oleh:
Sarmidi Kusno
Sudah lama dan seringkali terdengar suara-suara yang meragukan kualitas Kartini sebagai pahlawan dan mengecilkan makna perjuangan Kartini. Siapapun orangnya yang meragukan kepahlawanan kartini, pasti karena tidak mengenal dengan betul makna perjuangan Kartini, atau kaena menderita waham kebesaran yang cenderung mengecilkan arti pejuangan Kartini bagi kaum peempuan khususnya, bagi bangsa dan negara Indonesia umumnya.
Banyak pula yang berpendapat bahwa perjuangan Kartini adalah perjuangan yang dibesar-besarkan (blow up) oleh sebagian orang Belanda, sehingga tidak proposional bila dibandingkan dengan kenyataan. Jika surat-surat Kartini tidak dipublikasikan, maka Kartini tidak akan dikenal orang. Betul, tetapi mengapa kumpulan surat Kartini dipublikasikan? Karena mempunyai nilai lebih, karena orang berpendapat bahwa ide dan semangat Kartini patut disebarluaskan.
Perjuangan Kartini untuk membebaskan peempuan dari ‘belenggu’, baik secara individu maupun secara social, agar perempuan yang beada di dalam ‘sangkar’ dapat menikmati kebebasan dalam arti fisik dan psikis, adalah sebuah pejuangan yang pada waktu itu sangat relevan.
Pejuangan Kartini haus dinilai dari upaya yang dilakukan dari balik empat tembok tinggi yang mengelilinginya dan dalam suasana dipingit, dan haus pula dilihat sesuai dengan zaman akhir abad ke-19 dan pemualaan abad ke-20. pejuangan Kartini jangan dilihat secara anakronistik (menyalahi zaman).
Bukan kumpulan surat Kartini yang menyebabkan Kartini mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan, tetapi ide-ide dan semangat Kartini yang hidup sepanjang masa dan masih relevan samapai saat ini di Indonesia, yang mendapatkan penghargaan.
Di Negeri Belanda, tempat di mana pekembangan baik di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun di bidang social telah lebih dulu terjadi, setelah kumpulan surat Kartini yang ditujukan kepada Ny Abendanon dibaca oleh banyak oang, dengan dipublikasikannya dalam buku Door Duisternis tot Licht / Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911, perjuangan Kartini dihargai sebagai perjuangan yang patut mendapatkan penghargaan.
Ditindaklanjuti dengan upaya yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang bersama-sama dengan adik-adik Kartini (antara lain Rukmini dan Kardinah), dikoordinasi oleh sebuah yayasan yang khusus didirikan di Negeri Belanda, yaitu berupaya mendiikan lembaga pendidikan untuk mendidik peempuan Jawa khususnya dan perempuan-peempuan lain di Hindia Belanda umumnya.
Empat tahun kemudian sekolah Kartini yang pertama dapat dibuka dan kemudian dapat diikuti dengan beratus-ratus sekolah Kartini lainnya, gadis-gadis kecil yang nantinya akan menjadi perempuan yang mahir mendidik putra-putrinya, mendapat kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal.
Sebuah perjuangan jangan dilihat dai segi kuantitas, tetapi lihatlah dari segi kualitas perjuangan itu. Jangan pula dilihat dari segi luas lingkup perjuangan itu sendiri, tetapi harus dilihat secara menyeluruh dan tepadu, dalam uang dan waktu yang tepat.
***
Kartini beruntung, lahir sebagai putrid seorang bupati di Jepara, yang cukup moderat dan memberi kesempatan kepada putrid-putrinya mengenyam pendidikan formal di sekolah berbahasa Belanda, yang pada waktu masih jarang terjadi, meskipun akhirnya tradisi mengekang kebebasan, Kartini harus dipingit pula. Tetapi berkat perjuangan Kartini, adiknya Sumatri dapat menikmati pendidikan di HBS dan adalah perempuan pertama pribumi di Hindia Belanda yang lulus ujian ambtenar kecil (klein ambtenaar).
Disamping itu, Kartini lahir dengan bakat alami dalam bidang bahasa yang jarang dipunyai oleh banyak oang, karunia alam yang tidak ternilai harganya. Kartini mempunyai pula kemampuan mengungkapkan serta menggambarkan peristiwa yang dialaminyadalam bentuk tulisan yang sangat bagus, sehingga proses perrjuangan Kartini dengan sangat indah lengkap terekam di dalam bentuk tulisan, yang tidak dipunyai oleh pejuang wanita lainnya.
Kartini adalah perempuan pada zamannya dapat dikatakan beuntung, meskipun Kartini sendii tidak terlalu menyadai kebeuntungannya. Bahwa bakat yang dipunyai kemudian membawa penderitaan, sebab Kartini yang penuh dengan vitalitas hidup memandang segala sesuatu dengan kritis, measa tidak puas dengan keadaan, merasa haus ingin menggapai cakrawala ilmu pengetahuan setingghi-tingginya dan ingin keluar dari ‘sangkar’ yang mengurungnya, ingin jadi guru, ingin jadi bidan, dan bahkan ingin jadi dokter.
Surta-suratnya yang berjumlah lebih dari seratus, ditulis bertahun-tahun dengan tulisan tangan oleh Kartini yang mengungkapkan, rasa senang, sedih, kecewa, putus asa, harapan dan kenyataan, adalah harta yang tidak ternilai harganya dan merupakan bahasa sejaah primer, sehingga dengan mudah apa yang dipikirkan dan dipejuangkan oleh Kartini dapat ditelusuri dan dapat dibaca oleh setiuap oang.
Tulisan tangannya adalah tulisan yang otentik, yang dikumpulkan dengan apih oleh temean-temannya dan disimpan di Koninklijk Instituut Voor Taal, Landen Volkenkunde di Leiden, Negeri Belanda, yang setiap saat dapat dibaca oleh siapapun juga yang berminat untuk membacanya. Kartini bukan legenda, tetapi Kartini adalah bukti sejarah.
Selain itu, Kartini pun mempunyai apa yang dikenal dengan bahasa Belanda doorzettingsvemogen-volhadingsvermogen, kemampuan yang penuh dan terus-meneus untuk berusaha meskipun mendapat tentangan dan hambatan akan terus beusaha, yang dapat diatikan bahwa Kartini mempunyai kekuatan bertahan untuk teus bejuang.
Kartini tidak bejuang sendii, harus diakui, tanpa adanya ayah yang moderat dan tanpa bantuan adik-adik dan teman-temannya, tidak mungkin semangat dan ide-ide Kartini menjadi kenyataan, meski Kartini hidup seratus tahun lamanya. Para peneus ide-ide Kartini yang menjadikan cita-cita Kartini menjadi kenyataan adalah juga pahlawan. Setiap oang adalah pahlawan dalam kapasitasnya masing-masing.
Hasil yang diperlihatkan katini yang sangat menakjubkan. Meski ada hambatan tradisi yang menyebabkan katini pada usia 12 tahun harus berhenti menimba ilmu secara formal, selama empat tahun Kartini dipingit, tetapi Kartini berhasil menambah ilmu pengetahuan dengan banyak membaca, juga berkat bantuan ayahnya yang banyak memberikan Kartini hadiah berupa buku. Hadiah perkawinan yang diminta dai temen-temannya di Negeri Belanda adalah buku, bukan benda-benda lain.
Menelusui kumpulan surat Kartini yang ditulis dalam bahasa Belanda, pilihan dan penggunaan kata-kata yang tepat, cara pengungkapan yang manis dan menarik, penuh semangat yang membara, ditulis dengan mencurahkan segenap jiwa dan raga, membuktikan bahwa kartini mempunyai kemampuan lebih yang jarang dipunyai orang lain pada zamannya.
Kartini berpendapat bahwa, perempuan sebagai ibu harus mempunyai pendidikan yang cukup agar dapat lebih mahir mendidik putra-putrinya. Ibu adalah pendidik pertama umat manusia! Bagaimana mungkin ibu dapat mendidik puta-putrinya, jika ia sendii tidak tedidik?
Siapa sekarang yang tidak tahu bahwa ibu adalah pendidik pertama umat manusia? Bahwa ibu haus mempunyai pendidikan yang cukup untuk dapat mendidik anak-anaknya? Tetapi pada waktu itu, terdapat pendapat bahwa perempuan tidak pelu pandai, akhinya perempuan akan ke dapur juga tempatnya, dan mengurus rumah tangga tidak memerlukan kepandaian. Bahkan sekaang banyak orang tua yang masih berpendapat demikian, perempuan tidak perlu pandai-pandai asal bisa baca dan tulis sudah cukup.
Kartini tidak ingin teikat dalam perkawinan, karena pekawinan adalah belenggu, yang membatasi kebebasan peempuan. Kartini sangat mendeita melihat nasib ibu kjandungnya yang garwa ampil menghadapi kekuasaan ibu tirinya yang garwa padmi. Garwa padmi hidup di depan menerima tamu dan garwa ampil hidup di belakang, dekat dapur. Ibu kandunya tidak berhak mendidik anak-anaknya, Sang Raden Ayu yang mempunyai hak untuk mendidik. Kesedihan ibunya adalah kesedihan Kartini juga. Kartini tidak berdaya menghadapi kenyataan yang pahit itu.
Kartini sangat menentang poligami, karena poligami hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, apakah dia gawa ampil atau dia garwa padmi. Mana ada peempuan yang dapat dan mau hidup di bawah satu atap dengan peempuan lain sebagai madunya? Ironisnya Kartini melangsungkan pernikahan dengan duda beanak enam dan telah mempunyai tiga garwa ampil.
Kartini menyerah karena ruang dan waktu tidak memungkinkan untuk menolak rencana perkawinannya, tetapi katini mengajukan syarat-syarat yang harus diterima oleh calon suaminya. Pada abad ke-21 ini adalah hal yang biasa bagi seorang perempuan mengajukan syarat bagi calon suami, karena poisis tawar yang sama dan sederajat dari para pihak, tetapi pada masa kartini hidup, mengajukan syarat kepada calon suami adalah hal yang luar biasa.
Selain itu, Kartini bukan hanya mendidik perempuan, pehatia Kartini pada lingkungan dengan cara memberikan pendidikan keterampiulan kepada calon pengukir kayu di Jepara dan bahkan setelah tinggal di Rembang menjadi garwa padmi dai bupati Rembang, berupaya mengembangkan keterampilan rakyat dengan membawa ahli seni ukir Jepara ke Rembang.
***
Setelah lebih dari satu abad lamanya ide dan semangat Kartini hidup di Bumi Nusantara ini, seharusnya tidak ada lagi yang meragukan jasa perjuangan Kartini. Jikalau sampai masih ada yang meragukan perjuangan Kartini, yang bukan kaena tidak mengenal perjuangan Kartini atau bukan karena menderita waham kebesaran, karena oang menilai pejuangan Kartini secara anakronistik.
Kartini bukan hanya dikenal di Belanda dan di Indonesia, bahkan di banyak negara lain, sebagai ‘feminis’ pada zamannya atau sebagai pejuang emansipasi perempuan. Bukunya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dibaca banyak orang. Merupakan ironi bahwa jumlah orang Indonesia yang mengenal Kartini dibandingkan dengan jumlah orang luar negeri yang mengenal Kartini dapat dikatakan sedikit.
Kartini tidak dapoat dibandingkan dengan Marie Currie yang terkenal seluruh dunia kaena penemuannya di bidang eksakta, karena keduanya bukan dua orang yang dapat dibandingkan, keduanya berjuang dalam dua bidang yang berbeda. Begitu pula Kartini tidak dapat dibandingkan dengan Cut Nyak Din, karena perjuangan keduanya ada pada dua bidang yang sangat berbeda. Semua pahlawan pada ruang dan waktunya masing-masing.
Kartini dengan upayanya yang ‘kecil’, karena ruang dan waktu tidak memberi kesempatan, tetapi memberikan hasil yang sangat besar. Hapuslah keraguan bahwa Kartini tidak mempunyai kualitas yang cukup sebagai pahlawan, nilailah perjuangan Kartini tidak dengan kacamata anakronistik, tetapi kembali kepada penilaian dalam ruang dan waktu yang tepat.
Selasa, 18 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar