Jumat, 19 Desember 2008

Peraturan Wakaf Pada Masa Kemerdekaan

Peraturan Wakaf Pada Masa Kemerdekaan sampai dengan Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
Peraturan-peraturan tersebut pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan terus, karena belum diadakan peraturan perwakafan yang baru. Pemerintah Republik Indone­sia juga tetap mengakui hukum agama mengenai soal wakaf, namun campur tangan terhadap wakaf itu hanya bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliha­raan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai, atau menjadikan barang-barang wakaf menjadi tanah milik negara. Dasar hukum, kompetensi, dan tugas mengurus soal-soal wakaf oleh kementerian agama ialah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1949 jo. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1980, serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 Tahun 1952. Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952 menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah KUAP. KUAK dan KUA Kecamatan mempunyai salah satu kewajiban "menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf".[1] Menurut peraturan tersebut perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.
Tugas Menteri Agama/Pejabat yang ditunjuk ialah mengawasi, meneliti, dan mencatat perwakafan tanah apakah sesuai dengan maksud dan tujuan perwakafan menurut agama Islam atau tidak. Untuk keperluan perwakafan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut, dapat dibuatkan surat-surat bukti baru berdasarkan kesaksian-kesaksian yang ada. Sebagai langkah penertiban, Kantor Pusat Jawatan Agama mengeluarkan Surat Edaran tanggal 31 Desember 1956, No. 5. Surat Edaran ini antara lain memuat anjuran agar perwakafan tanah dibuat dengan cara tertulis. Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5 Maret 1959 No.Pem.19/22/23/7; S.K./62/Ka/59 P., maka pengesahan perwakafan tanah milik yang semula menjadi wewenang Bupati dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksa­naan selanjutnya diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria kepada Pusat Jawatan Agama tanggal 13 Februari 1960 No. Pda. 2351/34/II.[2]
Dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, tampak adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertiban juga diperlihatkan oleh Pemerintah RI. Di samping beberapa peraturan yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan Agama surat edaran Jawatan Urusan Agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemesjidan.[3]Meskipun demikian peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di negara Indonesia, persoalan tentang perwa­kafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49 sebagaimana sudah dikutip pada Bab pendahuluan. Dari Pasal 49 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1960 jelas disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah tersebut ternyata baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu. Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik itu diharapkan tanah wakaf yang ada di Indone­sia lebih tertib dan lebih terjaga. Selama belum adanya Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah, di Indonesia banyak terjadi permasalahan tanah wakaf yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah tidak memperdulikan masalah perwakafan, namun karena peraturan yang ada sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan kurang memadai, maka pemerintah pun sulit untuk menertibkan tanah wakaf yang jumlahnya cukup banyak.
[1] Ibid., h. 8
[2] Ibid., h.10
[3] Abdurrahman, loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar