Rabu, 17 Desember 2008

Ustman Hambaya

Layon
TIAP langkah sepertinya ada yang mengatur. Kala diri ini bertanya-tanya, jalan ''pulang'' itu pintunya di mana, tanpa disangka-sangka rekan saya mengajak bersilaturahmi ke Pondok Paseban Al-Mu'tabaroh Ar-Rosuli Asy-Syarif Zadallahu Syarofan Wa Ta'dhiman di Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.Habib Syakir atau Syekh Achmad Syakir Ibnu Muhammad adalah pengasuh dan pendiri pondok itu. Pria kelahiran Semarang tahun 1963 yang berwajah teduh dan santun, serta banyak senyum, ini menggenggam akrab tangan saya. Itulah pertemuan pertama, walau buku dia, Aku, thariqoh, tasawwuf, sudah di tangan saya dua tahun lalu.Dialah khalifah tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Dia mengajarkan cara menemukan jalan menuju Tuhan dengan identifikasi mengenai hidup dan matinya hati. Dia mengajak menggali dan memahami ilmu akhirat pada para salik (murid).Hati perlu disucikan dengan kesungguhan (mujahadah), ketetapan hati, ketundukan diri, kerendahan hati, ratapan batin, dan penyesalan diri. Para salik dibimbing ber-mukasyafah agar cahaya Ilahi memancar dari dalam diri.Kala memasuki lingkungan pondok yang apik, aura ketenangan memang sudah terasa. Tiada kebisingan, tanpa polusi. Hanya ada gemericik air kali dan sejuknya angin sore. Keasrian juga tampak pada beberapa bangunan berhias pecahan batu alam. Ada pula batu giok dan topaz yang teronggok siap digosok. ''Untuk mengisi waktu,'' ujar dia.Di pelataran ada taman berhias yoni, artefak kelamin wanita. ''Lingganya kami simpan, khawatir patah,'' kata Habib. Lingga adalah wujud kelamin laki-laki. Kedua benda tersebut ditemukan di lingkungan pondok, sekitar satu kilometer dari Gedung Songo yang masih menyisakan peninggalan Hindu.Di sebelah kiri taman berdiri bangunan tanpa atap (berupa 14 tiang menjulang) bernama Raudhotul Munajah. Angka 14 merupakan jumlah ruas pada jari tangan. Di bawah matahari, rembulan, bintang, serta awan yang jadi aksesori langit, kita bisa berkhalwat atau berzikir dan tafakur untuk melatih, mengontrol, dan mengetahui kelemahan diri --dengan rasa.Kala bertafakur, misalnya, bisa saja memikirkan ciptaan-Nya: gunung! Dari kejauhan, gunung berbentuk segitiga. Ada titik awal, titik puncak, dan titik akhir. Manusia juga termanifestasikan begitu. Ada langkah awal, ada puncak karier, dan ada masa menurun. Hidup pun seperti itu: lahir, dewasa, dan tua (mati). Itu hukum alam. Dan, harus disadari sebagai rido-Nya.Adanya kesadaran tersebut membuat kita menerima keadaan, sehingga beban seberat apa pun terasa ringan. Ingat kisah Nabiyullah Ayyub dengan segala penyakit yang tak kunjung sembuh? Sampai-sampai yang tertinggal hanya hati dan lidah. Sekalipun begitu, dia tetap bersyukur kepada Allah.Selain bangunan tanpa atap, ada pula bangunan beratap bernama Raudhotul Anbiya' yang bertiang 24 buah. Turun dari Anbiya', kita mendapati ''makam'' (kerangka fisiknya belum didapat) Sunan Layon, yang ditemukan secara tidak sengaja di awal pendirian pondok ini, di Desa Keji, Ungaran, Semarang.cMemang, kala pembangunan pondok dimulai, muncul yang aneh-aneh. Umpamanya, bouwplank bergeser dengan sendirinya. ''Saat menggali dua lubang tiang pancang untuk cakar ayam, satu lubang menebarkan bau wangi dan satunya lagi berbau busuk,'' kata Habib. Juga tampak cahaya dari lubang tersebut.Maka, untuk menyingkap kegaiban itu, Habib dan muridnya beristikharah. ''Malam itu tampak orang berjubah putih tengah bersila di bawah pohon bambu,'' kata dia. Terjadi dialog. Kesimpulan Habib: itulah Syekh Utsman Santi alias Sunan Layon --karena pernah meninggal sembilan kali-- yang hidup di abad IX.Rupanya, temuan itu menggugah hati Prof. Kusnin Asa, arkeolog dari Jakarta, yang bertahun-tahun mencari makam Ustman Hambaya, seorang penyebar agama Islam. Secara singkat diceritakan bahwa Fatimah binti Maimun adalah putri Raja Carmen dari Kedah. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan, ia disertai Malik bin Maimun dan Ustman Hambaya membuka perkampungan muslim pertama di Jawa.Sepeninggal Fatimah di Leran Gresik tahun 864, kedua orang itu mengembara. Malik ke timur hingga Blambangan, sedangkan Ustman ke arah barat dan mukim di Gunung Ungaran, pusat keramaian agama Hindu. Ustman yang menyebarkan Islam oleh para santri dan masyarakat di Desa Keji dipanggil Ustman Santri.Kini, melalui Habib Syakir, Islam kembali ditumbuhkan melalui tarekat tanpa melupakan syariat. ''Sekalipun sudah pada tingkatan makrifat, tidak boleh meninggalkan syariat,'' katanya. Salat lima waktu, misalnya, karena merupakan ibadah utama dan mi'raj-nya orang beriman, wajib dilaksanakan. Syariat itu, kata dia, meliputi tiga tingkatan: tarekat, hakikat, dan makrifat.Dalam pandangan Habib, saat salat dan salawat, ada bacaan yang dilisankan. Lisan bisa diartikan lidah, yang memiliki fungsi penting dalam berkata-kata. Di lidah itu pula ada rasa, tepatnya di ujung dan pangkal lidah. Dan, telah jadi kesepakatan bahwa hadirnya rasa sangat diperlukan dalam pencapaian suluk yang sempurna. Jadi, salat, salawat, dan rasa merupakan kesatuan yang tak bisa dipisah-pisahkan.Melalui tarekat ini pula ditumbuhkan kesadaran bahwa tiap langkah harus memunculkan nilai panutan. Lisan senantiasa bagai penawar datangnya problem. Lambaian tangan seakan mengisyaratkan orang agar selalu ingat pada kematian. Lalu, pandangan disertai ketawaduan dan pendengaran selalu cenderung menuju ketaatan.Jika ajaran tersebut mewujud, maka kepalsuan dan kebohongan, yang belakang ini mulai mendominasi sebagian anak bangsa, insya Allah, terkikis pelan-pelan. Dan, kita makin dekat dan cinta pada Ilahi. Sumber http://www.gatra.com/2006-03-22/artikel.php?id=93199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar