Kamis, 18 Desember 2008

NAPAK TILAS LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA

Oleh Sarmidi Husna
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu jam’iyah islamiyah (organisasi keagamaan Islam) di Indonesia yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M. oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahwan Jawa Timur. Organisasi ini berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali.[1]
Lahirnya organisasi ini seringkali dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai aktifitas dan peristiwa, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Reaksi terhadap aktifitas yang bersifat nasional sering dikaitkan dengan gerakan reformis; Muhamadiyah dan Sarekat Islam (SI). Kelompok reformis ini lebih dulu terorganisasi dan mulai berkembang luas. Sementara itu, para ulama tradisional yang menjadi garda depan berdirinya NU belum terorganisasi. Mereka hanya saling menjalin hubungan yang sangat kuat, baik melalui hubungan perkawinan antar anak kiai maupun melalui pertemuan dalam perayaan hari besar Islam atau haul seorang kiai secara berkala[2].
Organisasi Muhamdiyah yang berdiri pada 1912 sudah mulai berkembang. Bahkan pada awal 1920-an, sudah aktif membentuk cabang di berbagai wilayah di Indonesia. Selain menekankan kegiatannya di bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial – mendirikan sekolah-sekolah bergaya eropa, rumah-rumah sakit dan panti-panti asuhan –, sebagai organisasi reformis, Muhamadiyah juga melakukan kegiatan reformis di bidang ibadah dan akidah. Dalam bidang ibadah dan akidah ini, Muhamadiyah sangat kritis terhadap berbagai amaliyah dan kepercayaan lokal serta menentang otoritas ulama tradisional, kiai.[3]
Sama halnya dengan Muhamadiyah, Sarekat Islam (SI) yang berdiri pada tahun 1912 juga sudah berkembang dan banyak anggotanya. Pada awalnya, SI bertujuan untuk membela kepentingan-kepentingan kelas pedagang Muslim dalam persaingan dengan pedagang Cina, namun dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi gerakan nasionalis yang mendapat banyak pengikut dan mendapat dukungan yang sangat luas dari kalangan masyarakat pedesaan dan juga kelas pekerja. Sebagai sebuah organisasi modern yang dipimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku mewakili kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, SI merupakan ancaman serius terhadap posisi para pemimpin tradisional, kiai.[4]
Selain kedua organisasi di atas, organisasi Al-Irsyad adalah bagian dari kelompok reformis yang juga banyak menentang ulama tradisional. Ajaran-ajaran muslim reformis ini sangat berlawanan dengan kepercayaan dan amalan-amalan muslim tradisional. Beberapa kepercayaan dan amalan-amalan muslim tradisional dinyatakan sebagai bid’ah dan bukan ajaran asli Islam. Mereka mengerahkan segala upaya untuk memberantas semua undur lokal dalam kehidupan keagamaan dan bahkan sampai soal-soal furu’ dalam peribadatan yang tidak pernah diajarkan Nabi.[5] Ajaran-ajaran muslim reformis ini semakin melemahkan legitimasi kiai dan sekaligus memarjinalkannya. Padahal, para kiailah pada awalnya merupakan pemimpin dan juru bicara komunitas muslim.
Dalam merespon serangan muslim reformis tersebut, seorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni Kiai Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir muslim tradisional dengan dukungan Kiai Hasyim Asy’ari, seorang kiai dari Jombang yang disegani. Ia mendirikan beberapa organisasi kemasyarakatan yang menjadi wadah ulama-ulama tradisional. Setidaknya, terdapat tiga organisasi kemasyarakatan yang menjadi cikal bakal berdirinya NU, yaitu Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar dan Taswirul Afkar.
Ketika Kiai Wahab belajar di Makkah, ia mendengar kabar SI dan kemudian mendirikan cabang organisasi ini di Makkah. Setelah pulang dari Makkah, pada tahun 1914, Kiai Wahhab menetap di Surabaya dan aktif di SI. Pada tahun 1916, Kiai Wahab bersama dengan Kiai Mas Mansyur, yang kemudian menjadi aktivis Muhamadiyah, mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air), sebuah lembaga pendidikan yang bercorak nasionalis mederat.[6] Nahdlatul Wathan berdiri di atas gedung yang cukup besar dan bertingkat di Surabaya.[7] Cabang-cabang lembaga pendidikan ini dengan nama-nama yang sama patriotiknya, kemudian didirikan diberbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, seperti Sidoarjo, Malang, Gresik, Palang, Pasuruan, Semarang dan lain-lainnya. Nahdlatul Wathan diyakini merupakan modal pertama dalam mengorganisasi kelompok tradisional untuk memperjuangkan akidah Ahlussunnah Waljama’ah[8].
Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan sebuah koperasi pedagang (banyak di antaranya juga kiai) yang diberi nama Nahdltut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang)[9]. Organisasi ini merupakan bentuk kesadaran para ulama akan pentingnya ekonomi warga masyarakat.
Kemudian pada tahun 1919, Kiai Wahab bersama dengan KH. Ahmad Dahlan (ulama dari Kebundalem Surabaya) dan Kiai Mas Mansyur mendirikan madrasah yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), sebuah forum curah pendapat dan transaksi gagasan, baik menyangkut persoalan keagamaan, kebangsaan dan perkembangan internasional. Kelompok ini merupakan kelompok resmi pertama yang mempertemukan dua kelompok reformis dan kelompok tradisional untuk mendiskusikan persoalan-persoalan kontroversial.[10] Pada mulanya, Tashwirul Afkar ini lebih menitikberatkan pada diskusi-diskusi dan kursus-kursus. Namun dalam perkembangannya, lembaga ini juga mulai merambah pada model pendidikan klasikal dengan membuaka sekolah biasa dan sekolah khusus yatim piatu dan fakir miskin.[11] Tapi pada intinya, berdirinya Taswirul Afkar merupakan upaya untuk menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar agar kelak dapat menjadi sayap guna membela kepentingan ulama tradisional[12]. Ketiga lembaga di atas merupakan tiang penyangga dan dapat dianggap sebagai unsur-unsur pra-organisasi NU.[13] Dapat dikatakan bahwa ketiga lembaga tersebut lebur jadi satu menjadi NU. Dengan demikian, sampai awal 1920-an Kiai Wahab masih aktif dalam berbagai lingkungan sosial dan intelektual sekaligus, yaitu aktif di SI yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, para patriot dan pembaharu pendidikan Nahdlatul Wathan, dan kaum tradisionalis Tashwirul Afkar.
Kemudian sekitar tahun 1920, kaum pembaharu Muhamadiyah semakin aktif di Surabaya dan merekrut kawan Kiai Wahab, Mas Mansoer. Sejak saat itu, keduanya mempunyai sekolah dan organisasi pemuda masing-masing. Kondisi inilah yang memancing respon keras dari kalangan tradisionalis. Pada masa-masa berikutnya, awal dekade dua puluhan, perbedaan dan perdebatan antara kaum tradisionalis (yang diwakili Kiai Wahab dan kawan-kawan) dengan kaum reformis (dipimpin Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad dan Achmad Dahlan pendiri Muhamadiyah) semakin memanas. Padahal di antara mereka dulu bersahabat. Sejak saat itulah Kiai Wahab semakin mengidentifikasikan dirinya dengan Islam tradisional.
Pada 1924, untuk pertama kalinya dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya, Kiai Hasjim Asj’ari, agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Konggres Al-Islam yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat ulama besar masa lalu (taqlid) banyak mendapat kritik. Kiai Wahab tentu saja sudah punya Tashwirul Afkar, tetapi perhimpunan ini sangat belum dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi. Banyak kiai yang enggan ikut dalam organisasi itu, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral dari orang yang lebih berwibawa secara keagamaan. Kiai Hasjim Asj’ari, pendiri pesantren Tebuaireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat dihormati di Jawa, dan tanpa dukungan yang jelas tidak mungkin berdiri sebuah organisasi yang solid. Pada 1924, Kiai Hasjim tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetujuannya. Namun, setelah penyerbuan Ibn Sa’ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini dia mengutib berbagai ayat al-Quran yang menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi tersebut.[14]
Selanjutnya, reaksi yang bersifat internasional berawal dari peristiwa dihapusnya jabatan Khilafah Utsmaniyah oleh Pemerintahan Kemalis Republik Turki sekitar tahun 1924. Hal ini memberikan dorongan pada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun isntitusi-institusi pan-islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-18 menyandang gelar Sultan dan Khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas dunia Muslim. Pada akhir abad ke-19 klaim ini, walaupun meragukan ditinjau dari fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan atau Tenggara maupun Timur Tengah.
Daulah Utsmaniyah telah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khlifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam prakteknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga penghapusan Khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen – sekalipun hanya bersifat simbolik – semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.
Salah seorang calon seriusnya adalah pengusaha Mekkah, Syarif Husain (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah konggres haji (mu’tamar al-Hajj) di Mekkah pada juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Konggres ini adalah yang pertama dari serangkaian konggres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husain. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abd al-Aziz ibn Sa’ud, menyerbu Mekkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah bara semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husain – yang sudah melarikan diri keluar negeri – tak punya kekuasaan sama sekali.
Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Konggres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama al-Azhar, yang didorong oleh raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaharu terkemuka, Rasyid Ridla, salah seorang penyelengaranya, sudah mengirim undangan kepada sarekat Islam dan Muhamdiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia pada waktu itu. Namun kesulitan-kesulitan internal Mesir mengganggu persiapan konggres dan menybabkan konggres itu harus ditunda sampai Mei 1926.
Dalam pandangan Ibn Sa’ud, persiapan konggres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggaraka konggres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan urusan tentang haji tetapi dalam kenyataanya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekeuasaan atas Hijaz. Kedua konggres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia penyelenggara konggres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agara seluruh dunia Islam ikut serta.
Tahun 1920-an juga merupakan tahun rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan konggres-konggres Islam. Di tahun-tahun 1922 sampai 1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian konggres bersama (yang disebut konggres al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam konggres-konggres ini, walaupun wakil kaum modernis mungkin terlalu banyak.
Konggres al-Islam ketiga, yang diselenggrakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhamadiyah dan kaum tradisionalis ke konggres Kairo. Dan karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang konggres al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri konggres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Mekkah, dan masalah sikap yang diambil rezim Sa’ud yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhamadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Tidak satupun dari konggres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaharu terkenal, Rasyid Ridla, adalah salah seorang penyelenggara konggres di Kairo (walaupun ia memutuskan untuk dating di konggres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimana pun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan terhadap wali dan pemujaan terhadap orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktek keagamaan popular. Bagi kaum muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat dengan praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan yang mencemaskan.
Muhamadiyah sejak awal nampak cenderung ke konggres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridla di dalamnya. Secara doktrinal, Muhamadiyah lebih dekat dengan pembaharu Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan Raja Fu’ad dalam konggres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Ingris untuk menguasai Dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia , demi alas an politik, hendaknya memilih konggres Mekkah, walaupun dengan alas an yang berbeda: keudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.
Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke Konggres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fiqih sunni dan membolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah – dimana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar – sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi kiai biasanya menghabiskan waktunya beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana.
Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika ajaran fiqih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.
Tidak mengherankan, kaum pembaharu tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktek-praktek tradisional yang tidak mereka setujui tersebut. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisional dan pembaharu di Indonesia. Konggres itupun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Konggres al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjdi utusan ke Konggres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan.[15] Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhamadiyah).[16] Di luar utusan dari Konggres al-Islam, kaum pembaharu Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Konggres Kairo, yakni pembaharu terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.[17]
Namun sejak saat itu, kaum tradisionalis telah memutuskan; jika Konggres al-Islam tidak mau menekan Ibn Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab Chsbullah, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vocal pada Konggres al-Islam, mendorong para kiai terkemuka Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab kepada Ibn Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah Komite Hijaz yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan Nahdlatoel Oelama. Pada masa beberapa tahun awal kehadirannya, pertimbangan mengenai status Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya.[18]
Kedua hal tersebut setidaknya merupakan peristiwa dan perkembangan nasional yang mendorong kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Jelas bahwa dakwah Muhamadiyah dan aktifitas Sarekat Islam merupakan faktor penting yang menjadi latar belakang berdirinya NU. Namun, berdirinya, walaupun tidak semata-mata sebuah reaksi defensif terhadap pengaruh mereka yang bertambah kuat. Konflik-konflik tajam antara kelompok reformis dan islam tradisional sebagai latar belakang berdirinya NU tentu saja harus dilihat, tetapi perkembangan-perkembangan internasional yang memberikan alasan langsung berdirinya NU.

[1] Baca Anggaran Dasar NU Bab I Pasal I, 3 dan 4 hasil Muktamar XXX di Kediri, 21-27 November 1999.
[2] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 63.
[3] Martin Van brunessen, NU Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-3, hal. 17.
[4] Martin Van Brunessen, hal. 18.
[5] Martin Van Brunessen, hal. 24.
[6] Kaum nasionalis dan Muslim modernis Indonesia seringkali membuat gambaran satu sisi mengenai NU sebagai kaum konservatif dan reaksioner. Sejarawan nasionalis, A.K. Pringgodigdo, dalam surveinya mengenai gerakan nasionalis Indonesia (1950), hanya menyebut NU untuk mengkritik rendahnya kadar rasionalismenya. Para apologi NU, dipihak lain, berkali-kali mengklaim bahwa patriotism sejak semula merupakan kekuatan pendorong berdirinya organisasi ini. Mereka tidak dapat mendukung klaim ini dengan banyak bukti kontemporer, tetapi nama sekolah ini adalah indikasi bahwa Kiai Wahab paling tidak juga didorong oleh kesadaran nasional tertentu. Sebuah indikasi yang lebih jelas lagi adalah nyanyian patriotic yang ditulis Kiai Wahab dalam bahasa Arab, yang biasa dinyanyikan para murid di sekolah tersebut. Teks nyanyian dan terjemahan indonesianya, yang agak dibumbui, dapat ditemukan dalam Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal, 25-26. Menurut beberapa sumber yang simpatik, Kiai Wahab juga ikut ambil bagian dalam Indonesische Studieclub-nya Dr. Soetomo, sebuah kelompok diskusi kaum intelektual nasionalis yang dibentuk pada 1924.
[7] Umar Burhan, Hari-Hari Sekitar Lahir NU, (Surabaya: Majalah Aula No. 1, 1981), hal. 21.
[8] Andree Faillard, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan MaknaI, (Yogyakarta: LKiS, 2008), Cet. II, hal. 8.
[9] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal. 27.
[10] Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 8.
[11] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1998), hal. 44. Lihat juga Anam, Pembaharuan..... hal. 31
[12] Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta, LkiS, 2004), hal. 17.
[13] MM. Billah, “Pergolakan NU dan Kelompok Islam: Interplay antara Gerakan dan Gerakan Tandingan dan Tandingan atas Gerakan Tandingan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 2, 1988, hlm. 51-52
[14] Risalah ini dikenal dengan Muqadimah Qanun Asasi. Sebuah terjemahan indonesianya terdapat dalam hasil-hasil muktamar NU 1984 (PBNU 1985: 121-132). Selama ini belum pernah diungkapkan bahwa risalah ini sebenarnya merupakan satu contoh langka dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama tradisional.
[15] Kiai Wahab Chasbullah, juru bicara kaum tradisionalis paling vocal, berhalangan hadir dalam konggres ini karena kematian ayahnya (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal,52-53). Namun, sebelum konggres pun pemuka kaum pembaharu sudah tidak tidak bersedia memenuhi permintaan kaum tradisionalis, dan seandainya Kiai Wahab hadir sekalipun tidak mungkin akan menghasilkan perubahan.
[16] Daftar utusan pada Konggres Mekkah menunjukkan bahwa di samping dua utusan ini masih ada empat utusan Indonesia lagi. dia di antara mereka adalah orang Indonesia yang bermukim di Mekkah, Muhamad al-Baqir (ulama tradisional asal Yogyakarta) dan Jenan Thayib (pembaharu minangkabau yang memimpin sebuah sekolah Indonesia di Mekkah). Dua lainnya, Umar Naji dan Muhammad bin Thalib, mewakili organisasi keturunan Arab reformis di Indonesia, al-Irsyad.
[17] Lihat daftar utusan pada Konggres Kairo dalam Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal,53, keliru ketika mengatakan bahwa mereka juga ikut dalam Konggres Mekkah.
[18] Cerita yang tidak jauh berbeda tentang latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama diberikan dalam Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University Pers, 1973), hal. 222-234; Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal, 33-56. Utusan yang terpilih, Kiai Asnawi dari Kudus dan Kiai Bisri Sjamsuri dari Jombang, tidak pernah berangkat karena masalah logistic. Baru dua tahun kemudian, Kiai Wahab Chasbullah sendiri dan Kiai Ahmad Ghanaim, seorang ulama Mesir yang mengajar di Surabaya, berangkat ke Mekkah dan diterima Ibn Sa’ud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar