Oleh KH. Masdar F Mas’udi
KEMISKINAN meskipun bisa diperluas arti dan cakupannya, akan tetapi lazimnya mengacu pada kondisi kekurangan supply materi diperbandingkan dengan kebutuhan atau demand yang dirasakan. Jika kekurangan atau kelangkaan bersifat nyata, maka kemiskinannya disebut kemiskinan obyektif; sementara jika kekurangannya hanya dalam perasaan hawa nafsunya, maka kemiskinannya kita sebut kemiskinan subyektif. Kemiskinan kategori pertama, kemiskinan obyektif, kita sebut saja dengan “kemelaratan”. Kemiskinan kategori kedua, kemiskinan subyektif lazim disebut dengan “keserakahan”.
Kedua jenis kemiskinan di atas, baik yang objektif (kelaparan) maupun yang subyektif (keserakahan), adalah problem keagamaan universal yang sangat mendasar. Seperti diketahui, semua agama menaruh perhatian utama kepada upaya mengangkat derajat kemanusiaan (human dignity) atas landasan spiriual dan moral yang tinggi. Sementara itu fakta membuktikan bahwa spiritulaitas dan moralitas tidak akan tegak di atas kondisi kemiskinan, baik kemiskinan obyektif (kelaparan) maupun kemiskinan subyektif (keserakahan). Baik kelaparan maupun kerakusan memang sama-sama dapat membutakan mata hati yang bersangkutan terhadap kebenaran.
Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang berbunyi sbb: “….. Fal ya’buduu rabba hadzal bait alladziy ath’amahum min ju’ wa aamanahum min khauf/ ….Hendaknya mereka menyembah Allah, Tuhan pemilik Ka’bah ; Dialah yang telah membebaskan mereka dari kelaparan (kemiskinan obyektif) dan juga menjamin mereka dari ketakutan (kamiskinan subyektif). Artinya, bahwa kemampuan untuk menyembah Allah, dalam arti menjunjung tinggi Kebenaran dan Keluhuran, kiranya hanya bisa dimilkiki oleh mereka yang terbebas dari kedua penyakit kemiskinan tadi: kelaparan dan keserakahan. Maka ketika Allah menyuruh manusia menyembah-Nya, Ia terlebih dahulu melakukan karya pembebasan manusia yang bersangkutan dari kedua kondisi kemiskinan itu.
Agama-agama sebagai suara Tuhan, dan umat beragama sebagai pembawa suara Tuhan yang menyeru manusia untuk menyembah-Nya, untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keluhuran, seharusnya memang berbijak pada kondisi obyektif kemanusiaan ini. Yakni bahwa jika umat manusia menolak atau mengabaikan seruan Tuhan, seruan agama, bukanlah karena hati mereka terlanjur kafir, melainkan karena ada kondisi yang membikin mereka demikian. Kondisi obyektif yang menghalangi manusia tunduk pada kebenaran dan kemuliaan tidak lain adalah kemiskinan tadi. Kemiskinan (kelaparan dan keserakahan) itulah musuh utama agama, semua agama. Bukan yang lain!
Bagaimana kemiskinan diatasi atau diperangi? Apa yang bisa diperbuat oleh agama atau umat beragama? Sesungguhnya berbagai teori bahkan ideologi terbesar yang pernah ada di dalam sejarah manusia (kapitalisme dan komunisme) telah berlomba menjawab pertanyaan itu, atau hanya pertanyaan itu. Akan tetapi, harus diingatkan bahwa yang dicoba mereka perangi tidak lain adalah dan hanyalah kemiskinan kategori pertama (kelaparan atau kelangkaan). Tidak ada satu pun dari teori-teori itu yang pernah bicara bagaimana memerangi kemiskinan kategori kedua (: keserakahan), bahkan semua cenderung memanjakannya. Mereka tidak pernah sadar, bahwa kelaparan meraja lela di mana-mana tidak lain adalah karena dimanjakannya keserakahan. Inilah mengapa berbagai teori dan ideologi kesejahteraan untuk mengatasi kemiskinan berakhir justru dengan semakin parah dan meratanya kemiskinan itu sendiri.
Agama, semua agama, sebagai ajaran spiritual dan moral pada tingkat kesadarannya yang terdalam sesungguhnya telah melihat problem kemiskinan yang paling serius justru pada kemiskinan kategori kedua (keserakahan). Itulah sebabnya kecaman yang lazim muncul dari agama terkait dengan endemi kemskinan ini tidak pernah dialamatkan kepada subyek kemiskinan pertama, yaitu mereka yang lapar dan terpinggirkan. Bahkan pemihakan paling kuat yang pernah diberikan oleh agama adalah terhadap mereka yang lapar itu. Sebaliknya tidak satui agama pun yang memberi penghargaan terhadap pengidap kemiskinan kedua, yakni orang-orang yang serakah. Karena sesungguhnyalah orang-orang yang lapar menjadi lapar adalah karena serakahnya orang-orang yang serakah. Oleh sebab itu yang pendosa adalah mereka yang serakah, sama sekali bukan mereka yang lapar.
Bagaimanakah keserakahan bisa dikendalikan, sehingga kelaparan bisa dihindari? Pertanyaan ini bertolak dari kesadaran bahwa untuk menghapus tuntas keserakahan tidaklah mungkin. Pada tingkat tertenu, ‘keserakahan’ (dalam tanda petik) bahkan bisa menjadi energy pendorong ‘kemajuan’ atau, dalam konteks ekonomi, pertumbuhan. Ada dua langkah strategis yang bisa ditawarkan:
Pertama, meneguhkan kembali komitmen atau pemihakan agama-agama terhadap nasib orang-orang yang lapar dan kekurangan, sambil pada saat yang sama melancarkan kampanye besar-besaran untuk penyadaran terhadap umat masing-masing tentang dosa dan bahaya keserakahan.Kedua, melakukan advocacy bersama untuk membangun kesepakatan-kesepakatan publik (dalam bentuk hukum, perundang-undangan atau regulasi-regulasi sejenis) yang bertujuan ganda: a. Mengontrol nafsu keserakahan jangan sampai mendestruksi kehidupan sosial dan keseimbangan alam; b. Menjamin proses redistrubusi pendapatan dan kesejehteraan secara radikal bagi semua, terutama mereka yang lapar dan kekurangan.
Ini berarti, bahwa untuk bisa menangani problem kemiskinan dengan kedua dimensinya, agama-agama harus mendefinisi kembali posisinya; dengan penuh kesadaran akan tanggungjawab spiritual dan kemanusiaannya agama-agama harus berani keluar dari persembunyiannya di ruang privat untuk kemudian merengsek hadir di ruang publik. Bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik masing-masing, melainkan untuk menyingkirkan musuh utama spiritualitas dan kemanusiaan, yaitu: kemiskinan. Inilah titik temu dan ruang kerja sama yang paling sejati untuk semua agama. Semoga Tuhan memberkati komitmen dan usaha kita bersama []
Kamis, 18 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar