Jumat, 14 Desember 2007

Meneguhkan Kembali Peran NU

Oleh:
Sarmidi Kusno

Pada tanggal 31 Januari, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati Hari Ulang Tahunnya ke-81. Peringatan Hari Ulang Tahun NU kali ini menjadi momentum untuk meneguhkan kembali peran aktif NU dalam pembangunan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan serta kemaslahatan umat.
Di saat kondisi kesejahteraan bangsa diwarnai oleh tinginya angka kemiskinan, angka pengangguran, anak putus sekolah, bencana alam, kerusuhan bermodus agama, dan sebagainya, NU – sebagai organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia – tidak boleh tinggal diam terhadap fenomena tersebut. NU harus bergerak dan mengoptimalkan perannya untuk menyelesaikan masalah bangsa. Dan NU tidak boleh hanya berkonsentrasi di bidang politik praktis secara berlebihan dan mengabaikan bidang-bidang lain yang semestinya menjadi tujuan utama NU, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Tujuan utama NU, sebagaimana tertera dalam rumusan Khittoh NU 1926, harus menjadi pijakan organisasi untuk melaksanakan agenda-agenda kegiatan ke depan.
Untuk mewujudkan peran NU dalam memulihkan dan melakukan perbaikan kondisi bangsa, NU harus mencermati kembali sejarah tujuan didirikannya NU. Para founding father NU telah merumuskan garis-garis (Khittoh) perjuangan organisasi. Di dalam Kithoh disebutkan tujuan utama didirikannya NU, cara mencapai tujuan, bentuk organisasi, dan lain-lain.
Dalam rumusan awal tersebut, maksud didirikan NU ditulis sebagai berikut; “Memegang dengan tegoeh salah satoe dari madzhabnja imam empat, jaitoe Imam Asj-Sjafi’e, Imam Malik Imam Aboe Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan mengerjakan apa saja jang menjadikan kemaslahatan umat Islam”.
Dalam konteks menciptakan kemaslahatan masyarakat, dirumuskan pula usaha-usaha yang mesti dilakukan, yaitu : “Memperhatikan hal-hal yang berhoeboenghan dengan masdjid-masdjid, langgar-langgar, dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal-ihwal anak-jatim dan orang-orang jang fakir miskin . . . . mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan perusahaan”.
Khitah NU 1926 di atas, setidaknya, meliputi 4 (empat) bidang kegiatan, yakni pendidikan (ma’arif), kesejahteraan sosial (mabarrat), penyebaran agama (dakwah), dan perekonomian (mu’amalah).
Sebenarnya, 4 (empat) bidang kegiatan yang tertera dalam Khittoh NU di atas, kalau bisa diterapkan secara optimal, sudah mampu memulihkan kondisi bangsa ini. Sayangnya, 4 (empat) hal tersebut tidak hanya kurang dioptimalkan, tetapi sering diabaikan, sehingga kondisi yang memperihatinkan menimpa bangsa ini. Karena NU merupakan organisasi yang memiliki umat terbesar di negeri ini, maka secara otomatis sebagian besar yang tertimpa kondisi tersebut adalah warga NU . Tidak dapat dibantah bahwa jumlah anak putus sekolah, masyarakat miskin, dan pengangguran mayoritas adalah dari keluarga NU.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial warganya khususnya, dan masyarkat Indonesia pada umumnya, NU harus konsentrasi pada 4 (empat) bidang itu.
Pertama, dalam bidang pendidikan (ma’arif). Sebenarnya NU telah mendirikan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) yang berdiri pada tahun 1959, dengan tujuan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Suatu tujuan yang sangat luhur. Sebab, dengan kecerdasan sebuah bangsa akan mampu membangun dan menjalankan roda pemerintahan dengan baik, sehingga perubahan untuk melakukan perbaikan dan kemajuan bangsa segera tercapai.
Namun realitasnya tidak demikian. Bangsa Indonesia, saat ini, masih diwarnai oleh tingginya angka anak putus sekolah. Mereka putus sekolah, sebagian besar, disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka tidak mampu melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan tinggi yang tidak terjangkau oleh kondisi ekonomi mereka. Sedangkan pemerintah, dengan segala upaya, belum bisa membebaskan biaya pendidikan mereka. Dan tak pelak, putus sekolah dianggap sebagai pilahan terbaik mereka. Kondisi seperti ini tentu menantikan kesadaran semua pihak, termasuk NU dengan LP Ma’arifnya. NU harus menggerakkan LP Ma’arif untuk menyelesaikan masalah mereka dan segera menghilangkan atau, paling tidak, meminimalisir jumlalah mereka. Sehingga upaya untuk memerangi kebodohan dapat segera terrealisasikan.
Kedua, mengatasi masalah pendidikan memang tak lepas dari masalah perekonomian (mu’amalah). Sudah sewindu reformasi berjalan, namun kondisi perekonomian bangsa belum juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bangsa ini seakan-akan tidak menemukan pakar ekonomi seperti Muhammad Yunus dari Banglades. Dengan mendirikan Grameen Bank (bank perkriditan untuk masyarakat miskin), ia mampu mengangkat kondisi perekonomian masyarakat miskin. Tidak adanya figur seperti itu menyebabkan laju perekonomian bangsa mengalami kemandegan, sehingga kondisi terpuruk pun sulit dientaskan.
Ironisnya, di tubuh NU hampir tidak ditemukan pakar ekonomi yang handal. Tidak adanya pakar menunjukkan bahwa NU tidak memperhatikan bidang ini. Dan selama ini, NU hampir tidak pernah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi umat. Pada hal, lagi-lagi, masyarakat ekonomi lemah yang ada di Indonesia mayoritas adalah warga NU. Di sinilah NU dituntut untuk mengentaskan warganya sendiri dari himpitan ekonomi.
Ketiga, bidang kesejahteraan sosial (mabarrat). Bidang ini mendapat tantangan yang cukup berat, yaitu menyelesaikan masalah kesejahteraan sosial yang, saat ini, sangat memperihatinkan. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, anak kurang gizi, dan lain sebagainya, membutuhkan penyelesaian segera, karena masalah tersebut menyangkut masalah kebutuhan pokok. Lagi-lagi, NU harus ikut andil dalam menyelesaikan masalah tersebut, karena sebagian besar mereka warganya sendiri.
Keempat, bidang penyebaran agama (dakwah). Di bidang ini, NU mempunyai pemahaman keislaman yang seimbang (tawazzuun), toleran (tasamuh), moderat (tawassuth/i’tidal), dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Tawazzun berarti sikap seimbang dalam berkhidmad. Dalam hal ini adalah sikap menyeleraskan khidmad kepada Allah SWT, khidmad kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya, dan menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatng.
Tasammuh berarti sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ (cabang) atau menjadi masalah khilafiyyah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Tawassuth/I’tidal berarti sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap dasar ini seharusnya dapat menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersfat tatharruf (ekstrim).
Dan rahmatan lil ‘alamin berari sikap selalu mengedepankan aspek maslahah untuk semua umat manusia yang tidak mengenal suku, ras, dan agama, sembari memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan nilai-nilai kehidupan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pandangan Islam demikian ini telah mengakar di jiwa masyarakat Islam yang telah menerima NU sebagai organisasinya. Namun, pemahaman keislaman ala NU tersebut, saat ini, mulai mendapatkan tantangan yang tidak ringan yang berupa adanya grafik fundamentalisme Islam yang cenderung meningkat. Jalan kekerasan kerap ditempuh untuk tujuan memperjuangkan dan mendakwahkan Islam. Berbagai ormas keagamaan belia, karena rata-rata muncul pada era reformasi, tak ragu untuk menutup rumah ibadah umat agama Islam yang dianggap sesat dan agama lain dan melakukan perusakan demi perusakan tempat yang dinilai berbau maksiat, bahkan pengeboman sengaja dilakukan dengan dalih jihad fi sabilillah. Sedangkan sebagian yang lain terus berkoar untuk merancang ulang Indonesia menjadi Negara Islam, Khilafah Islamiyyah, formalisasi syariat Islam dan sebagainya. Mereka berpendirian bahwa pancasila adalah hasil bikinan manusia yang relatif sehinga harus digantikan dengan dasar Islam. Mereka pun menolak demokrasi hanya karena ia berasal dari Barat dan buatan manusia.
Oleh karena itu, dakwah Islam ala NU harus menjadi agenda utama Kiai dan Ulama NU, tidak hanya untuk mengenalkan Islam ala NU yang seimbang (tawazzuun), toleran (tasamuh), moderat (tawassuth/i’tidal), dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) yang masih belum begitu dikenal, tetapi juga menutup langkah gerakan fundamentalisme Islam yang mulai meningkat.
Wal hasil, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahunnya, NU harus bebenah dan kembali berkonsentrasi pada bidang sosial keagamaan yang saat ini sedang mengalami kemerosotan. Bidang pendidikan (ma’arif), kesejahteraan sosial (mabarrat), perekomian (mu’amalah), dan sosialisasi Islam ala NU(dakwah) harus menjadi agenda utama NU sebagai upaya untuk mewujudkan sumbangsihnya terhadap keutuhan dan kesejahteraan bangsa. Di sinilah peran NU yang sangat dinanti-nantikan. Selamat Ulang Tahun NU ke-82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar