1. Hukum Bermadzhab
S : Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?
J : Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan). Empat madzhab itu ialah:
a. Madzhab Hanafi
Yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.)
b. Madzhab Maliki
Yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan wafat pada tahun 179 H.)
c. Madzhab Syafi’i
Yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Ghozzah, Palestina pada tahun 150 H. dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.)
d. Madzhab Hanbali
Yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 241 H.)
Keterangan, dari kitab:
1. Al-Mizan al-Kubra[1]:
كَانَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْخَوَّاصِ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ إِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ الآنَ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ الْأُوْلىَ خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الضَّلاَلِ وَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَومَ.
“Tuanku yang mulia Ali al-Khawash rahimahullah, jika ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.”
2. Al-Fatawa al-Kubra[2]
وَ بِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ. وَ قَالَ لأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَ تَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
“Sesungguhnya ber-taqlid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain”.
3. Sullamul Usul[3]:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ ". وَ لَمَّا اِنْدَرَسَتْ المَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ الَّتِى انْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اتِّبَاعُهَا اتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَ الْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأًعْظَمِ.
“Nabi Saw. Bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali imam empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti “mayoritas”, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari “mayoritas”.
2. Pendapat Tokoh (Imam) yang Boleh Difatwakan
S : Pendapat siapakah yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa di antara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama Syafi’iyyah?
J : Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Keterangan dari:
1. I’anah al-Thalibin [4]:
إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الْأَكْثَرُ فَالْأَعْلَمُ فَالْأَوْرَعُ.
( فَإِنْ قُلْتَ ) مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَالرَّمْلِيَيْنِ وَشَيْخِ الْإِسْلاَمِ وَالْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ وَالْمَحَلِّي وَالزِّيَادِي وَالشِّبْرَامَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَالْقَلْيُوْبِي وَغَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟
( اَلْجَوَابُ ) كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُلِ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ: كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا, لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ, وَاْلأَخْذُ فِي الْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عِنْدَ الإِخْتِلاَفِ: التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيَّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِحِ.
“Sesungguhnya yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wara’i)”.
“Apabila kamu bertanya: Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan pedoman untuk berfatwa dan mana yang didahulukan: syarah-nya dan hasyiyah-nya, seperti kitab karangan Ibnu Hajar al-Haitami, dua al-Ramli (Syihabuddin al-Ramli dan Syamsuddin al-Ramli), Syaikh al-Islam (Zakaria al-Anshari), al-Khatib, Ibnu Qasim, al-Mahalli, al-Ziyadi, al-Syibramalisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi, Syaikh Khadir dan yang lainnya, apakah kitab-kitab mereka ini dapat dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak mengambil pendapat dari masing-masing ulama itu jika mereka berbeda pendapat”?
Jawabannya: adalah sebagaimana jawaban al-‘Allamah Sa’id bin Muhammad Sunbul al-Makky bahwa seluruh kitab-kitab tersebut dapat dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi dengan memperhatikan mana yang didahulukan. Sedangkan manakala untuk diri sendiri yang mengamalkannya maka boleh menggunakan keseluruhannya. Adapun dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan pendapat, maka mendahulukan kitab Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj . Jika keduanya berbeda pendapat, maka seorang mufti dapat mengambil salah satunya apabila ia bukan ahli tarjih (mampu mengunggulkan salah satunya). Jika ia ahli tarjih maka ia berfatwa dengan pendapat yang rajah (yang dipandang lebih unggul), kemudian pendapat Syaikh al-Islam dalam kitabnya Syarh al-Bahjah dan kitab Syarh Manhaj al-Thullab, akan tetapi di dalamnya terdapat hukum masalah yang dla’if”.
3. Membuat Keputusan Berdasarkan Pendapat Kedua
S : Bolehkah hakim memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) dalam masalah Syiqaq (perselisihan antara suami istri)?
J : Boleh. Hakim diperbolehkan memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) apabila untuk kemaslahatan suami-istri dan tidak terdapat jalan lain kecuali dengan mempergunakan al-qauluts tsani tersebut.
Keterangan dari kitab:
1. Al-Mahalli ‘ala al-Minhaj[5]:
وَ يُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَ عَلَى الثَّانِي لاَ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ. وَ إِذَا رَأًى حُكْمُ الزَّوْجِ الطَّلاَقَ اسْتَقَلَّ بِهِ وَ لاَ يَزِيْدُ عَلَى طَلْقَةٍ.
“Kedua juru runding berhak memisahkan keduanya (suami-istri) jika mereka memandang perpisahan tersebut sebagai hal yang benar. Menurut (pendapat) yang kedua, dengan mengirim dua juru runding tersebut berarti kerelaan suami istri, tidak disyaratkan jika suami adalah “bercerai” (thalaq), maka ia punya otoritas untuk itu, tetapi tidak boleh lebih dari satu thalaq”.
2. Al-Fawaid al-Makkiyah[6]:
نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ أَيْ الْقَضَاءُ وَ الْإِفْتَاءُُ بِالمَرْجُوْحِ لِحَاجَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ.
“Ya, memang berhak untuk memberikan keputusan dan fatwa dengan pendapat hukum yang tidak diunggulkan, karena pertimbangan sesuatu keperluan atau kemaslahatan umum”.
3. Al-Tanbih[7] :
وَ هُمَا حُكْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ فِى الْقَوْلِ الْآخَرِفَيَجْعَلُ الْحَاكِمُ ،إِلَيْهِمَا الْإِصْلاَحَ أَوِ التَّفْرِيْقَ مِنْ غَيْرِ رِضَا الزَّوْجَيْنِ أَوْ اَحَدِهِمَا وَ هُوَ الْأَصَحُّ.
“Keduanya merupakan ketetapan hukum dari pihak hakim dari pendapat yang lain. Maka hakim boleh menetapkan “damai” atau “pisah” (thalaq) tanpa kerelaan suami-istri atau salah satunya. Pendapat ini adalah yang paling benar”.
4. Shalat Sunat Sebelum Shalat Jum’at
S : Apakah ada shalat sunnah qabliyah bagi shalat Jum’at?
J : Ada. Sebelum shalat Jum’at disunnatkan shalat sunat qabliyah seperti shalat Zhuhur, karena sabda Rasulullah Saw. Dalam hadis shahih.
Keterangan dari kitab:
1. Fath al-Bari[8]
وَ أَقْوَى مَا يُتَمَسَّكُ بِهِ فِيْ مَشْرُوْعِيَّةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ عُمُوْمُ مَا صَحَّحَهُ ابْنِ حِبَّانِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوْعًا: مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيَْهَا رَكْعَتَانِ.
“Dalil paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum Jum’at adalah hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “Tidak ada suatu shalat fardlu pun kecuali sebelumnya dilaksanakan shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.
2. Al- Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlali[9]:
وَرَأَيْتُ نَقْلاً عَنْ شَرْحِ الْمِشْكَاةِ لِمُلَا عَلي الْقَارِيْ مَا نَصُّهُ: وَقَدْ جَاءَ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ كَمَا قَالَهُ الحَافِظْ العِرَاقِيْ: أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى قَبْلَهَا أَربَعًا.
“Saya mencatat dari syarah al-Misykat karangan Mula Ali al-Qari: Sesungguhnya terdapat sanad yang kuat seperti dikemukakan oleh al-Hafizh al-Iraqi: Bahwasannya Nabi saw. melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Jum’at”.
3. Al-Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal[10]:
وَ رَوَى أَبُوْ دَاوُدُ وَابْنُ حِبَّانٍ مِنْ طَرِيْقِ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانََ ابْنُ عُمَرُ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الجُمْعَةِ وَ يُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Ayub dari Nafi’: Adalah Ibnu Umar memperpanjang shalat sebelum shalat jum’at dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya di rumahnya. Dan ia mengatakan: bahwa Nabi saw. juga melakukan hal yang demikian itu”.
4. Khulashah al-Ahkam[11]:
قَالَ النَوَوِيُ فِيْ الخُلاَصَةِ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيْ. وَ قَالَ الْعِرَاقِيُ فِيْ شَرْحِ التِّرْمِذِيْ: إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ. وَقَالَ الحَافِظُ إِبْنُ المُلْقِنِ فِيْ رِسَالَتِهِ: اِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ لَا جَرَمَ. وَ أَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانِ فِيْ صَحِيْحِهِ.
“(Tentang hadis ini) Imam Nawawi dalam al-Khulashah menilainya sebagai hadis sahih sesuai dengan syarat Bukhari. Al-Iraqi dalam Syarah Tirmidzi menyatakan sanadnya (perawinya) sahih. Demikian pula al-Hafizh ibn al-Mulqin dalam Risalahnya menyatakan: Isnad hadis ini sahih dan tidak ada cacat. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam kitab Sahihnya”.
5. Zakat untuk Pembangunan Masjid
S : Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah-madrasah atau pondok-pondok (asrama-asrama), karena semua itu termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J : Tidak boleh, karena yang dimaksud dengan “Sabilillah” ialah, mereka yang berperang di jalan Allah (Sabilillah). Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah dha’if (lemah).
Keterangan dari kitab:
1. Rahmatul Ummah[12]:
وَ اتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ الْإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ أَوْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ.
“Para ulama sepakat atas larangan menggunakan hasil zakat untuk membangun masjid atau mengkafani mayit”.
1. Tafsir Munir (Marah Labid)[13]
وَ نَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعٍ وُجُوْهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتَى وَ بِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَ عِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ لأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: "فِي سَبِيْلِ اللهِ" عَامٌ فِى الْكُلِّ.
“Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fiqh bahwasannya mereka memperbolehkan penggunaan hasil shadaqah/zakat bagi semua jalur kebaikan, seperti pengkafanan mayit, pembangunan benteng dan imarah (pengelolaan) masjid, karena firman Allah “fi sabilillah” bersifat umum mencakup keseluruhan (jalur kebaikan)”.
6. Gono-gini (Hasil Usaha Suami-Istri)
S : Bolehkah memberi “gono-gini” (ialah hasil usaha kedua belah pihak suami-istri) baik masing-masing mempunyai andil kapital ataupun tidak mempunyai, tetapi tidak dapat dibeda-bedakan hasil masing-masing (tercampur menjadi satu).
J : Muktamar memutuskan: Bahwa memberi “gono-gini” itu boleh menurut yang diterangkan dalam Taqrir Musthafa al-Dzahabi ‘ala Hasyiyah al- Syarqawi[14]:
(فَرْعٌ) إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِي لَمَّةٍ إِنْ كَانَ لِكُلٍّ مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَ اكْتَسَبَا فَإِنْ تَمَيَّزُ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَ إِلاَّ اِصْطَلَحَا فَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَ لِلْبَاقِيْنَ الْأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغَيِّنِ لِوُجُوْدِ الْإِشتِرَاكِ.
“Jika (suami-istri) pernah bersama dalam suka-duka, maka jika masing-masing punya harta atau salah satunya tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika terjadi penambahan pada harta milik salah satu dari keduanya, walaupun pertambahan itu sedikit, maka masing-masing memperoleh bagiannya, karena adanya persekutuan. Sedangkan yang lain memperoleh upah”.
7. Pengertian “Rusydan”
S : Apakah yang dimaksud dengan kata “Rusyd” dalam firman Allah: Rusydan. Apakah yang dimaksud “Rusyd” itu pandai dalam segala hal?
J : Yang dimaksud dengan kata “Rusyd” dalam firman Allah Swt. Tersebut di atas ialah “pandai” dalam menasarufkan dan menggunakan harta kekayaan, walaupun masih hijau dan bodoh dalam soal agama.
Keterangan, dari kitab:
1. Thabaqatus Syafi’iyyah[15]:
وَ تَرْتَفِعُ الْحَجَرُ عَمَّنْ بَلَغَ رَشِيْدًا فِي مَالِهِ وَ إِنْ بَلَغَ سَفِيْهًا فِي دِيْنِهِ.
“Larangan mempergunakan harta itu dicabut dari orang yang sudah dewasa dan pandai, walaupun bodoh dalam beragama”.
2. Tafsir Munir (Marah Labid)[16]:
(قَالَ) فِي تَفْسِيْرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: فَإِنْ أَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا (النساء: 6)، أَيْ اهْتِدَاءً إِلَى وُجُوْهِ التَّصَرُّفَاتِ مِنْ غَيْرِ تَبْذيْرٍ وَ عَجْزٍ عَنْ خَدِيْعَةِ الْغََيْرِ.
“(Syekh Nawawi) dalam menafsirkan firman Allah “fa in anastum minhum rusydan” (jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) (QS. Al-Nisa’: 6), yakni telah pandai dalam mengelola harta tanpa mubadzir dan tidak lemah dari tipu daya orang lain”.
8. Orang Fasik Menjadi Wali Nikah
S : Bolehkan seorang yang tidak mengerjakan ibadah shalat menjadi wali nikah anak perempuannya? Apabila tidak boleh, maka siapakah yang berhak menjadi wali pernikahan itu? Hakimnya ataukah lainnya?
J : Seorang fasik karena tidak mengerjakan shalat fardhu atau karena lainnya, menurut madzhab Syafi’i tidak sah menjadi wali menikahkan anak perempuannya. Tetapi menurut pendapat kedua (al-qauluts tsani) sah menjadi wali nikah.
Keterangan dari kitab al-Qalyubi ‘Alal Mahalli[17]:
(وَلاَ وِلاَيَةَ لِفَاسِقٍ عَلَى الْمَذْهَبِ) قَالَ المَحَلِّى: وَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَلِي لِأَنَّ الْفَسَقَةَ لَمْ يُمْنَعُوْا مِنَ التَّزْوِيْجِ فِى عَصْرِ الْأَوَّلِيْنَ.
“Menurut madzhab (Syafi’i, yang pertama) orang fasik tidak boleh menjadi wali. Menurut al-Mahalli, pendapat kedua, bahwa orang fasik boleh menjafi wali, karena orang-orang fasik pada masa awal Islam tidak dilarang untuk mengawinkannya”.
9. Pemandu Khutbah Membaca Shalawat dengan Suara Keras dan Panjang
S : Bagaimana apabila seorang pemandu Khutbah (protokol Khutbah) dengan suara keras membaca shalawat antara dua Khutbah? Dan apabila shalawatnya panjang, apakah berarti memutuskan muwalat (kesinambungan) antara kedua khutbah itu?
J : Membaca shalawat antara dua Khutbah dengan suara keras itu adalah “bid’ah hasanah”, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila shalawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) diperkirakan waktunya cukup untuk dua rakaat.
Keterangan dari kitab:
1. Al- Hawasyi al-Madaniyah [18]:
فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إِنَّ اللّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ إلخ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالحَدِيْثِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ.
“Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu Khutbah) di depan khatib: Inna Allaha wa malaikatahu (dst), lalu ia membaca hadits adalah termasuk bid’ah hasanah”.
2. Al-Hawasyi al-Madaniyah [19]:
(قَوْلُهُ الوَلاَءُ) الَّذِي يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَ مَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ.
“(Yang dimaksud dengan al-wala’/menyambung) ialah p erbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat yang cepat maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu maka tidak merusak kesinambungan khutbah itu”.
3. Fath al-Mu’in[20]
وَ وَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهَمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهَذَا هُنَا وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.
“Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua Khutbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua Khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf)”.
10. Menerjemahkan Khutbah Jum’at Selain Rukunnya
S : Bolehkah menerjemahkan Khutbah Jum’at selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja, atau beserta terjemahannya? Apabila yang terbaik beserta terjemahannya, apa faedahnya?
J : Menerjemahkan Khutbah Jum’at selain rukunnya itu boleh, sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i. Muktamar ini memutuskan: bahwa yang terbaik adalah Khutbah dengan bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya ialah: supaya hadirin mengerti petuah-petuah yang ada dalam Khutbah.
Keterangan dari kitab Hawasyi al-Madaniyah [21]:
وَ كَوْنُهُمَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَ إِنْ كََانَ الْكُلُّ أَعْجَمِيِّيْنَ لِإِتْبَاعِ السَّلَفِ وَ الْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الْأًرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ سم: يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الْأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ.
“Karena untuk mengikuti ulama salaf dan khalaf maka kedua Khutbah menggunakan bahasa Arab, meskipun seluruh (jamaah) orang-orang non Arab (‘ajami). Ketentuan dengan bahasa Arab tersebut (hanya) pada rukun-rukun Khutbah dan bukan yang lain. Berkata Sibro Malisi: Hal ini berarti bahwa di luar rukun Khutbah, yakni hal-hal yang masih terkait dengan Khutbah yang disampaikan tidak dengan bahasa Arab, tidak menjadi penghalang adanya kesinambungan Khutbah”.
11. Membaca Shalawat atau Taradhdhi dengan Suara Keras
S : Apakah hukumnya menyerukan “taradhdhi” (membaca radhiyallahu ‘anhu) atau membaca “shalawat” dengan suara keras sewaktu khotib menyebutkan nama-nama sahabat atau nama Rasulullah Saw.?
J : Membaca “shalawat” sewaktu khotib menyebutkan nama Rasulullah Saw. dengan suara keras itu hukumnya “sunat” asalkan tidak keterlaluan, demikian pula membaca “taradhdhi” asalkan tidak keras. Apabila keterlaluan membaca “shalawat”, hukumnya makruh (asalkan tidak menimbulkan tasywisy). Dan apabila sampai menimbulkan tasywisy hukumnya “haram”.
Keterangan dari kitab I’anatut Thalibin[22]:
وَ يُسَنُّ تَشْمِيْطُ الْعَاطِسِ وَ الرَّدُّ عَلَيْهِ وَ رَفْعُ الصَّوْتِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ بِالصَّلاَةِ وَ السَّلاَمِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبُ اسْمَهُ وَ وَصْفَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ. (قَوْلُهُ وَ رَفْعُ الصَّوْتِِ) أَي وَ يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ حَالَ الْخَطِبَةِ. (قَوْلُهُ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ) امَّا مَعَهَا فَيُكْرَهُ. (وَ لاَ يُبْعَدُ نَدْبُ التَّرَضِّي عَنِ الصَّحَابَةِ بِلاَ رَفْْعِ صَوْتٍ) أَيْ تَرَضِّي السَّامِعيْنَ عَنْهُمْ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبِ أَسْمَائَهُمْ. أَمَّا مَعَ رَفْعِ الصَّوْتِ فَلاَ يُنْدَبُ لِأَنَّ فِيْهِ تَشْوِيْشًا.
“Disunatkan menjawab dan mendoakan orang yang bersin. Begitu juga disunahkan membaca shalawat dan salam untuk Nabi saw. dengan suara yang tidak terlalu keras ketika mendengar khatib menyebut nama dan sifat Rasulullah saw. Yang dimaksud “dengan suara keras” di sini adalah pada saat khutbah berlangsung. Sedang yang dimaksud “asalkan tidak keterlaluan” berarti apabila keterlaluan saat membacanya (shalawat dan salam), hukumnya menjadi makruh.
Demikian pula disunatkan membaca “taradhdhi” (radhiyallahu ‘anhu) dengan suara pelan ketika mendengar khatib menyebut nama shahabat Nabi saw. Namun tidak disunahkan membacanya dengan suara keras, karena dapat mengganggu orang lain (tasywisy)”.
12. Mengucapkan Insya Allah Ketika Khotib Mengucapkan Ittaqullah
S : Apakah hukumnya pernyataan pendengar Khutbah dengan mengucapkan “Insya Allah”, sewaktu khatib menyerukan “Ittaqullah”?
J : Hukumnya boleh. Asalkan tidak bermaksud menggantungkan takwa kepada kehendak Tuhan, karena ta’liq demikian itu berlaku terhadap apa yang akan dikerjakan. Seyogyanya tidak usah menyatakan ta’liq (insya Allah), karena bertobat dan bertakwa itu seharusnya dilaksanakan seketika.
Keterangan dari kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil[23]:
وَلاَ تَقُوْلَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ أَيْ اِلاَّ مُلْتَبِسًا بِمَشِيْئَتِهِ قَائِلاً إِنْ شَاءَ اللهُ بِمَعْنَى إِنْ يَأْذَنْ لَكَ فِيْهِ وَ لاَ يَجُوْزُ تَعْلِيْقُهُ بِفِاعِلٍ لِأَنَّ اسْتِثْنَاءَ اقْتِرَانِ الْمَشِيْئَةِ بِالْفِعْلِ غَيْرُ سَدِيْدٍ وَ اسْتِثْناءُ اعْتِرَاضِهَا دُوْنَهُ لاَ يُنَاسِبُ النَّهْيَ.
“Dan jangan sekali-kali Anda menyatakan saya akan melakukan hal tersebut besok, (tanpa menyatakan) kecuali jika Allah menghendaki”, yakni bahwa ia harus melibatkan kehendak Allah dalam arti: “Jika memang Allah menghendaki Anda melakukan hal tersebut”. Dan pelaku tidak diperkenankan pengecualian itu bersamaan dengan kehendak Allah tersebut untuk menggantungkankannya dengan perbuatan yang tidak tepat. Sedangkan pengecualian yang bertentangan dengan kehendak Allah itu tidak layak untuk dilarang”.
13. Memperbaharui Nisan dalam Kuburan Umum
S : Bagaimana hukumnya memperbaharui nisan dalam tanah kuburan umum?
J : Memperbaharui nisan sebelum mayatnya rusak itu hukumnya boleh. Adapun masa rusaknya mayat hingga menjadi tanah, menurut para ahli; ada yang berpendapat 15 tahun, ada pula yang berpendapat 25 tahun, atau 70 tahun, perbedaan tersebut mengingat perbedaan iklim.
Dan boleh memperbarui sesudah masa rusaknya mayat apabila tidak menghalangi untuk dipergunakan penguburan mayat baru, tetapi apabila menghalangi maka hukumnya haram.
Keterangan, dari kitab:
1. Nihayah al-Muhtaj[24]:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لِإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”.
2. Fath al-Wahhab[25]:.
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur”.
14. Memagari Kuburan dengan Tembok dalam Tanah Milik Sendiri
S : Bagaimana hukumnya membangun kuburan dan mengelilinginya (memagarinya) dengan tembok pada tanah kuburan milik sendiri?
J : Membangun kuburan dan memagari dengan tembok di tanah kuburan milik sendiri dengan tidak ada suatu kepentingan, hukumnya makruh.
Keterangan dari kitab Fath al-Mu’in[26]:
(وَ كُرِهَ بِنَاءٌ لَهُ) أَيْ لِلْقَبْرِ (أَوْ عَلَيْهِ) لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْهُ بِلاَ حَاجَةٍ كَخَوْفِ نَبْشٍ أَوْ حَفْرٍ سَبُعٍ أَوْ هَدْمِ سَيْلٍ وَ مَحَلُّ كَرَاهَةِ الْبِنَاءِ إِذَا كَانَ يَمْلِكُهُ فَإِنْ كَانَ بِنَاءُ نَفْسِ الْقَبْرِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ مِمَّا مَرَّ أَوْ نَحْوِ قُبَّةٍ عَلَيْهِ بِمُسَبَّلَةٍ إِلَى أَنْ قَالَ أَوْ مَوْقُوْفَةٍ حَرُمَ وَ هُدِّمَ وُجُوْبًا لِأَنَّهُ يَتَأَبَّدُ بَعْدَ انْمِحَاقِ الْمَيِّتِ. وَ قَالَ البُجَيْرِمِيُّ: وَاسْتَثْنَي بَعْضُهُمْ قُبُوْرَ الأَنْبِيَاءِ وَ الشُهَدَاءِ وَ الصَالِحِيْنَ وَ نَحْوِهِمْ.
“Karena ada ketegasan hadits shahih maka hukumnya makruh membangun suatu bangunan di atas kuburan, jika tidak ada keperluan, seperti kekhawatiran akan digali dan dibongkar oleh binatang buas, atau diterjang banjir. Kemakruhan tersebut jika kuburan itu berada di tanah miliknya sendiri. Sedangkan membangun kuburan tanpa satu keperluan, sebagaimana yang telah dijelaskan, atau memberi kubah di atas kuburan yang terletak di tanah yang landai, atau di tanah wakaf, maka hukumnya haram dan harus dihancurkan, karena bangunan tersebut berarti mengabadikan jenazah setelah kehancurannya. Menurut Imam al-Bujairimi: “sebagian ulama mengecualikan keberadaan bangunan kuburan pada kuburan para Nabi, para syuhada’, orang-orang shalih dan lainnya”.
15. Menghias Kuburan dengan Sutera
S : Bagaimana hukumnya menghias kuburan dengan sutera atau lainnya?
J : Menghias kuburan selain kuburan Rasulullah Saw. dengan sutera (harir) hukumnya haram dan dengan selain sutera hukumnya makruh.
Keterangan dari kitab Tarsyihul Mustafidin[27]:
وَ يُكْرَهُ وَ لَوْ لإِمْراَةٍ تَزْبِيْنُ غَيْرِ الْكَعْبَةِ كَمَشْهَدِ صَالِحٍ بِغَيْرِ حَرِيُرٍ وَ يَحْرُمُ بِهِ.
(قَوْلهُ غَيْرِ الكَعْبَةِ) أَمَّا هِيَ فَيَحِلُّ سَتْرُهَا بِالْحَرِيْرِ وَكَذَا قَبْرُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
“Makruh hukumnya walau bagi seorang perempuan memperindah (suatu tempat) kecuali Ka’bah, seperti kuburan orang shalih dengan selain sutera, dan haram jika dengan sutera.
Yang dimaksud selain Ka’bah, maka boleh menutupinya dengan sutera, demikian juga kuburan Nabi saw”.
16. Menggambar Binatang dengan Berbentuk Jisim yang Sempurna
S : Bolehkan membuat gambar binatang dengan berbentuk jisim yang sempurna? Dan bagaimanakah hukumnya permainan anak-anak (boneka)?
J : Membuat gambar binatang dengan berbentuk jisim yang sempurna, hukumnya tidak boleh (haram), karena menyerupai berhala. Adapun permainan anak-anak (boneka), hukumnya boleh.
Keterangan dari kitab:
1. Fath al-Mu’in[28]:
وَ مِنْهُ صُوْرَةُ حَيَوَانٍ مُشْتَمِلَةٍ عَلَى مَا يُمْكِنُ بَقَاؤُهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا نَظِيْرٌ كَفَرَسٍ بِأَجْنِحَةٍ وَ طَيْرٍ بِوَجْهِ إِنْسَانٍ عَلَى سَقْفٍ أَوْ جِدَارٍ أَوْ سَتْرٍ عُلِّقَ لِزِيْنَةٍ أَوْ ثِيَابٍ مَلْبُوْسَةٍ أَوْ وِسَادَةٍ مَنْصُوْبَةٍ لِأَنَّهَا تُشْبِهُ الْأَصْنَامَ.
نَعَمْ يَجُوْزُ تَصْوِيْرُ لَعْبِ الْبَنَاتِ لِأَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَلْعَبُ بِهَا عِنْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَمَا فِيْ مُسْلِمْ.
“Di antara (yang tidak diperbolehkan) adalah, gambar-gambar binatang yang lengkap (dalam bentuk) yang memungkinkannya bisa hidup, walaupun tidak ada padanannya (dalam realita) seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia di atas atap, dinding, tirai yang digantung untuk dekorasi, busana yang dikenakan, atau bantal, karena semuanya menyerupai berhala yang diharamkan.
(Namun) boleh menggambar mainan anak-anak putri, karena Aisyah pernah bermain boneka di samping Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim”.
2. Is’ad al-Rafiq[29]
وَ أَجْمَعُوْا عَلَى وُجُوْبِ تَغْيِيْرِ مَالَهُ ظِلٌّ قَالَ القَاضِي إِلاَّ مَا وَرَدَ فِي لُعَبِ الْبَنَاتِ الصِّغَارِ مِنَ الرُّخْصَةِ.
“Para ulama sepakat atas keharusan mengubah sesuatu yang mempunyai bayangan. Menurut Qadli Husain: kecuali pada mainan anak-anak putri (boneka) karena adanya keringanan”.
17. Pemberian Kepada Anak dengan Tidak Sepengetahuan Anak yang Lain
S : Apabila seorang bapak memberikan sesuatu kepada salah seorang anak yang taat, apakah pemberian itu dapat dilangsungkan dengan tidak sepengetahuan anak yang lain?
J : Pemberian tersebut dapat berlangsung dengan tiga syarat:
a. Tidak pada waktu sakit keras sampai ajalnya.
b. Sudah diterima oleh anak tersebut (anak yang taat) dan,
c. Tidak diminta kembali sebelum bapak meninggal dunia.
Keterangan, apabila pemberian tersebut dilakukan di waktu sakit terus ajalnya tiba atau di waktu tidak/sebelum sakit, tetapi belum diterima anaknya (anak yang taat) atau sudah diterima tetapi diminta kembali sebelum hak miliknya atas barang itu diserahkan, maka dalam keadaan seperti tersebut, pemberian itu tidak dapat dilangsungkan, kecuali dengan sepengetahuan dan seizin saudara-saudaranya yang lain.
Adapun pemberian dengan maksud menutup sebagian ahli waris dengan tidak untuk kepentingan syara’ (agama), maka pemberian tersebut hukumnya makruh, sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqih.
18. Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah
S : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?
J : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
Keterangan daari kitab:
1. I’anah al- Thalibin[30]:
وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
“Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.
2. Al-Fatawa al-Kubra[31]
(وَسُئِلَ) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
“Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit.
Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Saw. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.
19. Sedekah Kepada Mayit
S : Dapat pahalakah sedekah kepada mayit?
J : Dapat!
Keterangan dari kitab Al-Muhadzdzab[32]:
رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ أُمِّيْ قَدْ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِيْ مِخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ إِنِّيْ قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَ عَنْهَا.
“Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa ada seseorang bertanya pada Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya ibuku sudah meninggal, apakah bermanfaat baginya (kalau) aku bersedekah atas (nama)nya?” Rasulullah menjawab: “ya.” Orang itu kemudian berkata: “sesungguhnya aku memiliki sekeranjang buah, maka aku ingin engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya aku menyedekahkannya atas (nama)nya”.
20. Istri Menjadi Pelayan Di Rumah Suaminya dengan Tidak Pakai Upah
S : Seorang istri rasyidah (dewasa) yang menjadi pelayan di rumah suaminya dengan tidak ada perjanjian pemberian upah, apakah ia berhak menerima upah sepantasnya bila terjadi perceraian? Atau berhak menerima gono-gini?
J : Istri tersebut tidak menerima upah dan tidak berhak menerima gono-gini, apabila istri itu telah rasyidah dan tidak ada perjanjian sebelumnya dan tidak turut membantu usaha suaminya. Lain halnya jika istri tersebut tidak rasyidah, misalnya belum dewasa atau gila, maka ia berhak menerima upah sepantasnya dan upahnya menjadi utang yang dibebankan kepada suaminya, oleh karenanya maka harta peninggalannya tidak boleh diwaris sebelum ditunaikan utang tersebut, begitu pula sebaliknya, apabila suami tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai modal dalam mata pencaharian istrinya, maka suami tidak berhak menerima upah sepantasnya dan tidak menerima gono-gini, hal tersebut sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab fiqh.
21. Alat-alat Orkes untuk Hiburan
S : Bagaimana hukum alat-alat orkes (mazammirul-lahwi) yang dipergunakan untuk bersenang-senang (hiburan)? Apabila haram, apakah termasuk juga terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala dan seruling permainan anak-anak (damenan, Jawa)?
J : Muktamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala, dan seruling permainan anak-anak dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.
Keterangan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din[33]:
فَبِهَذِهِ الْمَعَانِي يَحْرُمُ الْمِزْمَارُ الْعِرَقِيُّ وَ الْأَوْتَارُ كُلُّهَا كَالْعُوْدِ وَ الضَّبْحِ وَ الرَّبَّابِ وَ الْبَرِيْطِ وَ غَيْرِهَا وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَيْسَ فِي مَعْنَاهَا كَشَاهِيْنٍ الرُّعَاةِ وَ الْحَجِيْجِ وَ شَاهِيْنٍ الطَّبَالِيْنَ.
“Dengan pengertian ini maka haramlah seruling Irak dan seluruh peralatan musik yang menggunakan senar seperti ‘ud (potongan kayu), al-dhabh, rabbab dan barith (nama-nama peralatan musik Arab). Sedangkan yang selain itu maka tidak termasuk dalam pengertian yang diharamkan seperti bunyi suara (menyerupai) burung elang yang dilakukan para penggembala, jama’ah haji, dan suara gendering”.
22. Alat-alat yang Dibunyikan dengan Tangan
S : Bagaimana hukumnya alat-alat yang dibunyikan dengan tangan?
J : Mukatamar memutuskan bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan, seperti rebana, dan sebagainya itu hukumnya mubah (boleh) selama alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasik kecuali kubah, yang telah ditetapkan haramnya dalam hadis (nash).
Keterangan dari kitab:
1. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin[34]:
وَكَالطَّبْلِ وَ الْقَضِيْبِ وَ كُلُّ آلِةٍ يُسْتَخْرَجُ مِنْهَا صَوْتٌ مُسْتَطَابٌ مَوْزُوْنٌ سِوَى مَا يَعْتَادُهُ أَهْلُ الشُّرْبِ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ لاَ يَتَعَلَّقُ بِالْخَمْرِ وَلاَ يُذَكِّرُبِهَا وَلاَ يُشَوِّقُ إِلَيْهَا وَلاَ يُوْجَدُ التَّشَبُّهُ بِأَرْبَابِهَا فَلَمْ يَكُنْ فِي مَعْنَاهَا فَبَقِيَ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ قِيَاسًا عَلَى صَوْتِ الطُّيُوْرِ وَغَيْرِهَا.
فَيَنْبَغِي أَنْ يُقَاسَ عَلَى صَوْتِ الْعَنْدَلِيْبِ الْأَصْوَاتُ الْخَارِجَةُ مِنْ سَائِرِ الْأَجْسَامِ بِاخْتِيَارِ اْلأَدَمِيِّ كَالَّذِي يَخْرُجُ مِنْ حَلْقِهِ أَوْ مِنَ الْقَضِيْبِ وَالطَّبْلِ وَالدَّفِّ وَ غَيْرِهِ وَ لاَ يُسْتَثْنَى عَنْ هَذِهِ الاَّ الْمَلاَهِي وَالْأَوْتَارُ وَالْمَزَامِيْرُ الَّتِي وَرَدَ الشَّرْعُ بِالْمَنْعِ عَنْهَا.
“Seperti kendang dan drum serta semua alat yang dipergunakan untuk mengeluarkan suara yang merdu yang teratur dan berirama, kecuali yang biasa digunakan oleh peminum minuman keras, karena semua itu tidak berhubungan dengan minuman keras dan tidak mengingatkannya, tidak membuat kerinduan kepadanya, serta tidak ada keserupaan dengan empunya sehingga tidak termasuk dalam pengertiannya (yang diharamkan) dan hukumnya menjadi mubah sebagaimana hukum asli, sesuai dengan yang diqiyaskan pada suara burung dan lainnya.
Maka seyogyanya diqiyaskanlah pada suara burung bul-bul, semua suara-suara yang keluar dari anggota tubuh manusia sesuai dengan kehendaknya seperti yang keluar dari tenggorokannya atau dari kendang, drum, rebana, dan lainnya. Tidak terkecuali semua alat-alat hiburan, aneka macam gitar dan seruling, karena telah ada larangan dari syara’ terhadapnya”.
2 Ihya’ Ulum al-Din[35]:
وَ قَالَ أَيْضًا: وَبِهَذِهِ الْعِلَّةِ يَحْرُمُ ضَرْبُ الْكَوْبَةِ وَ هُوَ طَبْلٌ مَسْتَطِيْلٌ رَقِيْقُ الْوَسْطِ وَاسِعُ الطَّرَفَيْنِ وَ ضَرَبَهَا عَادَةُ الْمُخَنِّثِيْنَ، وَلَولاَ مَا فِيْهِ التَّشْبِيْهُ لَكَانَ مِثْلُ طَبْلِ الْحَجِيْجِ وَ الْغُزُوِّ.
“Imam al-Ghazali berpendapat: Dengan illat ini, hukumnya haram memukul al-kubah, yaitu suatu alat musik sejenis gendang yang berbentuk memanjang, di arah tengah agak tipis, sedang dua sisi ujungnya agak luas, yang pada kebiasaannya jenis alat musik ini ditabuh oleh banci. Andaikan musik ini tidak digunakan oleh waria (lelaki yang bergaya perempuan), niscaya secara fungsional tidak berbeda dengan gendang atau terompet yang digunakan jamaah haji atau kendang perang”.
23. Permainan Untuk Melatih Otak Seperti Catur
S : Bagaimana hukumnya permainan guna melatih otak seperti main catur dan sebagainya?
J : Segala macam permainan guna melatih otak seperti main catur dan lain-lain apabila tidak menimbulkan kerusakan dan tidak dipergunakan berjudi, itu hukumnya makruh. Adapun permainan yang bersifat menipu, seperti main dadu, main kodok-ula atau bang-jo (tombola) walaupun tidak terdapat untung rugi, maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab[36]:
وَفَارِقُ الْنَّرْدِ وَالشَّطْرَنْجِ يُكْرَهُ إِنْ خَلاَ عَنِ الْمَالِ بِأَنَّ مُعْتَمَدَهُ الْحِسَابُ الدَّقِيْقُ وَالْفِكْرُ الصَّحِيْحُ فَفِيْهِ تَصْحِيْحُ الْفِكْرِ وَنَوْعٌ مِنَ التَّدْبِيْرِ وَمُعْتَمَدُ النَّرْدِ التَّخْمِيْنُ الْمُؤَدِّى إِلَى غَايَةٍ مِنَ السَّفَاهَةِ وَالْحَمْقِ. قَالَ الرَّافِعِي مَا حَاصِلُهُ وَيُقَاسُ بِهِمَامَا فِي مَعْنَاهُمَا مِنْ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ وَكُلِّ مَا اعْتَمَدَ الْفِكْرَ وَالْحِسَابَ كَالْمِنْقَلَةِ وَالسِّيْجَةِ وَهِيَ حَفْرٌ أَوْ خُطُوْطٌ يُنْقَلُ مِنْهَا وَإِلَيْهَا الْحَصَى بِالْحِسَابِ لاَ يَحْرُمُ.
وَ كُلُّ مَا مُعْتَمَدُهُ التَّخْمِيْنُ يَحْرُمُ.
“Perbedaan antara permainan dadu dan catur. Catur hukumnya makruh jika tidak taruhan, sebab permainan catur adalah perhitungan yang cermat dan olah pikir yang benar, permainan catur dapat menimbulkan unsur penggunaan pikiran dan pengaturan strategi yang benar. Sedangkan permainan dadu adalah berdasar pada spekulasi yang menyebabkan kebodohan dan kedunguan.
Menurut Imam Rafi’i, hukum dadu dan catur tersebut bisa dianalogkan pada semua bentuk permainan dan segala hal yang berdasarkan pikiran dan hitung-hitungan, seperti al-Minqalat dan al-Sijah (jenis permainan di Arab) yakni permainan dengan membentuk garis dan lobang-lobang untuk mengisi bebatuan yang dilakukan dengan perhitungan tersendiri. Permainan semacam ini tidak haram.
Sedangkan semua permainan yang berdasarkan untung-untungan hukumnya haram”.
24. Gerak Badan Seperti Angkat Besi
S : Bagaimana hukumnya gerak badan seperti renang, mengangkat besi dan jalan kaki?
J : Segala macam gerak badan itu hukumnya boleh, asalkan tidak menimbulkan kerusakan dan tidak dipergunakan untuk berjudi serta bukan menjadi tanda-tanda orang fasiq dan pada umumnya berjalan dengan baik tidak membahayakan.
Keterangan dari kitab al-Bajuri ‘ala al-Fath al-Qarib[37]:
وَكَذَا سَائِرُ أَنْوَاعِ اللَّعْبِ الْخَطِيْرِ فَتَحْرُمُ إِنْ لَمْ تَغْلَبْ السَّلاَمَةُ وَتَحِلُّ إِنْ غَلَبَتْ السَّلاَمَةُ. لاَ لِلْمُسَابَقَةِ عَلَى الْبَقَرِ لأَنَّهَا تَحْرُمُ بِالْعِوَضِ وَتَحِلُّ بِلاَ عِوَضٍ كَمَا عُلِمَتْ وَمِثْلُهَا فِي هَذَا التَّفْصِيْلِ الصِّرَاعُ وَالشِّبَاكُ وَالْغَطْسُ بِالْمَاءِ وَالسِّبَاحَةُ وَالْمَشْيُ بِالأَقْدَامِ وَالْوُقُوْفُ عَلَى رِجْلٍ وَالْمُسَابَقَةُ بِالسُّفُنِ وَلَعْبُ نَحْوِ شَطْرَنْجِ وَكُرَةُ مَحْجَنٍ.
Semua permainan yang membahayakan dan tidak ada pelindung keselamatan hukumnya adalah haram. Tetapi kalau ada pelindung keselamatan hukumnya boleh. Demikian juga karapan sapi jika dengan taruhan hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan taruhan hukumnya boleh, seperti telah diketahui. Demikian halnya dengan gulat, Syibak , menyelam, berenang, berdiri di atas sebelah kaki, lomba perahu, permainan catur serta sepak takraw.
25. Pengertian “Lahwi” dan “Laghwi”
S : Apakah yang diartikan “Lahwu” dan “Laghwu”, dan bagaimana hukumnya orang yang mengerjakan?
J : “Lahwu” dan “Laghwu” ialah: Segala hal yang tidak memberi faedah pada orang yang mengerjakannya baik di dunia maupun di akhirat, dan tidak ada halangan apa-apa bila dikerjakan, asalkan hal tersebut tidak dilarang oleh agama dan tidak menyebabkan lupa kepada Tuhan, apabila demikian maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab:
1. Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala al-Jalalain[38]:
sebelum surat Fath tentang tafsir firman Tuhan yang artinya: “Bahwasanya kehidupan duniawi itu hanyalah la’ibu dan lahwu.”
قَالَ فِيْ تَفْسِيْرِ قَوْلِهِ تَعَالَي: إِنَّمَا الحَيَةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَ لَهْوٌ:
اللَّعِبُ مَا يُشْغِلُ الْإِنْسَانَ وَلَيْسَ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ فِي الْحَالِ وَالْمَالِ. وَاللَّغْوُ مَا يُشْغِلُ الْإِنْسَانَ عَنْ مُهِمَّاتِ نَفْسِهِ.
“Imam Ahmad al-Shawi mengemukakan tentang tafsir: Innama al-hayat al-dunya laibun wa lahwun:
Yang disebut dengan al-la’ibu (permainan) adalah, segala yang dilakukan seseorang tanpa ada manfaatnya sama sekali baik terhadap keadaan diri ataupun hartanya di dunia dan akhirat. Sedangkan yang disebut dengan al-laghwu (senda gurau) adalah segala yang dilakukan seseorang yang dapat membuat lupa pada kepentingan dirinya”.
2. Ihya’ Ulum al-Din[39]:
إِنَّهُ اَلْغِنَاءُ لَهْوٌ مَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ الْبَاطِلَ. فَقَوْلُهُ لَهْوٌ صَحِيْحٌ وَلَكِنْ اللَّهْوُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ لَهْوٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ فَلَعْبُ الْحَبَشَةِ وَرَقْصُهُمْ لَهْوٌ. وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ وَلاَ يَكْرَهُهُ بَلِ اللَّهْوُ وَاللَّغْوُ لاَ يُؤَاخِذُ اللهُ بِهِ.
“Sesungguhnya nyanyian/tarik suara itu termasuk lahwun yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Maka kata-kata lahwun itu sendiri tidak sampai pada hukum haram. Permainan orang-orang Habasyah dan tarian mereka termasuk lahwun. Rasulullah saw. pernah menyaksikannya dan tidak membencinya. Hal ini berarti termasuk lahwun yang tidak dimurkai oleh Allah”.
26. Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok
S : Bagaimana hukum tari-tarian dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?
J : Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak yang menyerupai gerak wanita bagi kaum laki-laki, dan menyerupai gerak laki-laki bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab:
1. Ithaf Sadat al-Muttaqin[40]:
وَلْنَذْكُرْ مَا لِلْعُلَمَاءِ فِيْهِ أَيْ فِي الرَّقْصِ مِنْ كَلاَمٍ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى كَرَاهَتِهِ مِنْهُمُ الْقَفَّالُ حَكَاهُ عَنْهُ الرُّوْيَانِيُّ فِي الْبَحْرِ. وَقَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ مَنْصُوْرِ تَكَلُّفُ الرَّقْصِ عَلَى الإِيْقَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّهُ لََعِبٌ وَلَهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ قَالَ الْفَوْرَانِي فِي كِتَابِهِ الْعُمْدَةِ الْغِنَاءُ يُبَاحُ أَصْلُهُ وَكَذَلِكَ ضَرْبُ الْقَضِيْبِ وَالرَّقْصُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ الرَّقْصُ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ فَإِنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةِ أَوِ اعْوِجَاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُحَرِّمُ الْمُرُوْءَةَ وَكَذَلِكَ قَالَ الْمَحَلِّي فِي الذَّخَائِرِ وَابْنُ الْعِمَادِ السَّهْرَوَرْدِي وَالرَّافِعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَمْرَيْنِ، السُّنَّةُ وَالْقِيَاسُ. أَمَّا السُّنَّةُ فَمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ قَرِيْبًا فِي زَفْنِ الْحَبَشَةِ وَحَدِيْثُ عَلِيُّ فِي حِجْلِهِ وَكَذَا جَعْفَرٍ وَزَيْدٍ. وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَكَمَا قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ حَرَكَاتٌ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ فَهِيَ كَسَائِرِ الْحَرَكَاتِ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى تَفْصِيْلٍ فَقُلْتُ إِنْ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإلاَّ فَلاَ بَأْسَ بِهِ وَهَذَا مَا نَقَلَهُ ابْنُ أَبِي الدَّمِ عَنِ الشَّيْخِ أَبِي عَلِيِّ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَكَذَا مَا نَقَلَهُ الْحَلِيْمِي فِي مِنْهَاجِهِ. وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّ فِيْهِ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ لُعِنَ الْمُتَشَبِّهُ بِهِنَّ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنُ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإِلاَّ فَلاَ. وَهَذَا مَا أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَحَكَاهُ فِي الشَّرْحِ الْكَبِيْرِ عَنِ الْحَلِيْمِي وَحَكَاهُ الْجِيْلِي فِي الْمُحَرَّرِ.
“Para ulama berbeda pendapat tentang tarian, sebagian ada yang memakruhkan seperti Imam al-Qaffal dan al-Rauyani dalam kitab al-Bahr. Demikian halnya menurut ustadz Abu Manshur, memaksakan tarian agar serasi dengan irama itu hukumnya makruh. Mereka berargumen bahwa nyanyian itu termasuk la’ibun dan lahwun yang dimakruhkan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tarian itu hukumnya mubah. Menurut al-Faurani dalam kitab al-Umdah, nyanyian itu pada dasarnya adalah mubah demikian pula permainan al-Qadlib, tarian dan yang semisalnya.
Menurut Imam al-Haramain, tarian itu tidak haram karena hanya sekedar gerakan olah gerak lurus dan goyang, akan tetapi jika terlalu banyak, dapat menyebabkan rusaknya kehormatan diri. Pendapat ini senada dengan al-Mahalli dalam kitab al-Dzakhair, Ibnu al-Imad al-Sahrawardi dan Imam al-Rafi’i. Pendapat ini juga yang menjadi pegangan pengarang al-Wasiith dan Ibnu Abi al-Dam.
Mereka beralasan dengan dua hal: Hadits dan Qiyas. Adapun hadits, adalah sebagaimana yang telah dijelaskan dari hadits Aisyah tentang tarian orang-orang Habasyah. Demikian halnya dengan hadits Ali tentang gerak lompatannya yang dilakukan bersama Ja’far dan Zaid. Adapun qiyasnya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Haramain bahwa gerakan-gerakan yang merupakan olah gerak lurus dan miring, sama dengan gerakan-gerakan lainnya.
Menurut sebagian ulama tarian tersebut harus dirinci, saya berpendapat (al-Zabidi), jika dalam tarian itu ada unsur goyang dan lenggak-lenggok (seperti perempuan), maka hukumnya makruh. Jika unsur tersebut tidak ada, maka tarian itu boleh (tidak apa-apa). Inilah yang dikuptip oleh Ibnu Abi al-Dam dari Syeikh Abu Ali bin Abu Hurairah.
Al-Halimi juga mengutip seperti itu dalam kitab Minhaj-nya. Mereka berargumen bahwa dalam tarian itu ada kecenderungan untuk bergaya perempuan, padahal orang yang meniru gaya perempuan itu dilaknat. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa tarian yang mengandung unsur goyang dan lenggak-lenggok (seperti perempuan), maka hukumnya haram. Jika unsur tersebut tidak ada, maka hukumnya tidak haram. Demikian yang disampaikan oleh Imam Rafi’i dalam kitab Syarah al-Shaghir dan beliau meriwayatkan statemen di atas dalam Syarah al-Kabir dari Imam Halimi, dan al-Jili meriwayatkan statemen tersebut dalam kitab al-Muharrar”.
2. Mauhibah Dzi al-Fad l [41]:
وَفِي الْبُخَارِي لَعَنَ اللهُ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ. قَالَ الْعَزِيْزِيُّ فَلاَ يَجُوْزُ لِرَجُلٍ تَشَبُّهٌ بِامْرَأَةٍ فِي نَحْوِ لِبَاسٍ أَوْ هَيْئَةٍ وَلاَ عَكْسُهُ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى.
“Al-Bukhari meriwayatkan hadits: “Allah melaknat laki-laki yang bergaya menyerupai perempuan, dan perempuan yang bergaya menyerupai laki-laki. Al-Azizi menyatakan: (oleh karena itu) laki-laki dilarang menyerupai perempuan dalam berpakaian atau pun tingkah lakunya, begitu juga sebaliknya (perempuan dilarang menyerupai laki-laki), karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah SWT”.
27. Menghitankan Anak Setelah Beberapa Hari dari Hari Kelahirannya
S : Bagaimana hukum menghitankan anak sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya? Boleh ataukah tidak? Sedangkan dalam kitab Khazinatul Asrar diterangkan bahwa menghitankan anak sebelum berumur 10 tahun tidak boleh.
J : Menhitankan sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya itu boleh. Adapun sunatnya adalah sesudah berumur 7 hari atau 40 hari atau umur 7 tahun.
Keterangan dari kitab Mauhibah Dzi al- Fadl [42]:
فَفِي التُّحْفَةِ فَإِنْ أَخَّرَ عَنْهُ أَي الْخِتَانَ عَنِ السَّابِعِ فَفِي اْلأَرْبَعِيْنَ وَإِلاَّ فَفِي السَّنَةِ السَّابِعَةِ لأَنَّهَا وَقْتُ أَمْرِهِ بِالصَّلاَةِ. أَمَّا مَا ذَكَرَهُ فِي خَزِيْنَةِ اْلأَسْرَارِ فَمَحْمُوْلٌ فِيْمَا إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ ضَعِيْفًا لاَ يَقْدِرُ الإِخْتِتَانَ إِلاَّ بَعْدَ عَاشِرِ سَنَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ.
“Dalam kitab al-Tuhfah Muhtaj diterangkan, jika seseorang melakukan khitan kepada anak kecil setelah lewat tujuh hari maka dapat dilakukan pada umur empat puluh hari, jika belum juga maka dapat dilakukan pada umur tujuh tahun karena telah sampai kepada waktu saat mulai diperintahkannya melaksanakan shalat. Adapun keterangan yang dimuat dalam kitab Khazinatul Asrar dipahami, anak kecil jika dalam kondisi lemah sehingga tidak bisa dikhitan kecuali setelah berumur sepuluh tahun, menurut pendapat para ahli”.[]
[1] ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad Al-Sya’rani, Al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthofa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, (Bairut: Darul Fikr, 1403/1983), Juz IV, h. 307.
[3] Sulamul Usul Syarh Nihayat al-Shul
[4] Al-Bakri Muhammad Syato al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t. t.), Juz I, h. 19.
[5] Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘Ala al-Minhaj, dalam al-Qulyubi ‘Umairah, (Bairut: Dar al-Fikr, Bairut, 1324/2003), Juz III, h. 308.
[6] Al-Sayid ‘Alawi al-Saqqaf, Al-Fawaid al-Makkiyah, dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, (Mesir: Musthafa al-Halabi), h. 53.
[7] Abu Ishaq al-Syirazi, al-Tanbih, dalam Syarh al-Tanbih al-Suyuti, (Bairut: Dar al-Fikr, 1416/1996), Cet.I, Juz II, h. 639.
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Bairut: Dar al-Fikr, 1420/2000), Cet. 1, Juz III, h. 96.
[9] Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniya ‘ala Bafadlal, (Singapura: al-Haramain) Juz I, h. 327
[10] Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniya ‘ala Bafadlal, (Singapura: al-Haramain) Juz I, h. 326
[11] Muhyiddin al-Nawawi, Khulashah al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1428/2002), Cet. 1, Juz II, h. 383.
[12] Muhammad al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra), h. 92.
[13] Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir (Marah Labid), (Mesir: Matba’ah Isa al-Halabi, 1314 H), Juz I, h. 344.
[14] Musthafa al-Dzahabi , Taqrir Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1226 H), Juz II, h. 109.
[15] Abu Bakr Ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah al-Kubra, (Bairut: ‘Alam al-Kutub), Juz 8, h.47.
[16] Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir (Marah Labid), (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi, 1314 H), Juz I, h. 140.
[17] Al-Qulyubi, al-Qulyubi ‘Ala al-Mahalli,, (Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2003), Juz III, h. 228.
[18] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, (Singapura-Jeddah: Matba’ah al-Haramain), Juz II, h. 65.
[19] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, ibid, h. 64.
[20] Zain al-Din al-Malaibari, Fath al-Mu’in, op. cit, Juz II, h. 70-71.
[21] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, op. cit, Juz II, h. 64.
[22] Al-Bakri ibn Muhammad Syatha al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Maktabah Sulaiman Mar’I, t.th), Juz II, h. 87.
[23] Nasiruddin al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Mesir: Matbaah Musthafa al-Halabi, 1358/1939), Cet. 1, Juz II, h. 7.
[24] Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Mesir: Matbaah Musthafa al-Halabi, 1357/1938), Juz III, h. 40.
[25] Zakariya ibn Muhammad al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Bairut: Maktabah Dar al-Fikr, 1422/2002), Juz I, h. 118.
[26] Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Malaibari dan al-Bakri Muhammad Satho al-Dimyati, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Singapura: Maktabah Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 120.
[27] Zainuddin al-Mailibari, Fath al-Mu’in dan Alawi As-Saqqaf, Tarsyih al-Mustafidin, (Baerut: Dar al-Fikr, tth), h. 124
[28] Zain Al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Malaybari, Fath al-Mu’in dalam I’anah al-Thalibin, op. cit, Juz III, h. 361-362.
[29] Muhammad Babashil, Is’ad ar-Rafiq, (Singapura: al-Haraimain), Juz II, h. 103.
[30] Al-Bakri ibn Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 145.
[31] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, op. cit, Juz II, h. 7.
[32] Imam Abu Ishaq al-Syirazi, Al-Muhadzab, (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi), Juz I, h. 464.
[33] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Baerut: Maktabah Dar al-Fikr), Juz VI, h. 474.
[34] Murtadla al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Bairut: Maktabah dar al-Fikr), Juz VI, h. 474 dan 472.
[35] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, op. cit, Juz VI, h. 473.
[36] Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, (Bairut: Dar al-Fikr), Juz V, h. 379-380.
[37] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 306-307.
[38] Ahmad Ash-Shawiy al-Malikiy, Hasyiyah ash-Shawiy ‘ala al-Jalalain, (Mesir: Isa al-Halabi), Juz IV, h. 79.
[39] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi), Juz II, h. 281.
[40] Muhammad Murtadla al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, op. cit, Juz VI, h. 567.
[41] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Juz IV, h. 713.
[42] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Juz IV, h. 706.
S : Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?
J : Pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan). Empat madzhab itu ialah:
a. Madzhab Hanafi
Yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.)
b. Madzhab Maliki
Yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan wafat pada tahun 179 H.)
c. Madzhab Syafi’i
Yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, (lahir di Ghozzah, Palestina pada tahun 150 H. dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.)
d. Madzhab Hanbali
Yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 241 H.)
Keterangan, dari kitab:
1. Al-Mizan al-Kubra[1]:
كَانَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْخَوَّاصِ رَحِمَهُ اللهُ إِذَا سَأَلَهُ إِنْسَانٌ عَنِ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ الآنَ. هَلْ هُوَ وَاجِبٌ أَوْ لاَ. يَقُوْلُ لَهُ يَجِبُ عَلَيْكَ التَّقَيَّدِ بِمَذْهَبٍ مَا دُمْتَ لَمْ تَصِلْ إِلَى شُهُوْدِ عَيْنِ الشَّرِيْعَةِ الْأُوْلىَ خَوْفًا مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الضَّلاَلِ وَ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْيَومَ.
“Tuanku yang mulia Ali al-Khawash rahimahullah, jika ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: “Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.”
2. Al-Fatawa al-Kubra[2]
وَ بِأَنَّ التَّقْلِيْدَ مُتَعَيَّنٌ لِلْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ. وَ قَالَ لأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ اِنْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهَا وَ تَخْصِيْصُ عَامِّهَا بِخِلاَفِ غَيْرِهِمْ.
“Sesungguhnya ber-taqlid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain”.
3. Sullamul Usul[3]:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : " اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ ". وَ لَمَّا اِنْدَرَسَتْ المَذَاهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا إِلاَّ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ الَّتِى انْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اتِّبَاعُهَا اتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَ الْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأًعْظَمِ.
“Nabi Saw. Bersabda: “Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali imam empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti “mayoritas”, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari “mayoritas”.
2. Pendapat Tokoh (Imam) yang Boleh Difatwakan
S : Pendapat siapakah yang dapat/boleh dipergunakan untuk berfatwa di antara pendapat-pendapat yang berbeda dari ulama Syafi’iyyah?
J : Yang boleh/dapat dipergunakan berfatwa ialah:
a. Pendapat yang terdapat kata sepakat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
b. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi saja.
c. Pendapat yang dipilih oleh Imam Rafi’i saja.
d. Pendapat yang disokong oleh ulama terbanyak.
e. Pendapat ulama yang terpandai.
f. Pendapat ulama yang paling wira’i.
Keterangan dari:
1. I’anah al-Thalibin [4]:
إِنَّ الْمُعْتَمَدَ فِى الْمَذْهِبِ لِلْحُكْمِ وَ الْفَتْوَى مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ فَمَا جَزَمَ النَّوَوِيُّ فَالرَّافِعِيُّ فَمَا رَجَّحَهُ الْأَكْثَرُ فَالْأَعْلَمُ فَالْأَوْرَعُ.
( فَإِنْ قُلْتَ ) مَا الَّذِي يُفْتَى بِهِ مِنَ الْكُتُبِ وَ مَا الْمُقَدَّمُ مِنْهَا وَ مِنَ الشُّرُوْحِ وَ الْحَوَاشِيْ كَكُتُبِ ابْنِ حَجَرٍ وَالرَّمْلِيَيْنِ وَشَيْخِ الْإِسْلاَمِ وَالْخَطِيْبِ وَابْنِ الْقَاسِمِ وَالْمَحَلِّي وَالزِّيَادِي وَالشِّبْرَامَلِيْسِي وَابْنِ زِيَادٍ الْيَمَنِي وَالْقَلْيُوْبِي وَغَيْرِهِمْ فَهَلْ كُتُبُهُمْ مُعتَمَدَةٌ أَوْ لاَ؟ وَ هَلْ يَجُوْزُ الأَخْذُ بِقَوْلِ كُلٍّ مِنَ الْمَذْكُوْرِيْنَ إِذَا اخْتَلَفُوْا أَوْ لاَ؟
( اَلْجَوَابُ ) كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَجْوِبَةِ الْعَلاَّمَةِ الشَّيْخِ سَعِيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ سُنْبُلِ اَلْمَكِّيِّ وَ الْعُمْدَةُ عَلَيْهِ: كُلُّ هَذِهِ الْكُتُبِ مُعْتَمَدَةٌ وَ مُعَوَّلٌ عَلَيْهَا, لَكِنْ مَعَ مُرَاعَاةِ تَقْدِيْمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ, وَاْلأَخْذُ فِي الْعَمَلِ لِلنَّفْسِ يَجُوْزُ بِالْكُلِّ. وَ أَمَّا الإِفْتَاءُ فَيُقَدَّمُ مِنْهَا عِنْدَ الإِخْتِلاَفِ: التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ فَإِنِ اخْتَلَفَا فَيُخَيَّرُ الْمُفْتِي بَيْنَهُمَا اِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلتَّرْجِيْحِ فَإِنْ كَانَ أَهْلاً لَهُ فَيُفْتِي بِالرَّاجِحِ.
“Sesungguhnya yang dijadikan pedoman yang kuat dalam madzhab (al-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah (1) yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Rafi’i, (2) yang ditetapkan oleh Imam Nawawi, (3) yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, (4) yang diunggulkan oleh mayoritas ulama, (5) oleh orang yang paling alim, (6) oleh orang yang paling saleh (wara’i)”.
“Apabila kamu bertanya: Kitab-kitab apa saja yang dapat dijadikan pedoman untuk berfatwa dan mana yang didahulukan: syarah-nya dan hasyiyah-nya, seperti kitab karangan Ibnu Hajar al-Haitami, dua al-Ramli (Syihabuddin al-Ramli dan Syamsuddin al-Ramli), Syaikh al-Islam (Zakaria al-Anshari), al-Khatib, Ibnu Qasim, al-Mahalli, al-Ziyadi, al-Syibramalisi, Ibnu Ziyad al-Yamani, al-Qalyubi, Syaikh Khadir dan yang lainnya, apakah kitab-kitab mereka ini dapat dijadikan pedoman atau tidak? Dan apakah boleh atau tidak mengambil pendapat dari masing-masing ulama itu jika mereka berbeda pendapat”?
Jawabannya: adalah sebagaimana jawaban al-‘Allamah Sa’id bin Muhammad Sunbul al-Makky bahwa seluruh kitab-kitab tersebut dapat dijadikan pedoman dan rujukan, akan tetapi dengan memperhatikan mana yang didahulukan. Sedangkan manakala untuk diri sendiri yang mengamalkannya maka boleh menggunakan keseluruhannya. Adapun dalam memberikan fatwa, jika terjadi perbedaan pendapat, maka mendahulukan kitab Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj . Jika keduanya berbeda pendapat, maka seorang mufti dapat mengambil salah satunya apabila ia bukan ahli tarjih (mampu mengunggulkan salah satunya). Jika ia ahli tarjih maka ia berfatwa dengan pendapat yang rajah (yang dipandang lebih unggul), kemudian pendapat Syaikh al-Islam dalam kitabnya Syarh al-Bahjah dan kitab Syarh Manhaj al-Thullab, akan tetapi di dalamnya terdapat hukum masalah yang dla’if”.
3. Membuat Keputusan Berdasarkan Pendapat Kedua
S : Bolehkah hakim memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) dalam masalah Syiqaq (perselisihan antara suami istri)?
J : Boleh. Hakim diperbolehkan memberi keputusan dengan mempergunakan pendapat kedua (al-qauluts tsani) apabila untuk kemaslahatan suami-istri dan tidak terdapat jalan lain kecuali dengan mempergunakan al-qauluts tsani tersebut.
Keterangan dari kitab:
1. Al-Mahalli ‘ala al-Minhaj[5]:
وَ يُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إِنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَ عَلَى الثَّانِي لاَ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ. وَ إِذَا رَأًى حُكْمُ الزَّوْجِ الطَّلاَقَ اسْتَقَلَّ بِهِ وَ لاَ يَزِيْدُ عَلَى طَلْقَةٍ.
“Kedua juru runding berhak memisahkan keduanya (suami-istri) jika mereka memandang perpisahan tersebut sebagai hal yang benar. Menurut (pendapat) yang kedua, dengan mengirim dua juru runding tersebut berarti kerelaan suami istri, tidak disyaratkan jika suami adalah “bercerai” (thalaq), maka ia punya otoritas untuk itu, tetapi tidak boleh lebih dari satu thalaq”.
2. Al-Fawaid al-Makkiyah[6]:
نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ أَيْ الْقَضَاءُ وَ الْإِفْتَاءُُ بِالمَرْجُوْحِ لِحَاجَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ.
“Ya, memang berhak untuk memberikan keputusan dan fatwa dengan pendapat hukum yang tidak diunggulkan, karena pertimbangan sesuatu keperluan atau kemaslahatan umum”.
3. Al-Tanbih[7] :
وَ هُمَا حُكْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْحَاكِمِ فِى الْقَوْلِ الْآخَرِفَيَجْعَلُ الْحَاكِمُ ،إِلَيْهِمَا الْإِصْلاَحَ أَوِ التَّفْرِيْقَ مِنْ غَيْرِ رِضَا الزَّوْجَيْنِ أَوْ اَحَدِهِمَا وَ هُوَ الْأَصَحُّ.
“Keduanya merupakan ketetapan hukum dari pihak hakim dari pendapat yang lain. Maka hakim boleh menetapkan “damai” atau “pisah” (thalaq) tanpa kerelaan suami-istri atau salah satunya. Pendapat ini adalah yang paling benar”.
4. Shalat Sunat Sebelum Shalat Jum’at
S : Apakah ada shalat sunnah qabliyah bagi shalat Jum’at?
J : Ada. Sebelum shalat Jum’at disunnatkan shalat sunat qabliyah seperti shalat Zhuhur, karena sabda Rasulullah Saw. Dalam hadis shahih.
Keterangan dari kitab:
1. Fath al-Bari[8]
وَ أَقْوَى مَا يُتَمَسَّكُ بِهِ فِيْ مَشْرُوْعِيَّةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ عُمُوْمُ مَا صَحَّحَهُ ابْنِ حِبَّانِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوْعًا: مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيَْهَا رَكْعَتَانِ.
“Dalil paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum Jum’at adalah hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “Tidak ada suatu shalat fardlu pun kecuali sebelumnya dilaksanakan shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.
2. Al- Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlali[9]:
وَرَأَيْتُ نَقْلاً عَنْ شَرْحِ الْمِشْكَاةِ لِمُلَا عَلي الْقَارِيْ مَا نَصُّهُ: وَقَدْ جَاءَ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ كَمَا قَالَهُ الحَافِظْ العِرَاقِيْ: أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى قَبْلَهَا أَربَعًا.
“Saya mencatat dari syarah al-Misykat karangan Mula Ali al-Qari: Sesungguhnya terdapat sanad yang kuat seperti dikemukakan oleh al-Hafizh al-Iraqi: Bahwasannya Nabi saw. melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Jum’at”.
3. Al-Hawasyi al-Madaniyah al-Kurdi ‘ala Bafadlal[10]:
وَ رَوَى أَبُوْ دَاوُدُ وَابْنُ حِبَّانٍ مِنْ طَرِيْقِ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانََ ابْنُ عُمَرُ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الجُمْعَةِ وَ يُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ وَ يُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
“Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Ayub dari Nafi’: Adalah Ibnu Umar memperpanjang shalat sebelum shalat jum’at dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya di rumahnya. Dan ia mengatakan: bahwa Nabi saw. juga melakukan hal yang demikian itu”.
4. Khulashah al-Ahkam[11]:
قَالَ النَوَوِيُ فِيْ الخُلاَصَةِ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيْ. وَ قَالَ الْعِرَاقِيُ فِيْ شَرْحِ التِّرْمِذِيْ: إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ. وَقَالَ الحَافِظُ إِبْنُ المُلْقِنِ فِيْ رِسَالَتِهِ: اِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ لَا جَرَمَ. وَ أَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانِ فِيْ صَحِيْحِهِ.
“(Tentang hadis ini) Imam Nawawi dalam al-Khulashah menilainya sebagai hadis sahih sesuai dengan syarat Bukhari. Al-Iraqi dalam Syarah Tirmidzi menyatakan sanadnya (perawinya) sahih. Demikian pula al-Hafizh ibn al-Mulqin dalam Risalahnya menyatakan: Isnad hadis ini sahih dan tidak ada cacat. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam kitab Sahihnya”.
5. Zakat untuk Pembangunan Masjid
S : Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah-madrasah atau pondok-pondok (asrama-asrama), karena semua itu termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J : Tidak boleh, karena yang dimaksud dengan “Sabilillah” ialah, mereka yang berperang di jalan Allah (Sabilillah). Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah dha’if (lemah).
Keterangan dari kitab:
1. Rahmatul Ummah[12]:
وَ اتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ الْإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ أَوْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ.
“Para ulama sepakat atas larangan menggunakan hasil zakat untuk membangun masjid atau mengkafani mayit”.
1. Tafsir Munir (Marah Labid)[13]
وَ نَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعٍ وُجُوْهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتَى وَ بِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَ عِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ لأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: "فِي سَبِيْلِ اللهِ" عَامٌ فِى الْكُلِّ.
“Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fiqh bahwasannya mereka memperbolehkan penggunaan hasil shadaqah/zakat bagi semua jalur kebaikan, seperti pengkafanan mayit, pembangunan benteng dan imarah (pengelolaan) masjid, karena firman Allah “fi sabilillah” bersifat umum mencakup keseluruhan (jalur kebaikan)”.
6. Gono-gini (Hasil Usaha Suami-Istri)
S : Bolehkah memberi “gono-gini” (ialah hasil usaha kedua belah pihak suami-istri) baik masing-masing mempunyai andil kapital ataupun tidak mempunyai, tetapi tidak dapat dibeda-bedakan hasil masing-masing (tercampur menjadi satu).
J : Muktamar memutuskan: Bahwa memberi “gono-gini” itu boleh menurut yang diterangkan dalam Taqrir Musthafa al-Dzahabi ‘ala Hasyiyah al- Syarqawi[14]:
(فَرْعٌ) إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِي لَمَّةٍ إِنْ كَانَ لِكُلٍّ مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَ اكْتَسَبَا فَإِنْ تَمَيَّزُ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَ إِلاَّ اِصْطَلَحَا فَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَ لِلْبَاقِيْنَ الْأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغَيِّنِ لِوُجُوْدِ الْإِشتِرَاكِ.
“Jika (suami-istri) pernah bersama dalam suka-duka, maka jika masing-masing punya harta atau salah satunya tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika terjadi penambahan pada harta milik salah satu dari keduanya, walaupun pertambahan itu sedikit, maka masing-masing memperoleh bagiannya, karena adanya persekutuan. Sedangkan yang lain memperoleh upah”.
7. Pengertian “Rusydan”
S : Apakah yang dimaksud dengan kata “Rusyd” dalam firman Allah: Rusydan. Apakah yang dimaksud “Rusyd” itu pandai dalam segala hal?
J : Yang dimaksud dengan kata “Rusyd” dalam firman Allah Swt. Tersebut di atas ialah “pandai” dalam menasarufkan dan menggunakan harta kekayaan, walaupun masih hijau dan bodoh dalam soal agama.
Keterangan, dari kitab:
1. Thabaqatus Syafi’iyyah[15]:
وَ تَرْتَفِعُ الْحَجَرُ عَمَّنْ بَلَغَ رَشِيْدًا فِي مَالِهِ وَ إِنْ بَلَغَ سَفِيْهًا فِي دِيْنِهِ.
“Larangan mempergunakan harta itu dicabut dari orang yang sudah dewasa dan pandai, walaupun bodoh dalam beragama”.
2. Tafsir Munir (Marah Labid)[16]:
(قَالَ) فِي تَفْسِيْرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: فَإِنْ أَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا (النساء: 6)، أَيْ اهْتِدَاءً إِلَى وُجُوْهِ التَّصَرُّفَاتِ مِنْ غَيْرِ تَبْذيْرٍ وَ عَجْزٍ عَنْ خَدِيْعَةِ الْغََيْرِ.
“(Syekh Nawawi) dalam menafsirkan firman Allah “fa in anastum minhum rusydan” (jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) (QS. Al-Nisa’: 6), yakni telah pandai dalam mengelola harta tanpa mubadzir dan tidak lemah dari tipu daya orang lain”.
8. Orang Fasik Menjadi Wali Nikah
S : Bolehkan seorang yang tidak mengerjakan ibadah shalat menjadi wali nikah anak perempuannya? Apabila tidak boleh, maka siapakah yang berhak menjadi wali pernikahan itu? Hakimnya ataukah lainnya?
J : Seorang fasik karena tidak mengerjakan shalat fardhu atau karena lainnya, menurut madzhab Syafi’i tidak sah menjadi wali menikahkan anak perempuannya. Tetapi menurut pendapat kedua (al-qauluts tsani) sah menjadi wali nikah.
Keterangan dari kitab al-Qalyubi ‘Alal Mahalli[17]:
(وَلاَ وِلاَيَةَ لِفَاسِقٍ عَلَى الْمَذْهَبِ) قَالَ المَحَلِّى: وَ الْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَلِي لِأَنَّ الْفَسَقَةَ لَمْ يُمْنَعُوْا مِنَ التَّزْوِيْجِ فِى عَصْرِ الْأَوَّلِيْنَ.
“Menurut madzhab (Syafi’i, yang pertama) orang fasik tidak boleh menjadi wali. Menurut al-Mahalli, pendapat kedua, bahwa orang fasik boleh menjafi wali, karena orang-orang fasik pada masa awal Islam tidak dilarang untuk mengawinkannya”.
9. Pemandu Khutbah Membaca Shalawat dengan Suara Keras dan Panjang
S : Bagaimana apabila seorang pemandu Khutbah (protokol Khutbah) dengan suara keras membaca shalawat antara dua Khutbah? Dan apabila shalawatnya panjang, apakah berarti memutuskan muwalat (kesinambungan) antara kedua khutbah itu?
J : Membaca shalawat antara dua Khutbah dengan suara keras itu adalah “bid’ah hasanah”, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila shalawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) diperkirakan waktunya cukup untuk dua rakaat.
Keterangan dari kitab:
1. Al- Hawasyi al-Madaniyah [18]:
فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَأَةَ الْمُرَقِّي بَيْنَ يَدَيِّ الْخَطِيْبِ إِنَّ اللّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ إلخ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالحَدِيْثِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ.
“Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu Khutbah) di depan khatib: Inna Allaha wa malaikatahu (dst), lalu ia membaca hadits adalah termasuk bid’ah hasanah”.
2. Al-Hawasyi al-Madaniyah [19]:
(قَوْلُهُ الوَلاَءُ) الَّذِي يُخِلُّ بِهِ هُنَا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَ مَا دُوْنَهُ لاَ يُخِلُّ بِالْوَلاَءِ.
“(Yang dimaksud dengan al-wala’/menyambung) ialah p erbuatan yang dilakukan antara dua khutbah melebihi masa waktu melaksanakan shalat dua rakaat yang cepat maka dapat merusak kesinambungan. Jika kurang dari itu maka tidak merusak kesinambungan khutbah itu”.
3. Fath al-Mu’in[20]
وَ وَلاَءٌ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهَمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلاَةِ بِأَنْ لاَ يُفْصَلَ طَوِيْلاً عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلاَلَ الْمُوَالاَةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ فَلاَ يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهَذَا هُنَا وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.
“Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua Khutbah Jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua Khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) di antara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan shalat dua rakaat, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf)”.
10. Menerjemahkan Khutbah Jum’at Selain Rukunnya
S : Bolehkah menerjemahkan Khutbah Jum’at selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja, atau beserta terjemahannya? Apabila yang terbaik beserta terjemahannya, apa faedahnya?
J : Menerjemahkan Khutbah Jum’at selain rukunnya itu boleh, sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i. Muktamar ini memutuskan: bahwa yang terbaik adalah Khutbah dengan bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya ialah: supaya hadirin mengerti petuah-petuah yang ada dalam Khutbah.
Keterangan dari kitab Hawasyi al-Madaniyah [21]:
وَ كَوْنُهُمَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَ إِنْ كََانَ الْكُلُّ أَعْجَمِيِّيْنَ لِإِتْبَاعِ السَّلَفِ وَ الْخَلَفِ (قَوْلُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ) أَي الْأًرْكَانُ دُوْنَ مَا عَدَاهَا قَالَ سم: يُفِيْدُ أَنَّ كَوْنَ مَا عَدَا الْأَرْكَانَ مِنْ تَوَابِعِهَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لاَ يَكُوْنُ مَانِعًا مِنَ الْمُوَالاَةِ.
“Karena untuk mengikuti ulama salaf dan khalaf maka kedua Khutbah menggunakan bahasa Arab, meskipun seluruh (jamaah) orang-orang non Arab (‘ajami). Ketentuan dengan bahasa Arab tersebut (hanya) pada rukun-rukun Khutbah dan bukan yang lain. Berkata Sibro Malisi: Hal ini berarti bahwa di luar rukun Khutbah, yakni hal-hal yang masih terkait dengan Khutbah yang disampaikan tidak dengan bahasa Arab, tidak menjadi penghalang adanya kesinambungan Khutbah”.
11. Membaca Shalawat atau Taradhdhi dengan Suara Keras
S : Apakah hukumnya menyerukan “taradhdhi” (membaca radhiyallahu ‘anhu) atau membaca “shalawat” dengan suara keras sewaktu khotib menyebutkan nama-nama sahabat atau nama Rasulullah Saw.?
J : Membaca “shalawat” sewaktu khotib menyebutkan nama Rasulullah Saw. dengan suara keras itu hukumnya “sunat” asalkan tidak keterlaluan, demikian pula membaca “taradhdhi” asalkan tidak keras. Apabila keterlaluan membaca “shalawat”, hukumnya makruh (asalkan tidak menimbulkan tasywisy). Dan apabila sampai menimbulkan tasywisy hukumnya “haram”.
Keterangan dari kitab I’anatut Thalibin[22]:
وَ يُسَنُّ تَشْمِيْطُ الْعَاطِسِ وَ الرَّدُّ عَلَيْهِ وَ رَفْعُ الصَّوْتِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ بِالصَّلاَةِ وَ السَّلاَمِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبُ اسْمَهُ وَ وَصْفَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ. (قَوْلُهُ وَ رَفْعُ الصَّوْتِِ) أَي وَ يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ حَالَ الْخَطِبَةِ. (قَوْلُهُ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ) امَّا مَعَهَا فَيُكْرَهُ. (وَ لاَ يُبْعَدُ نَدْبُ التَّرَضِّي عَنِ الصَّحَابَةِ بِلاَ رَفْْعِ صَوْتٍ) أَيْ تَرَضِّي السَّامِعيْنَ عَنْهُمْ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبِ أَسْمَائَهُمْ. أَمَّا مَعَ رَفْعِ الصَّوْتِ فَلاَ يُنْدَبُ لِأَنَّ فِيْهِ تَشْوِيْشًا.
“Disunatkan menjawab dan mendoakan orang yang bersin. Begitu juga disunahkan membaca shalawat dan salam untuk Nabi saw. dengan suara yang tidak terlalu keras ketika mendengar khatib menyebut nama dan sifat Rasulullah saw. Yang dimaksud “dengan suara keras” di sini adalah pada saat khutbah berlangsung. Sedang yang dimaksud “asalkan tidak keterlaluan” berarti apabila keterlaluan saat membacanya (shalawat dan salam), hukumnya menjadi makruh.
Demikian pula disunatkan membaca “taradhdhi” (radhiyallahu ‘anhu) dengan suara pelan ketika mendengar khatib menyebut nama shahabat Nabi saw. Namun tidak disunahkan membacanya dengan suara keras, karena dapat mengganggu orang lain (tasywisy)”.
12. Mengucapkan Insya Allah Ketika Khotib Mengucapkan Ittaqullah
S : Apakah hukumnya pernyataan pendengar Khutbah dengan mengucapkan “Insya Allah”, sewaktu khatib menyerukan “Ittaqullah”?
J : Hukumnya boleh. Asalkan tidak bermaksud menggantungkan takwa kepada kehendak Tuhan, karena ta’liq demikian itu berlaku terhadap apa yang akan dikerjakan. Seyogyanya tidak usah menyatakan ta’liq (insya Allah), karena bertobat dan bertakwa itu seharusnya dilaksanakan seketika.
Keterangan dari kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil[23]:
وَلاَ تَقُوْلَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ أَيْ اِلاَّ مُلْتَبِسًا بِمَشِيْئَتِهِ قَائِلاً إِنْ شَاءَ اللهُ بِمَعْنَى إِنْ يَأْذَنْ لَكَ فِيْهِ وَ لاَ يَجُوْزُ تَعْلِيْقُهُ بِفِاعِلٍ لِأَنَّ اسْتِثْنَاءَ اقْتِرَانِ الْمَشِيْئَةِ بِالْفِعْلِ غَيْرُ سَدِيْدٍ وَ اسْتِثْناءُ اعْتِرَاضِهَا دُوْنَهُ لاَ يُنَاسِبُ النَّهْيَ.
“Dan jangan sekali-kali Anda menyatakan saya akan melakukan hal tersebut besok, (tanpa menyatakan) kecuali jika Allah menghendaki”, yakni bahwa ia harus melibatkan kehendak Allah dalam arti: “Jika memang Allah menghendaki Anda melakukan hal tersebut”. Dan pelaku tidak diperkenankan pengecualian itu bersamaan dengan kehendak Allah tersebut untuk menggantungkankannya dengan perbuatan yang tidak tepat. Sedangkan pengecualian yang bertentangan dengan kehendak Allah itu tidak layak untuk dilarang”.
13. Memperbaharui Nisan dalam Kuburan Umum
S : Bagaimana hukumnya memperbaharui nisan dalam tanah kuburan umum?
J : Memperbaharui nisan sebelum mayatnya rusak itu hukumnya boleh. Adapun masa rusaknya mayat hingga menjadi tanah, menurut para ahli; ada yang berpendapat 15 tahun, ada pula yang berpendapat 25 tahun, atau 70 tahun, perbedaan tersebut mengingat perbedaan iklim.
Dan boleh memperbarui sesudah masa rusaknya mayat apabila tidak menghalangi untuk dipergunakan penguburan mayat baru, tetapi apabila menghalangi maka hukumnya haram.
Keterangan, dari kitab:
1. Nihayah al-Muhtaj[24]:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لِإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor) tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”.
2. Fath al-Wahhab[25]:.
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur”.
14. Memagari Kuburan dengan Tembok dalam Tanah Milik Sendiri
S : Bagaimana hukumnya membangun kuburan dan mengelilinginya (memagarinya) dengan tembok pada tanah kuburan milik sendiri?
J : Membangun kuburan dan memagari dengan tembok di tanah kuburan milik sendiri dengan tidak ada suatu kepentingan, hukumnya makruh.
Keterangan dari kitab Fath al-Mu’in[26]:
(وَ كُرِهَ بِنَاءٌ لَهُ) أَيْ لِلْقَبْرِ (أَوْ عَلَيْهِ) لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْهُ بِلاَ حَاجَةٍ كَخَوْفِ نَبْشٍ أَوْ حَفْرٍ سَبُعٍ أَوْ هَدْمِ سَيْلٍ وَ مَحَلُّ كَرَاهَةِ الْبِنَاءِ إِذَا كَانَ يَمْلِكُهُ فَإِنْ كَانَ بِنَاءُ نَفْسِ الْقَبْرِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ مِمَّا مَرَّ أَوْ نَحْوِ قُبَّةٍ عَلَيْهِ بِمُسَبَّلَةٍ إِلَى أَنْ قَالَ أَوْ مَوْقُوْفَةٍ حَرُمَ وَ هُدِّمَ وُجُوْبًا لِأَنَّهُ يَتَأَبَّدُ بَعْدَ انْمِحَاقِ الْمَيِّتِ. وَ قَالَ البُجَيْرِمِيُّ: وَاسْتَثْنَي بَعْضُهُمْ قُبُوْرَ الأَنْبِيَاءِ وَ الشُهَدَاءِ وَ الصَالِحِيْنَ وَ نَحْوِهِمْ.
“Karena ada ketegasan hadits shahih maka hukumnya makruh membangun suatu bangunan di atas kuburan, jika tidak ada keperluan, seperti kekhawatiran akan digali dan dibongkar oleh binatang buas, atau diterjang banjir. Kemakruhan tersebut jika kuburan itu berada di tanah miliknya sendiri. Sedangkan membangun kuburan tanpa satu keperluan, sebagaimana yang telah dijelaskan, atau memberi kubah di atas kuburan yang terletak di tanah yang landai, atau di tanah wakaf, maka hukumnya haram dan harus dihancurkan, karena bangunan tersebut berarti mengabadikan jenazah setelah kehancurannya. Menurut Imam al-Bujairimi: “sebagian ulama mengecualikan keberadaan bangunan kuburan pada kuburan para Nabi, para syuhada’, orang-orang shalih dan lainnya”.
15. Menghias Kuburan dengan Sutera
S : Bagaimana hukumnya menghias kuburan dengan sutera atau lainnya?
J : Menghias kuburan selain kuburan Rasulullah Saw. dengan sutera (harir) hukumnya haram dan dengan selain sutera hukumnya makruh.
Keterangan dari kitab Tarsyihul Mustafidin[27]:
وَ يُكْرَهُ وَ لَوْ لإِمْراَةٍ تَزْبِيْنُ غَيْرِ الْكَعْبَةِ كَمَشْهَدِ صَالِحٍ بِغَيْرِ حَرِيُرٍ وَ يَحْرُمُ بِهِ.
(قَوْلهُ غَيْرِ الكَعْبَةِ) أَمَّا هِيَ فَيَحِلُّ سَتْرُهَا بِالْحَرِيْرِ وَكَذَا قَبْرُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
“Makruh hukumnya walau bagi seorang perempuan memperindah (suatu tempat) kecuali Ka’bah, seperti kuburan orang shalih dengan selain sutera, dan haram jika dengan sutera.
Yang dimaksud selain Ka’bah, maka boleh menutupinya dengan sutera, demikian juga kuburan Nabi saw”.
16. Menggambar Binatang dengan Berbentuk Jisim yang Sempurna
S : Bolehkan membuat gambar binatang dengan berbentuk jisim yang sempurna? Dan bagaimanakah hukumnya permainan anak-anak (boneka)?
J : Membuat gambar binatang dengan berbentuk jisim yang sempurna, hukumnya tidak boleh (haram), karena menyerupai berhala. Adapun permainan anak-anak (boneka), hukumnya boleh.
Keterangan dari kitab:
1. Fath al-Mu’in[28]:
وَ مِنْهُ صُوْرَةُ حَيَوَانٍ مُشْتَمِلَةٍ عَلَى مَا يُمْكِنُ بَقَاؤُهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا نَظِيْرٌ كَفَرَسٍ بِأَجْنِحَةٍ وَ طَيْرٍ بِوَجْهِ إِنْسَانٍ عَلَى سَقْفٍ أَوْ جِدَارٍ أَوْ سَتْرٍ عُلِّقَ لِزِيْنَةٍ أَوْ ثِيَابٍ مَلْبُوْسَةٍ أَوْ وِسَادَةٍ مَنْصُوْبَةٍ لِأَنَّهَا تُشْبِهُ الْأَصْنَامَ.
نَعَمْ يَجُوْزُ تَصْوِيْرُ لَعْبِ الْبَنَاتِ لِأَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَلْعَبُ بِهَا عِنْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَمَا فِيْ مُسْلِمْ.
“Di antara (yang tidak diperbolehkan) adalah, gambar-gambar binatang yang lengkap (dalam bentuk) yang memungkinkannya bisa hidup, walaupun tidak ada padanannya (dalam realita) seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia di atas atap, dinding, tirai yang digantung untuk dekorasi, busana yang dikenakan, atau bantal, karena semuanya menyerupai berhala yang diharamkan.
(Namun) boleh menggambar mainan anak-anak putri, karena Aisyah pernah bermain boneka di samping Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim”.
2. Is’ad al-Rafiq[29]
وَ أَجْمَعُوْا عَلَى وُجُوْبِ تَغْيِيْرِ مَالَهُ ظِلٌّ قَالَ القَاضِي إِلاَّ مَا وَرَدَ فِي لُعَبِ الْبَنَاتِ الصِّغَارِ مِنَ الرُّخْصَةِ.
“Para ulama sepakat atas keharusan mengubah sesuatu yang mempunyai bayangan. Menurut Qadli Husain: kecuali pada mainan anak-anak putri (boneka) karena adanya keringanan”.
17. Pemberian Kepada Anak dengan Tidak Sepengetahuan Anak yang Lain
S : Apabila seorang bapak memberikan sesuatu kepada salah seorang anak yang taat, apakah pemberian itu dapat dilangsungkan dengan tidak sepengetahuan anak yang lain?
J : Pemberian tersebut dapat berlangsung dengan tiga syarat:
a. Tidak pada waktu sakit keras sampai ajalnya.
b. Sudah diterima oleh anak tersebut (anak yang taat) dan,
c. Tidak diminta kembali sebelum bapak meninggal dunia.
Keterangan, apabila pemberian tersebut dilakukan di waktu sakit terus ajalnya tiba atau di waktu tidak/sebelum sakit, tetapi belum diterima anaknya (anak yang taat) atau sudah diterima tetapi diminta kembali sebelum hak miliknya atas barang itu diserahkan, maka dalam keadaan seperti tersebut, pemberian itu tidak dapat dilangsungkan, kecuali dengan sepengetahuan dan seizin saudara-saudaranya yang lain.
Adapun pemberian dengan maksud menutup sebagian ahli waris dengan tidak untuk kepentingan syara’ (agama), maka pemberian tersebut hukumnya makruh, sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqih.
18. Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah
S : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?
J : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
Keterangan daari kitab:
1. I’anah al- Thalibin[30]:
وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
“Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.
2. Al-Fatawa al-Kubra[31]
(وَسُئِلَ) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
“Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya?
Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit.
Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Saw. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.
19. Sedekah Kepada Mayit
S : Dapat pahalakah sedekah kepada mayit?
J : Dapat!
Keterangan dari kitab Al-Muhadzdzab[32]:
رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ أُمِّيْ قَدْ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِيْ مِخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ إِنِّيْ قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَ عَنْهَا.
“Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa ada seseorang bertanya pada Rasulullah Saw.: “Sesungguhnya ibuku sudah meninggal, apakah bermanfaat baginya (kalau) aku bersedekah atas (nama)nya?” Rasulullah menjawab: “ya.” Orang itu kemudian berkata: “sesungguhnya aku memiliki sekeranjang buah, maka aku ingin engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya aku menyedekahkannya atas (nama)nya”.
20. Istri Menjadi Pelayan Di Rumah Suaminya dengan Tidak Pakai Upah
S : Seorang istri rasyidah (dewasa) yang menjadi pelayan di rumah suaminya dengan tidak ada perjanjian pemberian upah, apakah ia berhak menerima upah sepantasnya bila terjadi perceraian? Atau berhak menerima gono-gini?
J : Istri tersebut tidak menerima upah dan tidak berhak menerima gono-gini, apabila istri itu telah rasyidah dan tidak ada perjanjian sebelumnya dan tidak turut membantu usaha suaminya. Lain halnya jika istri tersebut tidak rasyidah, misalnya belum dewasa atau gila, maka ia berhak menerima upah sepantasnya dan upahnya menjadi utang yang dibebankan kepada suaminya, oleh karenanya maka harta peninggalannya tidak boleh diwaris sebelum ditunaikan utang tersebut, begitu pula sebaliknya, apabila suami tidak mempunyai mata pencaharian dan tidak mempunyai modal dalam mata pencaharian istrinya, maka suami tidak berhak menerima upah sepantasnya dan tidak menerima gono-gini, hal tersebut sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab fiqh.
21. Alat-alat Orkes untuk Hiburan
S : Bagaimana hukum alat-alat orkes (mazammirul-lahwi) yang dipergunakan untuk bersenang-senang (hiburan)? Apabila haram, apakah termasuk juga terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala dan seruling permainan anak-anak (damenan, Jawa)?
J : Muktamar memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang, terompet jamaah haji, seruling penggembala, dan seruling permainan anak-anak dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.
Keterangan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din[33]:
فَبِهَذِهِ الْمَعَانِي يَحْرُمُ الْمِزْمَارُ الْعِرَقِيُّ وَ الْأَوْتَارُ كُلُّهَا كَالْعُوْدِ وَ الضَّبْحِ وَ الرَّبَّابِ وَ الْبَرِيْطِ وَ غَيْرِهَا وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَيْسَ فِي مَعْنَاهَا كَشَاهِيْنٍ الرُّعَاةِ وَ الْحَجِيْجِ وَ شَاهِيْنٍ الطَّبَالِيْنَ.
“Dengan pengertian ini maka haramlah seruling Irak dan seluruh peralatan musik yang menggunakan senar seperti ‘ud (potongan kayu), al-dhabh, rabbab dan barith (nama-nama peralatan musik Arab). Sedangkan yang selain itu maka tidak termasuk dalam pengertian yang diharamkan seperti bunyi suara (menyerupai) burung elang yang dilakukan para penggembala, jama’ah haji, dan suara gendering”.
22. Alat-alat yang Dibunyikan dengan Tangan
S : Bagaimana hukumnya alat-alat yang dibunyikan dengan tangan?
J : Mukatamar memutuskan bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan, seperti rebana, dan sebagainya itu hukumnya mubah (boleh) selama alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasik kecuali kubah, yang telah ditetapkan haramnya dalam hadis (nash).
Keterangan dari kitab:
1. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin[34]:
وَكَالطَّبْلِ وَ الْقَضِيْبِ وَ كُلُّ آلِةٍ يُسْتَخْرَجُ مِنْهَا صَوْتٌ مُسْتَطَابٌ مَوْزُوْنٌ سِوَى مَا يَعْتَادُهُ أَهْلُ الشُّرْبِ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ لاَ يَتَعَلَّقُ بِالْخَمْرِ وَلاَ يُذَكِّرُبِهَا وَلاَ يُشَوِّقُ إِلَيْهَا وَلاَ يُوْجَدُ التَّشَبُّهُ بِأَرْبَابِهَا فَلَمْ يَكُنْ فِي مَعْنَاهَا فَبَقِيَ عَلَى أَصْلِ الْإِبَاحَةِ قِيَاسًا عَلَى صَوْتِ الطُّيُوْرِ وَغَيْرِهَا.
فَيَنْبَغِي أَنْ يُقَاسَ عَلَى صَوْتِ الْعَنْدَلِيْبِ الْأَصْوَاتُ الْخَارِجَةُ مِنْ سَائِرِ الْأَجْسَامِ بِاخْتِيَارِ اْلأَدَمِيِّ كَالَّذِي يَخْرُجُ مِنْ حَلْقِهِ أَوْ مِنَ الْقَضِيْبِ وَالطَّبْلِ وَالدَّفِّ وَ غَيْرِهِ وَ لاَ يُسْتَثْنَى عَنْ هَذِهِ الاَّ الْمَلاَهِي وَالْأَوْتَارُ وَالْمَزَامِيْرُ الَّتِي وَرَدَ الشَّرْعُ بِالْمَنْعِ عَنْهَا.
“Seperti kendang dan drum serta semua alat yang dipergunakan untuk mengeluarkan suara yang merdu yang teratur dan berirama, kecuali yang biasa digunakan oleh peminum minuman keras, karena semua itu tidak berhubungan dengan minuman keras dan tidak mengingatkannya, tidak membuat kerinduan kepadanya, serta tidak ada keserupaan dengan empunya sehingga tidak termasuk dalam pengertiannya (yang diharamkan) dan hukumnya menjadi mubah sebagaimana hukum asli, sesuai dengan yang diqiyaskan pada suara burung dan lainnya.
Maka seyogyanya diqiyaskanlah pada suara burung bul-bul, semua suara-suara yang keluar dari anggota tubuh manusia sesuai dengan kehendaknya seperti yang keluar dari tenggorokannya atau dari kendang, drum, rebana, dan lainnya. Tidak terkecuali semua alat-alat hiburan, aneka macam gitar dan seruling, karena telah ada larangan dari syara’ terhadapnya”.
2 Ihya’ Ulum al-Din[35]:
وَ قَالَ أَيْضًا: وَبِهَذِهِ الْعِلَّةِ يَحْرُمُ ضَرْبُ الْكَوْبَةِ وَ هُوَ طَبْلٌ مَسْتَطِيْلٌ رَقِيْقُ الْوَسْطِ وَاسِعُ الطَّرَفَيْنِ وَ ضَرَبَهَا عَادَةُ الْمُخَنِّثِيْنَ، وَلَولاَ مَا فِيْهِ التَّشْبِيْهُ لَكَانَ مِثْلُ طَبْلِ الْحَجِيْجِ وَ الْغُزُوِّ.
“Imam al-Ghazali berpendapat: Dengan illat ini, hukumnya haram memukul al-kubah, yaitu suatu alat musik sejenis gendang yang berbentuk memanjang, di arah tengah agak tipis, sedang dua sisi ujungnya agak luas, yang pada kebiasaannya jenis alat musik ini ditabuh oleh banci. Andaikan musik ini tidak digunakan oleh waria (lelaki yang bergaya perempuan), niscaya secara fungsional tidak berbeda dengan gendang atau terompet yang digunakan jamaah haji atau kendang perang”.
23. Permainan Untuk Melatih Otak Seperti Catur
S : Bagaimana hukumnya permainan guna melatih otak seperti main catur dan sebagainya?
J : Segala macam permainan guna melatih otak seperti main catur dan lain-lain apabila tidak menimbulkan kerusakan dan tidak dipergunakan berjudi, itu hukumnya makruh. Adapun permainan yang bersifat menipu, seperti main dadu, main kodok-ula atau bang-jo (tombola) walaupun tidak terdapat untung rugi, maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab[36]:
وَفَارِقُ الْنَّرْدِ وَالشَّطْرَنْجِ يُكْرَهُ إِنْ خَلاَ عَنِ الْمَالِ بِأَنَّ مُعْتَمَدَهُ الْحِسَابُ الدَّقِيْقُ وَالْفِكْرُ الصَّحِيْحُ فَفِيْهِ تَصْحِيْحُ الْفِكْرِ وَنَوْعٌ مِنَ التَّدْبِيْرِ وَمُعْتَمَدُ النَّرْدِ التَّخْمِيْنُ الْمُؤَدِّى إِلَى غَايَةٍ مِنَ السَّفَاهَةِ وَالْحَمْقِ. قَالَ الرَّافِعِي مَا حَاصِلُهُ وَيُقَاسُ بِهِمَامَا فِي مَعْنَاهُمَا مِنْ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ وَكُلِّ مَا اعْتَمَدَ الْفِكْرَ وَالْحِسَابَ كَالْمِنْقَلَةِ وَالسِّيْجَةِ وَهِيَ حَفْرٌ أَوْ خُطُوْطٌ يُنْقَلُ مِنْهَا وَإِلَيْهَا الْحَصَى بِالْحِسَابِ لاَ يَحْرُمُ.
وَ كُلُّ مَا مُعْتَمَدُهُ التَّخْمِيْنُ يَحْرُمُ.
“Perbedaan antara permainan dadu dan catur. Catur hukumnya makruh jika tidak taruhan, sebab permainan catur adalah perhitungan yang cermat dan olah pikir yang benar, permainan catur dapat menimbulkan unsur penggunaan pikiran dan pengaturan strategi yang benar. Sedangkan permainan dadu adalah berdasar pada spekulasi yang menyebabkan kebodohan dan kedunguan.
Menurut Imam Rafi’i, hukum dadu dan catur tersebut bisa dianalogkan pada semua bentuk permainan dan segala hal yang berdasarkan pikiran dan hitung-hitungan, seperti al-Minqalat dan al-Sijah (jenis permainan di Arab) yakni permainan dengan membentuk garis dan lobang-lobang untuk mengisi bebatuan yang dilakukan dengan perhitungan tersendiri. Permainan semacam ini tidak haram.
Sedangkan semua permainan yang berdasarkan untung-untungan hukumnya haram”.
24. Gerak Badan Seperti Angkat Besi
S : Bagaimana hukumnya gerak badan seperti renang, mengangkat besi dan jalan kaki?
J : Segala macam gerak badan itu hukumnya boleh, asalkan tidak menimbulkan kerusakan dan tidak dipergunakan untuk berjudi serta bukan menjadi tanda-tanda orang fasiq dan pada umumnya berjalan dengan baik tidak membahayakan.
Keterangan dari kitab al-Bajuri ‘ala al-Fath al-Qarib[37]:
وَكَذَا سَائِرُ أَنْوَاعِ اللَّعْبِ الْخَطِيْرِ فَتَحْرُمُ إِنْ لَمْ تَغْلَبْ السَّلاَمَةُ وَتَحِلُّ إِنْ غَلَبَتْ السَّلاَمَةُ. لاَ لِلْمُسَابَقَةِ عَلَى الْبَقَرِ لأَنَّهَا تَحْرُمُ بِالْعِوَضِ وَتَحِلُّ بِلاَ عِوَضٍ كَمَا عُلِمَتْ وَمِثْلُهَا فِي هَذَا التَّفْصِيْلِ الصِّرَاعُ وَالشِّبَاكُ وَالْغَطْسُ بِالْمَاءِ وَالسِّبَاحَةُ وَالْمَشْيُ بِالأَقْدَامِ وَالْوُقُوْفُ عَلَى رِجْلٍ وَالْمُسَابَقَةُ بِالسُّفُنِ وَلَعْبُ نَحْوِ شَطْرَنْجِ وَكُرَةُ مَحْجَنٍ.
Semua permainan yang membahayakan dan tidak ada pelindung keselamatan hukumnya adalah haram. Tetapi kalau ada pelindung keselamatan hukumnya boleh. Demikian juga karapan sapi jika dengan taruhan hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan taruhan hukumnya boleh, seperti telah diketahui. Demikian halnya dengan gulat, Syibak , menyelam, berenang, berdiri di atas sebelah kaki, lomba perahu, permainan catur serta sepak takraw.
25. Pengertian “Lahwi” dan “Laghwi”
S : Apakah yang diartikan “Lahwu” dan “Laghwu”, dan bagaimana hukumnya orang yang mengerjakan?
J : “Lahwu” dan “Laghwu” ialah: Segala hal yang tidak memberi faedah pada orang yang mengerjakannya baik di dunia maupun di akhirat, dan tidak ada halangan apa-apa bila dikerjakan, asalkan hal tersebut tidak dilarang oleh agama dan tidak menyebabkan lupa kepada Tuhan, apabila demikian maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab:
1. Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala al-Jalalain[38]:
sebelum surat Fath tentang tafsir firman Tuhan yang artinya: “Bahwasanya kehidupan duniawi itu hanyalah la’ibu dan lahwu.”
قَالَ فِيْ تَفْسِيْرِ قَوْلِهِ تَعَالَي: إِنَّمَا الحَيَةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَ لَهْوٌ:
اللَّعِبُ مَا يُشْغِلُ الْإِنْسَانَ وَلَيْسَ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ فِي الْحَالِ وَالْمَالِ. وَاللَّغْوُ مَا يُشْغِلُ الْإِنْسَانَ عَنْ مُهِمَّاتِ نَفْسِهِ.
“Imam Ahmad al-Shawi mengemukakan tentang tafsir: Innama al-hayat al-dunya laibun wa lahwun:
Yang disebut dengan al-la’ibu (permainan) adalah, segala yang dilakukan seseorang tanpa ada manfaatnya sama sekali baik terhadap keadaan diri ataupun hartanya di dunia dan akhirat. Sedangkan yang disebut dengan al-laghwu (senda gurau) adalah segala yang dilakukan seseorang yang dapat membuat lupa pada kepentingan dirinya”.
2. Ihya’ Ulum al-Din[39]:
إِنَّهُ اَلْغِنَاءُ لَهْوٌ مَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ الْبَاطِلَ. فَقَوْلُهُ لَهْوٌ صَحِيْحٌ وَلَكِنْ اللَّهْوُ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ لَهْوٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ فَلَعْبُ الْحَبَشَةِ وَرَقْصُهُمْ لَهْوٌ. وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ وَلاَ يَكْرَهُهُ بَلِ اللَّهْوُ وَاللَّغْوُ لاَ يُؤَاخِذُ اللهُ بِهِ.
“Sesungguhnya nyanyian/tarik suara itu termasuk lahwun yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Maka kata-kata lahwun itu sendiri tidak sampai pada hukum haram. Permainan orang-orang Habasyah dan tarian mereka termasuk lahwun. Rasulullah saw. pernah menyaksikannya dan tidak membencinya. Hal ini berarti termasuk lahwun yang tidak dimurkai oleh Allah”.
26. Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok
S : Bagaimana hukum tari-tarian dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?
J : Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh meskipun dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak yang menyerupai gerak wanita bagi kaum laki-laki, dan menyerupai gerak laki-laki bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram.
Keterangan dari kitab:
1. Ithaf Sadat al-Muttaqin[40]:
وَلْنَذْكُرْ مَا لِلْعُلَمَاءِ فِيْهِ أَيْ فِي الرَّقْصِ مِنْ كَلاَمٍ فَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى كَرَاهَتِهِ مِنْهُمُ الْقَفَّالُ حَكَاهُ عَنْهُ الرُّوْيَانِيُّ فِي الْبَحْرِ. وَقَالَ الْأُسْتَاذُ أَبُوْ مَنْصُوْرِ تَكَلُّفُ الرَّقْصِ عَلَى الإِيْقَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّهُ لََعِبٌ وَلَهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ قَالَ الْفَوْرَانِي فِي كِتَابِهِ الْعُمْدَةِ الْغِنَاءُ يُبَاحُ أَصْلُهُ وَكَذَلِكَ ضَرْبُ الْقَضِيْبِ وَالرَّقْصُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ الرَّقْصُ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ فَإِنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةِ أَوِ اعْوِجَاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُحَرِّمُ الْمُرُوْءَةَ وَكَذَلِكَ قَالَ الْمَحَلِّي فِي الذَّخَائِرِ وَابْنُ الْعِمَادِ السَّهْرَوَرْدِي وَالرَّافِعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَمْرَيْنِ، السُّنَّةُ وَالْقِيَاسُ. أَمَّا السُّنَّةُ فَمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ قَرِيْبًا فِي زَفْنِ الْحَبَشَةِ وَحَدِيْثُ عَلِيُّ فِي حِجْلِهِ وَكَذَا جَعْفَرٍ وَزَيْدٍ. وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَكَمَا قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ حَرَكَاتٌ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ فَهِيَ كَسَائِرِ الْحَرَكَاتِ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى تَفْصِيْلٍ فَقُلْتُ إِنْ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإلاَّ فَلاَ بَأْسَ بِهِ وَهَذَا مَا نَقَلَهُ ابْنُ أَبِي الدَّمِ عَنِ الشَّيْخِ أَبِي عَلِيِّ ابْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَكَذَا مَا نَقَلَهُ الْحَلِيْمِي فِي مِنْهَاجِهِ. وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّ فِيْهِ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ لُعِنَ الْمُتَشَبِّهُ بِهِنَّ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنُ كَانَ فِيْهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإِلاَّ فَلاَ. وَهَذَا مَا أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَحَكَاهُ فِي الشَّرْحِ الْكَبِيْرِ عَنِ الْحَلِيْمِي وَحَكَاهُ الْجِيْلِي فِي الْمُحَرَّرِ.
“Para ulama berbeda pendapat tentang tarian, sebagian ada yang memakruhkan seperti Imam al-Qaffal dan al-Rauyani dalam kitab al-Bahr. Demikian halnya menurut ustadz Abu Manshur, memaksakan tarian agar serasi dengan irama itu hukumnya makruh. Mereka berargumen bahwa nyanyian itu termasuk la’ibun dan lahwun yang dimakruhkan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tarian itu hukumnya mubah. Menurut al-Faurani dalam kitab al-Umdah, nyanyian itu pada dasarnya adalah mubah demikian pula permainan al-Qadlib, tarian dan yang semisalnya.
Menurut Imam al-Haramain, tarian itu tidak haram karena hanya sekedar gerakan olah gerak lurus dan goyang, akan tetapi jika terlalu banyak, dapat menyebabkan rusaknya kehormatan diri. Pendapat ini senada dengan al-Mahalli dalam kitab al-Dzakhair, Ibnu al-Imad al-Sahrawardi dan Imam al-Rafi’i. Pendapat ini juga yang menjadi pegangan pengarang al-Wasiith dan Ibnu Abi al-Dam.
Mereka beralasan dengan dua hal: Hadits dan Qiyas. Adapun hadits, adalah sebagaimana yang telah dijelaskan dari hadits Aisyah tentang tarian orang-orang Habasyah. Demikian halnya dengan hadits Ali tentang gerak lompatannya yang dilakukan bersama Ja’far dan Zaid. Adapun qiyasnya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Haramain bahwa gerakan-gerakan yang merupakan olah gerak lurus dan miring, sama dengan gerakan-gerakan lainnya.
Menurut sebagian ulama tarian tersebut harus dirinci, saya berpendapat (al-Zabidi), jika dalam tarian itu ada unsur goyang dan lenggak-lenggok (seperti perempuan), maka hukumnya makruh. Jika unsur tersebut tidak ada, maka tarian itu boleh (tidak apa-apa). Inilah yang dikuptip oleh Ibnu Abi al-Dam dari Syeikh Abu Ali bin Abu Hurairah.
Al-Halimi juga mengutip seperti itu dalam kitab Minhaj-nya. Mereka berargumen bahwa dalam tarian itu ada kecenderungan untuk bergaya perempuan, padahal orang yang meniru gaya perempuan itu dilaknat. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa tarian yang mengandung unsur goyang dan lenggak-lenggok (seperti perempuan), maka hukumnya haram. Jika unsur tersebut tidak ada, maka hukumnya tidak haram. Demikian yang disampaikan oleh Imam Rafi’i dalam kitab Syarah al-Shaghir dan beliau meriwayatkan statemen di atas dalam Syarah al-Kabir dari Imam Halimi, dan al-Jili meriwayatkan statemen tersebut dalam kitab al-Muharrar”.
2. Mauhibah Dzi al-Fad l [41]:
وَفِي الْبُخَارِي لَعَنَ اللهُ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ. قَالَ الْعَزِيْزِيُّ فَلاَ يَجُوْزُ لِرَجُلٍ تَشَبُّهٌ بِامْرَأَةٍ فِي نَحْوِ لِبَاسٍ أَوْ هَيْئَةٍ وَلاَ عَكْسُهُ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى.
“Al-Bukhari meriwayatkan hadits: “Allah melaknat laki-laki yang bergaya menyerupai perempuan, dan perempuan yang bergaya menyerupai laki-laki. Al-Azizi menyatakan: (oleh karena itu) laki-laki dilarang menyerupai perempuan dalam berpakaian atau pun tingkah lakunya, begitu juga sebaliknya (perempuan dilarang menyerupai laki-laki), karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah SWT”.
27. Menghitankan Anak Setelah Beberapa Hari dari Hari Kelahirannya
S : Bagaimana hukum menghitankan anak sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya? Boleh ataukah tidak? Sedangkan dalam kitab Khazinatul Asrar diterangkan bahwa menghitankan anak sebelum berumur 10 tahun tidak boleh.
J : Menhitankan sesudah beberapa hari dari hari kelahirannya itu boleh. Adapun sunatnya adalah sesudah berumur 7 hari atau 40 hari atau umur 7 tahun.
Keterangan dari kitab Mauhibah Dzi al- Fadl [42]:
فَفِي التُّحْفَةِ فَإِنْ أَخَّرَ عَنْهُ أَي الْخِتَانَ عَنِ السَّابِعِ فَفِي اْلأَرْبَعِيْنَ وَإِلاَّ فَفِي السَّنَةِ السَّابِعَةِ لأَنَّهَا وَقْتُ أَمْرِهِ بِالصَّلاَةِ. أَمَّا مَا ذَكَرَهُ فِي خَزِيْنَةِ اْلأَسْرَارِ فَمَحْمُوْلٌ فِيْمَا إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ ضَعِيْفًا لاَ يَقْدِرُ الإِخْتِتَانَ إِلاَّ بَعْدَ عَاشِرِ سَنَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ.
“Dalam kitab al-Tuhfah Muhtaj diterangkan, jika seseorang melakukan khitan kepada anak kecil setelah lewat tujuh hari maka dapat dilakukan pada umur empat puluh hari, jika belum juga maka dapat dilakukan pada umur tujuh tahun karena telah sampai kepada waktu saat mulai diperintahkannya melaksanakan shalat. Adapun keterangan yang dimuat dalam kitab Khazinatul Asrar dipahami, anak kecil jika dalam kondisi lemah sehingga tidak bisa dikhitan kecuali setelah berumur sepuluh tahun, menurut pendapat para ahli”.[]
[1] ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad Al-Sya’rani, Al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Maktabah Musthofa al-Halabi, t.th), Cet I, Juz 1, h. 34.
[2] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, (Bairut: Darul Fikr, 1403/1983), Juz IV, h. 307.
[3] Sulamul Usul Syarh Nihayat al-Shul
[4] Al-Bakri Muhammad Syato al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t. t.), Juz I, h. 19.
[5] Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, Syarh al-Mahalli ‘Ala al-Minhaj, dalam al-Qulyubi ‘Umairah, (Bairut: Dar al-Fikr, Bairut, 1324/2003), Juz III, h. 308.
[6] Al-Sayid ‘Alawi al-Saqqaf, Al-Fawaid al-Makkiyah, dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, (Mesir: Musthafa al-Halabi), h. 53.
[7] Abu Ishaq al-Syirazi, al-Tanbih, dalam Syarh al-Tanbih al-Suyuti, (Bairut: Dar al-Fikr, 1416/1996), Cet.I, Juz II, h. 639.
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Bairut: Dar al-Fikr, 1420/2000), Cet. 1, Juz III, h. 96.
[9] Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniya ‘ala Bafadlal, (Singapura: al-Haramain) Juz I, h. 327
[10] Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniya ‘ala Bafadlal, (Singapura: al-Haramain) Juz I, h. 326
[11] Muhyiddin al-Nawawi, Khulashah al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1428/2002), Cet. 1, Juz II, h. 383.
[12] Muhammad al-Dimasyqi, Rahmat al-Ummah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra), h. 92.
[13] Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir (Marah Labid), (Mesir: Matba’ah Isa al-Halabi, 1314 H), Juz I, h. 344.
[14] Musthafa al-Dzahabi , Taqrir Musthafa al-Dzahabi, dalam Hasyiyah al-Syarqawi, (Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1226 H), Juz II, h. 109.
[15] Abu Bakr Ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah al-Kubra, (Bairut: ‘Alam al-Kutub), Juz 8, h.47.
[16] Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir (Marah Labid), (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi, 1314 H), Juz I, h. 140.
[17] Al-Qulyubi, al-Qulyubi ‘Ala al-Mahalli,, (Bairut: Dar al-Fikr, 1424/2003), Juz III, h. 228.
[18] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, (Singapura-Jeddah: Matba’ah al-Haramain), Juz II, h. 65.
[19] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, ibid, h. 64.
[20] Zain al-Din al-Malaibari, Fath al-Mu’in, op. cit, Juz II, h. 70-71.
[21] Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘Ala Syarhi Bafadal, op. cit, Juz II, h. 64.
[22] Al-Bakri ibn Muhammad Syatha al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Maktabah Sulaiman Mar’I, t.th), Juz II, h. 87.
[23] Nasiruddin al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Mesir: Matbaah Musthafa al-Halabi, 1358/1939), Cet. 1, Juz II, h. 7.
[24] Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Mesir: Matbaah Musthafa al-Halabi, 1357/1938), Juz III, h. 40.
[25] Zakariya ibn Muhammad al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Bairut: Maktabah Dar al-Fikr, 1422/2002), Juz I, h. 118.
[26] Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Malaibari dan al-Bakri Muhammad Satho al-Dimyati, Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Singapura: Maktabah Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 120.
[27] Zainuddin al-Mailibari, Fath al-Mu’in dan Alawi As-Saqqaf, Tarsyih al-Mustafidin, (Baerut: Dar al-Fikr, tth), h. 124
[28] Zain Al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Malaybari, Fath al-Mu’in dalam I’anah al-Thalibin, op. cit, Juz III, h. 361-362.
[29] Muhammad Babashil, Is’ad ar-Rafiq, (Singapura: al-Haraimain), Juz II, h. 103.
[30] Al-Bakri ibn Muhammad Syatha, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 145.
[31] Ibn Hajar al-Haitami, Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, op. cit, Juz II, h. 7.
[32] Imam Abu Ishaq al-Syirazi, Al-Muhadzab, (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi), Juz I, h. 464.
[33] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Baerut: Maktabah Dar al-Fikr), Juz VI, h. 474.
[34] Murtadla al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, (Bairut: Maktabah dar al-Fikr), Juz VI, h. 474 dan 472.
[35] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, op. cit, Juz VI, h. 473.
[36] Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, (Bairut: Dar al-Fikr), Juz V, h. 379-380.
[37] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Singapura: Sulaiman Mar’i), Juz II, h. 306-307.
[38] Ahmad Ash-Shawiy al-Malikiy, Hasyiyah ash-Shawiy ‘ala al-Jalalain, (Mesir: Isa al-Halabi), Juz IV, h. 79.
[39] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Mesir: Maktabah Isa al-Halabi), Juz II, h. 281.
[40] Muhammad Murtadla al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, op. cit, Juz VI, h. 567.
[41] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Juz IV, h. 713.
[42] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Juz IV, h. 706.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar