Oleh:
Sarmidi Kusno
Muhammad Ismail Yusanto (MIY), Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, muncul dalam tulisannya yang cukup mengejutkan di harian Republika (6 Maret 2007) dengan judul “Al Aqsha, Palesina, dan Penegakan Khilafah”. Keseluruhan tulisannya mencoba merelevansikan antara Masjid Al Aqsha, Palestina, dan Penegakan Khilafah. Penyelesaian masalah Masjid Al Aqsha yang menghadapi ancaman kehancuran akibat pembangunan trowongan di bawahnya oleh Israel dan konflik Palestina-Israel, menurut MIY, yang paling relevan ialah jihad fi sabilillah dan penegakan Khilafah Islamiyyah.
Sebenarnya, gagasan itu berangkat dari rasa pesimisme MIY terhadap upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel lewat perundingan damai dan sekaligus rasa optimismenya terhadap penyelesaian krisis tersebut dengan mengobarkan jihad fi sabilillah dan penegakan Khilafah Islamiyah (imperium). Sebuah rasa pesimisme yang dapat dipahami sebagai bentuk “kekesalan” yang memuncak akibat sejumlah upaya penyelesaian krisis Palestina – Konferensi Madrid, Perjanjian Oslo, dan peta jalan damai yang disodorkan oleh Kwartet Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB –, menurut MIY, tidak berdampak apapun bagi Palestina, kecuali krisis yang terus memakan korban kaum muslim.
Tidak ada salahnya kekesalan MIY terhadap upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel tersebut, namun tawaran penyelesaian lewat jalan jihad fi sabilillah melawan “penjajah” Israel dan penegakan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah tanda tanya. Seandainya perang benar-benar terjadi, bukankah justru akan menambah jumlah korban rakyat Palestina, karena dalam hal strategi dan persenjataan jelas Palestina kalah ? Apakah para penguasa negara Islam sepakat untuk mendirikan kembali Khilafah Islamiyah sebagai upaya menggalang kekuatan untuk memberangus Israel dan melawan kekuatan Ameika dan Barat ?
Solusi Jihad
Tawaran awal MIY dalam hal penyelesaian konflik Palestina-Israel yaitu mengobarkan api jihad fi sabilillah. Ia menganggap bahwa dialog perdamaian merupakan jebakan Barat dan Israel untuk mengulur-ulur penyelesaian tersebut. Oleh sebab itu, bagi MIY, jihad fi sabilillah merupakan pilihan yang rasional dan harus terus dikobarkan oleh kaum Muslimin Palestina serta tidak boleh ada upaya damai sedikit pun dengan Israel.
Tawaran MIY tersebut bertolak belakang dengan harapan akan terbukanya jalan perdamaian yang mencuat pasca pertemuan tripartit antara PM Israel Ehud Olmert, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Menlu Amerika Seikat Condoleezza Rice yang berlangsung 19 Februai lalu.
Selain itu, sebagai warga Indonesia, MIY dengan pernyataannya tersebut akan mengecewakan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang telah memberikan harapan besar atas peran Indonesia untuk andil dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah, termasuk konflik Palestina-Israel. Karena OKI menganggap Indonesia sebagai negara yang bisa memainkan perannya dalam membangun perdamaian di tengah konflik tesebut.
Apa yang disampaikan MIY di atas merupakan suatu hal yang tidak lumrah. Di saat mayoritas komunitas internasional mengharapkan perdamaian di Timur Tengah, justru MIY malah mengobarkan api peperangan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghambatan atau ancaman terhadap proses perdamaian. Dan perlu diketahui bahwa tindakan menghambat jalan perdamaian merupakan tindakan yang menyalahi ajaran Islam.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Islam membenci berbagai aksi kekerasan, termasuk perang. Memang dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menyinggung tentang perang. Akan tetapi, ketika Alquran mendesak umat Islam untuk berperang, Alquran segera mensyaratkan tuntutan tertentu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (QS. 2:90), untuk memaafkan (QS. 7:199), dan mencari perdamaian (QS.4:94, 8:61). Walaupun ayat-ayat tersebut dapat difahami dengan sekedar membaca secara tekstual, anehnya realitas tekstual ini cenderung dilupakan oleh banyak sarjana muslim, termasuk MIY. Selain itu, peperangan akan menambah panjang daftar korban jiwa tentara dan rakyat sipil. Untuk itu, proses perdamaian harus memerlukan dukungan semua pihak demi menghindari jauhnya korban. Ini lebih maslahah,, ketimbang peperangan yang pasti selalu menelan korban.
Penegakan Khilafah Islamiyah
Tawaran MIY yang kedua untuk menyelesaikan krisis Palestina adalah menyeru kaum muslim harus membangun kekuatan alternatif yang mandiri di dunia Islam. Kekuatan ini dimaksudkan untuk mendukung gerakan jihad melawan Israel dan negara pelindungnya. Kekuatan yang dimaksud MIY tak lain yaitu Daulah Khilafah Islamiyah yang runtuh pada tanggal 3 Maret 1924. Negara inilah yang akan mempersatukan umat Islam seluruh dunia untuk membebaskan Palestina dan Masjid Al Aqsha dari cengkraman Israel.
Impian MIY bersama Hisbut Tahrirnya akan tegaknya sistem Khilafah Islamiyah yang mengandaikan adanya payung kekuasaan politik di mana seorang Khalifah (pemimpin imperium) berkuasa penuh terhadap negara-negara muslim di dunia untuk melawan Israel dan pelindungnya, seperti saya sebut di atas, perlu dipertanykan. Apakah para penguasa negara muslim sepakat untuk mendirikan Khilafah Islamiyah ?
Gagasan mengembalikan pemerintahan kekhalifahan tunggal atau kekuasaan politik pusat sebagaimana pernah terjadi pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin (Empat Khalihah Besar) atau kebesaran pemerintahan (kekhalifahan) Daulah Abbasiyah di Bagdad adalah gagasan outopis dan absurd. Bahkan di masa kejayaan Islam, system khilafah, sebenarnya tidak pernah berjalan sempurna. Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin (khalifah empat, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), yang dianggap sebagai contoh ideal sitem Khilafah Islamiyah, ternyata juga tidak berjalan mulus. Berbagai ketegangan, konflik, perpecahan, dan bahkan peperangan mewarnai masa ini. Tak tanggung-tanggung, tiga al-Khulafa al-Rasyidin mati terbunuh, hanya Abu Bakar, Khalifah pertama yang mati secara wajar. Jika sistem Khilafah itu benar-benar baik dan ideal, mestinya ada sebuah mekanisme politik yang dapat menjamin keamanan pejabat negara dan masyarakatnya. Inilah yang tidak ada di masa lalu. Alasan ini yang mengakibatkan sulit untuk menerima sistem Khilafah tersebut.
Walaupun Khilafah yang diharapkan tegak kembali itu adalah Khilafah yang moderen dalam tehnologi dan menggunakan menejemen yang mutaakhir yang bermisi Qurani dan menggunakan perangkat hukum Islam yang bersumber dari al-Quran, Sunnah, ijmak, dan qiyas, bukan Khilafah masa lalu yang outopis, namun gagasan untuk mendirikan kembali sistem Khilafah pada masa kini sudah tidak relevan, karena ia menyalahi logika politik yang ada. Mustahil menyatukan kaum muslim yang tersebar di berbagai negara beragam karakter, budaya, dan kepentingan social politik. Pada hal karakter sistem Khilafah lebih cenderung eksklusif. Karakter tersebut sudah tidak relevan di tengah komunitas yang beragam baik secara politik, suku, dan bahkan agama. Hal tersebut menjadi alasan dasar untuk menolak gagasan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah di era negara bangsa (nation state) ini.Alangkah baiknya umat Islam lebih mengoptimalkan organisasi international yang sudah ada, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau organisasi yang lain, untuk mengatasi berbagai masalah umat Islam, temasuk konflik Palestina-Israel, dari pada menyodorkan gagasan Khilafah yang masih menjadi perdebatan.
Jumat, 14 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar