pemerataan distribusi sumber daya ekonomi yang dapat memulihkan sektor riil.
Untuk merealisasikan semua itu, anggaran negara harus difokuskan untuk mendukung pembangunan di tiga bidang tesebut –kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Kesehatan dan pendidikan harus dipandang sebagai investasi guna menggerakkan dan menumbuhkan ekonomi bangsa. Karena pendidikan dan kesehatan telah terbukti mampu mengangkat harkat dan martabat manusia lebih tinggi. Dengan pendidikan dan kesehatan akan muncul sumber daya manusia (SDM) yang berkualias yang akan mampu mengatasi berbagai krisis, baik krisis ekonomi maupun krisis sosial yang lain.
Jumat, 14 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar