Jumat, 14 Desember 2007

Mencari Kesejatian Pemimpin

Mencari Kesejatian Pemimpin
Oleh:
Sarmidi Husna

Banyak pengamat dan tokoh masyarakat mengatakan bahwa masalah besar yang dihadapi Indonesia, sejak dulu hingga sekarang, adalah masalah kepemimpinan. Para pemimpin kita bukan hanya tidak tegas dalam memberikan arah kepada bangsa ini, tetapi justru cenderung “jorok”, korup, suka berbohong, plin-plan, dan bahkan sering membantah ucapan sendiri.
Hal tersebut tentu menyebabkan kekecewaan berat masyarakat karena nilai-nilai luhur budaya bangsa – kejujuran, keadilan, amanah, dan kesetia-kawanan – lebih banyak dijadikan retorika politik, sedang dalam perbuatan nilai-nilai itu diterlantarkan dan bahkan dikhianati.
Tak pelak, masalah tersebut tidak luput dari kritik dan saran para pengamat dan tokoh masyarakat yang mempunyai kepedulian akan nasib bangsa ini.
Salah satu di antara mereka adalah Soetjipto Wirosardjono. Di dalam bukunya Simbol Budaya dan Teladan Pemimpin (2007) yang baru saja diterbitkan, ia termasuk kritis dalam memberikan suatu pendapat dan tajam dalam menganalisis masalah kepemimpinan dan sosial kemasyarakatan yang terjadi di negeri ini.
Soetjipto, yang berlatar belakang pendidikan dan profesi sebagai ahli statistik ini adalah seorang yang tekun dalam mengamati masalah budaya, masalah wong cilik, dan masalah kehidupan sosial politik di sekitarnya. Karena itu, tidak aneh kalau dalam bukunya tersebut ia mampu mengkritik dan mengurai masalah yang sedang hangat dibicarakan di tengah-tengah masyarakat luas, sepeti mengenai penguasa dan pejabat dengan gaya bahasa sindiran yang ampuh.
Di antara kritik yang menjadi pokok bahasan Soetjipto adalah mengenai kinerja para birokrat yang ada di negeri ini. Mengenai masalah birokrasi, ia sepakat bahwa birokrasi dibuat untuk menjamin kepastian hukum, kejelasan batas tugas dan tanggung jawab. Namun pada kenyataannya, para birokrat sering mempersulit, memperlama, dan bahkan menghambat urusan rakyat.
Anehnya, di balik semua itu, mereka menawarkan kemudahan dan kelancaran layanan dengan bersyarat. Artinya, mereka menawarkan, kalau mau cepat jangan birokratis, ya serahkan saja pada ‘kebijaksanaan’ birokrat supaya tidak perlu mematuhi aturan tertulis tentang tata kerja yang dibuat untuk pedoman kepastian perlakuan yang adil dan sama buat semua orang. Caranya? Ya dengan menyogok mereka, supaya tidak birokratis dan supaya berani melanggar aturan. Maka, lahirlah korupkrasi yang bila dipendekkan berbunyi korupsi saja.
Yang lebih menarik dan amat disayangkan, menurut pengamatan Soetjipto, konon korupkrasi itu mempunyai fungsi memperlancar pemerintahan dan pembangunan. Segala yang ruwet, sulit, lama, dan bertele-tele dari kerja birokrasi bisa dibikin pendek, cepat, lancar, dan tembak langsung dengan terapi korupkrasi. Oleh karena itu, sogok itu merupakan pelumas pembangunan. Itulah sebabnya, dia disebut dengan uang pelancar, pelincir, pelumas, pelicin atau semir (hal 29).
Menurut Max Weber, birokrasi yang baik adalah birokrasi yang profesional, netral, bebas nilai, tidak memihak partai dan mengutamakan efesiensi dan efektivitas semata. Orangnyapun baik hati dan lempeng-lempeng saja.
Sayangnya, kritik Soetjipto, para birokrat ini doyan nasi juga. Dia punya perut, hati, dan nafsu. Karena itu, lalu bisa tumbuh besar, sakit, bahkan kawin dengan politik. Niat membebaskan birokrasi dari politik ternyata sia-sia dan menjadi upaya yang mustahil. Witing tresno jalaran songko kulino (cinta karena terbiasa sudah sering bertemu). Politisi jadi demen sama birokrat. Tetapi, birokatpun jatuh cinta pada politisi. Maka, lahirlah perkara baru dalam pemerintahan dan kenegaraan; perkara membengkaknya birokrasi dan menggerayangnya tangan-tangan birokrasi ke seluruh lapangan penghidupan(hal 30).
Itulah kritik Soetjipto terhadap birokrasi yang ada di Negeri ini yang gemar menerima pelancar dan pelicin tersebut.
Masalah lain yang menjadi sasaran kritik Soetjipto adalah para pemimpin yang kedonyan. Mereka adalah pemimpin yang lebih mengutamakan kesejahteraannya sendiri dan mengabaikan kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Soetjipto, pemimpin seperti itu telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Suatu misal, dalam budaya klasik Jawa selalu ditekankan betapa rapuhnya sandaran kebahagiaan dan kesejahteraan yang didasarkan pada gemerlap keduniawian. Kedonyan atau keduniawian dalam konotasi budaya Jawa mempunyai makna yang tidak hanya fana, tetapi juga dangkal dan tidak hakiki. Karana itu, ksatria tanah Jawa sejati pastilah akan mengajarkan pada anak-anak dan lingkungannya untuk tidak mendewakan drajat, pangkat, dan semat; kedudukan penghormatan, dan kekayaan. Karena kebahagiaan tidak terletak pada drajat, pangkat, dan semat melainkan perbuatan yang mulia dan amal yang baik.
Lagi-lagi menurut Soetjipto, kesejahteraan memiliki dua wajah; wajah memiliki atau handarbeni/having dan wajah kesejatian/being. Sayangnya, simbul wadag kesejahteraan lebih tercermin pada wajah pemilikan. Kecukupan sandang, pangan, papan, dan kalau mungkin kemewahan; tetapi pemilikan atau penguasaan kebendaan itu bisa aus, usang, kurang kegunaan, karena ketinggalan jaman atau sekedar karena kebosanan. Dan bila derajat kegunaan itu merosot, karena sebab-sebab di atas, peduli nilai intrinsiknya, makna kesejahteraan barang-barang itu akan hilang, hambar atau bahkan menjadi semacam beban. Sementara wajah kesejatian –being– tidak pernah mengenal kerapuhan, keusangan atau kehilangan makna. Karena ia menjunjung tinggi harkat dan martabat diri. Hidup bersih, jujur, cinta sesama, menjauhi sifat iri, dengki, dan pendendam hati (hal 92-93).
Contoh seorang pemimpin yang memegang teguh wajah kesejatian, sekali lagi menurut Soetjipto, adalah Jendral Sudirman. Beliau adalah ksatria Jawa yang sangat luar biasa penghayatan atas falsafah kejawaannya. Teguh pendirian, memegang janji, amanah, tulus pengabdiannya kepada rakyat, dan mencerminkan pendirian pribadinya itu dengan praktik hidup sehari-harinya. Sehingga tradisi keperwiraan itu tertanam di antara para perwira dari seluruh penjuru Tanah Air yang menjujung tinggi teladan Sudirman, Panglima Besarnya.
Untuk itu, di saat bangsa Indonesia dilanda krisis kepemimpinan, kehadiran buku ini dapat dijadikan kerangka acuan pengembangan kapasitas dalam memimpin. Sehingga harapan untuk memiliki pemimpin yang berwajah kesejatian terkabulkan. Yaitu para pemimpin yang ikhlas dalam melayani rakyat dan mampu memikul tanggung jawab yang diemban; para pemimpin bangsa yang benar-benar peduli dengan masalah kepatutan, dan tidak banyak menuntut kepatuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar