Oleh Sarmidi Husna
Kiai Ma’ruf Amin adalah tokoh yang sangat disegani di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Di lingkungan jam’iyah (ormas) yang didirikan tahun 1926 ini, Ma’ruf Amin termasuk tokoh pemikir ulung. Ia telah banyak memberi warna dan mengemukakan gagasan-gagasannya untuk kemajuan NU. Kiprahnya mulai nampak saat dirinya terpilih sebagai orang nomor dua di PBNU hasil Muktamar NU di Yogyakarta tahun 1989, yaitu dengan menjabat sebagai Katib ‘Aam PBNU. Hingga saat ini, kiprah nahdliyah Kiai Ma’ruf dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Dinamisasi Pemikiran NU
Ketika menjabat sebagai Katib ’Aam PBNU, ia mulai mencoba melakukan dinamisasi pemikiran di tubuh NU. Pada awalnya, ia melakukan Tajdid al-Afkar (pembaharuan pemikiran). Hal ini ia lakukan, karena pada waktu itu di kalangan NU mengalami kemandegan berpikir. Pada masa ini, dirinya ingin mengembangkan metodologi berfikir NU, yang berkembang dalam forum bahtsul masail. Metodologi itu berupa ittiba’ pada manhaj empat imam madzhab. Karena sebelumnya, pengambilan keputusan di NU didasarkan hanya pada satu madzab. Sehingga dengan mengacu pada empat madzhab tersebut semua persoalan dapat dipecahkan.
Mengenai hal ini, Kiai Ma’ruf telah membuat perubahan metodologi dan obyek pembahasan bahtsul masail dalam istimbat al-hukm (menggali hukum). Awalnya, bahtsul masail itu hanya membahas masalah waqi’iyah saja, tetapi setelah Munas Lampung, dalam bahtsul masail ditambahkan pembahasan tentang maudlu’iyah (tematik), yaitu membahas hukum halal-haram secara tematik. Kemudian pada Munas Surabaya tahun 2006, Kiai Ma’ruf menambahkan pembahasan masalah qanuniyah (perundang-undangan).
Pembahasan tentang qanuniyah dianggap penting, karena terdapat persoalan perundang-undangan yang harus mendapatkan respon NU. Setidaknya terdapat tiga hal dalam bidang qanuniyah tersebut yang perlu mendapatkan perhatian; Pertama, konsep-konsep taqlili, yaitu mempersiapkan konsep-konsep perundang-undangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, review (telaah ulang) terhadap undang-undang yang ada. Undang-undang mana yang mukhalafatu bi al-syar’iah dan mana yang mutabaqahtu bi al-syar’iah, itu kita jadikan review pengkajian. Ketiga, menyikapi RUU yang akan dibahas yang jumlahnya banyak itu. Dalam hal ini, perlu melakukan review terhadap Undang-Undang dan melakukan kajian-kajian terhadap RUU yang akan diundangkan. Sebagai organisasi besar yang memiliki landasan pemikiran yang kuat, maka hal itu harus kita lakukan. Sehingga bahtsul masail baik itu di Munas maupun di Muktamar tidak seketika langsung membahas masalah tersebut, tetapi harus dilakukan persiapan dahulu melalui lembaga bahtsul masail.
Pandangan Tentang Khittah
Sikap Nahdlatul Ulama itu harus berdasarkan khithah. Dan khithah itu terdiri dari dua hal; Pertama, fikrah nahdliyah dan yang kedua adalah harakah nahdliyah. Kedua hal tersebut merupakan pakem dan aturan yang jelas bagi gerakan NU. Selain itu, perlu juga difahami bahwa Khitah bukan sekedar memisahkan NU dari politik praktis, tetapi khittah adalah konsepsi yang komprehensif dan sistemik. Politik hanya elemen kecil dalam bingkai khittah nahdliyyah. Menurut Kiai Ma’ruf Amin, khittah terdiri dari tiga elemen;
1. Fikrah ( cara pemikiran)
Pemikiran NU bertolak dari prinsip ungkapan Nabi, ma ana alaihi wa ashhabi. Pemikiran NU harus memiliki legitimasi dari sunnah Nabi Muhammad SAW dan cara pandang para sahabat nabi. Dan ini saya bagi tiga periode, yaitu;
a. Periode taksisi, yaitu periode awal berdirinya NU
b. Periode Tajdidi saat Munas di Lampung, yaitu menghadapi konservatifisme menuju dinamisasi
c. Periode Taswiyah saat munas Surabaya 2006, yaitu menghadapi dinamisasi kebablasan, liberalisasi menuju penjernihan.
2. Harakah (gerakan)
Gerakan NU berpedoman dan dikembankan dari pandangan gerakan dan keputusan para pendiri NU, dengan ungkapan lain merujuk pada ma alaihi al-muassisuna min aqwalihim wa af’alihim wa taqriratihim.
3. Fitrah (jiwa)
Fitrah adalah sikap jiwa yang harus dihayati oleh siapapun dalam berkhidmad di NU. Sikap tersebut adalah jujur dan ikhlas. Rujukannya adalah keteladanan yang diberikan oleh pendiri NU dalam pergaulan keorganisasiaan (ma alaihi al-muassisuna fi mu’amalatihim al-tandhimiyyah). Kalau tidak jujur tidak fitrah tetapi khintah (gandum). Jadi di NU itu jangan jadi mathiyatan yarkabuuna li wushuli ila aghradihim sawaun kana maslahatan sahsiyah awmanfaatan syahsiyah (kendaraan yang mereka naiki untuk sampai pada tujuan mereka baik untuk kepentingan pribadi maupun manfaat pribadi).
Ketiga elemen tersebut yang menjadi pakem NU untuk melangkah. Dan memformulasikan harakah nahdliyah perlu dilakukan al-istiqra’u wa al-tahqiq (penelitian dan penyelidikan). Dengan adanya kebutuhan tersebut, maka dibentuklah lajnah bahtsul masail di Muktamar Yogyakarta, yang sekarang berubah menjadi Lembaga Bahtsul Masail.
Sesuai dengan pakem NU Lembaga Bahtsul Matsail mempunyai beberapa tugas: pertama adalah menyusun kerangka-kerangka atau pokok-pokok pikiran mengenai masalah-masalah yang akan diperjuangkan NU, yaitu an-nadhariyah al-Islamiyah al-Nahdliyah. Artinya, Lembaga bahtsul masail harus menyusun pokok-pokok pikiran suatu masalah yang akan diperjuangkan dan berdasarkan pandangan NU.
Kedua, mentransfer an-nadhariyah al-Islamiyah al-nahdliyah ke luar pemikiran. Jadi pemikiran-pemikiran itu ditransfer dalam bentuk operasionalisasi, yaitu konsep-konsep yang lebih implementatif (naqlu an-nadhariyah al-islamiyah, al-nahdliyah ila waqi’iyah).
Ketiga, mu’alajah al-nadhariyah al-islamiyah al-nahdlyah (memberi terapi, pelurusan, dan perbaikan) terhadap keadaan lapangan dengan konsep-konsep an-nadhariyah al-nahdliyah, pemikiran-pemikiran NU itu di mana sebenarnya ketika dalam posisi ini. jadi kita harus memotret berbagai madzab, baik pemikiran-pemikiran maupun firqah-firqahnya baru memberi pelurusan.
Keempat, yang paling penting adalah melakukan telaah ulang terhadap an-nadhariyah al-Islamiyah wa naqliyah. Keputusan-keputusan NU perlu ditelaah ulang, apakah masih relevan atau tidak. Selain itu, Lembaga Bahtsul Masail harus mampu menjawab persoslan-persoalan (al-ajwibah an al-asilah) yang berkembang di masyarakat, untuk menyelesaikan masalah-masalah keagaman yang mencuat di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian rujukan-rujukan yang digunakan dalam bahtsul masail untuk membuat keputusan adalah; Pertama, nashus al-Syariyah (nash-nash). Kedua, qaul al-Ulama al-muktabarah (pendapat-pendapat) terdahulu dalam kitab-kitab muktabarah. Ketiga, keputusan-keputusan NU, baik yang didapat dari Muktamar maupun dari Munas-Munas. Keempat, qararat al-majma’ al-islamiyah al-alamiyah (keputusan-keputusan forum-forum Islam yang sifatnya internasional). Dan kelima, ketika kita melakukan istinbat hukum, al-qawaid wa dawabid al-fikriyah dapat dijadikan rujukan dalam melihat pandangan-pandangan untuk mengambil putusan. Jadi itu hal-hal penting dalam bahtsul masail.
Periodesasi Fikrah
Dapak kita fahami bahwa bahwa bahtsul masail merupakan manhajul bahst (metode pembahasan). Dan manhajul bahts itu sudah dirumuskan dalam keputusan Munas NU di Lampung pada 1992. Manhajul Bahts Lampung tersebut merupakan bentuk tathwir an-nadhariyah al-nahdliyah, guna mendimanisir pemikiran, karena pada waktu itu, tahun 90-an, NU mengalami konservatisasi dengan adanya tekstualisasi pemikiran. Pada waktu itu, NU mendorong dinamisasi pemikiran.
Oleh karena itu, periode itu sering disebut sebagai tajdidu fiqrah al-nahdliyah. Dengan menggunakan istilah bahwa pada tahun 1926 disebut sebagai taqsisul fiqrah an-Nahdliyah (penginstitusian, peletakan dasar pemikiran NU), sedangkan pada saat Munas Lampung disebut sebagai tajdid fiqrah al-nahdliyah. Namun kemudian dinamisasi ini mengalami liberalisasi pemikiran. Oleh karena itu periode pasca-Munas Surabaya dinamakan tashih al-fiqrah al-nahdliyah, yaitu melakukan pelurusan-pelurusan melalui tashwiyatul fiqrah an-nahdliyah, yaitu penjernihan-penjernihan pemikiran NU. Artinya, jika di NU terjadi konservatisasi diperlukan dinamisasi, dan jika dinamisasi ini sudah kebablasan, maka perlu dilakukan pelurusan-pelurusan. Sehingga prinsip cara berfikir Nahdlatul Ulama itu tetap pada empat landasan, yaitu; tawashutiyah, tasamuhiyah, tathawuriyah, dan manhajiyah. Kita letakkan landasan pemikiran ini pada Munas di Surabaya.
Demikian periodesasi pemikiran NU. Dan hal ini kurang mendapat perhatian dari pemikir-pemikir NU sendiri. Sehingga sering terjadi pemikiran-pemikiran yang berkembang di lingkungan NU yang melenceng dari koridor yang telah disepakati.
Kiprah Politik Kiai Ma’ruf
Sebagai tokoh NU, KH. Ma’ruf mempunyai pandangan yang berbeda dengan tokoh-tokoh NU yang lain. Selama ini, tokoh-tokoh NU pun juga berbeda-beda dalam mengiplementasikan khittah NU. Di satu sisi ada tokoh NU yang tegas menolak NU berhubungan dengan politik praktis dan pengurus NU tidak boleh berpolitik. Ada juga tokoh NU yang agak flesibel, yaitu pengurus NU boleh berpolitik akan tetapi harus non aktif dari kepengurusan NU. Berbeda dengan kedua kelompok tersebut, Kiai Ma’ruf berpendapat bahwa politik adalah bagian dari Khittah NU. Politik adalah salah satu bentuk perjuangan NU di samping perjuangan melakukan dakwah. Karena para pendiri NU, seperti KH. Hasyim, KH. Bisri dan KH. Wahab tidak pernah meninggalkan gelanggang politik, baik di Masyumi maupun saat NU menjadi partai politik pada tahun 1952 sampai dengan 1974.
Sikap seperti ini ditunjukkan Kiai Ma’ruf ketika rezim Soeharto runtuh. Kiai Ma’ruf mendorong PBNU untuk membidani terbentuk partai politik bagi warga NU. Dan kemudian ia ditunjuk oleh para kyai NU untuk menjadi ketua Tim Lima, yakni tim yang menggagas dan merumuskan pendirian partai bagi warga NU. Dan akhirnya berdirilah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kiai Ma’ruf termasuk ngotot untuk mendirikan partai tersebut dengan alasan supaya NU mempunyai bargaining positin. Karena NU adalah organisasi yang besar, tetapi Orde Baru tidak mempunyai kekuatan politik.
Berdirinya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dianggap sebagai gerakan kebangkitan politik ulama yang ketiga. Kebangkitan ulama yang pertama, oleh Prof. Sartono, disebut dengan religious revival (kebangkitan agama). Dan menurut saya adalah revival of ulama (kebangkitan ulama). Kemudian lahirlah kebangkitan nasional yang lahirnya dari kebangkitan ulama tersebut. Dan para ulama ini mendapat inspirasi ketika mereka belajar di Makkah. Ulama yang pulang dari belajar dari Makkah kemudian mendirikan gerakan-gerakan dan pemberontakan terhadap kolonial belanda, seperti perang paderi, geger cilegon dan lain-lain, uma pada waktu itu belum terorganisir. Periode kedua, saat NU menjadi partai pada tahun 1952. Dan periode kebangkitan politik ulama yang ketiga adalah berdirinya PKNU pada tahun 2007.
Dalam hal ini, perlu gerakan politik Kiai sangat penting dengan tujuan berikut; Pertama untuk mengembalikan jiwa keagamaan dalam perpolitikan nasional ihya al-ruh al-diniyyah fi ‘alam al-syiyasiyah al-indunisiyah (menghidupkan nilah keagamaan dalam politik). Dan pada tahun 1947 KH. Hasyim asy’ari telah menemukakan laqad daufat al-ruh al-diniyyah fi ‘alam al-syiyasi al-indunisia, bal kadat tamutu fi hadzihi al-aiyam al-akhirah (telah melemah jiwa keagamaan dari perpolitikan di Indonesia dan bahkan hampir mati). Dan saya yakin kalau hasyim asy’ari masih hidup sekarang ini akan mengatakan laqad matat al-ruh al-diniyyah fi ‘alam al-syiyasi al-indunisia, bal kadat tamutu fi hadzihi al-aiyam al-akhirah (telah melemah jiwa keagamaan dari perpolitikan di Indonesia dan bahkan hampir mati).
Kedua, untuk mengembalikan kepemimpinan ulama dalam perpolitikan di Indonesia (li I’adati qiyadati ulama fi alam al-siyasi al-indonesi). Ketiga untuk memperbaiki ummat (islah al-ijtamaiiyah) yang menjadi tanggungjawab para ulama.
Kiprah di MUI
Dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Ma’ruf telah berhasil memasukkan cara berfikir NU dalam penggalian hukum di MUI. Awalnya MUI itu hanya menyebutkan fatwa halal haram dengan menyebutkan dasar dari nash al-Quran dan Hadits saja. Tetapi sekarang, pada periode saya, saya masukkan manhaj istimbat al-hukm yang sesuai dengan manhajnya NU, yaitu;
1. Berdasarkan Nash qath’i
2. Berdasarkan qaul al-ulama
3. Berdasarkan kompromisasi aqwal al-ulama
4. Berdasarkan tahrij
5. Berdasarkan ilhaq
6. Berdasarkan ijtihad
Tetapi masih ada perbedaan keputusan antara NU dan MUI. Misalnya saja NU memutuskan bahwa hokum bunga bank ada 3, yaitu haram, syubhat dan halal, tetapi kalau MUI langsung haram. Dan saya tetap konsisten, karena saat mengikuti bahtsul masail ini yang membahas bunga bank, saya berada pada pihak yang haram.
Kemudian waktu membuat Nusuma, para kiai tidak setuju karena ada bunganya. Kemudian saya menjembatani dengan mengadakan rapat Syuriah, kemudian dari rapat tersebut menyetujui berdirinya Nusumu dengan syarat nantinya ada perbaikan-perbaikan dengan menggunakan system yang tidak bertentangan dengan ajaran syariat.
NU secara keputusan sudah merekomendasikan adanya perbankan NU. Dalam Munas tahun 1992 Lampung dan 1997 NTB telah menyepakati adanya reksadana syaraiah, tetapi harakah dalam NU tidak ada, ibarannya NU itu mabniyu ala sukun la mahallala minal ikrab.
NU tidak mengambil semua aswaja yang ada di dalam Islam klasik. Dan NU mengambil aswaja dari pendapatnya imam nawawi dalam kitab Nihayah al-Zain, yaitu mengikuti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Maliki dalam fiqih; mengikuti aliran Maturidliyah dan Asy’ariyah dalam aqidah; dan mengikuti aliran imam Ghazali dan Junaid dalam tasawuf. Dan dalam nihayah al-zain, imam nawawi berpendapat bahwa harus mengikuti mazhab yang sudah tersetruktur dan terkodifikasi. Karena mengikuti metode seperti ini, aswaja yang diikuti NU adalah aswaja yang sangat selektif.
Kamis, 18 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar