HASIL NOTULASI DIALOG KITAB UQUD AL-LUJAYN
Jakarta, 29 Agustus 2007 di PBNU
Moderator : M. Cholil Nafis
Pembicara : Shinta Nuriyah (FK3)
M. Idrus Romli (Forkit)
Pembahas : Husain Muhammad (FK3)
Abdullah Hasyim (LBM-NU)
Moderator
Cholil Nafis
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya ucapkan terimakasih kepada dua tim penulis buku yang sudah berkenan hadir pada pertemuan hari ini. Khususnya kepada Ibu Shinta Nuriyah selaku ketua tim dari Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) yang telah menulis buku berjudul “Relasi Baru Suami Istri”. Dan rasa terimakasih juga saya sampaikan kepada Bapak Mohammad Romli ketua tim Forum Kajian Islam Tradisional (Forkit) yang telah menulis buku “Menguak Kesalahan dan Kebatilan Sekte FK3”. Perlu kita ketahui bahwa kedua buku tersebut merupakan hasil kajian mereka terhadap kitab Uqud al-Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani yang sering dikaji di pesantren.
Selanjutnya perlu juga saya sampaikan bahwa dialog ini adalah acara Pra Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) yang akan berlangsung pada tanggal 4 sampai dengan 6 September 2007 di Wisma Wiladatika Cibubur Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan LBM-NU terhadap karya ilmiah, maka LBM berupaya untuk menyelenggarakan dan mengutamakan forum ilmiah yang berlandaskan intelektualitas. Untuk itu, dalam rangkaian acara Rakernas LBM-NU kami menyelenggarakan acara Prarakernas dengan menggelar forum ilmiah pada hari ini.
Karena dialog kali ini berpotensi menjadi diskusi yang panas, maka saya sebagai moderator akan membagi waktu yang seefesien mungkin dan akan memotong pembicaraan yang menjurus pada dialog yang tidak ilmiah.
Waktu untuk kedua pembicara, Ibu Shinta dan Bapak M. Romli, masing antara 15 – 20 menit. Kemuadian dilanjutkan pembahasan oleh kedua pembahas, yaitu KH. Abdullah Hasyim dan KH. Husain Muhammad, masing-masing sekitar 10 menit. Setelah itu, waktu saya berikan kepada para hadirin yang ingin berpartisipasi atau bertanya kepada kedua pembicara, masing-masing penanya diberi waktu 3 menit. Dan saya tekankan sekali lagi, dalam menyampaikan pertanyaan tidak boleh memaki, mencemooh dan lainnya. Karena, sebagaimana halnya tradisi NU yang mengikuti 4 madhab fiqih, dimana dalam 4 madhab tersebut sudah tentu terdapat polemic, akan tetapi polemic tersebut selalu disikapi dengan kepala dingin.
Untuk itu, saya mengajak kepada para hadirin dalam dialog ini untuk selalu mengedepankan sopan santun dan menanggapi perbedaan dengan kepala dingin. Selanjutanya, kami berikan apresiasi kepada kedua pembicara untuk menyampaikan isi buku yang telah mereka tulis. Pertama waktu saya berikan kepada Ibu Shinta untuk menyampaikan isi bukunya.
Ibu Shinta Nuriyah
Para hadirin yang berbahagia. Saya bersukur bisa hadir dalam forum yang terhormat ini, karena dalam forum ini saya bisa melakukan tabayyun atas apa yang kami lakukan, baik secara pribadi maupun institusi, berkaitan dengan upaya memperjuangkan keadilan dan hak-hak kaum perempuan.
Terus terang selama ini kami banyak menerima tuduhan negative dari beberapa pihak yang tidak memahami apa yang kami lakukan. Mereka menuduh kami sesat, merusak, dan mengubah ajaran islam, bahkan ada yang menuduh kami sesat, kafir dan berbagai tudingan nista lainnya.
Saya tidak akan melakukan pleidoi atas tuduhan tersebut, karena bagi kami masalah keimanan dan keislaman seseorang adalah menjadi otoritas Allah. Hanya Allah yang tahu keimanan, ketaqwaan dan keislaman seseorang. Kalau ada orang yang berani menjadi hakim atas keimanan, ketaqwaan, dan keislaman seseorang, maka bagi saya orang tersebut telah mengambil otoritas Allah. Dan saya merasa kagum terhadap orang seperti ini, karena dia begitu hebat, sehingga berani menjadi hakim atas persoalan yang mesti menjadi otoritas Allah.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menegaskan bahwa secara pribadi maupun institusi (Puan Amal Hayati) tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan tindakan yang bertujuan mengubah, menyelewengkan, apalagi merusak ajaran, doktrin dan teks agama Islam. Sebaliknya, kami justru ingin menjaga, menyebarkan dan mengamalkan ajaran, nilai, dan doktrin agama Islam yang kami yakini dalam kehidupan social saat ini secara kongkrit dan factual. Hal ini kami lakukan karena selama ini banyak ajaran, nilai, dan doktrin Islam yang tidak bisa dijalankan dalam konteks kekinian karena dibelenggu oleh akar tradisi dan interpretasi. Kita hampir tidak bisa memilah mana doktrin,ajaran, dan mana tradisi dan interpretasi. Semua dianggap doktrin dan ajaran yang tidak diubah dan diaktualisasikan.
Kami melakukan ini karena setiap hari kami bersentuhan dengan fakta dan kondisi empiris yang secara factual menuntut adanya pemikiran alternative agar doktrin dan ajaran agama bisa diterapkan dalam konteks kekinian. Misalnya, masalah kekerasan terhadap perempuan, dan kesetaraan relasi social antara laki-laki dan perempuan. Hampir setiap hari kami menerima kami menerima perempuan yang menjadi korban kekerasan. Dan sejauh pengamatan kami, kekerasan tersebut terjadi karena adanya miss-persepsi terhadap doktrin, ajaran, dan penafsiran teks agama. Miss-persepsi tersebut berkaitan dengan masalah peran, posisi, dan fungsi dalam relasi social.
Dengan bersandar pada teks-teks agama, kaum laki-laki merasa dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal dalam keluarga, sebagai pemimpin, pelindung, dan Pembina. Perasaan seperti ini menimbulkan suatu anggapan bahwa dia berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Ketika mereka melakukan kekerasan, hal itu tidak dapat dilihat sebagai penyimpangan tetapi dipahami sebagai wujud tanggungjawab seorang pemimpin dalam melakukan pembinaan. Dengan demikian tidak ada perasaan salah atau menyesal di kalangan laki-laki yang melakukan kekerasan. Akhirnya kekerasan dianggap sebagai suatu yang wajar, karena bagian dari upaya pembinaan dan pelaksanaan tanggungjawab laki-laki, sebagai pemimpin bagi perempuan. Perasaan ini juga ada di kalangan para korban. Mereka menerima kekerasan dengan ihlas, karena mereka itu sebagai bagian dari keharusan social. Tekanan batin, kegundahan jiwa, dan beban mental serta kekerasan fisik yang dirasakan oleh para korban akan dirasakan sebagai bentuk pengorbanan seorang perempuan pada laki-laki. Mereka justru merasa nista kalau mengungkapkan hal ini kepada orang lain, karena dianggap telah membongkar aib keluarga dan merusak tatanan social. Bahkan ada yang merasa, semakin mereka tersakiti akan semakin banyak menerima pahala dan hikmah dari Tuhan kalau mereka ihklas, karena itu bagian dari ujian hidup dari Tuhan.
Melihat kondisi seperti ini, kami mencoba bertanya lebih jauh, apa betul agama mengajarkandemikian? Mengapa penafsiran seperti ini bisa terjadi? Atas dasar ini, kami kemudian melakukan pengkajian terhadap berbagai teks yang bisa dijadikan sandaran atas perilaku kekerasan dan tindak ketidakadilan terhadap kaum perempuan, karena secara factual, teks-teks tersebut telah memiliki dampak yang luar biasa dalam relasi laki-laki dan perempuan. Dia tidak saja menjadi alat legitimasi penindasan dan pelecehan terhadap martabat perempuan, lebih dari itu dia juga menjadi alat produksi tradisi dan system nilai yang memarjinalkan kaum perempuan, dan ini bertentangan dengan spirit ajaran dan doktrin agama yang ingin mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki.
Agar ajaran dan doktrin agama bisa dijalakan secara nyata dalam kehidupan, maka kami mencoba melakukan penelusuran terhadap teks-teks tersebut secara sosiologis (asbabun Nuzul dan asbabul wurud ). Hal ini dilakukan utuk mencari makna hakiki dan tujuan (dalalah dan qarinah ) dari teks tersebut, bagaimana setting social munculnya teks, dan dalam konteks siapa? Dari sini kita bisa menangkap spirit dan teks tersebut, selanjutnya dilakukan kontekstualisasi agar bisa dijalankan dalam konteks kekinian. Inilah sebenarnya yang kami lakukan selama ini. Bukan mengubah atau merusak teks atau ajaran.
Di samping melakukan kajian terhadap teks, kami juga mencari teks-teks alternative yang memiliki bobot yang sama (baik dati al-Quran maupun Hadits) agar dapat dijadikan pijakan untuk menentukan pilihan dalam menjalankan ajaran dan diktrin agama yang lebih kontekstual. Teks-teks alternative ini yang kami tawarkan kepada public untuk menjawab ketimpangan dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Inilah yang kami lakukan selama ini, tidak lebih dari itu.
Upaya-upaya di atas, kami sama sekali tidak melakukannya secara sembarangan. Kami mendatangkan orang-orang yang ahli di bidangnya. Para ahli hadits, ahli tafsir, ahli bahasa, dan ahli sejarah kami ajak bicara untuk melihat, menganalisis, dan menelaah teks yang secara factual menjadi alat reproduksi sitem yang dirasa tidak adil.
Penyusunan buku ini memakan waktu selama 1 ½ tahun dengan tim yang berjumlah sebelas orang. Mereka adalah;
Saya sendiri (Shinta Nuriyah)
KH. Husaen Muhammad
Dra. Badriyah Fayumi
Dr. Lutfi fathullah, MA
Hendarsini
Faqihudin Abdul Qadir
Safiq Hasyim, MA
Durotun Nafisah
Cucu Subaidah
Juju Juweriah
Lis Markus
Artinya, kami tidak sembarangan menyusun buku ini, karena tim ini melakukannya selama 1 ½ tahun. Dalam pandangan kami, hasil kajian ini bisa dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun moral. Buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang kemudian dikirimkan di luar negeri, seperti di Harfad University Amerika Serikat, Madinah, Yaman dan lain sebagainya.
Semua hasil kajian dan teks-teks alternative inilah yang kami sampaikan kepada public untuk menjawab problem social yang dialami dan dirasakan oleh kaum perempuan saat ini. Dan kami hanya menyampaikan, tidak memaksakan orang lain untuk menerima atau menolak. Kami tawarkan, kalau ada yang merasa cocok dan bermanfaat ya silahkan digunakan, kalau ada yang menolak ya kami tidak keberatan. Kami tidak mengkafirkan dan menuduh kolot orang-orang yang menolak pendapat dan teks-teks alternative yang kami ajukan. Kami hanya ingin bagaimana orang-orang yang teraniaya dan diperlakukan tidak adil ini juga merasa mendapat perlindungan dari teks-teks dan ajaran agama.
Jadi secara tegas, kami menyatakan bahwa kami hanya menawarkan alternative pemikiran, penafsiran dan teks-teks lain kepada public agar ajaran dan doktrinagama benar-benar dirasakan manfaatnya oleh orang-orang yang saat ini teraniaya, sehingga mereka merasa bahwa ajaran agama membela mereka, sesuai dengan konteksnya. Hanya iru, tidak lebih.
Memang kami bukan Nabi atau ulama besar yang punya otoritas untuk melakukan semua itu. Tetapi kami ingin meniru jejak dan mewarisi semangat mereka, yang melakukan aktualisasi terhadap ajaran agama demi kemanfaatan umat manusia yang terzalimi, meski untuk itu mereka harus dicaci maki dan diangap merusak tatanan social dan doktrin yang sudah mapan, sebagaimana tudingan yang diberikan oleh kaum jahiliah kepada Nabi ketika melakukan rekonstruksi tradisi dan reinterpretasi atas teks-teks yang ada.
Saya berharap forum klarifikasi ini dijalankan dengan berpijak pada etika sehingga bisa menjadikan kita dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat dan lebih bijaksana dalam melihat realitas. Karena realitas sekarang semakin komplek akibat dari arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang kian canggih. Untuk itu, diperlukan kecerdasan dan kearifan untuk menjawabnya. Ada baiknya kita menyerahkan semua pendapat ini kepada kenyataan, pendapat mana yang lebih bisa melindungi dan menjawab problem social yang dihadapi oleh rakyat. saya rasa ini yang lebih fair dan adil daripada kita sibuk menjadi hakim social yang ternyata justru menjauhkan agama dari masyarakat. Karena mereka tidak merasakan manfaat dan pembelaan apapun dari sikap yang merasa benar sendiri tersebut. bukankah sikap seperti ini mencerminkan adanya otoritarianisme teks dan penafsirannya? Terimakasih.
Moderator (Cholil Nafis)
Itulah pengantar dari penulis pertama. Kemudian saya serahkan pada yang menanngapi, Muhammad Idrus Romli yang telah menulis buku khusu mengkritik hasil kajian dari FK3. silahkan!
M. Idrus Romli
Para hadirin yang hormati. Para pembicara dari FK3 yang kami mulyakan. Dalam kesempatan ini kami akan menyampaikan pandangan kami terhadap kajian FK3 dalam bukunya “Relasi Baru Suami Istri”. Pertama kami sampaikan bahwa di antara tradisi keilmuan Islam yang patut dilestarikan kaum Muslimin adalah penulisan karya ilmiah dalam bentuk komentar, uraian dan penjelasan terhadap karya-karya ilmiah sebelumnya yang dikemas dalam bentuk syarh, hasyiyah, ta’liq, taqrir, takhrij dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada pembaca dalam memahami dan menghayati suatu karya ilmiah.
Dan agaknya di antara ulama yang sangat produktif dalam menulis komentar (syarh) terhadap karya-karya klasik adalah Sayyidina wa Maulana al-Syaikh al-Imam Muhammad Nawawi Banten, yang menjadi guru para masyayikh di Nusantara utamanya KH. Khalil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy’ari pendidri Nahdlatul Ulama (NU), yang sudah seharusnya kita hormati. Dari pena beliau telah mengalir sekian banyak syarh yang menjadi konsumsi pesantren-pesantren di tanah air, seperti al-Tafsir al-Munir, al-Tausyih, Maraqil Ubudiyyah, Mirqad Shu’ud al-Tashdiq, ‘Uqud al-Lujayn dan lain-lain.
Akan tetapi dari kesuksesan beliau dalam karya-karyanya, khususnya karya ‘Uqud al-Lujayn yang menjadi kajian sekunder di kalangan pesantren, agaknya membuat sebagian kalangan yaitu Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) merasa kurang nyaman dan keberatan dengan materi kajian ‘Uqud al-Lujayn yang berbeda dengan pandangan atau bahkan kepentingan FK3, sehingga akhirnya termotivasi untuk memberikan perhatian khusu yang dikemas dalam bentuk karya ilmiah berupa ta’liq dan takhrij kepadanya.
Oleh karena, ta’liq dan takhrij yang dilakukan FK3, berangkat dari motivasi keberatan dan merasa kurang nyaman terhadap ‘Uqud al-Lujayn, tentu ta’liq dan takhrij yang mereka lakukan atau sajikan berbeda dengan ta’liq dan takhrij yang ditradisikan oleh ulama kita, yaitu berupa memberikan uraian dan penjelasan agar kitab yang menjadi obyek, lebih mudah dan nyaman dipahami dan dihayati oleh pembaca. Sementara ta’liq dan takhrij yang disajikan FK3 ini, berupaya sebaliknya, yaitu mengkaburkan dan membingungkan para pembaca dalam memahami dan menghayati materi ‘Uqud al-Lujayn.
Dengan sekuat tenaga FK3 berupaya melemahkan, mengkritisi dan menyalahkan semua materi ‘Uqud al-Lujayn. Namun apa boleh dikata, agaknya kemenangan dan kebenaran selalu tidak memihak FK3, tetapi justru sebaliknya, selalu memihak ‘Uqud al-Lujayn. Ibarat menggali jurang untuk orang lain, tetapi dirinya sendiri yang terjerumus di dalamnya. Dan ternyata setelah kami amati, setiap banyak kritik yang diarahkan FK3 terhadap ‘Uqud al-Lujayn, tidak sedikit yang berangkat dari keterbatasan ilmu pengetahuan FK3 sendiri.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh kelemahan dan kesalahan FK3 dalam ta’liq dan takhrij mereka terhadap ‘Uqud al-Lujayn, dengan klasifikasi yang sistematis sesuai dengan metodologi ta’liq dan takhrij yang berkembang di dunia penerbitan dewasa ini.
Pertama, di balik catatan biografi. Salah satu corak yang menjadi cirri khas ta’liq dan takhrij dunia modern, yang juga dilakukan FK3, pemberian keterangan ringkas tentang biografi nama-nama tokoh yang terdapat dalam karya yang menjadi obyek. Akan tetapi dalam ta’liq dan takhrij FK3, selalu menuai kesalahan dalam menjelaskan biografi nama-nama tokoh yang terdapat dalam ‘Uqud al-Lujayn di antaranya;
Syaikh Muhammad al-Mishri pengarang kitab Syarh an-Nihayah ‘ala al-Ghayah, yang banyak dikutib oleh ‘Uqud al-Lujayn, oleh FK3 (hal.8) dijelaskan sebagai Muhamad bin Qasim bin Muhammad al-Ghazali al-Qahiri al-Mishri yang juga menulis syarh terhadap al-Ghayah dan popular dengan Fathul Qarib al-Mujib. Padahal yang benar adalah Abu Abdillah Muhammad Waliyudin al-Bashir al-Mishri. Dan kitab syarh al-Nihayah ‘ala al-ghayah tidak dikenal dengan sebutan Fath al-Qarib al-Mujib.
Al-Subki oleh FK3 (hal. 8) dibiografikan dengan Tajuddin Abu Nashir Abdul Wahab bin Taqyudin al-Subki pengarang Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Padahal yang benar adalah Taqiyudin Abu al-Hasan Ali bin Abdul Kafi al-Subki.
Athiyyah yang mengomentari kitab Umdat al-Rabih karangan al-Ramli (w.1004 H), oleh FK3 (hal.30) dibiografikan dengan Athiyyah bin Said al-Andalusi (w. 408 H). padahal yang benar adalah Athiyyah bin Athiyyah al-Ujhuri al-Burhani al-Syafi’I (w. 1190 H).
Abdullah al-Wasithi, dalam kisah seorang wanita yang berbicara memakai nash-nash al-Qur’an, oleh FK3 (hal. 73) dibiografikandengan Abdullah bin Mubarok al-Khurusani. Padahal yang benar adalah Abdullah bin Dawud al-Wasithi.
Abu Sulaiman al-Darani, Ulama sufi terkemuka, oleh FK3 (hal. 182) dibiografikan dengan al-Qadhi Sulaiman bin Habib al-Muharibi al-Dimasyqi al-Darani (w.126 H). padahal yang benar adalah Abu Sulaiman Abdurahman bin Ahmad bin Athiyyah al-Darani (w. 215 H)
Kedua, kurang selektifdalam memilih rujukan. Dalam ta’liq dan takhrij FK3 terhadap ‘Uqud al-Lujayn, tidak sedikit yang merujuk kepada kitab-kitab kelompok radikal Wahabi yang anti tawasul, tabaruk, tasawuf, mauled dan mengkafirkan kaum muslimin dan merupakan musuh Islam Tradisional Nahdlatul Ulama (NU). Di antara tokoh radikal yang menjadi rujukan FK3 adalah;
- Nashiruddin al-Albani, yang dipromosikan sebagai muhadits oleh kelompok Salafi, yang seringkali ngawur dalam mengeluarkan fatwa dan me-maudlu’-kan hadits.
- Rasyid Ridha, pengarang al-Manar dan pengagum pendiri aliran radikal Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi.
- Yusuf Qordhawi, pendukung gerakan Ihwanul Muslimin dan Hisbut Tahrir.
Ketiga, tidak memahami metodologi kitab salah. Dalam hal ini, tidak jarang FK3 mengeluarkan pernyataan yang nadanya menyudutkan ulama salaf yang biasanya dihormati oleh kaum Nahdliyyin, seperti;
- Imam Mujahid bin Jabr al-Makki, mufassir terkemuka dan murid Ibnu Abbas.
- Al-Fudhail bin Iyadh, ulama salaf yang zahid dan sufi. Ketika ‘Uqud al-Lujayn mengutip pernyataan kedua ulama ini, FK3 (hal.145) menyudutkan mereka dengan berkomentar “itu pendapat pribadi”.
- Rabi’ah al-Adawiyah, yang disepakati sebagai wanita sufi dan solehah oleh seluruh ulama. Menurut FK3 (hal. 178), perilakunya tidak mencerminkan wanita shalihah.
- Imam Khatib al-Syirbini, yang penafsirannya terhadap ayat 32 Surat an-Nisa’ berdasarkan dalil-dalil naqli yang kuat, oleh FK3 (hal. 57) disudutkan sebagai pendapat pribadi.
Dan bahkan FK3 terseret mengikuti tradisi kelompok radikal Wahabi yang menolak terhadap mimpi-mimpi orang-orang sholeh, apabila menjelaskan kebenaran Ahlussunah wal Jama’ah. Hal ini juga terdapat pada FK3, ketika ‘Uqud al-Lujayn menceritakan mimpi seseorang yang melihat keluarganya yang meninggal dunia dimasikkan ke neraka, dengan serta merta FK3 (hal. 174) menolaknya dan mengatakannya tidak dapat dijadikan pedoman. Dan sebenarnya sikap FK3 ini berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap metodologi karya ilmiah ulama salaf yang shaleh.
Keempat, melakukan tindakan yang merugikan FK3 sendiri. Dalam literature sejarah dan ilmu Hadits, sejak masa salaf telah dikenal suatu tradisi yang dikembangkan oleh kelompok zanadiqoh, yaitu membuat dan menyebarluskan hadits-hadits palsudan cerita-cerita bohong. Agaknya FK3 juga ketularan dengan tradisi ini, sehingga terdapat beberapa kebohongan ilmiah dalam ta’liq dan takhrij FK3, seperti;
Kebohongan dalam mengutip pendapat Muhammad Abduh dari tafsir al-Manar yang ditulis oleh Rasyid Ridha. (hal. 27).
Kebohongan dalam mengutip pendapat Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya Tahrir al-Mar’ah fi Ashr al-Risalah (hal. 54)
Kebohongan dalam mengutip pendapat al-Ghazali dari Ihya’ Ulum al-Din (hal.99).
Kebohongan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa semua lafal massa dan lamasa dalam al-Qur’an bermakna kinayah bagi persetubuhan dan tidak ada yang bermakna menyentuh (hal. 189)
Kebohongan dalam mengutip hadits yang di-maudlu’-kan oleh al-Albani (hal. 187).
Keliama, takhrijul hadits. Dalam buku FK3 yang mengkritik kitab ‘Uqud al-Lujayn, sebagian besar dipenuhi oleh takhril al-hadits, salah satu disiplin ilmu hadits yang berkembang sejak abat pertengahan. Akan tetapi dalam takhrij al-hadits FK3 sarat dengan kesalahan sebenarnya berangkat dari ketidakmengetahuan FK3 terhadap ilmu musthalah al-hadits metodologi takhrij al-hadits, seperti;
Mengabaikan kualifikasi akademis dalam hal penilaian hadits. Di mana para ulama menetapkan persyaratan bagi orang yang berhak menilai suatu hadits haruslah mencapai derajat al-hafizh.
Penyalahgunaan istilah la asla lahu untuk memaudu’kan hadits.
Penyalahgunaan istilah “tidak menemukan dalam kitab-kitab hadits”, dalam memaudlu’kan hadits.
mengabaikan kitab-kitab standar hadits yang popular seperti al-Kutub al-Sittah dan lain-lain.
Mengabaikankaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu musthalah al-hadits.
Keenam, di balik deskripsi hokum fiqih. Berkaitan dengan hokum fiqih yang menjadi spesialisasi Syekh Nawawi Banten dalam ‘Uqud al-Lujayn, melalui celah-celah kritik hadits yang dilakukan, tidak jarang FK3 mengeluarkan komentar general yang dapat berpotensi pada kekufuran seperti;
dalam kata pengantar buku mereka, FK3 menulis: “Kesalahan-kesalahan yang mungkin terdapat dalam kitab ini menimbulkan dampak negative bagi masyarakat. Di samping itu dalam kitab ini terdapat unsure-unsur ketidakadilan yang bertentangan dengan asas kemanusian yang menjadi cirri dasar agama Islam”. Komentar ini sangat general dan dapat membawa pembaca pada kekufuran.
FK3 (hal.12) juga berkomentar: “Keutamaan laki-laki tidak dapat dilepaskan dari tugas dan kewajiban dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarganya. Ini berarti bahwa bila seorag laki-laki tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut dan yang menjadi tulangpunggung keluarga adalah istrinya, maka kelebihan itu sudah barang tentu menjadi milik istri. Dengan demikian, kelebihan yang dimaksudkan oleh ayat ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin”. Komentar ini terlalu berlebih-lebihan dalam absesi FK3 yang anti jenis kelamin.
FK3 (hal. 167) juga berkomentar: “Perbuatan amal shaleh dalam Islam sangatlah luas dan pahalanya tidak mengenal jenis kelamin”. Komentar ini terlalu general dan dapat disalahartikan oleh pembaca sehingga membawa kekufuran.
FK3 (hal. 167) juga berkomentar: “Kalau kita membaca penjelasan-penjelasan di atas, betapa perempuan-perempuan itu terkungkung oleh aturan yang ditetapkan oleh laki-laki, tanpa mempedulikan kepentingan perempuan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, ajaran-ajaran agam ditafsirkan berdasarkan pada kepentingan laki-laki”. Komentar ini terlalu radikal dan potensinya pada kekufuran hampir 100%.
Ketujuh, dibalik interpretasi hadits-hadits. Berkaitan dengan hadits-hadits yang disajikan ‘Uqud al-Lujayn, FK3 banyak melakukan kesalahan seperti;
FK3 tidak memahami hadits; Laisa minna man dharaba al-Hududa wa syaqqa al-juyuba wa da’a bi da’wa al-jahiliyyah (Bukan termasuk golongan kami, orang yang menempleng pipi, merobek baju, dan menjerit dengan jeritan orang-orang jahiliyah). Menurut FK3 (hal. 29 versi Bahasa Arab) hadits ini menjadi dalil ketidakbolehan memukul istri. Padahal konteks hadits ini berkaitan dengan meratapi orang yang meninggal dunia dengan cara menempeleng pipi, merobek baju, dan menjerit-jerit seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.
FK3 menjangkaukan hadits pada yang bukan jangkauannya. Ketika mengomentari hadits: Idza batat al-mar’atu hajirata firasa zaujiha la’anatha al-malaikatu hatta tushbiha” (Jika seorang istri meninggalkan malamdengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi). Menurut FK3 (hal. 49-50) hadits ini tidak hanya ditujukan kepada istri, tetapi juga ditujukan kepada suami dengan asas keadilan. Dan ini bisa membawa kesimpulan bahwa ajaran islam tidak membawa asas keadilan.
FK3 berkomentar yang dapat mengesankan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui hak asasi manusia dan norma-norma kesehatan dalam hadits; “Lau kana min faraqihi ila qadamihi shadidun falahasathu ma adat syukrahu” (Andaikan dari kepala suami sampai telapak kakinya terdapat nanah, lalu istrinya menjilatnya, ia belum dapat memenuhi rasa syukur terhadap suaminya). Hasdits ini sebenarnya sebagai tamstil atau kiasan betapa besar hak seorang suami. Bukan anjran agar istri menjilat nanah di sekujur tubuh suaminya. Akan tetapi FK3 (hal.95), mengarahkan hadits ini pada makna zahirnya dan mengeluarkan komentar; “bila dilihat dari segi matannya, hadits ini bertentangan dengan hak asasi manusia dan norma-norma kesehatan”.
FK3 meralat nasehat Rasulullah saw dan menganggapnya tidak tepat, dalam hadits; “al-mar’atu auratun faidza kharajat istarafaha al-Syaithanu wa aqraba ma takunu al-mar’atu min Allahi idza kanat fi baiti zaujiha” (Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka ia diawasi oleh syetan.dan wanita akan lebih dekat kepada Allah jika berada di rumahnya). Hadits ini memberikan anjuran agar wanita selalu berhati-hati untuk meninggalkan rumah. Karena berada di rumah akan lebih mendekatkan dirinya kepada ridla Allah. Tetapi FK3 (hal. 124) meralatnya dan menganggapnya keliru dengan berkomentar: “Perempuan dilarang keluar rumah karena takut dijerumuskan setan adalah tidak tepat. Apalagi kalau kita melihat sejarah masa lalu…untuk mencari keridlaan Allah bagi perempuan, tidak hanya duduk di dalam rumah melainkan juga bisa diperoleh di luar rumah”. Dengan komentar ini FK3 bermaksud meralat nasehat Rasulullah saw. yang berkaitan dengan ajaran syariat. Sementara beliau adalah pembawa ajaran syari’at.
dalam rangka membolehkan jabat tangan laki-laki dan perempaun ajnabiyyah, FK3 melakukan kebohongan makna hadits; li an yuth’ina fi ra’si ahadikum bi mahithin min hadidin khirun lahu min an yamussa imra’atan la tahilla lahu (tertusuknya kepalamu dengan jarum dari besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal bagimu). Lafal yamussa yang seharusnya bermakna menyentuh, oleh FK3 (hal. 148) ditahrif dengan makna, bersetubuh.
Kedelapan, di balik interpretasi ayat-ayat al-Quran. Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran dan penafsirannya yang disajikan oleh ‘Uqud al-Lujayn, FK3 juga tidak lepas dari keberanian yang sangat luar biasa dan merugikan FK3 sendiri seperti;
FK3 tidak mengetahui terhadap maksud ayat 228 Surat al-Baqarah yang berbunyi; Wali al-rijali ‘alaihinna darajatun” (dan laki-laki mempunyai satu tingkat (kelebihan) atas mereka, kaum perempuan). Dengan ketidaktahuan ini,sehingga FK3 berkomentar: “Kelebihan yang dimaksud ayat ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin seseorang”. Maksudnya, jenis laki-laki itu sebenarnya tidak mempunyai kelebihan atas jenis perempuan.
FK3 tidak mengetahui makna ayat 34 Surat an-Nisa’ yang berbunyi: Al-rijalu qawamuna ‘ala an-nisa’i bima fadhala Allahu ba’duhum ‘ala ba’din wa bima anfaqu (Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain, perempuan, dan karena mereka, laki-laki, telah menafkahkah sebagian harta mereka). Dengan ketidaktahuan ini mereka berani menolak dengan berkomentar: “Yang mengatakan bahwa di dunia laki-laki menguasai dan memiliki kelebihan atas perempuan, ini adalah pendapat pribadi”.
FK3 (hal. 58) tidak mengetahui maksud ayat 71 Surat at-Taubah yang berbunyi: Al-Mu’minuna wa al-mu’minati ba’duhum auliyau ba’din ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhauna an al-munkar wa yuqimuna al-shalah wa yu’tuna al-zakah (Orang mukmin laki-laki dan orang mukmin perempuan sebagian dari mereka merupakan penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mukar, mendirikan shalat menunaikan zakat). Sehingga dengan ketidaktahuannya, FK3 (hal. 58) menguraikan bahwa ayat ini maksudnya laki-laki tidak menguasai (tidak menjadi pemimpin) dan tidak memiliki kelebihan atas perempuan. Padahal ayat ini konteksnya sudah jelas, bahwa laki-laki dan perempaun harus tolong menolong dalam hal menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan seterunya.
FK3 tidak mengetahui maksud ayat 34 Surat an-Nisa’ yang berbunyi: Bima fadldlala Allah ba’duhum ‘ala ba’din (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka, laki-laki, atas sebagian yang lain, perempuan). Ayat ini menurut kesepakatan para ulama seperti dikemukakan oleh Abu Hayyan dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith (juz III, hal. 623) dan Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar (juz V, hal. 67) maksudnya, Allah mengutamakan laki-laki atas perempuan. Tetapi FK3 (hal. 45) telah mendistorsinya dengan mengatakan bahwa ayat ini maksudnya, sebagian laki-laki lebih utama daripada sebagian perempuan.
FK3 tidak mengetahui maksud ayat 32 Surat al-Naml yang berbunyi: Inni wajadtu imra’atan tamlikuhum wa utiyat min kulli syai’in wa laha arsyun ‘adhim (Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan memerintah mereka, kaum Syaba’, dan ia dianugrahi segala sesuatu serta mempnyai singgasana yang besar). Karena ketidaktahuan tersebut, FK3 memahami ayat tersebut sebagai argumentasi yang paling jelas dan kuat bahwa perempaun melebihi laki-laki dan boleh memegang jabatan public. Padahal ayat tersebut bermaksud sebaliknya, yakni perempuan tidak layak dan tidak mampu memangku jabatan public. Berdasarkan tindakan nabi Sulaiman as., yang memindahkan singgasananya dan memintanya untuk menyerah.
Dengan semuai ini, kami mengajak FK3 untuk belajar agama dari dasar. Sehingga tidak mudah menyalahkan para ulama yang seharusnya kita hormati. Apalagi sampai menilai sesat dan mengecam syariat yang berpotensi pada kekufuran. Sedangkan kekufuran itu dapat menghapus segala amal kebajikan yang telah dilakukan. Dan akibatnya, di akhirat nanti akan menjadi orang-orang yang merugi. Sekian terimakasih.
Moderator (Cholil Nafis)
Terimakasih Pak Idrus. Para hadirin yang kami hormati. Kita telah mendengarkan paparan dari kedua pembicara dan tiba saatnya memberikan kesempatan kepada para penanya. Tetapi sebelum kami buka sesi tannya jawab, kami berikan kesempatan kepada pembahas untuk memberikan komentarnya. Kami persilahkan Bapak Abdullah Hasyim untuk menyampaikan komentarnya.
Abdullah Hasyim
Terimakasih. Pada kesempatan ini LBM sengaja mengadakan kajian kitab ‘Uqud al-Lujayn. Karena kitab tersebut setidaknya telah dikomentari oleh tiga orang atau kelompok. Dan pada hari ini LBM mempertemukan dua penulis yang mengomentari kitab ‘Uqud al-Lujayn, yakni FK3 dan Forkit. Setelah saya membaca kedua buku tersebut, memang masing-masing telah menunjukan sebuah karya ilmiah yang patut dibanggakan. Pembahasan FK3 sangat bagus, karena penulisannya disesuaikan dengan urutan dalam kitab aslinya. Tetapi ada beberapa kerancuan, seperti ada beberapa hadits yang didoifkan. Mungkin pakar hadits FK3, Pak Lutfi, kurang teliti dalam mentakhrij hadits-hadits tersebut. Begitu juga Forkit dengan bukunya “Menguak Kebatilan dan Kesalahan Sekte FK3” yang disusun oleh tim yang dipimpin Bapak Idrus Romli cukup bagus, tetapi kritikannya terlalu menohok. Baru baca judulnya saja kita sudah takut dan nampak terlalu keras kritikan tersebut. Sebenarnya kalau keduanya digabung akan lebih baik. Kesalahan yang terdapat pada buku FK3 dapat dibetulkan oleh kritikan dalam buku Forkit. Sehingga kemudian tersusunlah sebuah kitab yang menurut Istilah Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam pengantar buku FK3 “ini ‘Uqud al-Lujayn baru, ini baru ‘Uqud al-Lujayn”. Untuk itu, melalui forum ini, mari kita bersama-sama berupaya dan melakukan pembaharuan menuju hal yang lebih baik. Terimakasih.
Moderator (Cholil Nafis)
Terimakasih Pak Abdullah Hasyim. Selanjutnya, saya buka sesi tanya jawab. Perlu saya sampaikan lagi bahwasannya pertanyaan harus ilmiah dan disampaikan secara santun. Silahkan.
Pertanyaan.
Gozali said (LBM)
Terima kasih. Saya memang berkomunikasi intens kepada dua komunitas ini, FK3 dan Forkit. Nampaknya, terdapat perbedaan perspektif antara kedua komunitas ini dalam memandang teks. Seperti dikemukakan Pak Idrus tentang kata al-rijal. Kata al-rijal seharusnya dipandang dalam persktif gender. Sedangkan kata dzakar berarti seks. Mengenai persolan ini belum banyak dikemukakan di pesantren. Sehingga timbullah perbedaan perspektif tersebut.
Kedua, dalam metode penilaian hadits, harus diakui bahwa referensi yang sering dipakai atau buku-buku sekarang ini dipenuhi referensi dari an-Nabhani. Mengapa tidak memakai referensi dari Takriri, yang agak sesui dengan pola piker ulama NU.
Ketiga, saya menilai bahwa ada beberapa kritik yang dikemukakan Pak Idrus adalah kritik yang kontruktif, sehingga kalau keduanya dipadukan nanti akan menjadi sebuah karya yang bagus. Terimakasih.
Hendri Solahudin
Terimakasih. Saya ingin mengomentari secara parsial di antara keduanya. Saya mengomentari tafsir feminis, yang agak mengarah kepada cara penafsiran yang dipakai oleh umat Kresten untuk menafsirkan kitab sucinya, Bible. Yaitu, berupaya mencari teks-teks yang memihak pada perempuan dengan tujuan untuk menolak teks-teks yang sudah baku. Pertanyaannya, sejauh mana metode tafsir feminisme yang digunakan oleh aktifis perempuan Kriten yang tidak puas terhadap teksnya sendiri?
Zainul Ma'rif (Puan Amal Hayati)
Terimakasih. Dalam mengomentari kitab Uqud al-Lujayn, FK3 sudah mengungkapkan tujuan dasarnya, yaitu membela perempuan yang tertindas dan mengkontekstualisasikan ajaran Islam. Apa yang kami lakukan sudah jelas tujuan dan dasarnya. Pertanyaan saya kemudian adalah apa yang dijadikan dasar dan tujuan Forkit dalam mengkritik dan menyusun bukunya? Kalau hanya untuk mempertahankan tradisi, apakah tradisi agama sendiri, sehingga kebal terhadap kritikan, dan kalau ada orang yang mengkritiknya menjadi kufur?
Dan perlu diketahui bahwa relasi Imam Madhab pada zaman dahulu sangat dengan relasi kritik? Sehingga sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi mereka untuk saling mengkritik untuk kebaikan. Dan kritik yang ada di dalam buku FK3 selalu dikemukakan dengan bahasa yang santun, tidak ada kata-kata sesat atau kata-kata negative lainnya yang terdapat dalam buku tersebut. Lalu dari mana data yang diperoleh Forkit untuk menyesatkan FK3?
Abdussalam (Forkit)
Terimakasih. Saya memang terlibat dalam penyusunan buku Forkit. Dalam perjalanan penyusunan buku tersebut, kami teringat pada komentar dalam buku FK3 bahwa kitab Uqud al-Lujayn menyesatkan santri, apakah komentar seperti ini tidak sesat? Dari sisi apa dampak negative dari kitab tersebut? Kalau dinilai dari sisi ketidakadilan, lalu ketidakadilan menurut pandangan Islam dalam kitab tersebut itu apa?
Kemudian saya juga agak janggal dengan kata-kata para ahli dalam berbagai disiplin ilmu untuk menyusun buku FK3. Menurut saya, kata itu tidak tepat, antara ahli dan tidak ahli harus diserahkan kepada pembaca. Nanti pembaca yang akan menilai apakah mereka memang benar-benar ahli atau tidak? Tidak mengaku ahli seperti yang dilakukan oleh FK3. terimakasih.
Lutfi fathullah (FK3)
Terimakasih. Beberapa bulan yang lalu saya pernah ke pesantren Sidogiri, dalam rangaka seminar sehari yang bertema “Hadits dan Liberalisme”. Santri Sidogiri menyesal mengundang saya, karena saya dianggap liberal dan diharapkan dapat menyampaikan pandangan liberalisme yang berkaitan dengan hadits. Sedangkan yang saya kemukakan pada saat itu tidak sesuia dengan apa yang mereka harapkan, sehingga mereka menyesal mengundang saya.
Dalam melakukan penilaian hadits, saya pernah kuliah di Siria pada Sayid Romdlon al-Buti yang pandangannya sesui dengan NU. Untuk itu, metode yang saya pakai untuk menilai hadits tidak berasal dari kelopok Wahabi, tetapi dari al-Buti.
Mengenai memadlu’kan hadits, memang sangat sensitive. Seperti halnya, dalam kitab Duratun Nasihin, yang kebetulan saya juga pernah mengaji kitab tersebut, tetapi teranya dalam kitab tersebut setelah ditahkrij ditemukan lebih dari 25 persen hadits palsu. Selama ini yang saya lakukan dalam mentahkrij hadits, kalau hadits itu shahih ya akan saya katakana shahih, dan kalau maudlu’ ya akan saya katakana maudlu’. Bukan sebaliknya.
Nah, saya kira perbedaan ini hanya pada segi penafsirannya. Misalnya, hadits tentang hitan perempuan. Dalam hal ini sering menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar yang diniali sebagai hadits dloif. Apakah kita akan mengkafirkan Ibnu Hajar? Saya kira tidak sampai sejauh itu.
Mengenai persyaratan pentakhrij hadits yang harus mencapai derajat hafihz. Perlu diketahui bahwa sekarang ini terdapat ribuan lebih hadits yang dikritisi, baik di Timur Tengah maupun di Afrika dan bahkan di Amerika dan Eropa, yang mungkin ada yang mempunyai niat yang negative. Tetapi niat saya mentakhrij hadits bukan karna apa-apa, hanya ingin mencari kebenaran sebuah teks, tidak lebih dari itu.
Dalam melakukan tahkrij hadits, saat ini, memang banyak dilakukan walaupun mereka belum mencapai derajat hafizh. Seperti Al-Harori dan al-Nabhani yang banyak melakukan kritik hadits dan upayanya banyak di caci oleh ilmuan Indonesia.
Tetapi bagi saya, kalau dalam mengkritik hadits mengalami kesalahan, jangan sampai disesatkan, apa lagi kesalahan tersebut hanya kesalahan pada halamannya atau terjemahannya, dan apalagi menganggap sebagai kebohongan. Kalau salah bilang salah, tetapi jangan sampai membohongkan. Apakah memang yang di dalam kitab Uqud al-Lujayn itu semua benar? Saya kira tentu ada beberapa kesalahan-kesalahan yang perlu diluruskan.
Moderator
Terimakasih. Saya berikan waktu untuk Pak Idrus untuk menagnggapi pertanyaan. Dan saya minta agak mengerucut inti materi. Silahkan Pak Idrus.
Idrus romli
Apa yang saya sampaikan tadi itu general (umum). Tetapi kalau pihak FK3 tidak terima atau keberatan tentang kritikan saya tentang takhrij hadits yang mereka lakukan ya tidak masalah. Sebenarnya sudah amat jelas diterangkan dalam kitab Manhajud Hadits.
Seperti hadits yang berbunyi; istausu bin nasa’. Hadits ini dinilai siqah oleh Ibnu Hiban. Penilain siqoh Ibnu Hiban adalah kelas rendah. Maka harus menggunakan dan mengambil metode yang lain. Jangan sertamerta langsung memaudlu’kan.
Kemudian kaidah La asla lahu (sanadnya tidak ada). Bagi FK3, hadits tersebut dianggap maudlu’. Bagaimana dasar memaudlukkannya? Katanya la aslalahu tidak berdasarkan pada yang qot’i. dan juga, hadits-hadits yang tidak ada dalam kitab muktabaroh dianggap hadits maudlu’. Inilah beberapa kesalahan FK3 dalam mentahkrij hadits.
Mengenai tujuan kami menulis buku ini adalah kami menyadari bahwa kitab Uqud al-Lujayn sudah menjadi pedoman warga NU, kemudian kitab tersebut disalahkan oleh FK3. pertanyaan kami, apakah benar kitab tersebut salah? Setelah kami teliti, tenyata tidak salah. kami harap masyarakat tidak hawatir mengkaji kitab tersebut, kitab tersebut tidak salah, dan justru yang salah FK3.
Moderator
Sekarang melangkah pada persolan metodologi. Saya persilahkan kepada Pak Husain Muhammad untuk menjelaskan metodologi kritik yang digunakan oleh FK3.
Husain Muhammad
Pertama, saya melihat ada perbedaan dari segi epistemolohgi, metode dan perspektif. Karena perbedaan tersebut keduanya sulit untuk bisa ketemu. Kedua, nampak sekali Forkit sangat mempertahankan konserfatisme, yakni memandang kebenaran dari sosok seorang ulama, sehingga kritik terhadap orang tersebut tidak diperbolehkan. Cara pandang seperti ini tidak boleh dibiarkan terus. Dalam sejarah umat Islam sudah jelas bahwa konservatisme teks telah berdampak pada kemunmduran umat Islam.
Kemudian dalam menyusun buku FK3, kami juga menggunakan metode yang digunakan oleh ulama Islam. Kami juga menggunakan kitab-kitab muktabaroh, tetapi kami juga tidak menafikan kebenaran dalam kitab lain. Karena tidak semua hadits yang shahih sanadnya kemudian juga shahih matannya. Misalnya saja hadits; Ibthal shalataka li mar’atin wa himarin ..al-hadits. Hadist ini dikritik oleh Siti Aisyah, apakah benar hadist tersebut?
Kemudian, kami menilai hadits dengan kaidah Ma ahsana qaula qoil… (apabila anda membaca hadits berbeda dengan logika atau dengan kitab lain itu hadits palsu). Menurut kami, kalau hadist tersebut dicari tidak ada, maka hadits tersebut kami anggap maudlu’. Inilah cara yang kami gunakan.
Dalam hal ini, saya kira memang perlu kontektualisasi teks dengan realitas. Dan hal semacam ini yang jarang digunakan di pesantren. Dengan harapan teks ini tidak mandeg. Sehingga teks itu berjalan. Apakah yang menghargai manusia (perempuan yang teraniaya dan termarjinalkan) itu bertentangan dengan maqosidus syariah? Saya kira perlu penelaahan yang mendalam untuk menjawab iya.
Berkaitan dengan kritik terhadap pendapat ulama, saya kira tidak ada hal yang melarang mengkritisi pikiran orang. Orang boleh saja mengkritik orang lain selama kritik yang disampaikan itu kritik yang konstruktif dan semata-mata untuk menjatuhkan harga diri seseorang. Dan ini yang sebenarnya harus dikembangkan di kalangan NU.
Moderato
Silahkan ada yang ingin menanggapi dari segi metodologi. Silahkan Pak Luthfi.
Lutfi Fathullah
Mengenai metode penilain hadits memang ada perbedaan. Seperti hadits innama a’malu bi an-niyat, hadits ini dihukumi hasan-Shahih, pertanyaannya, hadits ini kelompokkan ke mana? Inilah yang sering menimbulkan perbedaan. Untuk itu, kalau terdapat perbedaan yang bersifat metodologis jangan menghujat dan menyalahkan, karena metode yang digunakan berbeda. Selama masih dalam batas-batas kewajaran, kritik diperbolehkan, karena madhab fiqih kita berangkat dari kritik.
Badriah Fayumi
Bagian dari pertanggungjawaban kami adalah menghadapi semua kritik yang ditujukan pada buku FK3. Saya apresiasi Forkit yang mengagumi uquddulijain. Tetapi saya dulu juga bertanya apakah benar kitab uquddulijain yang mengajarkan ketidakadilan itu?
Setelah kami teliti, dalam kitab tersebut bukan hanya berisikan hadits dan tafsir, tetapi juga terdapat pendapat pribadi dari Imam Nawawi. Maka pendapat tersebut harus disesuaikan dengan realitas yang ada pada zaman Imam Nawawi yang sudah berbada dengan realitas sekarang. Apakah benar Islam membolehkan suami membodohkan istri dan memukulnya seperti apa yang tertera dalam kitab uqud al-Lujayn? Ternyata kalimat itu bukan nash al-Quran maupun Hadits, akan tetapi pendapat pribadi Imam Nawawi. Pendapat semacam ini, menurut saya, boleh dikritik, karena tidak sesuia dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan.
Mengenai metodologi penulisan buku FK3, kami menggunakan metode deduktif dan induktif, tekstual dan kontektual. Karena Imam Nawawi orang besar, perlu diperhatikan, benarkah dia berpendapat seperti itu? Dari sinilah kemungkinan terdapat kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Nawawi. Dan kesalahan ini akan berdampak negative bagi masyarakat.
Dalam dunia Islam, diperlukan upaya kontekstualisasi terhadap teks-teks agama. Dalam upaya kontekstualisasi tersebut, kami menggunakan metode multi perspektif. Misalnya, kata fitnah itu apa saja artinya dan dari mana? Metode tersebut bisa kami pertanggung jawabkan secara ilmiah.
Wahid H
Bicara tentang metodologi, dalam hal ini NU, saya sangat tersengat mengenai tuduhan kafir-kafiran. Saya takut jangan-jangan NU sudah dimasuki ajaran radikalisme yang suka kafir-mengkafirkan. Saya berharap di kalangan NU terjadi dialog dan kriti, baik dalam bentuk tulisan maupun ucapan, dikemukakan secara santun dan jauh dari kekerasan.
Lutfi (tazkia)
Mengenai metodologi, biasanya menggunakan asumsi. Artinya hal-hal yang sudah disepakati tidak boleh didobrak kembali. Kemudian orang pesantren biasa bicara interteks, tetapi tidak biasa bicara realitas. Dan realitas kadang-kadang bertentangan dengan teks, yang kemudian realitas mendobrak teks. Hal seperti inilah yang tidak diterima di kalangan pesantren.
Idrus Ramli
Masalah metodologi, secara parsial, sudah dikemukan dalam buku saya. Misalnya, ada salah satu hadis jayid, kalau hadits jayid, tetapi menurut FK3 hadits itu dinilai hasan yang tingkatannya dibawah shohih. Bukankah hal semacam ini adalah kesalahan?
Lutfi Fathullah
Dalam ilmu hadits, dikenal dengan istilah mutadid dan mutasahil, yang boleh mengdoifkan dan mensohihkan. Ini yang harus diketahui oleh Forkit, sehingga tidak mudah menyalahkan dan menyesatkan kami.
Moderator
Saya ingin masuk pada materi, bagaimana memahami relasi suami istri di kitab tersebut? Dan mengenai pemahaman terhadap kitab tersebut baiknya seperti apa? Saya persilahkan Pak Idrus lebih dulu.
M idrus Ramli
Masalah hubungan suami sitri yang baik, kami selalu kembali pada al-Quran yang mengajarkan wa ashiruhunna bil makruf. Di dalam Islam tidak ada nash yang secara langsung mengajarkan wadribhunna, tetapi ada ajaran bima fadlola llahu bakdohum ala bakdin dan wabima anfaqu. Ini konsep kami dalam relasi suami istri. Nah, dari konsep ini, kalau terjadi pelanggaran, menurut FK3, kemudian dianggap melanggar HAM, dan konsepnya yang harus dirubah, bukan pelanggarannya yang harus dicegah.
Kemudian mengenai materi yang dianggap FK3 sebagai pendapat Imam Nawawi sendiri. Saya meneliti, Apakah benar itu pendapat Imam Nawawi sendiri? Setelah saya teliti ternyata cuplikan dari kitab fiqih terdahulu. Inilah bentuk kesalahan FK3.
Moderator
Bagaimana pendapat FK3 mengenai relasi suami istri yang baik.
Husain Muhammad
Satu pernyataan menarik dari shahabat Ali bin Abi Tholib bahwa "Al-Quran tidak berbicara dan yang berbicara adalah orang/manusia”. Dan Imam Ghozali juga berkata "Ketahuilah bahwa yang mengira al-Quran tidak bermakna kecuali literal, maka ia tidak benar, tetapi ia keliru menghukumi semua orang harus seperti dia. Banyak sekali hadits yang menjelaskannya. Makna dalam al-Quran itu sangat luas bagi yang memahami" . Ini cara membaca teks secara skriptualistik.
Ada beberapa sumber relasi yang timpang dalam relasi itu yang biasanya dimunculkan di antaranya; 1. Ayat Al-rijalu qouwamuna alan nisa.... Pemaknaan al-rijal yang sebenarnya adalah maskulinitas bukan seks; 2. Ayat walirijali alaihim darojah. Apakah makna darajah tersebut? hal ini butuh kajian lebih dalam, tidak hanya serampangan.
Dari sini perlu saya sampaikan pandangan ulama yang memberi penjelasan bahwa "Saya tidak melihat kekurangan dalam diri perempuan, karena haid dan tidak solat" lalu ada pertanyaan: apakah kekurangan akal perempuan itu? Bukankah kesaksian perempuan separuh dari kesaksian laki-laki"
Pertanyaan, apakah kelebihan pikiran itu bersifat given atau dikonstruksikan? Apakah tetap melekat atau dibuat? Jadi tidak setiap laki-laki itu ugul dengan wanita. Ada beberapa wanita yang unggul dibandingkan sebagian laki-laki.
Ayat bima faddala Allahu ba’dohum ‘ala ba’din ini menjadi bukti bahwa itu bukan sesuatu yang given. Ini harus dianalisis lebih jau lagi. Kemudian ayat bima anfaqu, apakah sesuatu yang tetap? Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya, perempuan yang memberi nafah kepada laki-laki? Bukankah dalam hal ini perempuan yang memperoleh kelebihan? Hal semacam inilah yang perlu kita renungkan.
Moderator
Silahkan saya buka pertanyaan lagi?
Mujib Qolyubi
Saya melihat ada dua pendekatan yang berbeda dalam membahas kitab Uqud al-Lujayn ini. Pertanyaan saya, bagi Lembaga Bahtsul Masail ending yang akan dicapai itu apa? Mengenai pengakuan ahli yang dikemukakan FK3 memang kurang tepat. Untuk itu, penilaian saya, apa yang ditulis FK3 adalah benar tetapi juga mengandung kesalahan. Begitu juga apa yang ditulis Forkit walaupun dianggap salah akan tetapi mengandung kebenaran. Jadi, kita perlu mengambil kebenaran di antara keduanya untuk kebaikan.
Alain Najib
Pertama, dalam forum ini saya sebenarnya berharap Syeh Subadar yang hadir, karena dalam hal gender beliau sangat hati-hati. Tetapi dalam perkembangannya muncul kitab yang menggelitik dari Forkit, sebuah forum yang berada di bawah naungan pesantren beliau. Yang saya tahu, draf buku itu awalnya berjudul “Mendukung Kitab Uquddulijain”. Entah karena apa, kemudian judul itu berubah menjadi “Menguak Kebohongan dan Kesesatan Sekte FK3”. Saya kaget, perubahan judul menjadi sangat keras tersebut lahir di kalangan NU. Kenapa Forkit tidak memilih kata yang lebih santun, sehingga enak didengar?
Wawan Junaedi
Pada tataran subtasi, pembahasan pada forum ini akan kita bawa di bahsul masasil. Sehingga kita membutuhkan pembahasan yang detai dari kedua kelompok.
Mengenai pembahasan keadilan yang ada di dalam kitab Uqud al-Lujayn yang sering dikaji di pesantren dan sedikit banyak telah menjadi pedoman para santri, apakah selama ini sudah benar praktek keadilan yang ada di pesantren? Dalam penelitan ditemukan bahwa di pesantren sering terjadi kawin paksa, dan proses kawin paksa ini sering menggunakan cara-cara kekerasan, baik fisik, psikis, dan bahkan magis. Pertanyaannya, keadilan yang bagaimana yang ada di pesantren tersebut?
Bagi saya, yang perlu kita garap sekarang adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat kususnya di pesantren. Bukan melihat masalah yang terdapat dalam kitab yang dikaji di pesantren.
Mengenai persoalan kontekstual dan tekstual, seolah-olah yang kontekstual lebih hebat. Bagaimana kontekstual yang biasanya cenderung mengkritik teks-teks atau kitab-kitab klasik tersbut bisa dianggap valid?
Imam ghozali Said
Sebagai catatan, kitab tersebut adalah nuansa etik, tidak menjadi rujukan ulama. Kemudian, saya tidak tahu, saya tidak pernah membaca apa yang disampaikan saudara Endri yang mengemukakan mengenai tafsir feminisme Kritiani. Yang saya tahu, di kalangan NU metode tafsir hermeneutik sudah tolak. Artinya, metode tafsir tersebut sangat asing di pesantren.
Husain Muhammad
Rekomendasi untuk LBM-NU. Saya berharap apa yang sudah diputuskan dalam Munas di Lampung dan Muktamar 2004 di Solo, disosialisasikan di pesantren. Agar cara pandang ulama-ulama pesantren lebih terbuka dan mau menghargai perbedaan.
Abdullah Hasyim
Mendengar beberapa pendapat dari kedua belah pihak dan hadirin yang lain, saya bisa menyimpulkan bahwa apa yang ada di dalam kitab Uqud al-Lujayn kita ambil yang baik dan kemudian kitab tersebut bisa kita kaji dan dikaji oleh para santri di pesantren. Kedua, kitab ini tetap bisa diajarkan dengan ada kesepakatan. Menganai apa buku itu? Bagaimana kok ada ajaran memukul tersebut? Harus dijelaskan sehingga tidak, meminjam istilah FK3, berdampak negative bagi pembaca.
Mbak Yeni Wahid
Ada keterkaitan histories dengan cara pandang Barat tentang gender. Akan tetapi cara pandang tersebut tidak digunakan oleh FK3, dan jutru FK3 menggunakan cara pandang sebaliknya. Misalnya frued, yang menganalisa bahwa perempuan cemburu karena tidak mempunyai alat kelamin seperti laki-laki. Hal semacam ini yang tidak digunakan oleh FK3.
Moderator
Kemudian saya persilahkan yang terakhi untuk Pak Idrus, apakah keadilan menurut anda? Bagai mana saran untuk Rakenas LBM-NU mendatang.
M. Idrus Ramli
Konsep ‘adalah dalam realsi suami istri adalah berdasar pada al-Quran, tidak lebih dari itu. Kemudian rekomendasi kami untuk LBM-NU adalah bagaimana motodologi bahsul masail tidak hanya bertumpu pada teks, bagaimana manhajul adillahnya. Karena selama ini bahsul masail hanya murni bersandarkan pada teks saja. Ini yang harus diperbaiki oleh bahtsul masail.
Badriyah Fayumi
Pertama, yang mendasari kajian kitab ini adalah adanya ketimpangan gender. Kemudian, kontruksi yang harus dibangun kami mencoba menghadirkan relasi yang baik.
Rekomendasi saya untuk LBM-NU agar membuka ruang ijtihad untuk mengkritik kitab-kitab klasik. Karena kalau tidak dibuka ruang kritik terhadap kitab klasik nanti kitab-kitab tersebut akan ditinggalkan. Sekarang ini sudah terdengar adanya ijma’ sukuti untuk meninggalkan kitab-kitab tersebut. Karena kita tidak mau melakukan kontruksi ijtihad.
Kemudian saya harab LBM juga menghimbau untuk melakukan diskusi atau dialog dengan cara yang santun tidak menggunakan cara-cara yang keras seperti yang terjadi selama ini.
Dan saya harap LBM juga melakukan proses bahsul masail yang partisipatoris berdasarkan penelitian, biar ada penghargaan bagi warga NU yang melakukan penelitian partisipatoris tersebut. Dan LBM harus mulai melibatkan perempuan dalam melakukan bahtsul masail, apalagi dalam bahasan yang berkaitan tentang perempuan.
Ibu Shinta Nuriyah
Kenapa kami memilih mengomentari kitab Uquddulijain? Karena kami membuka konseling tentang kekerasan terhadap perempuan. Dan yang paling banyak membahas tentang hal itu adalah kitab uquddulijain, karena itu kami memilih kitab tersebut. Dan terimakasih kami sampaikan pada LBM yang juga mau memberi perhatian pada kitab tersebut. Dan yang terakhir saya sampaikan bahwa kita semua lahir dari rahim seorang perempuan, maka mulyakanlah perempuan tersebut. terimakasih.
Moderator
Tidak terasa waktu dialog sudah habis. Saya ucapkan terimakasih kepada pembicara, pembahas, dan hadirin semuanya yang telah berpartisipasi hadir dalam dialog sore ini. Dan saya tidak bisa menyimpulkan hasil dialog sore ini, karena dari dialog ini akan kami bawa ke forum bahtsul masail. Sebagai moderator, saya minta maaf atas kesalahan dan kekhilafan, akhirul kalam, waallahul muwaffiq ila aqwamit thariq wwasalamu ‘alaikum wr. wb.
Jumat, 14 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Apakah ada videonya?
BalasHapus