Kamis, 18 Desember 2008

NU di Tengah Pergulatan Pemikiran

Oleh Sarmidi Husna
Sejak abad ke-19, dunia Islam, terutama Mesir, terjadi pembaharuan pola pikirstrategi perjuangan dan pemahaman keagamaan yang mencoba menjawab tantangan zaman. Pemikiran-pemikiran itu dikemukakan para mujadid (orang yang memperbaharui pemikiran agama), di samping dalam beberapa kasus juga oleh penguasa.[1] Kehadiran Rafi’ al-Tahtawi dengan konsep tahrir al-mar’ah (emansipasi wanita) dan patriotisme, Jamal al-Din al-Afghani dengan Pan-Islamisme, Muhammad Abduh dengan seruan ijtihad dan liberalisme, serta Rasyid Ridha yang mengemukakan pandangan salaf telah membawa dampak kebangkitan islam di dunia.[2]
Pemikiran-pemikiran mereka, walaupun tidak semuanya, telah diserap oleh oleh ulama-ulama nusantara seperti Syaikh Mahfudz al-Tirmasy, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Sambas, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Bisri Syansuri dan lain sebaginya.[3] Sehingga, gagasan-gagasan pembaharu tersebut juga mempengaruhi perjalanan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Hal tersebut mulai nampak sejak awal abad ke-20, di mana pada masa ini muncul beberapa organisasi yang bernafaskan Islam secara berkesinambuangan, yaitu Syarikat Islam (1912), Muhamadiyah (1912), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926) dan lainnya. Dengan munculnya organisasi-oraganisasi tersebut telah terjadi beberapa perubahan dalam islam di Indonesia yang dapat digambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan, dan bahkan pencerahan.[4]
Dalam wacana keagamaan, organisasi-organisasi tersebut melebur menjadi dua kelompok aliran keagamaan yang dalam hal-hal tertentu bertentangan secara deametral, yaitu kelompok modernis (Muhamadiyah dan Al-Irsyad) dan kelompok tradisionalis (Nahdlatul Ulama).[5] Mereka sering berdebat dan mempertentangkan masalah-masalah keagamaan yang bersifat furu’ (cabang). Kaum modernis mempersoalkan madzhab dan ijtihad Ahlussunnha Waljamaah dengan menugus sebagai bid’ah dan khurafat yang mendekati syirik. Kaum modernis juga menyerang kitab-kitab klasik untuk kembali pada al-Qur’an dan hadits. Padahal, kitab-kitab tersebut, oleh kaum tradisional dianggap masih tetap relevan untuk memahami hukum Islam dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan hadits. Gerakan bebas bermadzhab dari kaum modernis tersebut dipandang sebagai ancaman bagi kaum tradisionalis, sebaliknya golonngan bermadzhab dengan taqlidnya dipandang sebagai penyimpangan dari Al-Qura’an dan hadits oleh kaum modernis.[6] Dalam hal ini, kaum modernis berposisi menyerang (ofensif) dan bahkan mengolok-olok kepercayaan dan amalan-amalan kaum tradisionalis. Sementara itu, kaum tradisionalis berposisi untuk mepertahankan (defensif) diri dari serangan kaum modernis.
Persoal furu’ yang menjadi pokok perdebatan sengit, pada saat itu, adalah niat atau bacaan ushalli, pelafalan niat ketika memasuki shalat. Menurut kalangan tradisional, niat ini dinyatakan dengan bersuara, tetapi karena tidak terdapat hadits yang menjadi dasarnya, kaum pembaharu berpendirian bahwa niat tidak dilafalkan, hanya di dalam hati. Kaum tradisionalis mengharuskan membaca ushalli, tetapi kaum modernis menentangnya.[7]
Kemudian kritik paling keras terhadap terhadap amalan tradisionalis berkaitan dengan hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dunia. Kaum pembaharu menyatakan bahwa kematian berarti berakhirnya komunikasi antara manusia dan upaya-upaya untuk berhubungan dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan apapun, merupakan penyimpangan dari ajaran tauhid. Mereka secara tegas menolak kepercayaan kepada pertolongan arwah dan bentuk-bentuk kontak spiritual lainnya; pemujaan wali dikutuk sebagai amalan yang bertentangan dengan ajaran islam. Tahlilan, selametan dan ziaraha, yang bagi kalangan tradisionalis merupakan amalan keagamaan yang sangat penting, sangat dibenci oleh kaum pembaharu. Menurut kaum pembaharu, satu-satunya amalan yang sah yang dapat dilakukan untuk kerabat yang sudah almarhum adalah berdoa secara langsung kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosanya.
Pengetahuan tekstual kiai, terutama fiqih juga diserang oleh para pembaharu. Kaum modernis memertanyakan relevansinya, kaum puritan menyatakan bahwa fiqih banyak mengandung bid’ah. Fiqih tradisional menuntut sikap taqlid kepada ajaran-ajaran hokum salah seorang dari empat madzhab fiqih ortodoks abad pertengahan – di Indonesia, madzhab Syafi’i. ajaran-ajaran ini dipelajari melalui berbagai karya yang bersifat ulasan (syarh), dan ulasan atas ulasan (hasyiyah) atas karya-karya abad pertengahan, yang – dalam pandangan pembaharu – menjadi tabir penghalang antara masa sekarang dan masa Nabi. Karena itu, gerakan pembaharu menolak taqlid dan menganjurkan kembali kepada sumber asli, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat. Mereka juga menunjukkan sikap yang menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional, yang dalam masa formatifnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani serta pemikiran Kristen dan Persia.
Bagi banyak ulama tradisional, kritik tersebut tampak sebagai tidak lain dari serangan terhadap inti ajaran Islam (dan, tentu saja, terhadap kedudukan kiai sebagai pemegang kewenangan keagamaan). Pembelaan mereka terhadap tradisi-tradisi yang dijunjung tinggi ini membuat mereka semakin ketat memegang tradisi sebagai sebuah cirri kepribadian. Madzhab Syafi’I menjadi inti dari tradisionalisme ini (walaupun tetap ada pengakuan terhadap tiga madzhab fiqih sunni lainnya), tetapi sebagian soal furu’ yang ditolak kaum pembaharu juga memperoleh makna simbolik sangat penting. Karya-karya tulis para pembaharu (dan karya popular mereka seperti ulama puritan abad pertengahan, Ibnu Taimiyah) dinyatakan sebagai bid’ah dan diharamkan di pesantren.[8]
Sebenarnya semangat pembaharuan kaum modernis bukan menjadi halangan bagi kaum tradisionalis. Karena Kiai Hasyim Asy’ari (pemimpin kaum tradisionalis) menerima ede-ide pembaharuan untuk menyemangatkan kembali Islam, walaupun dia menolak pemikiran pembaharu agar umat Islam melepaskan diri dari keterkaitan dengan para madzahib.[9] Namun lantaran sikap tokoh-tokoh modernis yang over acting dalam melontarkan gagasan-gagasan pembaharuannya dengan cara melecehkan, merendahkan, bahkan membodoh-bodohkan, dan membuta-tulikan kaum tradisionalis, maka rekasi perlawanan pun juga dilakukan oleh kaum tradisionalis. Kaum tradisionalis tidak menolak subtansi ede pembaharuan mereka, tetapi cara-cara menampilkan ide yang menggunakan perasaan superior dan memandang ulama tradisional sebagai kelompok yang rendah kualitas intelektualnya sehingga menyinggung wibawa ulama tradisional. Sebagaimana pengakuan Kiai Wahhab menjelang detik-detik kelahiran NU, “Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela para ulama (madzhab) yang diejek sana-sini dan amaliahnya diserang sana-sini”.[10]
Pada dekade 30-an, silang pendapat antara kaum modernis dan kaum tradisionalis semakin parah. Tidak jarang perdebatan itu diselenggarakan secara terbuka. Sebagai contoh perdebatan antara ulama tradisional dan ulama modern pada tanggal 31 Mei 1936 di Gebang Jawa Barat, yang diwakili tokoh-tokoh dari Persis dan Al-Irasyad melawan ulama tradisional dari Nahdlatul Ulama.[11] Bahkan di bagian lain, hubungan antara Muhamadiyah dan NU kadang-kadang ditandai sikap saling curiga dan pada masa tertentu tampaknya seperti ingin meniadakan. Masing-masing ingin tampil sebagai kekuatan Islam yang paling sah dengan paradigma keislamanya sendiri.[12] Kedua oraganisasi ini saling menuduh menyimpang; Muhamadiyah memandang pikiran dan amaliah NU menyimpang dari al-Quran dan hadits, sedangkan NU memandang pikiran Muhamadiyah juga menyimpang dari ajaran Islam, paling tidak menurut ukuran ahlussunah Waljama’ah, meskipun tuduhan masing-masing kelompok itu perlu diuji keabsahannya secara ilmiah.
Selain berselisih dengan kaum lain, sering ditemukan bahwa sesama ulama tradisional juga terjadi silang pendapat. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1928, terjadi perbedaan pendapat anatara Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bagir Maskumambang (Gresik). Kiai hasyim Asy’ari berpendapat bahwa orang yang memakai bedug untuk memanggil shalat itu sah, karena ada dalil naqlinya dan memanggil shalat dengan kentongan tidak sah karena tidak ada dalil naqlinya. Sementara Kiai Maskumambang berpendapat sebaliknya; memanggil shalat dengan kentongan adalah sah, karena kentongan dapat diqiyaskan dengan bedug. Namun perdebatan kedua tokoh tradisional ini justru malah menunjukkan tingginya tingkat toleransi antar keduanya. Sebab, setelah terjadi perbedaan pendapat tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan kebebasan kepada para ulama NU dan diperbolehkan memakai kedua-duanya, baik bedug maupun kentongan. Kemudian Kiai Maskumambang juga demikian, ketika ia mengundang Kiai Hasyim ceramah di Gresik, ia menginstruksikan semua masjid dan mushalla untuk menyingkirkan kentongan dulu selama Kiai Hasyim berada di Gresik.[13] Inilah salah satu contoh pergolakan pemikiran di tubuh NU pada masa awal berdiri.
Pemahan seperti itu, menunjukan bahwa tokoh NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang luar biasa yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Kekayaan intelektual NU lebih menitik beratkan pada pemikiran ulama klasik, meski kalangan reformis mengklaib bid’ah dan khurafat. Dalam perjalannya, kekayaan intelektual ulama NU ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. Akibatnya, NU bersama dengan pesantrennya hanya menjadi semacam “dapur pengawet” ilmu-ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan mentransformasi terhadap khazanah tersebut. Hal ini dapat dipahami karena ulama NU pada umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf, maupun fiqih. Sumber pengetahuan yang digunakan juga, seperti rujukan kitab-kitab, dapat dikatakan sama, sehingga belum terjadi apa yang disebut dengan “diversifikasi pengetahuan”.[14] Hal ini menjadi bukti bahwa NU mengalami satagnasi intelektual yang cukup panjang hingga dekade 80-an.
Kemandekan perkembangan intelektual NU ini mulai mencair sejak peristiwa kembalinya NU ke Khittah 1926 tahun 1984. Peristiwa ini merupakan momentum penting dan berawalnya ghairah inteletual NU. Saat itu mulai muncul gagasan pemikiran-pemikiran keislaman yang diusung oleh kelompok muda NU. Mereka mulai berani mendobrak dan mempertanyakan beberapa segi tradisi, bahkan doktrin-doktrin NU. Hal ini lebih diakibatkan mulai munculnya anak-anak NU yang bergesekan dengan ilmu-ilmu modern yang tidak pernah diperoleh ketika belajar di pesantren. Kemudian perubahan dan variasi pemikiran yang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran dan tradisi NU dengan realitas yang terjadi, serta mengembangkan pemikiran kritis atas sejumlah doktrin agama yang diyakini selama ini.[15]
Selain hal tersebut, perkembangan intelektual NU menjadi semakin dinamis setelah ada upaya dinamisasi pemikiran NU pada Munas PBNU tahun 1992 di Lampung. Dalam Munas tersebut, NU telah merumuskan manhajul bahst (metode pembahasan) dalam bahtsul masail yang lebih maju dari pada metode yang sebelumnya. Sehingga, pemikiran NU menunjukkan kemajuan yang sangat dahsyat, setelah mengalami konsevatisme yang cukup panjang dalam kukungan tekstualisme pemikiran.
Namun, setelah reformasi, perkembangan pemikiran kelompok muda NU tersebut mulai mengkhawatirkan ulama-ulama sepuh NU. Karena perkembangan pemikiran kaum muda tersebut sudah dianggap keblablasan. Dinamisasi pemikiran yang digulirkan dalam Munas Lampung mengalami liberalisasi pemikiran. Oleh karena itu periode pasca-Munas Surabaya dinamakan tashih al-fiqrah al-nahdliyah, yaitu melakukan pelurusan-pelurusan melalui tashwiyatul fiqrah an-nahdliyah, yaitu penjernihan-penjernihan pemikiran NU. Artinya, jika di NU terjadi konservatisasi diperlukan dinamisasi, dan jika dinamisasi ini sudah kebablasan, maka perlu dilakukan pelurusan-pelurusan. Sehingga prinsip cara berfikir Nahdlatul Ulama itu tetap pada empat landasan, yaitu; tawashutiyah, tasamuhiyah, tathawuriyah, dan manhajiyah. Kita letakkan landasan pemikiran ini pada Munas di Surabaya.

[1] Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 30
[2] Mujamil Qamar, NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 29
[3] Zamakhsyari Dhofir, Kiai Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional, dalam Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed), Biaografi 5 Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 6-8
[4] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 26
[5] A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin, (Yogyakarta: IAIN Sonan Kalijogo Press, 1988), hal. 16
[6] Zamakhsyari Dhofir, KH. Hasyim ..., hal. 13-14
[7] Saefudin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), hal. 91. Persoalan ushalli menjadi penting antara kaum pembaharu dan tradisionalis di Indonesia bersifat sangat kebetulan. Dalam perdebatannya dengan kalangan pembaharu di Surabaya, Kiai Wahab menyatakan bahwa al-Qur’an dan Hadits saja tidak cukup sebagai sumber untuk ibadah-ibadah yang paling pokok sekalipun, dan beliau menyebutkan pelafalan ushalli sebagai unsure ibadah yang ditetapkan melalui ijma’ (kesepakatan ulama belakangan). Hal ini kemudian menyebabkan kalangan pembaharu menolak ushalli sama sekali. A. Hasan yang kemudian menjadi pemimpin Persis, berjuang gigih untuk memurnikan agama setelah beberapa kali berdiskusi dengan Kiai Wahab pada tahun 1924 (Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University Pers, 1973), hal. 86-87)
[8] Perdebatan tentang ijtihad versus taqlid dan perkembangan Islam tradisional menjadi tradisionalisme Muslim yang fanatic dibicarakan secara lebih luas dalam artikel Adre Felard yang lain.
[9] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 95
[10] Abdul Halim, Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab, (Bandung: Baru, 1972), hal. 12
[11] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal. 43
[12] A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 240
[13] Majalah Tashwirul Afkar, Edisi No. 19 Tahun 2006, hal. 93
[14] Ahmad Rumadi, Pos-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU dalam Jurnal Istiqra Depag RI No. 01 tahun 2003, hal. 212
[15] Ahmad Rumadi, Pos-Tradisionalisme … hal. 213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar